TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Senin, 11 Desember 2023

Prabowo Gemoy, tapi Tangannya Berlumuran Darah

Prabowo Gemoy, tapi Tangannya Berlumuran Darah

Foto: @roelly87



PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2024-2029 akan didominasi suara generasi milenial. Menurut data, mencapai 55-60 persen. 

Saya jelas bukan masuk kalangan tersebut. Sebab, lahir akhir 1980-an.

Namun, tetap saya merasa masih muda. Ya, minimal relevan dengan situasi terkini.

Termasuk, saat mencermati Pilpres. Meski, ini bias. 

Pasalnya, saya merupakan penggemar Prabowo Subianto yang jadi capres nomor urut 2 berpasangan dengan Gibran Rakabuming. Seperti beberapa artikel yang sudah saya tulis sebelumnya, kemungkinan besar saya akan memilih eks Danjen Kopassus tersebut pada 14 Februari mendatang.

Tentu, saya ga 100% pasti mencoblosnya. Melainkan, hanya 99%.

Ya, saya selalu menyisakan ruang dalam pilihan. Ada GBHN untuk Pilpres 2024

Alias, Garis Batas Haluan Nyoblos. Hingga valentine mendatang, apa pun bisa terjadi.

Termasuk, jika Prabowo melakukan blunder fatal. Atau, inkonstitusional.

Bahkan, makar hingga kudeta. Kemungkinan seperti itu memang kecil. 

Namun, dalam hidup, apa pun bisa terjadi. Khususnya, untuk kontestasi pilpres yang menyisakan jarak dua bulan lagi. 

Maklum, sepanjang lebih dari sepertiga abad berada di muka bumi ini, saya memang jarang percaya penuh kepada seseorang. Apalagi, kali terakhir saya percaya, saya nyaris kehilangan segalanya.

Itu mengapa, saya mentok di angka 99% untuk mencoblos Prabowo. Sisanya, terbagi antara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Untuk Anies, saya sudah kenal lama. Maklum, KTP saya DKI Jakarta. 

Bahkan, 2017 lalu saya mencoblosnya. Itu berkat adanya Prabowo di belakang Anies.

Meski, secara hati, saya cenderung memilih Basuki Tjahaja Purnama. Bisa dipahami mengingat saya juga penggemar Ahok.

Bahkan, saya menilai, meski singkat,  kepemimpinan Basuki di ibu kota sangat bagus. Tegas dan betul-betul kerja.

Bukan berarti periode Anies jelek. Sebab, banyak juga inovasi dari sepupu Novel Baswedan ini yang sangat saya apresiasi.

Mulai dari integrasi angkutan umum, seperti Jaklingko, hingga dihapusnya larangan sepeda motor melintasi Jalan Sudirman-Thamrin. 

Sementara, untuk Ganjar, terus terang saya kurang begitu mengenalnya. Kendati untuk partainya, PDI Perjuangan, saya turut mengapresiasi.

Khususnya, tiga kader. Yaitu, Effendi Simbolon, Adian Napitupulu, dan Bambang "Pacul" Wuryanto.  

*      *      *

KESAN tegas, wibawa, hingga kaku terhadap Prabowo yang selama ini melekat seolah luntur. Berganti jadi gemoy.

Alias plesetan dari gemas atau menggemaskan. 

Saya pribadi sempat mengernyitkan dahi ketika tahu Prabowo berubah 180 derajat. Kini, gimmick-nya jadi gemoy dan suka joget.

Dua jempol untuk tim sukses dan deretan konsultannya yang berhasil mengubah sosok gahar Prabowo pada 2014 dan 2019. Sekarang, kalo dilihat di media, baik arus utama maupun sosial, berganti jadi gemoy dan lucu.

Ini mengingatkan saya terhadap Presiden Filipina Bongbong Marcos. Saat kampanye pilpres 2022 lalu, ia menggandeng Sara Duterte, putri presiden sebelumnya, Rodrigo Duterte.

Bongbong memanfaatkan betul perkembangan teknologi dalam menggaet pemilih muda di pilpres Filipina. Termasuk, media sosial yang memang jadi santapan sehari-hari generasi milenial, khususnya Tiktok.

Dalam kampanyenya, Bongbong meromantisasi keberhasilan ayahnya, Ferdinand Marcos (Presiden Filipina 1965-1986). Yaitu, keberhasilan Filipina saat dipimpin Ferdinand kepada generasi milenial yang memang belum lahir.

Alhasil, Bongbong pun dapat suara mayoritas anak muda. Tidak tanggung-tanggung, kemenangannya sangat telak.

Bingbong meraih 58,7% suara. Jauh mengungguli rival terdekatnya, Leni Robredo (27,9%) yang sebelumnya diunggulkan terkait ketidakpuasan rakyat Filipina atas kepemimpinan Duterte.

Sementara, legenda hidup tinju Filipina, Manny Pacquiao, berada di urutan ketiga dengan 6,8%.

Alhasil, saya pikir, timses dan konsultan politik Prabowo pun mencoba untuk ATM. Amati, tiru, dan modifikasi cara Bongbong di Filipina untuk diterapkan di Tanah Air.

Sejauh ini, usaha mereka berhasil. Dalam beberapa survei, Prabowo selalu memimpin dibanding Ganjar dan Anies.

Teranyar, berdasarkan Lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Sabtu (9/12). Prabowo unggul dengan 45,8% diikuti Ganjar (25,6%), dan Anies (22,8%).

Ini menarik, mengingat Prabowo dan Gibran belum full attack dalam kampanye. Maklum, keduanya masih menjabat dalam pemerintahan. 

Alias, hanya mengambil cuti kerja pada Sabtu, Minggu, dan hari libur saja untuk kampanye. Bandingkan, dengan Ganjar dan Anies yang rutin keliling Indonesia.

Epilognya, perubahan sikap Prabowo yang kini jadi gemoy memang sangat berdampak terhadap masyarakat, khususnya generasi milenial. Nah, apakah apakah mandat langit akan hinggap di Kertanegara, itu cerita lain.

*      *      *

MALAM itu, rinai masih membasahi ibu kota. Usai mengantar orderan dari salah satu aplikasi online di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, saya pun melajukan sepeda motor dengan konstan.

Sambil, melihat suasana jalanan yang cukup ramai. Pada saat yang sama, di atas tampak langit masih kelabu.

Maklum, hujan belum benar-benar reda. Alias, tetesan air pun masih menggelayuti helm yang saya pakai.

Saya pun istirahat sejenak sambil menyulut asap kehidupan ditemani segelas kopi hitam. Dari sisi jalan tampak berjejer spanduk, baliho, dan billboard peserta pilpres 2024.

Termasuk, Prabowo-Gibran yang sangat mendominasi. Kalau saya tidak salah, ada tujuh billboard pasangan capres-cawapres nomor urut dua itu sepanjang Jalan Warung Jati Barat-Buncit Raya-Mampang Prapatan Raya.

Itu belum termasuk spanduk, baliho, atau poster yang ditempel di pohon dan tiang listrik. Tentu, saya ga hitung. 

Yang pasti, alat peraga kampanye Prabowo-Gibran paling banyak dibanding Ganjar-Mahfud MD dan Anies-Muhaimin Iskandar. (Baca: 9 Naga dan 3 Capres)

Nah, dibanding dua capres tersebut, APK Prabowo-Gibran ini paling bervariasi. Mulai dari pose hingga penggunaan teknologi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan.

Dalam beberapa gambar yang saya amati, tampak Prabowo-Gibran mengenakan kemeja biru. Berpadu dengan dasi kupu-kupu berwarna merah yang ikonik.

Sungguh, keren banget. Gemoynya dapat.

^_^

Wajar jika banyak anak muda yang mengidolakan Prabowo. Apalagi, keberadaan Gibran sebagai cawapres yang masih 36 tahun seolah jadi representasi generasi muda.

Terbukti, di media sosial, seperti facebook, instagram, twitter, youtube, hingga tiktok, pasangan nomor urut dua itu kerap trending. Gemoy plus muda bersatu.

:)

Hanya, memilih presiden dan wakil presiden, tidak cukup dengan gimmick. Rekam jejak wajib dikuliti.

Sebagai penggemar Prabowo, tentu saya sudah tahu masa lalunya. Berlumuran darah terkait penculikan aktivis jelang reformasi. 

Pun demikian dengan Gibran yang terkesan nepotisme. Kendati, ada sanggahan yang memilih nanti rakyat.

Nanti...

Namun, kita harus kritis. Jadi penggemar bukan berarti sebagai kerbau yang dicocok hidungnya.

Bagaimana dengan rekam jejak dua pasangan lain? Ya, 11/12.

Alias, serupa tapi tak sama.

Ganjar identik sebagai petugas partai. Belum lagi dengan insiden Wadas dan batalnya Piala Dunia U-20

Mahfud kerap inkonsistensi. Sebagai  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) adakalanya melempar isu di luar kewenangan.

Anies? Gubernur pilihan saya. He he he.

Jakarta di bawah kepemimpinan Anies cukup baik. Namun, masih jauh di bawah ekspekatasi saya, khususnya dalam penanganan banjir dan macet.

Muhaimin? Cocok jadi pemimpin dalam beberapa tahun ke depan. 

Gayanya luwes. Paling asyik diantara lima peserta capres-cawepres 2024.

Hanya, Cak Imin terkendala isu terkait pelengseran Gusdur di Partai Kebangsaan Bangsa (PKB). Noktah ini yang sangat mengganjal. 

Khususnya, pencinta Gusdur. Cak Imin ini menurut saya, oportunis. Jika diibaratkan pesepak bola ya, Filippo Inzaghi.

Konsklusinya terkait capres-cawapres 2024 ya tergantung selera. Jika saya yang sudah ikut nyoblos sejak 2014, tentu punya pilihan sendiri.

Nah, bagi generasi milenial yang baru kali pertama kali ikut pilpres, wajib menyimak berbagai rekam jejak dari sang calon. Jangan percaya dengan gimmick di medsos. 

Pasalnya, itu sudah dipoles sedemikian rupa. Harus kritis dalam menentukan pilihan.

Sebab, itu akan menentukan nasib Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Selanjutnya, siapa pun nanti yang terpilih, baik calon nomor urut 1, 2, dan 3, itu adalah Presiden Indonesia.***

*      *      *

- Jakarta, 11 Desember 2023

*      *      *

Artikel Sebelumnya:







Artikel Selanjutnya:

- Prabowo Presiden 2024, Ganjar Mendagri, Anies Menlu, dan AHY Menhan (Bumi 666)

- (What If) Prabowo Kalah Lagi







Jumat, 17 November 2023

Sisi Lain Konser Coldplay: Mistik, Sedih, Haru, dan Bahagia

Sisi Lain Konser Coldplay: Mistik, Sedih, Haru, dan Bahagia

Ilustrasi ojol saat menunggu penumpang usai konser Blackpink (Foto: @roelly87)

SEBAGAI sosok yang tumbuh pada dekade 1990-an, tentu saya tak asing dengan Coldplay. Ya, band asal Inggris ini memang  didirikan pada 1996 silam. 

Debut albumnya, Parachutes, rilis pertengahan 2000. Saya mengenal Coldplay sejak MTV masih merajai industri hiburan kala itu bersama Majalah Hai. 

Namun, saya hanya sedikit tahu terkait band yang dipimpin Chris Martin tersebut. Maklum, genre Britpop bukanlah favorit saya yang sejak remaja menyukai rock, alternatif, metal, dan sejenis.

Hingga kini, paling hanya segelintir lagu yang saya kenal dari Coldplay. Misalnya, Shiver yang mengingatkan saya dengan lagu Dewa 19, Persembahan Dari Surga. 

Selanjutnya, Yellow, Don't Panic, In My Place, Fix You, dan Viva La Vida. Udah, itu aja. Ga nyampe 10 lagu.

Bahkan, yang terakhir itu sempat saya kira lagu Ricky Martin yang jadi OST World Cup 1998: La Copa de la Vida.

He he he.

Beda dengan Guns N' Roses yang bisa dibilang khatam dari album debut hingga kini. Maklum, dalam pustaka musik saya, era 1990-an diwarnai "Big Six".

Selain GNR, ada Nirvana, Metallica, Bon Jovi, Red Hot Chili Peppers, dan U2.

Coldplay? Ada di urutan sekian dalam daftar saya. Bahkan, ga masuk 50 besar. 

Di antaranya, Muse, Oasis, Radiohead, System of a Down, Rage Against the Machine, Limp Bizkit, Korn, Linkin Park, Slipknot, hingga Creed.

Ya, namanya juga selera. Subyektif.

Meski begitu, saya tetap mengakui Coldplay sebagai salah satu band terbesar sejak pergantian milenium. Terdapat beberapa indikatornya, mulai dari penjualan album yang mencapai jutaan copy, penghargaan (7 Grammy), hingga penggemar.

Termasuk, di Indonesia yang sukses menuntaskan dahaga lewat konser bertajuk Music of the Spheres World Tour di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), 15 November 2023.

Saya tentu enggan ketinggalan untuk menghadirinya. Namun, bukan jadi penonton, mengingat harga tiketnya yang di luar batas kemampuan saya. 

Melainkan, sebagai ojek online (ojol) yang mengantarkan penumpang. Ya, sama seperti konser-konser artis luar lainnya, saya selalu hadir. Mulai dari Blackpink, Arctic Monkeys, Slipknot, hingga SM Town.

*       *       *

MAYORITAS penumpang yang juga sebagai penonton konser mengacungkan jempol terkait aksi Coldplay. Demikian pengalaman saya saat berbincang dengan 14 customer disela-sela perjalanan.

Pertanyaannya, sebagai penonton, apa kesan Anda terkait aksi Coldplay?

11: Keren banget (78%)
1: Keren (8%)
2: B aja (14%)
0: Jelek

Btw, saya mengajukan pertanyaan ini fakta. Murni sebagai bloger. Tanpa ada tendensi dengan pihak mana pun. 

Meski, saya pantau di media sosial, khususnya twitter, ada kericuhan di beberapa pintu masuk. Hanya, saya tidak lihat langsung. 

Sebab, ojek online harus nunggu penumpang di luar kawasan GBK yang tidak bisa masuk. Itu meliputi di seberang TVRI, FX, Fairmont, JCC, hingga halte MRT Istora Mandiri.

Selain itu, minusnya konser berlangsung pada hari kerja. Jadi, sejak siang, jalanan di pusat kota sudah macet.

Puncaknya, sore yang bertepatan jam pulang kerja. Makin merayap.

Saya aja nganter dari kawasan Bendungan Hilir, Tanah Abang, Menteng, yang biasanya kurang dari 15 menit, bisa 1 jam! Khususnya di kolong Jembatan Semanggi yang benar-benar ga gerak!

Berbeda dengan konser artis lain. Misalnya, Blackpink yang dua hari tapi pada Sabtu dan Minggu yang tidak bentrok dengan hari kerja.

"Untung ga hujan. Bagus kinerja panitia yang menyewa pawang hingga 'hujannya dimajukan'. Kalo ga, ya ambyar."

Demikian, celoteh penumpang X yang mengaku puas usai menyaksikan Chris berpantun ria. Sehari sebelumnya, Selasa (14/11) memang hujan yang bersamaan dengan pengundian nomor urut capres-cawapres.

Meski cocoklogi, tapi ya dalam setiap event memang tidak lepas dengan hal mistik. Dalam hal ini, melibatkan pawang hujan. 

Tidak hanya konser, bahkan dalam event sepak bola, MotoGP, hingga kampanye pun juga. Percaya ga percaya, tapi keterlibatan pawang hujan memang jadi salah satu elemen pendukung.

Pada saat yang sama, saya juga merasa geregetan saat mendengar pengakuan penumpang yang ditipu. Itu akibat beli tiket di luar official hingga menyebabkan kerugian jutaan.

"Gw ilang 3.5 juta, bang. Gw udah transfer jauh hari, dijanjiin COD pas H-2 hingga Hari-H, eh zonk," ujar remaja asal Serpong dengan menahan sedih.

"Gw datang bertiga dengan kawan yang sama-sama beli via jastip. Ditipu semua. Dua kawan gw akhirnya bisa masuk pas beli lagi yang 4.8 juta sama calo di depan loket. Sayangnya, duit gw ga cukup. Gw cuma megang 2 juta..."

Sebagai sesama manusia, saya sangat bersimpati dengan calon penonton yang ditipu. Hanya, ironisnya ini bukan kejadian yang pertama kali sepanjang 2023. 

Kadang, heran juga kenapa mereka memaksa untuk beli di luar official. Namun, tentu kita ga bisa menghakiminya.

Sebab, namanya penggemar, apa pun dilakukan. Termasuk, nabung sejak jauh-jauh hari kendati akhirnya malah zonk.

Ini jadi pelajaran bagi kita semua, mengingat ke depan bakal banyak artis luar yang konser. Agar, jika ingin membeli tiket secara resmi saja.

Bagaimana jika tidak kebagian saat "war"? Ya, terima saja. 

Itu tandanya belum rezeki. Ketimbang harus berisiko ditipu saat beli dari calo dan sebagainya.

Sekaligus, catatan bagi EO, promotor, dan pemerintah untuk meminimalisir penipuan. Agar, membatasi setiap "war tiket" secara online dengan cukup 1 pembelian per orang.

Tujuannya, tidak ada calo yang beli hingga maksimal empat tiket lalu dijual kembali. Mending kalo mahal itu benar, ini malah banyak menipu calon penonton!

*       *       *

"GIMANA, laris dagangannya?"

"Alhamdulillah, bang. Ini mau balik."

"Lha, belom bubaran. Masih berlangsung konsernya."

"Udah capek bang. Saya dari pagi keliling. Ga apa-apa, ini sisanya saya mau jual di online. Sekaligus ini juga kejar kereta yang terakhir."

Demikian percakapan saya dengan penumpang di Pintu 5 GBK. Customer itu bawa dua koper besar berisi dagangannya.

Mulai dari stiker, kaos, suvenir, gantungan kunci, hingga kipas. Sumpah, saya jadi merinding melihatnya.

Ini anak keren banget!

Mau capek-capek jualan meski masih muda yang sepantarannya di dalam asyik nonton konser. Bagi saya, gadis yang masih belia itu pintar memanfaatkan situasi.

"Bukan dagangan saya, bang. Aslinya punya kakak yang biasa dijual di marketplace. Kebetulan, pas Hari-H saya coba datang. Alhamdulillah, hasilnya lumayan."

Saya mengantarnya ke Stasiun Cawang menjelang pergantian hari. Dara tersebut akan melanjutkan naik kereta ke kediamannya di Bogor.

Sungguh, saya melihat wajahnya yang semringah meski terpancar sedikit lelah. Wajar, mengingat dari pagi menjajakan dagangan sambil kucing-kucingan di area GBK ini tidak mudah.

Salut!

Ya, kehadiran artis, baik dalam maupun luar negeri yang konser, turut menggerakkan ekonomi masyarakat. Selain penumpang tadi yang menjual pernak-pernik Coldplay, juga banyak pedagang yang menjajakan makanan dan minuman.

Selain itu ada sektor lainnya. Termasuk, saya dan ratusan ojol, ojek pangkalan (opang), taksi konvensional dan online, serta lainnya yang turut mendapat rezeki.*** 

*       *       *

- Jakarta, 17 November 2023

*       *       *

Artikel Terkait:

- https://www.roelly87.com/2023/03/blackpink-di-mata-ojol.html

- https://www.roelly87.com/2015/09/nostalgia-20-tahun-bon-jovi-konser-di.html

- https://www.roelly87.com/2020/12/ada-super-junior-di-balik-kehebohan.html

- https://www.roelly87.com/2015/08/kisah-klasik-dalam-konser-sheila-on-7.html

- https://www.roelly87.com/2015/07/20-tahun-tipe-x-sukses-meriahkan.html

- https://www.roelly87.com/2015/06/komitmen-slank-rela-tidak-dibayar-untuk.html



Jumat, 10 November 2023

Menara Kadin yang Memanusiakan Manusia

Menara Kadin yang Memanusiakan Manusia

foto: dokumentasi pribadi/@roelly87



JIKA enggan menghormati sesama karena perbedaan derajat atau status sosial yang jomplang, minimal bisa memanusiakan manusia.

Demikian adagium yang selalu saya pegang dalam keseharian. Termasuk, dalam mencari nafkah sebagai ojek online (ojol). 

Ya, saat mengantar penumpang, makanan, atau barang, adakalanya saya menerima perlakuan aneh-aneh dari customer. Mulai dari sok ngebossy, pandangan sebelah mata, diskriminasi, hingga perlakuan fisik yang menjurus.

Namun, ya namanya juga ojol. Itu semua jadi santapan sehari-hari. Ya, NBBC! Alias, No Baper-Baper Club.

Suka jalanin, ga suka ya tetap jalanin. Mau gimana lagi, namanya juga orderan diberi sistem secara random.

Demikian yang saya alami sejak jadi ojol pada 2019 silam. Hingga kini, sudah ada lima aplikasi, termasuk kurir online (kurol) yang berarti khusus antar barang (paket) atau makanan. 

Dimulai dari Gojek, Shopee, Indriver, dan Maxim. Untuk Lalamove, jarang saya gunakan. Sementara, Traveloka Eats sudah almarhum sejak Oktober 2022 akibat gagal bersaing dalam bisnis antarmakanan.

*        *        *

"SILAKAN masuk ke dalam aja pak. Ada parkiran khusus ojol. Mau jemput penumpang atau antar barang?"

"Nganter pak."

"Ya, di samping pos security ya. Nanti langsung masuk ke lobi untuk tukar identitas. Oh ya, mohon jaket ojolnya dibalik ya."

"Siap pak. Terima kasih."

Obrolan hangat dari salah satu petugas keamanan di Menara Kadin Indonesia, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (30/10).

Saat itu, saya hendak mengantar paket aplikasi Shopee dari Mangga Dua, Jakarta Utara. Sebelumnya, saya sudah chat lebih dulu untuk menanyakan apakah ojol atau kurol boleh masuk lobi di lantai X.

Maklum, ada beberapa gedung yang "mengharamkan" ojol dan kurol masuk atau naik ke lantai tertentu. Biasanya, dititip di resepsionis atau customer ambil sendiri.

Bisa juga boleh naik ke lobi di lantai sekian, tapi ojol harus melewati lift barang. Alias, bukan lift utama. 

Diskriminasi? Yes!

Tapi, ya sebagai tamu, saya harus menghormati aturan yang dibuat tuan rumah. Bagaimana pun, saya selalu memegang teguh adagium "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".

Itu yang pernah saya alami saat pengantaran di gedung kawasan Sudirman. Naik lift barang yang lokasinya terpencil bersama karyawan yang sedang mengantar barang berdimensi besar lewat troli. 

Diskriminasi semacam itu sering saya alami di lingkup lainnya. Misal, saat mengantar makanan di Rumah Susun Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. 

Ketika itu, memang ada lift. Namun, khusus penghuni seperti peringatan yang tertera di kertas yang ditempel di depan lift. Untuk ojol atau kurir harus naik tangga. 

Bangsat! Ingin berkata halus, tapi ga mungkin. Secara, pengelola atau manajemen rumah susun benar-benar tidak memanusiakan manusia. 

Hal sama berlaku di beberapa kostan. Yaitu, di Kebon Jeruk, Mangga Besar, Jakarta Barat, dan Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Biar ga jadi fitnah atau kena pasal karet UU ITE, bukti tersebut sudah pernah saya post di IG (https://www.instagram.com/p/CsLIgujStxi/?igshid=MW13YThpaHd1bDViMw==).

Jika mengalami momen tidak enak dalam pengantaran di gedung, rumah susun, atau kostan tersebut, paling ke depannya saya blacklist. Alias, jika dapat order untuk pengantaran ke lokasi "tidak manusiawi" itu, saya ogah. 

Eittt... Ada pengecualian dong. Jika ongkosnya besar. Bisa dipertimbangkan. Ini kembali lagi ke mindset sebagai ojol yang tujuannya mencari uang. Ha ha ha.

*        *        *

SAAT di lobi lantai dasar, terdapat dua petugas yang menyambut dengan ramah. Pria dan wanita. Saya menukar KTP dengan id card yang berfungsi sebagai pass masuk. 

Liftnya? Di lift utama euy, alias bukan di lift barang! Keren nih gedung. Tepatnya, pengelola atau manajemennya.

Kalo eksterior atau interiornya, Menara Kadon Indonesia menurut saya bagus. Tapi ga spesial banget. 

Misalnya, dibandingkan dengan Menara BNI 46 di Sudirman yang memang sejak saya masih kanak-kanak hingga beberapa teman sudah punya anak, memang sangat ikonik. 

Naik ke lantai XX, saya diarahkan petugas ke lobo suatu perusahaan. Yupz, meski nama gedungnya Menara Kadin Indonesia, tapi juga disewakan ke berbagai perusahaan. 

Baik BUMN, BUMD, atau mungkin swasta. Entahlah, nama perusahaannya banyak, saya ga ada kepentingan buat hafalin.

Btw, terkait Kadin, saya jadi ingat satu hal. Yaitu, tentang rivalitas dua dari tiga tim pemenangan capres 2024 dipimpin ketuanya.

Yaitu, Arsjad Rasjid yang memimpin Kadin periode 2021-2025. Namun, sejak September lalu cuti karena jadi Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo sebagai presiden 2024.

Selanjutnya, Rosan Roeslani yang menakhodai Kadin 2015-2021. Kebetulan, saya pernah menyambangi kantornya di kawasan Adityawarman, Jakarta Selatan, pada 2013 silam. 

Ya, saat itu, Rosan bersama Erick Thohir dan Handy Soetedjo, baru mengakuisisi FC Internazionale dari Massimo Moratti. Sebagai Juventini alias fan Juventus, tentu saya bangga ada warga Indonesia yang jadi pemilik klub raksasa Italia. 

Maklum, tiga tahun sebelumnya, Inter sukses merajai Eropa berkat "Treble Winners" yang dilatih Jose Mourinho. 

Kembali ke Rosan, sekarang jadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Jadi, blantika politik menuju 2024 ini sangat menarik. 

Sebab, jadi ajang adu strategi antarketua Kadin: Arsjad versus Roslan.

Junior kontra senior di Kadin. 

Cocokologi lagi! Ha ha ha.

*        *        *

MENARA Kadin Indonesia ini salah satu dari segelintir gedung yang memanusiakan manusia. Khususnya, bagi ojol atau kurir. 

Demikian penilaian saya usai melakukan pengantarsn ke lantai XX. Mulai dari ramahnya security, petugas di lobi, akses lift yang tidak diskriminasi, hingga parkir gratis! 

Jika bisa melakukan penilaian layaknya di layanan ojol atau olshop, tentu saya kasih BINTANG LIMA! 

Maklum, hanya segelintir gedung yang sangat memanusiakan manusia. Misalnya, Centennial Tower dan The Tower di Setiabudi, Jakarta Selatan. Untuk gedung pemerintahan, ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Agus Salim, Jakarta Pusat, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Jakarta Selatan.

Bagaimana dengan sisanya? Nihil!

Setidaknya, untuk saat ini berdasarkan pengalaman saya sebagai ojol untuk antar atau jemput penumpang, barang, dan makanan. Mayoritas, gedung milik pemerintah itu bak menara gading. 

Alias, tidak ramah untuk profesi saya. Contoh nyata, pada 12 Oktober lalu ketika saya masuk ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat. Ketika itu, saya dikenakan tarif parkir Rp 4.000!

Motor lewat empat menit kena empat rebu?

Ya Tuhan, ingin berkata kasar tapi inget ini Mapolda. Markas Polisi: Urusannya bisa panjang. UU ITE menanti cuy!

Sebelumnya, keluhan ini sudah saya sampaikan di IG (https://www.instagram.com/p/CySufvYSaeD/?igshid=MTFrbWxlMXBjdzB4cQ==)

Ini rekor termahal saya dalam sejarah parkir motor. Baik saat ngojol maupun di luarnya. 

Maklum, rata-rata mal mewah seperti Plaza Indonesia, Grand Indonesia, Pondok Indah Mal, hingga Plaza Senayan, motor hanya dikenakan Rp 2.000 per jam. 

Saya jadi yakin, mahalnya parkir turut membuat masyarakat malas laporan ke polisi. Apalagi, jika mobil yang masuk, mungkin per jam dikenakan  Rp 10.000!

Selain Mapolda Metro Jaya, banyak lagi gedung pemerintah yang tidak ramah untuk ojol. Yaitu, tidak menyediakan space saat menjemput penumpang atau antar barang hingga menyebabkan macet.

Beberapa di antaranya:

- Istana Negara/Sekretariat Negara: Ojol harus nunggu di luar, di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat.

- Gedung PGN: 11/12 (Jalan KH. Zainul Arifin, Jakarta Barat)

- Gedung Bank Indonesia: 11/12 (Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat)

- Kantor Pusat Bank DKI: 11/12 (Jalan Suryopranoto, Jakarta Pusat)

- Bursa Efek Indonesia: 11/12 (Jalan Sudirman, Jakarta Selatan)

- Stasiun MRT Benhil: 11/12 (Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, kerap menimbulkan macet karena lokasinya di pertigaan fly over Doktir Satrio)

*        *        *

SEBAGAI ojol, saya berharap, ke depannya semua gedung pemerintah bisa lebih ramah. Selain tidak membebani biaya parkir, juga menyediakan space untuk antar atau jemput penumpang.

Maklum, tidak semua karyawan memiliki mobil. Yang pangkat tinggi atau sudah eselon sekian, enak, dapat fasilitas roda empat. 

Sementara, yang karyawan biasa? Mengandalkan transportasi umum atau ojol. 

Untuk gedung yang dikelola swasta, memang wajar. Selain Centennial dan The Tower, saya jarang melihat ada yang lebih manusiawi. 

Termasuk, di Mega Kuningan atau SCBD, yang enggan memberi space untuk antar jemput penumpang. Bahkan, mereka justru mempersilakan karyawannya menunggu di pinggir jalan. 

Padahal, mereka masih memiliki lahan kosong. Namun, sepertinya merasa rugi.

Jadi anomali dengan kegagahan gedung yang dilihat dari luar. Namun, di depannya berjejer motor ojol untuk jemput penumpang atau antar paket.***

*        *        *

- Jakarta, 10 November 2023



Selasa, 07 November 2023

Prabowo dan Kedaulatan Selera

Prabowo dan Kedaulatan Selera

ilustrasi buku @roelly87


"WOOOOI, anteng banget bro. Main slot lo ya?"

"Ebuset. Gw lagi mantengin pertandingan AR Roma versus Lecce. Seru banget. Bener-bener detik terakhir menangnya."

"Lukaku ngegolin lagi?"

"Yongkru. Tadi sempat error dia, penalti ga masuk. Untung pas injury time berbalik jadi pahlawan."

"Gokil emang tuh 'Big Rom'. Efek Mourinho bikin doi gacor. Btw, lo kan Juventini, ngapa mantengin Roma. Udah murtad ye?"

"Asem! Gw dari 94 udah Juventini. Nyimak pertandingan Roma karena ada Mourinho sama Dybala aja."

"Ooh... Kirain, lo udah ninggalin 'Si Nyonya Tua' ke pelukan 'Serigala Ibu Kota'."

"Dih... Ogah."

"Ha ha ha."

Demikian percakapan antara gw dan Kemumaki di salah satu kedai kopi di Grey District, Jakarta. Tempat nongkrong yang strategis bagi warga ibu kota dengan harga makanan dan minuman murah meriah.

Selain gw dan Kemumaki, ada Dekisugi dan Kuririn juga yang asyik mengganyang makanannya masing-masing. Kami berempat memang kerap nongki-nongki di kedai ini sambil membicarakan banyak hal.

Mulai dari sepak bola, musik, hingga politik. Apalagi, jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, obrolan kami kian seru.

Kemumaki merupakan die hard-nya Ganjar Pranowo. Sementara, Dekisugi sangat militan dengan Anies Baswedan. Demikian dengan Kuririn yang sejak lama jadi simpatisan Prabowo Subianto.

Gw? Sekadar penggemar Prabowo. Alias, makhluk bebas yang tidak punya kepentingan apa pun terkait tiga capres tersebut.

"All, gw cabut dulu ya," kata Kuririn yang bersiap memakai sepatu.

"Kemane lo? Masih sore gini," Kemumaki menimpali.

"Jangan mampir ke 'warung sebelah' ya," gurau Dekisugi.

"Gelo. Dia ga mampir, tapi udah punya kartu langganan," gw menambahkan.

"Anjir lo pada. Kalian kira, gw cowo apaan," tutur Kuririn. "Dah, ah. Gw cabut. Pagi mau ke Bandung, 'ada proyek' biasa."

"Bawa oleh-oleh ya. Sekalian bayarin pesanan kita-kita ini."

"Nitip 'peuyeum'."

"Tanyain tipis-tipis ya, 2024, Jabar siapa yang maju."

"Au... Ah gelap!" Kuririn ketawa sambil mengacungkan dua jari tengahnya usai membayar pesanan kami ke kasir.

Obrolan khas bapak-bapak memang jadi santapan sehari-hari bagi para penghuni kedai kopi ini. Maklum, pengunjungnya heterogen. Termasuk, profesi dari yang serabutan, calo, pebisnis, politikus, akademisi, hingga penegak hukum.

Apalagi, lokasinya di Grey District yang sesuai dengan penamaannya: Abu-abu.

Ya, berbeda dengan Red District yang juga udah lama gw kenal. Di kawasan itu, semua sudah jelas. Mayoritas penghuninya terbagi antara hitam dan putih. 

Ada garis batas antara kawasan hitam yang dipenuhi pelacuran, perjudian, hingga narkoboy dengan warga. Ada yang tidak percaya Tuhan. Namun, di sebelahnya banyak yang sangat taat dengan Tuhan.

Sementara, Grey District ini semua jadi satu. Bahkan, mungkin penghuninya bisa merasa jadi Tuhan. 

Itu karena hitam dan putih bercampur. Tidak ada yang benar-benar jahanam. Pada saat yang sama, enggan jadi orang suci.

Grey District ini memang sangat unik. Sudah lama disorot banyak pihak. Baik ulasan media arus utama atau media sosial. 

Namun, sejauh ini penghuninya kompak. Jika ada orang luar yang mengusik, mereka langsung bertindak: Hantam dulu, bicara kemudian.

Konon katanya, mereka sudah bersikap seperti itu sejak zaman penjajahan. Penghuni di sana kerap merepotkan Belanda, Jepang, Inggris, dan para pengkhianat bangsa. 

Bahkan, jadi inisiator bersama para pahlawan dalam mempertahankan Tanah Air saat perang kemerdekaan, masa bersiap, gerakan September, hingga 1998 silam.

Salah satu petinggi aparat yang berwenang di negeri ini pun sudah mahfum. Misalnya, isu-isu minor yang berkaitan dengan dunia bawah tanah.

"Ya, kami TTPPTT aja lah. Yang penting, warganya sangat berkontribusi," ujarnya dalam suatu FGD. Alias, tahu tapi pura-pura tidak tahu.

Bisa dipahami mengingat Grey Area ini penghuninya sangat keras. Bahkan, mereka menolak tegas kehadiran ormas-ormas menjijikan yang kerjanya memeras rakyat jelata. 

Dibuktikan dengan tidak adanya spanduk, baliho, dan sebagainya. Termasuk, bebas parkir liar di setiap ruko atau restoran.

Sementara, untuk pemilu, baik pilpres maupun partai politik, mereka menyambut dengan senang hati. Termasuk, 2024 nanti yang terbagi dengan tiga kubu.

*       *       *

"BRO, lo gabung Kuririn yang sekarang udah masuk Ring tujuhnya Prabowo," teriak Dekisugi yang suaranya terdengar sayup-sayup akibat bertepatan dengan lewatnya kereta api.

"Ogah. Untuk saat ini, masih pengen bebas."

"Bagus bro, ga usah ikut-ikutan. Dekisugi aja 2019 barengan Kuririn. Eh sekarang pecah kongsi. He he he," Kemumaki, menimpali.

"Biasa kawan, politik itu dinamis. Bisa jadi di putaran kedua, jagoan lo butuh suara dari Prabowo. Kalo Amin kan udah pasti lolos putaran pertama."

"Idih... Yakin bener. Survei aja mentok 20 persen."

"Ya, liat aja nanti pas valentine. Ya kan bro?" ujar Dekisugi meminta dukungan ke gw. Meski sambil ngobrol, tapi mulutnya aktif mengganyang mie instan campur nasi putih dan telur dadar.

"Ya, kalo gw sih, siapa aja yang menang bodo amat. Gw ke Prabowo sebatas penggemar. Kalo menang bagus, kalah pun ga masalah," jawab gw, sok diplomatis.

"Anjir, jawaban lo sok politikus. Wkwkwkw."

"Tapi ini kita ngobrol aja ya. Kalo Kuririn ga usah dibahas, soalnya udah masuk Rute Solo, alias bukan 'jalur H atau D'. Nah, lo ini kan ibaratnya swing voters, alias sekadar penggemar Prabowo tapi belum tentu nyoblosnya," Kemumaki, melanjutkan.

"Sementara, gw udah jelas. Ganjar itu punya prestasi usai 10 tahun jadi Gubernur Jawa Tengah. Begitu juga jagoan Dekisugi yang pengalaman mimpin Jakarta 2017-2022. Nah, pengalaman Prabowo baru sebatas Menteri Pertahanan aja. Bedain sama waktu tentara ya. Itu juga terakhir 1998 silam. Apalagi, doi kan penculik. Aneh sih, kalo gw jadi lo. Nah, pertanyaan gw, apa alasan lo milih Prabowo?"

Pertanyaan Kemumaki membuat Dekisugi yang sebelumnya lahap mengunyah mie langsung serius menatap gw. Keduanya, seperti para hakim yang memberi vonis hukuman mati dalam persidangan.

"Woi, pertanyaan lo serem banget, anjir. Gw berasa jadi terpidana. Ha ha ha."

"Tapi gw setuju sama Kemumaki nih bro. Jadi pinisirin denger jawaban lo," kata Dekisugi sambil meletakkan sumpit ke atas mangkuk dengan khidmat.

"Minta rokok lo Kem, asem. Sebats dulu," lanjutnya. "Anjir, ini rokok apaan. Mereknya aneh. Seumur-umur jadi 'ahli hisap' gw baru liat nih rokok."

"Udah pake aja. Sejak Corona, emang rokok yang beredar aneh-aneh. Gw cari yang bukan merek terkenal biar murah tapi tetap harus ada cukainya supaya pemerintah dapat pemasukan," tutur Kemumaki.

"Sama bjir. Gw juga ganti rokok dari merek satu huruf ke yang ga jelas ini," kata gw terkekeh menunjukkan sebungkus rokok berwarna hitam.

"Rokok kalian aneh ya. Padahal mau pilpres, momen cuan nih," Dekisugi menjawab seraya menyalakan rokok dengan korek kayu. 

Makhluk satu ini memang konservatif banget. Di saat korek gas atau cricket sudah lumrah, eh doi tetap setia dengan korek kayu yang kalau dinyalakan harus digesek lebih dulu.

"Eh bro, bener kata Kemumaki. Gw pinisirin sama jawaban lo."

"Anjay, dibahas lagi."

"Yoi, bro. Kalo pilihan gw, Ganjar, dan Anies sebagai jagoan Dekisugi udah jelas. Nah, lo gimana?"

"Ga gimana-gimana Kem. Ini soal selera aja. Gw menggemari Prabowo dari perbawanya sejak 2008. Udah itu aja."

"Prestasinya yang nol? Dipecat dari militer?" Kemumaki, menimpali.

"Capres abadi?" tambah Dekisugi, sarkas.

"Woi... Kalian berdua detail amat. Kalo Prabowo ini soal kedaulatan selera. Subyektif. Sama kayak penggemar fotografi, ada yang dari dulu nyaman dengan Nikon atau Canon. Atau di sepak bola, Kota Manchester terbelah jadi merah dan biru.

Begitu juga di dunia kuliner. Misalnya, lo pada doyan bubur diaduk atau ga diaduk? Kan kembali ke selera masing-masing."

"Gw diaduk sih," jawab Kemumaki.

"Gw mah ga diaduk. Geli anjir, kalo makan bubur diaduk gitu," Dekisugi, menimpali.

"Kalo gw mah bebas. Yang penting ga pake seledri sama kacang," ucap gw.

"Si oneng, jadi bahas makanan. Dah lanjut, pertanyaan gw tadi," kata Kemumaki.

"He he he. Apa ya? Oh soal kedaulatan selera? Ya itu. Meski banyak stigma negatif tentang Prabowo, tapi kalo udah suka ya mau gimana lagi. Ya, sekali lagi. Sekadar menggemari. Ga harus mati-matian membela doi. Sama kayak gw sebagai Juventini. Kalo Juve menang, bagus. Andai kalah, yo wis. Mau gimana lagi. Yang penting, gw tetao cinta Juve sejak 1994.

Terus, ke kalian ini dan Kuririn yang aktif sebagai simpatisan. Emang kalo Ganjar atau Anies menang, lo berdua bakal dilirik jadi menteri? Ga, kan. Jadi, ya kita harus punya garis batas. Jangan berlebihan dalam menyukai sesuatu."

Kemumaki menghisap dalam-dalam rokoknya usai mendengar penuturan gw. Pada saat yang sama, Dekisugi asyik memainkan sumpit layaknya stik drum yang diadu ke mangkuk.

"Dah ah, pembahasan politik bikin gw laper. Mau nambah seblak nih di seberang."

"Bro, gw nitip satu ya."

"Anjir, lo tadi udah makan mie pake nasi sama telor masih kurang aja," timpal Kemumaki.

"Kedaulatan selera, Kem. Tadi kan makan, kalo seblak ini ngemil."

"Gw nungguin uduk Mpok Gayong aja subuh nanti."

"Ha... Ha... Ha..."***

*       *       *

- Jakarta, 7 November 2023

Artikel Sebelumnya:







Artikel Selanjutnya:

- Prabowo Presiden 2024, Ganjar Mendagri, Anies Menlu, dan AHY Menhan (Bumi 666)

- (What If) Prabowo Kalah Lagi

Minggu, 29 Oktober 2023

Setelah 15 Tahun

Setelah 15 Tahun
@roelly87


SETELAH belasan purnama, akhirnya saya bisa menghadiri lagi acara Kompasiana. Tepatnya, dalam event bertajuk Syukuran Ulang Tahun dan Champions Meetup yang diselenggarakan di O2 Corner Co-Working Space, Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Sabtu (28/10).

Ini merupakan acara Kompasiana pertama yang saya ikuti sejak Kompasianival 2019. Saat itu, saya turut menghadiri event akbar terakhir sebelum pandemi ini yang diselenggarakan di One Belpark Mall, Jakarta Selatan.

Hanya, memang setelah itu saya sempat hiatus. Bahkan, terakhir nulis aja, Agustus 2018 silam.

Alias, lebih dari lima tahun lalu!

Hingga, akhirnya saya kembali nulis pada pertengahan bulan ini. Namun, itu juga cuma mindahin dari blog pribadi.

Bahkan, saat memposting artikel kedua -masih dari blog pribadi-, sempat dapat "Surat Cinta" dari admin. Alias, diberi peringatan akibat disangka tulisan saya hasil dari copas konten lain yang berujung dihapus.

Sontak, saya kaget. Maklum, seumur-umur ngeblog, saya belum pernah jiplak artikel orang secara keseluruhan. Kalo ngutip pun disertakan sumbernya.

Saya pun langsung balas chat tersebut sambil menjelaskan itu copas dari blog pribadi. Sayangnya, hanya dijawab pesan otomatis dari sistem.

Hmm...

Plan kedua. Saya inget ada beberapa admin yang saya kenal di IG. 

Langsung, saya DM. Sebelumnya, saya tanya dulu, apakah S&K masih membolehkan copas dari blog pribadi. 

Dijawabnya, boleh. Okok. Ga lama, artikelnya nongol lagi. Yuppiii!

Beberapa hari berselang, saya di-inbox salah satu admin untuk menghadiri acara Kompasiana. Awalnya, saya kirain Kompasianival. 

Namun, dijawabnya bukan. Melainkan, syukuran HUT Kompasiana ke-15.

Ya, Kompasiana resmi mengudara pada 22 Oktober 2008. Berselang hampir 24 bulan, saya pun gabung. 

Alias, 11 Oktober 2010 silam. Udah lumayan lama juga!

*       *       *

SIANG itu, suhu udara di jembatan yang menghubungkan Provinsi Banten dengan DKI Jakarta tampak panas. Teriknya, nampol.

Maklum, hanya seperlemparan batu itu laut. Ditambah, tengah hari bolong. Lengkap sudah.

Memang, sebagai ojek online (ojol), panas dan macet udah jadi santapan sehari-hari. Namun, teriknya di pinggir laut sungguh sangat menyengat ketimbang di Jakarta.

Saya pun melajukan sepeda motor dengan konstan.

Kebetulan, sejak pagi saya sudah ada di Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Tepatnya, usai mengantar barang di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. 

Hanya, hingga sepernanakan nasi, orderan arah Jakarta yang saya tunggu tak kunjung tiba. Kendati, saya sudah menyalakan lima aplikasi ojol/kurir online sekaligus.

Saya lirik jam, sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB lewat. Padahal, acara syukuran Kompasiana berlangsung pukul 15.30 WIB.

Memang sih, dari PIK 2 ke Palmerah yang berjarak 30 km tipis-tipis ini bisa ditempuh sekitar 1-1.5 jam. Apalagi, Sabtu ini jalanan ibu kota ga terlalu macet dibanding hari kerja.

Namun, saya masih galau. Sebab, sebagai ojol, "balik kosongan" itu gimana ya. 

Alhasil, saya pun masih nunggu. Maksimal, sebelum pukul 15.00 WIB.

Sebelumnya, memang sudah ada orderan masuk. Sayangnya, bukan arah Palmerah atau sekitarnya.

Melainkan, ke Cisauk, Serpong, dan Balaraja, yang tentu saya tolak. Maklum, malah tambah jauh dari tujuan.

Beruntung, sekitar pukul 14.00 WIB lewat, salah satu dari lima aplikasi bunyi. Yaitu, kirim barang ke Tanjung Duren. 

Aman. Secara, dari Tandur ke Palmerah tinggal lurus. 

Sang empunya mengabari, barangnya ini berisi sparepart kendaraan. Setelah saya cek, ga masalah. Dimensinya masih terjangkau untuk dibawa dengan motor meski beratnya lumayan.

Bisa dipahami mengingat saya sudah sering membawa barang yang melebihi dimensi. Apalagi, saat awal pandemi ketika ojol dilarang mengangkut penumpang yang membuat saya harus adaptif demi dapur ngebul.

Mulai dari ban mobil, guci, akuarium, hingga kulkas dua pintu. Kulkas? 

Yoi. Ga masalah, secara sudah diikat dengan rapi oleh karyawan tokonya. Jadi, saya tinggal antar saja. 

Paling-paling keringet dingin kalo lupa isi bensin. Ha ha ha.

Namun, saya punya satu pantangan hingga kini. Yaitu, mengantar kue ulang tahun. 

Sumpah, itu sangat mengerikan. Pertama dan terakhir saya ambil orderan itu pada 2019 lalu saat masih cupu jadi ojol.

Sangat merepotkan karena harus ditenteng dengan satu tangan. Pasalnya, jika diletakkan di jok belakang riskan penyok.

Maklum, namanya kue ulang tahun ya harus sempurna. Saya ingat keluhan salah satu rekan ojol yang harus ganti rugi sebesar Rp 400 ribu lebih akibat kue ulang tahunnya gompal dikit di sudutnya. Itu yang bikin saya was-was.

Selain kue ulang tahun, saya ga punya pantangan lagi dalam mengantar barang, makanan, hingga penumpang. Termasuk, jika tujuannya aneh-aneh.

Misalnya, yang hendak Open BO. Saya ga peduli selama tidak melanggar 3 hal: Hukum, moral, dan agama. 

Tugas saya sebagai ojol sebatas mengantar. Baik itu ke tempat prostitusi atau rumah ibadah seperti pengajian, tabligh akbar, dan misa gereja, bagi saya ga masalah.

Hanya, memang ada garis batasnya.

Misal, saya enggan mengantar penumpang ke tempat rawan narkoboy atau aborsi. Ngeri jadi saksi, euy! 

Juga jika harus kirim barang ke penjara yang memang dalam beberapa aplikasi sudah ada larangan dalam ketentuannya. 

*       *       *

AKHIRNYA, setelah lebih dari seperminuman teh, saya pun tiba di Gedung Kompas. Namun, acaranya sudah berlangsung dari tadi. 

Alias, saya telat!

Tapi, ga apa-apa. Yang penting sudah usaha. 

Sambil menyalami beberapa rekan Kompasianer diiringi menyeruput es jeruk yang tersedia, saya mendengar paparan dari tiga perwakilan Kompasiana. Mulai dari Widha Karina, Kevin Legion, dan Nurulloh.

Eh, di kursi depan, ada dua sosok yang familiar. Yaitu, Pepih Nugraha yang menginiasi Kompasiana dan Iskandar Zulkarnaen.

Saat masih aktif di Kompasiana pada 2011-2017, saya sering bertemu mereka. Bisa dibilang, keduanya -bersama beberapa rekan Kompasianer lain- termasuk mentor saya dalam menulis. 

Saya memang sudah punya blog pribadi sejak 2009. Namun, saat itu masih random. 

Alias, ga jelas baik dalam kaidah bahasa, kosakata, maupun inti penyampaian. Ha ha ha.

Maklum, ketika itu saya sekadar menyalurkan hobi. Ada yang baca ok, ga ada juga ok.

Hingga, saya gabung di Kompasiana dan belajar banyak tentang menulis bersama rekan-rekan Kompasianer lainnya. Baik itu diselenggarakan online maupun offline, seperti Kompasiana Blogshop di Djakarta Teather pada November 2011. 

Tak heran jika 11 tahun silam, saya menyebut, Kompasiana sebagai Kawah Candradimuka. Ya, selain saya, juga banyak Kompasianer lainnya yang sama-sama belajar nulis dari Kompasiana.

Saya aja kaget pas ngecek artikel di Kompasiana sudah mencapai ratusan. Bahkan, dulu kalo ada event menulis, termasuk fiksi, bisa posting setiap hari.

*       *       *

HANYA, tiada pesta yang tak berakhir. Adakalanya, timbul rasa jenuh. Itu manusiawi. 

Termasuk, saya yang sejak 2018 sudah mulai jarang aktif di Kompasiana, baik secara offline maupun online. Meski, pada saat yang sama saya tetap update blog pribadi.

Padahal, saya sempat hadir di Kompasianival 2019 seperti yang tertera di awal artikel ini. Hanya, untuk mempostingnya, berat.

...dan...

Ditambah, tampilan Kompasiana seperti kurang bersahabat bagi pengguna ponsel. Keluhan ini yang sudah saya sampaikan kepada salah satu admin disela-sela syukuran.

Memang, jika buka di komputer atau laptop, masih normal. Namun, jika buka di ponsel, loadingnya lama dan tampilan aneh. 

Padahal, saya biasa menggunakan browser Google Chrome atau Opera Mini. UI-nya kurang responsif. 

Ditambah dengan setiap artikel yang harus dipecah hingga beberapa halaman. Saya aja kadang malas lihat artikel sendiri karena harus klik beberapa kali.

Mungkin, ini catatan sekaligus masukan dari saya kepada Kompasiana yang 22 Oktober 2024 genap dua windu. Semoga, semakin tambah usia tidak berada di menara gading.***

- Jakarta, 29 Oktober 2023

Artikel Sebelumnya: 

https://www.kompasiana.com/roelly87/550e4383813311842cbc62fd/satu-tahun-di-kompasiana-belajar-ngeblog-dan-ngeblog-sembari-belajar

https://www.kompasiana.com/roelly87/5518449a8133118c669dee5e/jose-mourinho-dua-tahun-di-kompasiana-dan-kawah-candradimuka

https://www.kompasiana.com/roelly87/552ac559f17e61703dd623dd/tiga-hattrick-dan-treble?page=all#section1

https://www.kompasiana.com/roelly87/5518b9b4a333118c10b6593d/kompasiana-berusia-empat-tahun-selanjutnya

https://www.kompasiana.com/roelly87/5800853b3eafbdc6128b4568/di-balik-kompasianival-2016?page=all