Pria Sejati Tidak Akan Pernah Tinggalkan Kekasihnya
Foto bersama Andrea Pirlo yang menjalani musim terakhirnya sebagai pemain Juventus saat tur di Indonesia 2014 |
BAGI saya, Liga Champions 2020/21 sudah selesai. Itu seiring dengan tersingkirnya Juventus dari babak 16 besar. Tepatnya, usai hanya menang 3-2 atas Porto di Juventus Stadium, Selasa (9/3) atau Rabu dini hari WIB.
Hasil tersebut tidak cukup bagi skuat asuhan Andrea Pirlo untuk melaju ke perempat final. Sebab, pada leg pertama di Estadio do Dragao (17/2), Juve takluk 1-2. Alhasil, I Bianconeri pun tersingkir akibat kalah agresivitas gol tandang.
Sekaligus, jadi momen terkelam bagi Cristiano Ronaldo. Maklum, megabintang asal Portugal ini menjalani musim ketiganya bersama Juve sejak direkrut dari Real Madrid pada 10 Juli 2018. Kehadirannya, sempat membuat asa fan La Vecchia Signora membumbung tinggi. Khususnya, saya pribadi.
Bisa dipahami mengingat Ronaldo datang dengan lima gelar Liga Champions. Tiga di antaranya diraih beruntun dengan Madrid pada 2015/16, 2016/17, dan 2017/18. Pada saat yang sama, Juve belum pernah meraih trofi Si Kuping Lebar sejak 1995/96.
Yaitu, saat masih diperkuat Alessandro Del Piero. Sejak saat itu, Juve lima kali melaju ke babak pamungkas pada 1996/97, 1997/98, 2002/03, 2014/15, dan 2016/17. Namun, seluruhnya berakhir dengan derai air mata.
Termasuk, empat tahun lalu di Millennium Stadium, Cardiff, Wales, ketika saya jadi saksi mata pada laga pamungkas yang berujung kekalahan 1-4 dari Madrid. Ketika itu, Ronaldo turut mencetak dua gol ke gawang Juve yang masih dijaga Gianluigi Buffon.
Wajar, jika berita CR7 berseragam I Bianconeri membuat antusias segenap fan Juve di kolong langit. Hanya, sepak bola merupakan olahraga tim. Dimainkan 11 orang berbeda. Alias, bukan permainan individu layaknya beladiri, bulu tangkis, hingga balap.
Alhasil, keberadaan Ronaldo saja tidak cukup. Pun demikian meski sudah ditangani Pirlo yang punya dua gelar Liga Champions saat masih jadi andalan AC Milan. Ya, faktor keberuntungan yang membuat mimpi Juve di ajang antarklub terelite Eropa tersebut masih jauh. Setidaknya, hingga kini.
* * *
PAGI ini, rinai menghiasi ibu kota. Memang, sejak semalam, tiada hentinya langit mencurahkan air demi membasahi marcapada. Sebagai ojek online (ojol), tentu hujan tidak memengaruhi aktivitas membelah jalan. Maklum, saya terbiasa menari di bawah badai. Jadi, rinai atau bahkan hujan deras pun tidak bakal menyurutkan langkah saya untuk mencari order.
Hanya, situasi berubah usai wasit Bjorn Kuipers meniup peluit panjang. Tepatnya, setelah perpanjangan waktu 2x15 menit dalam duel Juve kontra Porto yang saya saksikan secara streaming. Ya, sebagai Juventini, jelas saya tidak pernah ketinggalan menyaksikan pertandingan tim yang bermarkas di kota Turin tersebut.
Terutama, di Liga Champions. Untuk Serie A, hanya partai besar yang melibatkan Milan, FC Internazionale, AS Roma, Parma, Napoli, dan Lazio, yang jadi bagian dari Il Sette Magnifico.
Saya memang kerap meluangkan waktu demi melihat Juve secara streaming. Aplikasi ojol saya non aktifkan. Sebab, sulit fokus mengantar penumpang, makanan, atau barang, jika pada saat bersamaan Juve sedang bertanding. Itu mengapa, usai si Nyonya Besar hanya menang tipis 3-2 yang berujung kalah agresivitas gol tandang dari Porto membuat saya pun lunglai.
Sahutan kokok ayam yang menandakan aktivitas di kawasan selatan ibu kota sudah mulai kendati masih rinai. Usai menyaksikan lesunya wajah-wajah penggawa Juve, saya pun menyulut asap kehidupan ditemani segelas kopi hitam nan pahit yang cocok pada situasi saat ini.
Ya, Juve kembali tersingkir secara menyakitkan pada babak-babak awal sejak diperkuat Ronaldo. Pada 2018/19, mereka dieliminasi Ajax Amsterdam, agregat 2-3, usai imbang 1-1 di Johan Cruyff Arena dan takluk 1-2 di Turin. Musim lalu, I Bianconeri lagi-lagi kalah agresivitas tandang. Tepatnya, saat takluk 0-1 di markas Olympique Lyon dan hanya menang 2-1 di Juventus Stadium.
Wajar, jika kegagalan dalam tiga musim terakhir membuat Ronaldo jadi kambing hitam. Banyak fan, khususnya haters Juve menyindir keras CR7. Pun demikian dengan klub yang dipimpin Andrea Agnelli ini. Cap sebagai pecundang, bukan bermental juara, dan tim yang tidak punya DNA Liga Champions, hingga Badut Eropa pun tersemat kepada Juve.
"Lebih baik menunggu Milan dan Inter sebagai wakil Italia yang akan juara Liga Champions, ketimbang menantikan Juve," demikian berbagai komentar di media sosial usai I Bianconeri tersingkir.
* * *
"KENAPA harus Juve?"
"Ga salah, pilih tim?"
"Ketimbang Juve, mending duo Milan."
"Bla, bla, bla..."
Demikian berbagai pertanyaan dari beberapa teman yang dilontarkan sejak era 1990-an. Tepatnya, sejak kami masih kecil hingga kini kawan seangkatan sudah punya banyak anak kecil.
Mereka tahu, saya merupakan fan berat Juve. Tidak terlalu fanatik sih. Namun, nyaris setiap ada pertandingan besar di Serie A dan babak knock-out Liga Champions, saya selalu menyaksikan I Bianconeri.
Baik di layar kaca secara konvensional, smartphone, hingga langsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) ketika Juve melakoni pramusim di Indonesia pada 2014.
Bahkan, saya jadi saksi tragis kekalahan si Nyonya Besar dari Madrid pada laga pamungkas Liga Champions 2016/17 di Cardiff.
Namun, berbagai kegagalan di final turnamen antarklub terelite Eropa itu tidak menyurutkan hasrat saya sebagai Juventini. Ya, baik saat menang atau kalah, juara, runner-up, hingga degradasi pun, saya tetap fan I Bianconeri.
Sejak 1994 saya tetap antusias menyimak berita terkait rival sekota Torino FC ini. Mulai dari tabloid Bola, tabloid GO, tabloid Hai Soccer, majalah Liga Italia, majalah Sportif, hingga harian TopSkor.
Media yang disebut terakhir ini tempat saya bekerja pada 2012 hingga tahun lalu. Termasuk, berkesempatan secara eksklusif mewawancarai Pirlo, Claudio Marchisio, dan Giorgio Chiellini.
Bagi saya, Juve tetaplah Juve. Klub favorit dalam lebih dari seperempat abad. Kendati, dalam perjalanannya, turut berwarna. Selain kekalahan di Cardiff, momen kelam saya sebagai Juventini terkait final Liga Champions 2002/03 dan calciopoli 2006 yang berujung terjun bebas ke Serie B.
Saya pun teringat dengan komentar legendaris Del Piero yang memilih bertahan kendati harus tampil di kasta terbawah. "Un Vero Cavaliere Non Lascia Ma Una La Signora," seperti dikutip dari Corriere dello Sport dengan terjemahan bebas dalam bahasa Inggris, ''a true gentleman never leaves his lady".
Ya, Il Pinturicchio bahu-membahu dengan David Trezeguet, Pavel Nedved, Gianluigi Buffon, dan segelintir bintang yang rela mengangkat Juve dari Serie B di bawah tangan dingin Didier Deschamps.
Pada saat bersamaan, Zlatan Ibrahimovic memilih hengkang ke Inter, Fabio Cannavaro (Madrid), Lilian Thuram (Barcelona), dan banyak lagi.
Padahal, Del Piero ketika itu masih dalam periode emas. Beberapa hari sebelumnya sukses membawa tim nasional (timnas) Italia juara Piala Dunia 2006. Tawaran pun silih berganti dari raksasa Eropa, termasuk Madrid. Namun, bagi Del Piero jelas, Juve merupakan kekasihnya yang tidak akan pernah ditinggalkan.
Ya, Juve adalah Juve. Kegagalan di Liga Champions musim ini dan mungkin di Serie A akibat inkonsistensi, bisa jadi pijakan ke depan. Saya pribadi tidak berharap Ronaldo akan bertahan mengingat kontraknya tersisa setahun lagi.
Namun, saya yakin, jika Pirlo dipertahankan, secara perlahan bakan memberi DNA Eropa kepada si Nyonya Besar dalam musim-musim selanjutnya. Setidaknya, harapan saya sebagai Juventini.
#ForzaJuve!
-
-
Artikel Sebelumnya:
- Kilas Balik: Del Piero Genap 42 Tahun
- 40 Tahun Alessandro Del Piero
-
- Wawancara Eksklusif Claudio Marchisio
- Wawancara Eksklusif Andrea Pirlo
- Wawancara Eksklusif Giorgio Chiellini
-
-
-
* * *
- Jakarta, 10 Maret 2021