Saya bersama anak-anak dari Suku Tengger (Klik dan geser untuk perbesar seluruh foto dalam artikel ini) |
MENGUNJUNGI kawasan Bromo dan sekitarnya yang termasuk dalam lingkup Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, bagi saya tidak hanya sekadar menikmati keindahan alamnya saja. Melainkan juga harus mengenal lebih jauh tentang budaya setempat terkait kearifan adat istiadatnya.
Itu yang saya lakukan saat bertualang di Bromo pada akhir November 2016. Selain mengeksplorasi panorama eksotis yang terdiri dari gunung, lembah, ngarai, hutan, air terjun, lautan pasir, hingga sabana, kebetulan saya juga sempat berbincang dengan penduduk asli setempat (Artikel sebelumnya http://www.roelly87.com/2017/01/ke-bromo-aku-kan-kembali.html).
Ya, di kawasan Bromo terdapat pemukiman dari suku Tengger. Menurut sensus penduduk pada 2010, suku Tengger merupakan sub dari suku Jawa (1). Hingga artikel ini dimuat, tidak diketahui berapa jumlah penduduk asli suku Tengger.
Namun, menurut Antara (2), pada 2010 di desa Argosari ada 3.372 orang atau 870 kepala keluarga (KK). Itu baru satu desa, alias belum diketahui jumlah seluruhnya dari suku Tengger yang mendiami puluhan desa di kawasan Bromo dan sekitarnya.
Bagi saya, berinteraksi dengan suku asli di beberapa daerah di nusantara ini sangat menarik. Kebetulan, setiap mengunjungi berbagai daerah baik itu dalam rangka tugas atau travelling, saya memang kerap mencoba untuk mencari tahu segala sesuatu tentang mereka (Artikel sebelumnya http://www.roelly87.com/2017/01/yuk-tandai-provinsi-di-indonesia.html)
Selain menambah wawasan tentang aneka suku, juga dapat memberi ilham tersendiri. Itu sudah saya lakukan sejak berseragam putih abu-abu di pedalaman Baduy dalam rangka liburan sekolah. Puncaknya, saat menjelajah bumi Borneo pada lebih dari sedekade silam.
Kebetulan, interaksi itu berkaitan dengan pekerjaan saya di kawasan pertambangan. Jadi, nyaris setiap harinya, saya memiliki banyak kesempatan untuk berbincang dengan penduduk setempat yang berasal dari suku Dayak, suku Banjar, dan Melayu.
Begitu juga ketika saya dipindahkan ke bumi Andalas, saya rutin berdialog dengan suku setempat. Untuk yang mayoritas mulai dari suku Minangkabau, suku Melayu, dan suku Batak. Sementara, untuk yang terpencil, ada suku Kubu di lereng Gunung Kerinci.
* * *
SEJAUH mata memandang, lautan pasir terhampar luas. Seketika, saya ingat dengan kisah Son Go Kong (3) dari Cina ke India dalam Journey to the West (mandarin = Xi You Ji, hokkian = See Yu Ki).Yaitu, kisah biksu Tong Sam-Cong bersama ketiga muridnya (Go Kong, Tie Pat Kay, dan Sam Cheng) untuk mengambil kitab suci. Dalam legenda Cina yang sering ditayangkan tv swasta di Tanah Air pada 1990-an itu, keempatnya melewati padang pasir di kawasan Turfan, yang terkenal tandus.
Tentu, ini hanya imajinasi saya saja. Sebab, tidak bisa membandingkan antara lautan pasir di Bromo dengan Turfan yang jadi bagian Gurun Gobi. Sebab, lautan pasir di Bromo luasnya hanya sekitar 52,9 km persegi (4). Bandingkan, dengan Gurun Gobi yang mencapai 1,2 juta km2. Namun, untuk keindahan, lautan pasir di Bromo boleh diadu dan tidak kalah dengan Gurun Gobi.
Bahkan, lautan pasir di Bromo jadi latar film Pasir Berbisik yang dibintangi Dian Sastrowardoyo (5). Yupz, konon berkat film tersebut, hamparan pasir ini jadi salah satu tujuan wisatawan dalam dan luar negeri. Mereka ingin merasakan sensasi "dibisiki" pasir yang terhampar luas.
"Ha ha ha, katanya sih iya. Bisa percaya bisa tidak mas, yang pasti lamat-lamat kalau diperhatikan memang pasir ini seperti bersuara," tutur pengemudi jip menjelaskan asal muasal julukan pasir berbisik tersebut.
Tentu, saya bukan orang yang langsung percaya dengan mitos atau legenda sebelum merasakan langsung. Di sisi lain, saya juga paham dengan pepatah "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Alias, di tempat yang asing, saya wajib menghormati adat istiadat setempat.
Termasuk, mengenai pasir yang -konon- katanya membisiki pengunjung yang datang. Bagi saya, berhembusnya suara pasir, entah benar atau tidak, tetap memikat. Apalagi, cuaca saat itu sangat mendukung, matahari sudah di atas kepala, tapi udaranya tetap sejuk dengan semilir angin.
"Nanti ada film dokumenter lagi tentang lautan pasir ini. Kakak bisa mengunjungi hamparan pasir ini hingga ke utara lewat Gunung Batok. Menuju ke selatan sana, pemandangan berganti lebih hijau," kata salah satu anak dari suku Tengger memberi keterangan kepada saya usai foto bersama.
Dalam kesempatan itu, mereka mengakui rumahnya tidak jauh dari lautan pasir tersebut. Beberapa anak itu menyebut sore hari pemandangannya bahkan lebih indah. Menurut mereka, lautan pasir ini jadi transit utama bagi wisatawan sebelum menikmati sunset atau sunrise di Bromo.
"Kalau kakak mau lihat keramaian, bisa ke sini pas Upacara Yadnya Kasada. Nanti, kami akan kumpul di Puar Luhur Poten di kaki (Gunung) Bromo yang pagi tadi kakak lewati," Mereka, mengungkapkan.
Berdasarkan penelusuran saya di internet, Upacara Yadnya Kasada biasanya dilakukan pada hari ke-14 bulan Kasada (bulan ke-10 penanggalan Jawa). Tahun ini jatuhnya pada 9-10 Juli mendatang (6). Saat itu, mereka melakukan ritual di Pura Luhur Poten yang terletak di kaki Gunung Bromo (Artikel sebelumnya http://www.roelly87.com/2017/02/suatu-ketika-di-puncak-bromo.html).
Selanjutnya, masyarakat suku Tengger naik ke puncak Gunung Bromo untuk melemparkan hewan sesajen ke kawahnya. Itu meliputi buah-buahan, sayur-mayur, hewan ternak, hingga uang yang akan dipersembahkan untuk Sang Hyang Widhi. Tujuan mereka, sebagai bentuk rasa syukur atas kesejahteraan sepanjang tahun.***
* * *
Lautan pasir ini jadi latar film Pasir Berbisik yang dibintangi Dian Sastrowardoyo |
* * *
Mayoritas wisatawan datang dengan menggunakan jip |
* * *
Kabut yang menutupi Gunung Batok |
* * *
Gunung Batok yang memesona |
* * *
Pemandangan yang sungguh memanjakan mata |
* * *
Jip yang ditumpangi wisatawan berhenti sejenak untuk menikmati lautan pasir |
* * *
Pasir berbisik... |
* * *
Awas, jatuh... |
* * *
Salah satu wisatawan luar negeri yang melakukan selfie (swafoto) |
* * *
Seketika, saya merasa seperti di negeri khayangan |
* * *
1. http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/
Kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf
2. http://www.antaranews.com/berita/236287/suku-tengger-yakin-bromo-tidak-akan-marah
3. https://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=6343.0
4. https://m.tempo.co/read/news/2014/03/11/202561415/pasir-bromo-tak-lagi-berbisik
5. http://www.antaranews.com/berita/472536/bromo-masih-jadi-magnet-wisata-alam
6. http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20170106025435-241-184458/festival-seni-budaya-indonesia-yang-harus-dikunjungi-di-2017/
* * *
Artikel Terkait:
- (Prolog)
- Candi Jago- Air Terjun Coban Pelangi
- Ke Bromo, (Aku) kan Kembali
- Suatu Ketika di Puncak Bromo
- Bukit Teletubbies: Sepotong Tanah Surga
- Keliling Malang
- Wisata Malam
- Kuliner
- Reuni
- (Epilog) Di Balik Ngebolang ke Bromo dan Malang
* * *
Artikel Ngebolang Sebelumnya:- Pasar Santa
- Central Park
- Sirkuit RMS Land Rappang
- Garuda Indonesia
- Candra Naya
- 7 Taman di Jakarta
- Pulau Bidadari
- 7 Tempat Nongkrong
- Museum Nasional
- Masjid Hidayatullah
- Alun-alun Bandung
- Taman Ismail Marzuki
- Tugu Kunstkring Paleis
- Pasar Ah Poong
- Museum Basoeki Abdullah
- Taman Ayodia
- Curug Nangka
- Curug Nangka (2)
- Kebun Binatang Ragunan
- Taman Nasional Bunaken
- Pantai Jimbaran
- 4B Manado
- Danau Linow
- 7 Tempat Nobar
- Museum Kebangkitan Nasional
- Ngebolang ke 3 Stasiun
- CitraRaya Water World
- Pantai Ancol
- Patung Soekarno-Hatta
- Rafting Sungai Citarik
- Sensasi Nusa Dua
- Taman Jomblo
- Candi Prambanan
- Museum Astra
- Candi Jago
- Kota Malang
- Saung Sarongge
- Coban Pelangi
- Taman Prasasti
- Kalijodo
- Museum Bahari
- Museum Bahari (2)
Laman Khusus Wisata
- Jelajah Manado
- Keliling Yogyakarta
- Sensasi Bali
- Ngebolang ke Malang
- Jelajah Sudut Ibu Kota
* * *
- Jakarta, 15 April 2017
Saya terakhir ke Bromo belum puas, karena mendadak gak sehat karena kecapekan jadi muntah2 dan pusing di sana.
BalasHapusPengen ke sana lagi, semoga nanti benar2 fit pas ke sana.
sama mbak, saya juga belom puas :)
Hapussuatu saat pengen ngerasain indahnya bromo pas sunset...
keren banget mas foto-fotonya
BalasHapusterima kasih, mas :)
Hapuswah... keren,, padang pasir di tanah jawa... karya Allah benar-benar tak tertandingi...
BalasHapusiya mas, Indonesia ini kekayaan alamnya luar biasa :)
HapusKirain abis dari Bromo mampir ke sebelahnya (Semeru), mas hehe
BalasHapusga sempat pis, tujuannya cuma bromo aja
Hapusbelom ada rencana ke semeru, kebetulan saya ga begitu hobi naik gunung sih hi hi hi
tapi abis lebaran pengen ke borobudur nikmatin sunset nih *ngumpulin dana dulu :)
Wah, saya belum pernah ke Bromo nih :D
BalasHapusayuk mbak, ngebolang di bromo dan sekitarnya :)
Hapuskalo dari jakarta, ngeteng lebih murah (naik ka, kalo pesawat jelas mahal)
Keren Bang...
BalasHapusJadi pengen ke sana nih? Bagus tuh, cara ngambil gambarnya. Boleh di parktekin nih, model gambarnya yuhuu.
BalasHapusWahh dulu waktu kuliah di Malang sering main ke bromo dan sekitarnya, seperti bukit B29. Seru banget emang, apalagi bisa bercengkrama dengan anak suku tengger..
BalasHapusdulu pernah diajak sama kaka untuk naik... tapi karena lagi ujian kampus aku gak bisa ikut
BalasHapusKeren Bang...tahun depan jadi pengen ke sana nih?
BalasHapus2018 visit over there :D
BalasHapusAih.. keren kang.. saya jadi ingat moment perosotan di lereng bromo, cari jalur turun karena efek bludaknya pengunjung :D
BalasHapuskeren...jadi penasaran pengen menyambangi secara langsung....
BalasHapus