Laut China Selatan dan Tetangga yang Berisik
LAUT Natuna Utara yang termasuk dalam kawasan Laut China Selatan merupakan halaman depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, kita harus selalu menjaga beranda ini dengan baik.
Maklum, di Laut China Selatan ini juga berbagi kepemilikan dengan berbagai negara. Selain Indonesia, di kawasan Asia Tenggara ada Malaysia, Filipina, Brunei, dan Vietnam.
Sementara, Asia Timur diwakili Republik Rakyat Tiongkok dan Taiwan.
Laut China Selatan ini sejak dulu dikenal sebagai jalur utama perdagangan dunia. Jadi akses dari Asia Timur dan Amerika bagian barat menuju Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Wajar, jika kita harus mengawasi halaman depan ini dengan baik. Apalagi, Laut China Selatan juga kaya akan hasil alam, seperti minyak dan gas, hingga ikan yang melimpah.
Kita sudah tidak asing lagi mendengar nelayan dari negara tetangga yang tertangkap akibat mencari ikan di perairan Indonesia. Bahkan, ada juga tetangga berisik yang suka seenaknya di pekarangan negara lain.
Misalnya, parade militer dengan kapal perang yang mondar-mandir di Laut Natuna Utara. Hingga, membuat khawatir para nelayan kita yang sedang mencari ikan di perairan NKRI.
Hadeuh. Runyam emang kalo punya tetangga model gini.
Saya jadi inget dengan rivalitas duo klub asal Manchester pada dekade lalu. Saat itu, pelatih Manchester United (MU), Sir Alex Ferguson, kerap menyindir Manchester City sebagai tetangga yang berisik.
Itu akibat manajemen, pemain, dan fan Man. City kerap menyenggol "The Red Devils". Kalo kata anak zaman now, ga ngomongin MU, ga makan!
Ha... Ha... Ha...
Kalo Anda penggemar sepak bola, khususnya sejak 1990-an, pasti maklum dengan MU yang merajai kompetisi Liga Inggris. Namun, situasi berubah usai Man. City yang jadi juara 2011/12 secara dramatis pada akhir kompetisi.
Sejak itu, kondisi berbalik 180 derajat. MU hanya sekali kampiun pada 2012/13. Di sisi lain, Man. City, justru merajai, termasuk musim 2022/23 lalu dengan Treble Winners.
Eh bentar, ini kita lagi membahas Laut China Selatam, kok malah nyasar ke sepak bola? Btw, sejak jadi bloger pada 2009 silam, saya emang suka nulis random. Apa aja yang terlintas di ide dan depan mata, ya saya tulis.
Baik itu yang serius hingga remeh. Mulai dari pengalaman horor bin aneh sebagai ojek online (ojol), jadi petugas KPPS pada Pemilu 2024, bola, gulat pro, musik, kupu-kupu malam, kucing, dan sebagainya.
Intinya, ngeblog merupakan hobi disela-sela mencari orderan ojol. Baik itu dituangkan di blog ini, www.roelly87.com yang sudah ada sejak 2009 (2014 beralih dari blogspot) dan Kompasiana.com/roelly87 (2010).
* * *
"PAGI pak/bu, alamat udah sesuai aplikasi ya? Di Perumahan XXX Blok Z nomor ABC."
"Ya, pak. Rumah saya di tikungan. Nanti tunggu depan pos aja ya."
"Siap. Saya otw."
Demikian percakapan saya dengan penumpang di salah satu aplikasi ojol, pada Phalguna lalu. Btw, saya punya lima aplikasi ojol yang seluruhnya on dan empat di antaranya akan off jika salah satu bunyi.
Kok banyak? Itu karena status saya sebagai mitra aplikasi, alias bukan karyawan yang dapat gaji dari perusahaan.
Justru, saya yang menggaji perusahaan aplikasi tersebut. Yaitu, lewat potongan harga yang dibayarkan penumpang dengan 20% di antaranya untuk aplikasi. (Ojol dapat bersih 80%).
Jadi, saya harus punya plan A, B, C, dan seterusnya jika ada salah satu aplikasi yang error. Yupz, jangan menaruh seluruh telur dalam keranjang yang sama.
Lanjut.
Ketika sampai di pos perumahan tersebut, saya pun menunggu customer. Hanya, tunggu tinggal tunggu, hingga 10 menit tidak ada kabar.
Saya chat via aplikasi. Lumayan lama baru dibalas.
"Bentar ya pak. Ini depan rumah. Maaf pak, bisa ke sini aja?"
"Ok."
Sesampainya di lokasi, ternyata customer lagi bersitegang dengan beberapa orang. Ga sampe baku hantam, mengingat penumpang saya itu wanita. Melainkan adu mulut.
Yang menarik saat penumpang itu menunjuk ke depan rumahnya. Tangan kanan pegang sapu dan tangan kiri menggenggam pengki.
"Ini terakhir kali saya kasih tahu. Jika terulang, saya lapor security."
Salah satu dari beberapa orang yang berkerumun di depannya menjawab, "Ga takut. Lapor aja. Ini jalanan umum. Toh, kami kasih makanan ke kucing hasil beli sendiri. Ga ngemis ke Anda."
"Tapi, kotorannya berserakan di mana-mana. Pot saya sampe pada rusak. Udah, sekarang saya mau kerja. Cape ngeladenin orang ga waras seperti kalian."
"Huuuu... Dasar perempuan nirempati. Cocoknya Anda hidup di hutan!"
Penumpang saya yang mukanya merah siap melabrak orang tersebut. Namun, urung ketika menoleh ada saya yang sudah menunggu di depannya.
"Pak, maaf ya. Yuk berangkat," ujarnya sambil menaruh sapu dan pengki serta mengunci pagar rumahnya.
"Ke gedung EFG ya, ka. Siap."
"Maaf ya, udah bikin nunggu lama. Cape juga ngadepin tetangga yang berisik ini. Sekali lagi, maaf ya pak."
"Aman ka. Oke, kita otw."
* * *
TERNYATA, usut punya usut, keributan itu akibat ulah tetangga depan rumahnya yang dinilai sangat keterlaluan. Itu diungkapkan sang penumpang dalam perjalanan yang beberapa kali menahan geregetan.
Menurutnya, si tetangga yang baru pindah bulan lalu ke cluster kelas menengah itu sangat resek. Sebab, sering menyetel tv dengan volume yang kencang pada malam hari.
Bahkan, seenaknya menaruh beberapa motor dan mobil di depan rumahnya. Hingga, menghalangi akses keluar dan masuk sang penumpang.
"Saya sudah bilang baik-baik, tapi masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Kalo malam banyak tamunya yang datang untuk setel lagu berisik. Nah, kendaraan mereka seenaknya parkir depan gerbang rumah saya, hingga saya ga bisa buka karena kehalangan. Tadi puncaknya..." penumpang itu menjelaskan.
Mendengar penuturan tersebut, saya jadi merasa aneh. Sebab, perumahan itu bisa digolongkan kawasan kelas menengah.
Rumahnya besar-besar. Sistem cluster dengan satu pintu untuk keluar dan masuk.
Bahkan, ojol atau tamu harus menyerahkan KTP kepada security di pos depan.
Namun, ternyata perumahan elite tersebut ga menjamin penghuninya untuk rukun. Ada saja tetangga yang berisik bin julid dengan berlaku seenaknya.
Meski, info ini hanya saya dapat dari penumpang. Alias satu arah.
Belum tentu sepenuhnya benar mengingat harus memverifikasinya dengan tanya langsung kepada tetangga sang penumpang.
"Selain kelakuan minus, tetangga saya itu kayak orang bener. Tiap hari kasih makan kucing liar. Bahkan, ada yang dibawa dari luar. Mending kalo dipelihara dengan diberi kandang.
Lha, ini dilepas begitu aja. Akibatnya, banyak kucing yang berak sembarangan di kawasan kami. Termasuk, di halaman saya, itu bau banget. Kotoran kucing berserakan di mana-mana. Gimana ga kesel?" tutur penumpang itu sambil berapi-api.
"Kalo dikasih tahu, dibilangngnya saya ga punya perasaan. Kata mereka, saya ga punya rasa sayang kepada sesama makhuk hidup...
Hello! Mereka itu benar-benar ga waras. Kalo betulan penyayang binatang, harusnya tuh kucing dipelihara dengan baik. Dikasih kandang dan pasir untuk kucing buang kotoran. Bukan malah dilepas begitu saja hingga mengganggu penghuni perumahan lainnya yang setiap pagi harus menyapu kotoran dan kencing kucing."
Obrolan terhenti mengingat kami sudah sampai lokasi kerjaannya. Penumpang itu kembali meminta maaf atas insiden sebelum berangkat yang saya tanggapi dengan santai.
Usai menyelesaikan orderan di aplikasi, saya pun lanjut. Hanya, di jalan saya jadi teringat keributan sang penumpang dengan tetangganya yang berisik itu.
Mengenai tetangganya yang menyetel tv atau musik hingga kencang dan parkir kendaraan sembarangan, saya enggan komentar. Namun, untuk kasih makan kucing liar ini, saya merasa ini jadi pro dan kontra.
Btw, saya pernah menulisnya dua tahun lalu (https://www.roelly87.com/2022/09/terima-kasih-orang-baik.html). Saya sangat berterima kasih jika ada individu atau pihak yang rutin berbagi kepada sesama makhluk hidup, dalam hal ini memberi makan kucing.
Namun, untuk situasi di perumahan penumpang tadi, tentu berbeda. Sebab, namanya kucing liar tentu ga bisa diawasi.
Khususnya jika buang kotoran atau kencing sembarangan yang bisa mengenai halaman rumah orang. Tindakan tetangga sang penumpang ini yang rutin memberi makan kucing liar memang sangat diapresiasi.
Hanya, seharusnya lebih bijak lagi. Sebab, tindakannya itu justru merugikan sesama penghuni perumahan lain.
Apalagi, jika melihat reaksi sang tetangga yang seolah maha benar di hadapan penumpang saya itu.
Saya jadi ingat terkait pantangan meladeni tipe orang tertentu yang jika dilakukan sama aja dengan melukis di atas air, yaitu:
1. Jangan debat dengan pendukung calon presiden (capres) tertentu.
2. Jangan adu argumen dengan penggemar klub sepak bola.
3. Jangan menasihati orang bucin.
4. Jangan meladeni Cat Lovers.
Setuju ga setuju, tapi ini relate banget dengan kehidupan sehari-hari. Ha... Ha... Ha...
Lanjut terkait tetangga yang toxic itu, biasanya ada di sekitar kita. Dalam hal kecil di pemukiman hingga skala luas antarnegara.
Contohnya, di Laut China Selatan...
* * *
DALAM beberapa tahun terakhir, Laut China Selatan kerap disorot dunia. Itu terkait potensi konflik yang melibatkan tujuh negara.
Tentu, sejauh ini Indonesia selalu bersikap pasif. Alias, tidak reaktif dibanding beberapa negara lainnya.
Meski begitu, saya menyadari, pemerintah berusaha untuk berlaku cermat. Menyikapinya dengan bijaksana terkait adanya tetangga berisik yang mulai julid.
Bisa dipahami mengingat menjaga kedaulatan merupakan kewajiban yang utama. Tentu, pemerintah enggan kompromi jika ada pihak yang usil.
Salah satunya, Tiongkok, yang mengklaim secara sepihak Laut Natuna Utara yang memang jadi bagian Laut China Selatan. Itu karena Negara Tirai Bambu memasukkannya dalam konsep Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash Line).
Berdasarkan dalih sebagai kubu yang menang pada Perang Dunia II. Saat itu, Tiongkok mengklaim Nine Dash Line membentang sejauh 2.000 km dari daratan mereka hingga beberapa ratus km yang bersinggungan dengan negara lain.
Termasuk, Laut China Selatan yang luasnya 3.5 juta km persegi ini, diakui Tiongkok dengan 90 persen bagian. Itu berarti termasuk Laut Natuna Utara milik kita, Indonesia yang luasnya sekitar 83.000 km persegi, bakal berkurang 30 persen...
Wow!
Padahal, Indonesia sudah menegaskan ujung selatan dari Laut China Selatan merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut hingga pada 2017 dinamai Laut Natuna Utara.
Ironisnya, Tiongkok bergeming. Tetap menganggap Laut China Selatan yang di dalamnya ada Laut Natuna Utara sebagai miliknya.
Saya yang mengetahui kabar tersebut melalui media online, cetak, dan televisi, pun jadi kesal sendiri.
Ini seperti kisah penumpang ojol saya. Yang punya tetangga julid dengan parkir kendaraan sembarangan hingga menghalangi aksesnya keluar masuk rumah.
Atau, klaim Tiongkok terkait Laut China Selatan itu begini. Biar lebih masuk, saya ambil contoh sendiri.
Ibaratnya saya tinggal di suatu perumahan sederhana dengan batas antarrumah dipisahkan pagar yang terbuat dari kayu berjarak masing-masing satu meter dari bangunan. Nah, ga lama, ada tetangga yang baru pindah tinggal di sebelah.
Doi seenaknya mencabut pagar kayu saya dengan dimajukan mepet ke dalam rumah. Alasannya, untuk dijadikan parkiran kendaraannya.
Nah, lho!
Padahal, saya sudah bilang secara baik-baik bahwa itu tanah milik saya. Bahkan, sampai memperlihatkan sertifikat resmi terkait luas tanah yang saya miliki.
Sementara, tetangga itu sok iye. Ngeyel banget. Tetap mencabut pagar kayu punya saya dengan alasan tak jelas.
Sampai sini, jelas saya harus bersikap tegas. Baku hantam merupakan penyelesaian yang ideal untuk membela harga diri saya dan keluarga yang sudah memiliki sertifikat resmi atas luas tanah itu.
Namun, salam olahraga itu hanya jadi opsi terakhir. Jika mentok saja.
Sebisa mungkin saya mengutamakan diplomasi. Yaitu, melaporkan kepada RT, RW, Lurah, Badan Pertanahan, hingga Kepolisian, yang bisa berlanjut ke meja hijau.
Jika saya benar, tentu kebenaran akan berpihak kepada saya. Toh, memang tanah itu milik saya secara hukum.
Bahkan, saya bakal menuntutnya lebih jauh. Untuk menimbulkan efek jera agar tetangga saya itu tidak sembarangan menyerobot tanah orang lain.
Jika doi masih ngotot untuk menguasai sebagian tanah saya itu, baru hukum rimba berbicara. Buat apa Tuhan menciptakan tangan dan kaki kalau tidak digunakan dengan baik?
Ya, untuk menghukum tetangga saya yang usil itu!
Hukum rimba untuk menghukum orang yang tidak tahu aturan dan merasa kebal hukum.
Yupz, demikian analogi saya terkait kondisi Laut China Selatan. Diplomasi merupakan opsi utama yang bakal dilakukan pemerinyah Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya dari incaran negara asing.
Kita boleh bersahabat dan memiliki hubungan baik sejak puluhan hingga ratusan tahun. Namun, terkait kedaulatan, tidak ada tawar-menawar. Kita harus mempertahankan setiap jengkal wilayah di Tanah Air hingga tetes darah terakhir.
Termasuk, Laut Natuna Utara yang masuk dalam Laut China Selatan. Ini saya berbicara fakta.
Tepatnya, sebagai Warga Negara Indonesia yang dalam 15 tahun terakhir rutin menuangkan ide, gagasan, dan pemikiran dalam blog.
Maklum, dalam Konvensi PBB Tahun 1982 terkait Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), memutuskan perairan Natuna masuk dalam ZEE Indonesia.
Secara sah, Indonesia punya hak untuk mengendalikan kekayaan ekonomis di dalamnya untuk kepentingan rakyat. Itu meliputi menangkap ikan, menambang, eksplorasi minyak, navigasi dunia penerbangan, hingga menanam pipa dan kabel di bawah laut.
Di sisi lain, berdasarkan berita yang saya baca pada 2021 lalu, Kapal Perang Tiongkok mondar-mandir di Laut Natuna Utara hingga membuat nelayan kita yang sedang menangkap ikan jadi ketakutan.
Masih pada tahun yang sama, Tiongkok memperingatkan pemerintah Indonesia untuk menyetop pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara yang masuk dalam Laut China Selatan.
Aneh kan. Kita beraktivitas di wilayah sendiri tanpa mengganggu orang lain. Pada saat yang sama, tetangga sebelah justru protes dan meminta kita untuk menghentikan aktivitas tersebut.
Kalau saya pribadi sih, akan lantang bersuara kepada pemerintah untuk menegaskan satu kata: Lawan!
* * *
HEI... Sabar.
Konfrontasi merupakan opsi pamungkas. Alias, langkah terakhir jika negosiasi sudah mentok.
Yup, kita harus berdiplomasi dengan baik. Seperti adagium, "Satu musuh sudah terlalu banyak, seribu kawan sangat sedikit".
Itu berarti, kita harus berpikir secara jernih dalam menyikapi potensi konflik di Laut China Selatan. Hal tersebut yang dilakukan pemerintah dalam menyikapi situasi ini.
Salah satunya diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto dalam webinar yang diselenggarakan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bersama Litbang Kompas pada 19 Maret lalu. Dalam kesempatan itu, Panglima TNI 2017-2021 ini menegaskan, perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang.
"Pemerintah Indonesia akan selalu mengedepankan cara-cara dialog yang damai dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan dan tentunya mengedepankan prinsip penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara,” ujar Hadi.
Apa yang dikatakan pria 60 tahun ini memang beralasan. Kita, sebagai warga negara, khususnya saya pribadi, tidak boleh terpancing.
Sebab, jika emosi dalam menanggapi isu Laut China Selatan, malah ada pihak yang memancing di air keruh. Alias, justru memanfaatkan situasi yang bikin kita salah mengambil keputusan.
Itu mengapa, Hadi mengakui, dalam menyikapi potensi konflik di Laut China Selatan, pemerintah juga akan melibatkan banyak pihak. Yaitu, akademisi, think tank, dan para ahli.
Sebagai warga negara, kita pun, yaitu saya, Anda, dan kalian, juga punya suara untuk membantu pemerintah. Misalnya, kalo saya jelas, lewat tulisan di blog.
"Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers (negara adidaya) dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi sea of peace,” Hadi, menambahkan.
Menurutnya, Indonesia punya kepentingan besar untuk menjaga perdamaian di Laut China Selatan. Apalagi, mengingat Indonesia merupakan Ketua ASEAN yang memiliki hubungan baik dengan seluruh negara Asia, termasuk Tiongkok.
Pada saat yang sama, dalam pernyataan Hadi itu, saya juga secara tersirat melihat sikap pemerintah yang sudah menyiapkan plan A, B, C, dan sebagainya, dalam menyikapi situasi di Laut China Selatan.
Ya, jika ingin memelihara kedamaian, tentu harus siap berperang. Ini bukan diksi kontradiktif. Melainkan, objektivitas pemerintah untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI.
"Dalam merespons permasalahan (di Laut China Selatan), pemerintah telah mendorong program major project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna. Yaitu, melalui kecukupan alutsista dan peningkatan sarana serta prasarana Satuan Terintegrasi TNI," Hadi, mengungkapkan.
Yupz, saya setuju. Kita harus memiliki kesiapan sejak dini agar kedaulatan wilayah NKRI tetap terjaga. Obat memang pahit, tapi harus diminum untuk menyembuhkan dari penyakit.
Harapan saya, semoga pemerintah bisa menyelesaikan potensi konflik di Laut China Selatan dengan baik.
Diplomasi adalah kunci.
Aamiin!
* * *
- Jakarta, 8 Mei 2024
* * *
Referensi:
- Webinar ISDS (https://www.youtube.com/live/O3VvNIMNtcc?si=zkLGLQwJpyIoGyUN)
- https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/politik/sengketa-di-kawasan-laut-natuna-utara
- http://ppid.bnpp.go.id/news/newsdetail/219/mengenal-lebih-jauh-zee-indonesia
- https://www.kompas.com/global/read/2021/12/04/070338470/kronologi-konflik-di-laut-natuna-china-tuntut-indonesia-setop-pengeboran?page=all
- https://internasional.kompas.com/read/2021/12/04/150000970/apa-itu-nine-dash-line-yang-sering-dipakai-china-untuk-klaim-natuna-?page=all