TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: 2020

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Selasa, 29 Desember 2020

Ada Super Junior di Balik Kehebohan Panggung

Ada Super Junior di Balik Kehebohan Panggung 

Ahmad Dhani dalam konser Mahakarya
HUT RCTI ke-25 di GBK


"Megah!" Itulah kesimpulan yang  dapat saya simpulkan saat menyaksikan Mahakarya HUT RCTI ke-25 di Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (23/8). Acara yang diselenggarakan stasiun tv tertua di Indonesia itu sukses menuai pujian. Itu berkat kehadiran deretan musisi serta artis papan atas lokal dan dunia. Mulai dari Super Junior M, Ahmad Dhani, Kotak, Noah, Ungu, Agnes Mo, dan lainnya. Puncaknya sebelum acara berakhir dengan mementaskan kembang api yang sukses membuat langit di sekitar Senayan jadi berwarna.

Kebetulan, saya menjadi salah satu dari sekitar belasan ribu penonton yang memadati GBK. Meski, niat awalnya tidak ingin menonton karena harga tiket yang lumayan mahal. Mulai dari Rp 150 ribu untuk kategori tribune, Rp 350 ribu (festival), hingga Rp 1 juta (di kursi VVIP). Dengan nominal yang tergolong "wah" membuat saya cenderung menyaksikannya di layar televisi yang disiarkan secara live dan gratis!

Namun, menjelang maghrib, ada kawan yang bekerja di bidang media menawarkan saya tiket. Mulanya sih sempat menolak karena masih ingin meninkmati hari Sabtu yang panjang karena libur kerja. Tapi, kawan yang juga merupakan salah satu blogger di Kompasiana ini mengiming-imingi tiket "all access" alias VVIP! Sebuah tawaran yang membuat saya berpikir lagi karena bisa kesampaian untuk bertemu dengan idola saya semasa masih di Dewa 19, Ahmad Dhani.

Meski ketika saya tanya apakah dengan tiket VVIP itu saya bisa bertemu sang idola, Ahmad Dhani, kawan tersebut tidak berani menjamin. Sebab, menurutnya, tiket itu hanya untuk menonton gratis dari kursi VVIP hingga menyasar ke kelas festival. Ketika saya bilang tidak jadi karena niat datang ke GBK bukan untuk menyaksikan acara tersebut, apalagi melihat penampilan boyband seperti Super Junior.

Kawan tersebut pun mencoba meyakinkan saya agar berusaha sendiri dengan menyelinap di balik panggung. "Syukur-syukur lo ketemu Dhani. Kalo ga, ya itung-itung udah dapat tiket gratis yang kalo beli seharga cetiau," ujarnya berseloroh. Singkatnya, saya pun bergegas menuju GBK yang 6 Agustus lalu saya datangi untuk menyaksikan pertandingan Juventus versus ISL Stars.

*      *      *

Sesampainya di stadion terbesar di Indonesia itu, saya kagum dengan penempatan panggung yang berada di tengah lapangan. Selain besar, panggung tersebut juga unik karena bisa digeser untuk maju atau mundur saat musisi tampil yang memang baru pertama kali saya lihat sepanjang menghadiri acara musik. Sayangnya, saking besarnya GBK membuat penonton yang hadir terlihat sangat sedikit. Kemungkinan hanya belasan ribu penonton dan jauh dari yang ditargetkan panitia (60 ribu penonton).

Bahkan, saya melihat sendiri di pintu utama seperti sengaja dibuka lebar oleh petugas (?) dengan membiarkan banyak penonton yang masuk secara gratis. Padahal, yang di dalam sudah beli tiket dengan "berdarah-darah" alias menyisihkan uang saku agar bisa menyaksikan acara tersebut. Tapi, ya sudahlah. Anggapan saya, mungkin petugas atau panitia (?) sengaja membiarkan masuk penonton secara gratis dengan alasan acara sudah mulai dari tadi karena saya datang sekitar pukul 20.30 WIB.

Mahalnya tiket dan faktor disiarkan secara live membuat masyarakat lebih memilih untuk menyaksikan di rumah. Kecuali bagi fans musisi yang bersangkutan yang mayoritas remaja dan didominasi kaum hawa yang sangat menantikan aksi Super Junior. Betul saja, ketika boyband asal Korea Selatan itu tampil, suasana GBK menjadi bising karena teriakan penonton yang ingin ikut bernyanyi.

Saat mendekati panggung, banyak penonton yang terlihat digotong oleh panitia dan petugas kepolisian karena pingsan akibat terus berjingkrakan saat Super Junior tampil. Puncaknya, ketika beberapa anggota Super Junior melemparkan handuk bekas ke kerumunan penonton. Saat itu, banyak yang terhimpit seperti dengdeng saking semangatnya berebutan demi handuk yang dipakai untuk ngelap keringat.

Tapi, ya sudahlah. Saya tidak bisa menyalahkan mereka, terutama remaja putri yang seperti habis berkelahi sambil memamerkan handuk bekas Super Junior. Sebab, jika saya jadi mereka pun, saya mungkin akan melakukan hal yang sama untuk ikut berebutan. Tapi, bukan bekas handuk dari Super Junior yang dikasih pun tentu saya tolak. Melainkan handuk bekas sekelas personil Guns N' Roses, Muse, dan Foo Fighters. Atau, minimal handuk bekas dari para pemain sepak bola terbaik dunia seperti Andrea Pirlo dan Giorgio Chiellini.

Usai Super Junior, giliran Noah yang tampil. Kali ini penonton lumayan tertib menyimak lantunan lagu dari band asal Bandung tersebut. Bagi saya, bukan aksi mereka yang menarik dilihat. Tapi, rambut sang vokalis, Ariel yang berwarna putih yang sukses mencuri perhatian. Menyaksikan itu, pikiran saya jadi terlintas pada tokoh novel Tiongkok bernama Pek Hoat Mo Lie yang rambutnya memutih hanya dalam waktu semalam karena putus cinta. Atau, jangan-jangan, Ariel sedang putus cinta juga?

Puas menyaksikan parade "moshing" dari kaum remaja, dengan penuh perjuangan saking penuhnya kerumunan saya pun meringsek ke depan panggung. Nah, ini yang menarik, sebab, panggung yang bisa digeser maju mundur itu ternyata digerakkan secara manual. Maksudnya, panggung tersebut didorong oleh beberapa pekerja yang tampak "terengah-engah" seperti habis melontarkan jurus Kamehame layaknya film kartun Dragon Ball. Sementara, tepat di atas kepala mereka, berdiri dengan gagahnya musisi yang sedang tampil.

Bosan menyaksikan penampilan beberapa musisi, saya pun mencoba menyelinap ke ruang ganti artis yang berupa tenda. Awalnya, saya mengira ada penjagaan ketat dari panitia atau petugas keamanan. Tapi, yang ada malah areal ruang ganti tersebut bebas dilewati siapa saja. Kecuali jika ada musisi yang sedang berganti kostum karena ingin tampil dan tendanya ditutup dari dalam. Jadi, saya hanya bisa melihat dari kejauhan, vokalis Kotak, Tantri sedang memakai make-up dari balik tenda.

Hal serupa terjadi ketika saya hendak mendatangi tenda Ahmad Dhani yang dikerumuni penggemarnya. Tampak, istri Ahmad Dhani, Mulan Jameela pelantun si "Makhluk Tuhan Paling Sexy" sedang menunggui putra mereka yang akan tampil, Ahmad Al Ghazali (Al). Akhirnya, yang paling saya tunggu tiba, ketika di pengujung acara bisa menemui Ahmad Dhani ketika sedang dikerumuni media mengenai kasus putra bungsunya, Abdul Qadir Jaelani (El).

*      *      *


Artikel ini sebelumnya dimuat di Kompasiana (https://www.kompasiana.com/roelly87/54f5f14da33311a17c8b4660/di-balik-panggung-mahakarya-hut-rcti-ke25)
- Jakarta, 29 Desember 2020


Jumat, 20 November 2020

Orderan pada Malam yang Ganjil


Ilustrasi jalanan di ibu kota 
(Foto: Dokumentasi pribadi/www.roelly87.com)




DINI hari itu, cuaca tampak bersahabat. Dari langit-langit sekitar perbatasan, rembulan bersinar cerah. Pun demikian dengan kelip bintang nun jauh di sana. 

Tiba-tiba, smartphone saya berbunyi. Ternyata, aplikasi ojek online (ojol) memberi tahu ada orderan masuk. Saya pun menepikan sepeda motor untuk mengetahui lokasi jemput dan tujuan.

Namun, ketika memperhatikan lebih lanjut, kening saya berkerut. Sebab, jarak antar benar-benar dekat. Tidak sampai ratusan meter. Bahkan, jalan kaki pun cukup beberapa menit!

Seketika, berbunyi alarm waspada dalam pikiran saya. Khawatir dua hal. Opik alias order fiktif atau hal tak terduga. Namun, ketika saya melihat rating dan riwayat pemesanan dari calon penumpang, sangat positif.

Maklum, biasanya opik atau tindak kejahatan, rating dan riwayat customer masih kosong. Pun demikian, ketika saya chat, normal saja. Alias, tidak ada indikator yang mencurigakan.

"Ah, saya terlalu khawatir berlebihan." Demikian, saya menepis keraguan untuk langsung menstarter sepeda motor. Namun, kekhawatiran itu wajar. Sebab, dini hari sangat rawan kejahatan bagi setiap ojol. Entah itu begal atau hipnotis. 

Pada akhirnya, customer itu real. Wanita yang sepertinya menggunakan jasa ojol menuju pasar untuk belanja atau keperluan lainnya. Usai memberikan hand sanitizer, hair cup, dan helm, saya pun menyapanya yang dibalas dengan murah senyum.

Saya (S): Dengan kak ***. Tujuan ke *** ya?

Penumpang (P): Iya bang.

S: Ok...

P: Kenapa bang, ada yang aneh?

S: Ga. He he he

P: Bingung ya, jaraknya dekat.

S: Iya, saya pikir ini opik.

P: Ga kok. Bener. Deket sih, cuma ke sana doang. He he he

S: Buset, deket amat kak. Ini mah jalan kaki juga sampe. Bahkan, merem pun bisa.

P: He he he. Biasanya, jalan kaki bang. Tapi...

S: Nah. Kalo ada kalimat bersayap pasti drama banget.

P: Gak ko. Cuma...

S: Seram ya, masih pagi? 

P: Iya, bang. Beberapa hari lalu, saya lihat sesuatu di depan...

Screenshoot




TERNYATA, ada alasan penumpang tersebut memesan ojol meski jaraknya dekat. Ya, bisa dipahami mengingat saat itu masih gelap. Saya pun kalau jalan kaki, rasanya gimana gitu.

Namun, bukan takut hantu. Sebab, makhlus halus tentu tidak akan membuat manusia celaka. Melainkan, jika ada begal atau oknum. Secara, jalanan masih sepi.

Alhamdulillah, sejak jadi ojol pada 2019 lalu, hingga kini saya belum mendapatkan hal yang aneh, seperti tindak kejahatan. Semoga saja ke depannya pun demikian.

Hanya, untuk kejadian luar biasa, bisa dibilang sudah pernah. Terutama, yang berkaitan di luar nalar.

Misalnya, merinding ketika lewat jalanan sepi di kawasan Kelapa Gading, Kapuk, Kembangan, Cakung, dan sebagainya. ***. Lalu, sepeda motor terasa berat saat melintasi area tertentu meski tidak ada penumpang. Padahal, ketika dicek, ban tidak bocor. 

Selanjutnya, ada aktivitas tidak wajar, entah ini hanya penglihatan saja atau mungkin tersugesti kabar burung yang beredar di kalangan ojol dan urban legend. 

Nah, yang paling membingungkan, justru terasa normal. Itu terjadi saat saya mengantar penumpang dari kawasan Kota, Jakarta Barat, menuju Cilandak, Jakarta Selatan. Ketika itu, masih pagi, alias sekitar pukul 19.00 WIB, bagi ukuran kalong seperti saya. 

Sepanjang jalan, tidak ada yang aneh. Penumpang pun nyata. Komunikasi lancar sepanjang perjalanan yang menempuh durasi belasan menit. 

Justru anomali terjadi tak lama usai menurunkan customer. Mengingat perjalanan cukup jauh, lebih dari 10 km, saya pun istirahat sejenak ditemani termos berisi kopi hitam yang selalu saya bawa dari rumah sambil buka-buka media sosial. Ya, siapa tahu ada info penting.

*         *         *

"PERASAAN, tadi pas lampu merah ga pernah berhenti," saya bergumam dalam hati. Sekilas, saya mengingat tidak ada keanehan meski jalanan cukup ramai tapi tidak macet karena hari biasa, bukan Senin atau Jumag yang biasanya padat.

Hanya, jadi ganjil jika menyadari saat melintasi traffic light, saya tidak merasakan lampu merah. Alias, bablas di Hayam Wuruk, Thamrin, Sudirman, Panglima Polim, hingga Fatmawati. 

Jika hanya satu, dua, tiga perempatan yang tidak terkena stop lampu merah, mungkin biasa. Namun, dari Kota hingga Cilandak, terdapat belasan persimpangan yang disertai traffic light.

Bagi saya, itu jadi sesuatu banget. Setidaknya, hingga saat ini.***


Berdasarkan kisah nyata dengan dibumbui penyedap dan editorial tanpa menguriangi substansi cerita. Namun, ini bukan fiksi.

Kamis, 12 November 2020

Kamus Besar Bahasa Ojol






OJEK online atau ojol sudah mengakar di masyarakat, khususnya kota-kota besar di Tanah Air, dalam beberapa tahun terakhir. Keberadaannya, sedikit banyak berperan dalam peningkatan perekonomian negeri ini.

Meski, tak jarang masih ada stigma negatif yang menyertainya. Apa pun itu, eksistensi ojol memang dibutuhkan dan diperlukam masyarakat. Misal, layanan antar penumpang, beli makanan, kirim barang, belanja obat, dan sebagainya.

Kebetulan, saya sudah setahun jadi ojol sejak 2019. Jadi, sedikit banyak tahu seluk-beluk dunia perojolan. Termasuk, istilah sehari-hari yang mungkin percakapan di antara kami membuat bingung customer. 

Berikut, beberapa di antaranya dalam istilah dunia perojolan yang nanti akan saya update secara berkala.


Kamus Besar Bahasa Ojol

1. Pantat: Orderan untuk mengangkut penumpang. Ride atau Bike. Istilah ini memang konotasi banget. Namun, rutin disebut dalam kalangam ojol sehari-hari.

2. Kardus: Ojol yang khusus atau spesialis ambil orderan kirim barang.

3. Opang: Ojek pangkalan tanpa aplikasi. Rekan seprofesi di jalanan yang merintis dunia ojek sejak puluhan tahun silam.

4. Opang Resto: Ojol yang spesialisasinya menunggu orderan food di resto tertentu. Contoh, Mc*, B*, Geprek, dll.

5  Zona Merah: Kawasan yang secara tidak tertulis ojol dilarang mengambil penumpang untuk menghargai keberadaan opang. Misalnya, di Stasiun, Terminal, Pusat Perbelanjaan, Komplek Perumahan, dll.

6. Kalong/Ngalong/Kalongers: Ojol yang biasa narik malam hingga subuh. 

7. Red District: Kawasan favorit bagi kalongers yang biasa ambil orderan di lokasi hiburan malam. Contoh, Mangga Besar, Kota Tua, Kemayoran, Kemang, Blok M, dll.

8. Isilop/Polkis: Polisi. Atau, merujuk pada adanya razia. Baik gabungan atau saat jaga di berbagai kawasan, misalnya Semanggi.

9. Transformers: Merujuk pada kendaraan Dinas Perhubungan. Istilah ini biasa hanya digunakan taksi online.

10. Opik: Order fiktif. Musuh bersama seluruh ojol di muka bumi. 

11. Opak: Ojol f**k. Julukan ojol yang melakukan order fiktif. Bisa untuk mengusir secara halus ojol yang datang atau sakit hati akibat di-PM.

12. PM: Putus Mitra. Ojol yang diberhentikan pekerjaannya dari aplikator akibat berbagai hal. Namun, tak jarang karena kesalahan sistem yang mendeteksi hingga merugikan ojol.

13. Vermuk: Verifikasi muka, swafoto atau selfie yang dilakukan ojol sebelum memulai rutinitas demi memastikan keaslian pengguna akun.




*         *         *


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):

Kamis, 05 November 2020

Berapa Modal Jadi Ojol?

 Berapa Modal Jadi Ojol?

Saya saat menjalankan suatu orderan ojol
(Foto: Dokumentasi pribadi/www.roelly87.com)



JADI ojek online (ojol) harus modal? Serius...? Eittts, di kolong langit ini tiada makan siang yang gratis. 

Namun, modal yang saya maksud bukan untuk melamar jadi ojol. Secara, pengalaman saya sebagai mitra driver di salah satu aplikasi ini gratis. Melainkan, modal untuk narik sehari-hari.

Yupz! Sepanjang pengalaman saya, rata-rata per hari harus mengeluarkan sekitar Rp 100 ribu. 

Itu belum termasuk dana cadangan di jok sebesar Rp 50 ribu. Gunanya, untuk jaga-jaga jika ban bocor, bensin habis, motor mogok, laper tingkat tinggi, hingga force majeur. Rp 50 ribu ini merupakan uang mati. Alias, hanya digunakan saat darurat.

Sementara, yang Rp 100 ribu terbagi dalam beberapa keperluan. Memang, setiap hari tidak harus sama. Namun, diambil rata-rata saja mengingat saya merupakan kalongers. Alias, ojok yang keluar sore hingga pagi.

Dana tersebut meliputi:

Rp 30 ribu: Bensin (2x isi)

Rp 30 ribu: Makan (malam/dini hari dan sarapan)

Rp 26 ribu: Rokok (Maaf, saya perokok aktif, tapi tidak melakukan ketika mengantar penumpang, makanan, atau saat kirim barang)

Rp 4 ribu: Kopi

Rp 10 ribu: Dana taktis (parkir, toilet SPBU, pengamen Lamer, dll)


Mungkin, banyak yang heran, mengapa pengeluaran saya setiap harinya sangat tinggi. Ya, mencapai Rp 100 ribu  Namun, itu wajar mengingat mayoritas aktivitas saya di jalanan. Alias, rumah hanya sekadar numpang tidur saja.

Pun demikian berdasarkan pengalanan rekan-rekan ojol lainnya. Bahkan, ada yang per hari mencapai Rp 200 ribu. 

Tak jarang, ada juga yang tidak lebih dari Rp 50 ribu. Ini bisa jadi, jika ojol tersebut bawa bekal dari rumah. Serta, tidak merokok yang bisa menghemat anggaran. 

Ya, rokok jadi kelemahan saya. Namun, begitulah.

Pertanyaan selanjutnya, jika pengeluaran setiap hari Rp 100 ribu, berapa pemasukan saya dari hasil ojol? Saya dan rekan-rekan ojol lainnya tentu punya jawaban berbeda tapi satu konklusi.

Sebab, sebagai ojol, penghasilan tidak tetap. Bisa hari ini Rp 100 ribu, besok Rp 300 ribu, lusa Rp 150 ribu, dan sebagainya. 

Namun, saya sendiri menargetkan, minimal bawa pulang uang Rp 100 ribu. Alias, pendapatan kotor Rp 200 ribu dikurang pengeluaran Rp 100 ribu.

Itu yang mayoritas saya hasilkan sejak pandemi ini. Beda cerita sebelum pertengahan April lalu. Dalam sehari rata-rata mencapai Rp 350 ribu (kotor). Bahkan, tak jarang tembus Rp 500 ribu. 

Maklum, ketika itu dari aplikator menyediakan bonus jika driver bisa mencapai poin tertentu. Misalnya, 30 poin maksimal bonus Rp 180 ribu.

Hanya, semua berubah sejak -negara api menyerang- pandemi. Jangankan Rp 500 ribu, per hari mencapai Rp 200 ribu pun sudah sangat alhamdulillah. Bisa dipahami mengingat pandemi ini membuat masyarakat mengurangi pengeluaran untuk bepergian naik ojol, pesan makan, atau kirim barang.

Itu mengapa saya sangat bersyukur setiap hari rata-rata bisa mendapat Rp 200 ribu. Pasalnya, banyak rekan ojol lainnya yang bahkan tidsk bisa mendapat Rp 100 ribu. Kendati, ada juga yang tetap meraup minimal Rp 500 ribu.

Serius? Ya. Banyak yang seperti itu. Biasanya, mereka ini merupakan ojol senior atau riwayatnya bagus karena tidak pilih-pilih orderan. 

Namun, untuk mendapat Ro 500 ribu per hari tidak semudah membalikkan bala-bala di penggorengan. Sebab, mereka juga sangat bekerja dengan keras dan cerdas. 

Salah satunya, dengan riwayat aktif kirim barang yang rutenya lintas provinsi alias di atas 30 km hingga sekali orderan mencapai lebih dari Rp 100 ribu. 

Kebetulan, saya pernah menyaksikan rekan yang setiap harinya ngojol dari pukul 05.00 hingga 23.59 WIB. Mereka bisa dibilang ojol rasa ekspedisi. Sebab, sejak matahari masih malu-malu hingga terbenam, sudah keliling Jabodetabek. Ya, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. 

Apakah semua ojol bisa seperti itu? Tentu saja. Seperti yang diungkapkan Baron Zemo pada Captain America: Civil War, "Asal punya kesabaran dan pengalaman".


***Bersambung


Artikel Selanjutnya:

- Berapa Penghasilan Ojol per Bulan?

- Apakah Ojol Bisa Dapat Rp 500 Ribu Sehari?


- Jakarta, 4 November 2020

Ilustrasi pendapatan saya
pada 1 November lalu



*         *         *


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):
Vermuk? 70% Gojekers Setuju, tapi...
Jadi Agen GoPay, Rahasia di Balik Gacor Ngebid Saat PSBB
Kamaratih

Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm
Punya 2 Paspor, untuk Apa?
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek

Selasa, 29 September 2020

Pentingnya Vaksinasi di Tengah Pandemi

 Pentingnya Vaksinasi di Tengah Pandemi


Rekomendasi dari Halodoc untuk
klinik dan rumah sakit
untuk vaksinasi di Jakarta
(Foto: Halodoc.com)



PANDEMI Covid 19 atau Koronavirus yang berlangsung sejak awal tahun mengubah banyak hal di muka bumi ini. Termasuk, yang melibatkan masyarakat di Tanah Air. Untungnya, pemerintah, baik pusat maupun daerah sudah sangat tanggap untuk mengatasi dan mengantisipasi wabah ke depannya dengan bergandengan pihak swasta.

Sejak Juni lalu, Indonesia memasuki New Normal. Alias, tatanan baru bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan Covid 19. Seperti yang diungkapkan Presiden Joko Widodo terkait New Normal, agar seluruh warga bisa menjalankan aktivitas sehari-hari berdampingan dengan Koronavirus. Era ini akan berlangsung hingga ditemukan solusi atau obat untuk mengatasi Covid 19.

Meski di tengah pandemi, tentu kita tidak boleh terfokus pada Koronavirus saja. Melainkan juga, penyakit lainnya. Terutama, kini jelang musim hujan yang membuat ketahanan tubuh jadi rentan. Itu mengapa, kita, harus melakukan vaksinasi. Tujuannya, demi memperkuat sistem imun guna melawan segala jenis virus atau bakteri penyebab penyakit. 

Sebagai catatan, vaksinasi ini tidak pandang usia atau gender. Alias, setiap individu memang disarankan untuk melakukan. Baik itu anak-anak, dewasa, hingga manula. Khususnya, bagi anak dan manula yang kondisi tubuhnya tergolong rentan dibandingkan dengan orang dewasa. Alhasil, vaksin-vaksin yang umum seperti cacar air, hepatitis, flus, dan lainnya jadi rekomendasi.

Pada perkembangan zaman yang seiring dengan kemajuan teknologi, kita bisa dengan mudah mencari rumah sakit atau klinik untuk melakukan vaksinasi. Misalnya, dengan aplikasi Halodoc yang tersedia di berbagai platform smartphone. Baik itu via Google Play untuk ponsel pintar berbasis Android atau App Store. 

Halodoc merupakan startup aplikasi kesehatan. Kebetulan, saya sudah mengenalnya sejak 2018 lalu dan kian intens menggunakannya pada tahun ini. Tidak hanya terkait Koronavirus saja, melainkan juga penyakit lain. Saya biasa untuk konsultasi dengan dokter rekomendasi Halodoc secara online. Pun demikian saat mencari obat di berbagai apotek seperti yang saya dan keluarga lakukan setiap waktu.

Dengan Halodoc, kita ga perlu keluar rumah jika ingin konsultasi dengan dokter. Sebab, bisa dilakukan via chat atau video. Begitu juga untuk mendapatkan obat, cukup memesannya pada berbagai apotek ternama yang sudah bekerja sama dengan Halodoc untuk diantar langsung lewat ojek online di ibu kota dan seitarnya.

Nah, di Halodoc ini juga menyediakan rekomendasi  rumah sakit dan klinik untuk Vaksin Jakarta. Terdapat puluhan hasil yang bisa kita tuju. Misalnya, di ZAP Clinic yang menawarkan vaksinasi dengan berbagai kriteria. Mulai dari flu hingga meningitis.


Bagaimana dengan biayanya? Bagi saya pribadi, kesehatan dan keluarga merupakan yang paling utama dalam hidup. Itu berarti, tentu saya tidak terlalu mempersoalkan biaya. Toh, harganya tergolong kompetitif yang berkisar ratusan ribu. Tergantung, jenis layanan dan fasilitas yang kita tuju. 

Kebetulan, pada pandemi ini, saya belum melakukan vaksinasi. Namun, untuk antisipasi ke depan, saya sudah mencoba untuk mencari klinik atau rumah sakit yang dekat dengan rumah. Khususnya, sebagai rekomendasi jika ada di dalam keluarga atau kerabat yang memiliki anak berusia di bawah lima tahun. Maklum, saat ini, selain pandemi juga memasuki musim hujan. 

Nah, anak di bawah lima tahun ini memiliki risiko tinggi terkait komplikasi serius akibat flu. Itu mengapa, vaksin flu sangat dibutuhkan untuk memberikan pertahanan dalam tubuh demi mencegah komplikasi yang tak diinginkan. Sekaligus, mengurangi penyebaran flu ke orang lain. Bisa dipahami mengingat pemberian vaksin flu terbukti mengurangi terkena penyakit flu untuk anak. Demikian berdasarkan analisis Centers for Diseases Control and Prevention (CDC).

Baik untuk anak maupun dewasa, tentu vaksinasi harus rutin dilakukan. Alias, tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, bahwa vaksinasi flu cukup sekali dalam seumur hidup. Sebab, riset National Health Service UK menyatakan, vaksinasi flu dapat bekerja optimal ketika penyakit flu berlangsung.

Itu mengapa, vaksinasi flu merupakan cara terbaik untuk mencegah penyakit flu bagi setiap orang. Terutama, warga Jakarta yang sejak pertengahan bulan sudah diguyur hujan. Selain itu, kita juga bisa melakukan pencegahan flu secara mandiri. Misal, rutin mencuci tangan dan menjaga kebersihan tubuh. Selanjutnya, mengokonsumsi makanan sehat yang mengandung vitamin C, banyak minum air putih, dan istirahat yang cukup setiap harinya.


Berbagai pilihan di menu
Halodoc terkait konsultasi dan
rekomendasi dokter


Artikel sebelumnya:
- Bersama Halodoc Cegah Covid 19 secara Dini

*        *        *

- Jakarta, 29 September 2020

Rabu, 02 September 2020

Freja Suites BSD City Jawab Kebutuhan Milenial


Freja Suites merupakan cluster baru yang terletak di
pusat BSD City
(Sumber foto: FrejaSuites.com)


KAMUS Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti kata milenial. Yaitu, orang atau generasi yang lahir pada dekade 1980-an hingga 1990-an. Itu berarti, saya termasuk. Nah, pada usia produktif ini, tentu saya memiliki tiga kebutuhan utama, yaitu sandang, pangan, dan papan.

Untuk sandang dan pangan, sudah saya wujudkan dalam keseharian. Namun, tidak (tepatnya belum)  dengan papan. Sebab, saya masih tinggal bersama keluarga, tepatnya Orangtua. Wajar saja, mengingat saya masih single, alias belum berumah tangga.

Beda lagi, jika sudah menikah, tentu saya -kelak- akan menempuh hidup baru bersama istri dan anak. Untuk saat ini, masih bersama-sama keluarga. Ya, sambil berhemat ketimbang harus kost. Alhasil, uangnya ditabung demi masa depan. Salah satunya, beli rumah.

Sebagai bagian dari generasi milenial, saya punya cita-cita untuk memiliki hunian yang sesuai kebutuhan. Itu meliputi lokasi yang strategis, fasilitas lengkap, harga kompetitif, hingga kredibilitas pengembang yang terpercaya. Semua kriteria itu ada pada Bumi Serpong Damai (BSD) City.

Yupz, tinggal di kota mandiri yang terletak di barat daya ibu kota ini merupakan impian saya sejak lama. Mungkin, dari saya masih kanak-kanak hingga rekan seangkatan sudah punya banyak anak lagi. Maklum, BSD City memiliki prestise tersendiri bagi saya.

Apalagi, kini setelah saya menyimak booming-nya klaster Freja House. Berdasarkan informasi resmi di berbagai media nasional, diketahui cluster tersebut laris manis bak kacang goreng. Sebab, terjual habis hanya dua pekan sejak 30 Juli pada peluncurannya hingga 13 Agustus lalu.

Sebagai gambaran, Freja House, berukuran 4x10 meter persegi dengan dua kamar tidur yang memiliki rentang harga Rp 1-1,2 miliar. Gayung pun bersambut terkait larisnya Freja House dari Sinar Mas Land. Pemilik BSD City yang jadi salah satu unit usaha dari Sinar Mas ini pun bak menyambut bola. Bisa dipahami mengingat permintaan pasar yang diprediksi masih besar bagi kalangan milenial.

Itu mengapa, BSD City pun meluncurkan klaster Freja Suites. Yaitu, hunian yang memiliki ukuran lebih besar daripada Freja House. Ya, dari laman resminya di www.frejasuites.com, terdapat dua tipe ukuran. Luasnya, 5x10 dan 5x12 meter persegi dengan masing-masing tiga kamar tidur.

Bagi kalangan milenial atau keluarga muda, keberadaan Freja Suites jadi jawaban yang ideal. Ya, secara luas, tergolong ideal. Apalagi, mengingat lokasinya yang fenomenal karena terletak di pusat BSD City. Ya, dari klaster Freja Suites hanya selangkah menuju AEON Mal, exit Tol, dan stasiun kereta. Alhasil, BSD City-Jakarta dan sebaliknya sangat mudah diakses.

Itu yang jadi pertimbangan saya jika kelak sudah memiliki dana untuk mewujudkan cita-cita tinggal di klaster Freja Suites. Ya, seperti yang sudah saya tuliskan pada paragraf sebelumnya. Bahwa, lokasi Freja Suites sangat strategis.

Berdasarkan estimasi via peta digital, hanya berjarak 10 menit dari kawasan Pondok Indah jika ditempuh dengan kendaraan roda empat diikuti pusat bisnis Sudirman (30), dan Bandara Soekarno-Hatta (40). Atau, jika bepergian melalui angkutan umum seperti yang biasa saya lakukan, pun sangat mudah. Itu karena terdapat tiga stasiun yang berdekatan, yaitu Cisauk, Serpong, dan Rawa Buntu.

Bagaimana dengan fasilitasnya? Menurut saya, tergolong lengkap. Sebab, dekat dengan kawasan intermoda, selain stasiun juga ada bus dan pasar modern. Bahkan, untuk hiburan pun sangat melimpah. Mulai dari AEON Mall, Breeze, Q Big, hingga Indonesia Convention Exhibition (ICE) yang rutin menyelenggarakan berbagai pameran, termasuk mobil setiap tahunnya.

Nah, memiliki hunian di masa depan, tentu membuat saya harus mengingat terkait pendidikan untuk anak. Di sekitar Freja Suites ini terdapat fasilitas pendidikan dari tingkat TK hingga perguruan tinggi. Termasuk Sinarmas World Academy (SWA), Universitas Prasetiya Mulya, International University Liaison Indonesia (IULI), dan sebagainya.

Kemudahan akses dan fasilitas yang lengkap memang jadi standardisasi Sinar Mas Land dalam setiap meluncurkan propertinya. Bisa dipahami mengingat pengalaman mereka dalam 40 tahun ini sudah mengembangkan lebih dari 50 proyek di Tanah Air. Termasuk, Freja Suites yang merupakan cluster baru dengan lokasi fenomenal di pusat BSD City ini.

Maklum, sejak dibangun pada dekade 1980-an, BSD City menjelma sebagai kota mandiri yang ideal. Keberadaannya, sukses mengurangi beban Jakarta yang kian sesak. Apalagi, mengingat lokasinya yang mudah diakses, baik kendaraan pribadi maupun umum seperti kereta api dan bus.

Ditambah dengan latar belakang Sinar Mas Land yang jadi pengembang terpercaya sejak puluhan tahun silam yang memiliki kredibilitas positif di mata calon konsumen. Termasuk, saya yang yang kian terpikat usai menyaksikan tour show unit Freja Suites di laman resmi youtube BSD City Residential.

Bagaimana tidak? Sebab, setiap sudut di Freja Suites sangat memesona. Itu karena layout ruang yang inovatif dan fully furnished! Ya, ketika kita membeli unit di Freja Suites, sudah termasuk perabotan di dalamnya. Jadi, tidak perlu mengeluarkan dana lagi.

Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan itu membuat Freja Suites benar-benar jadi hunian ideal bagi saya di masa depan. Yupz, the Truly Urban House for Millenials in the Heart of BSD City!


*         *         *
Lokasi Freja Suites di pusat kota BSD City
(Foto: www.frejasuites.com)

*         *         *
Interior Freja Suites yang sangat memesona
(Foto: www.frejasuites.com)

*         *         *
Akses mudah dan fasilitas yang lengkap jadi jawaban Sinar Mas Land terkait
kebutuhan hunian bagi kalangan milenial

*         *         *
Youtube Freja Suites

*         *         *
Artikel Terkait BSD dan Sinar Mas Land
- Sinar Mas World Academy BSD
- Berawal dari Kebaikan

*         *         *
- Jakarta, 2 September 2020

Jumat, 31 Juli 2020

Antara Rokok, Cukai Naik, dan Pandemi


Talkshow yang diselenggarakan KBR dengan tema "Mengapa Cukai
Rokok Harus Naik Saat Pandemi" pada 29 Juli lalu


PANDEMI Koronavirus berdampak luas bagi umat manusia di kolong langit. Termasuk, di Tanah Air yang berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada Kamis (30/7) sudah mencapai lebih dari 100.000 jiwa yang terdampak.

Imbasnya, tidak hanya berdampak pada kesehatan dan ekonomi saja yang dirasakan nyaris seluruh lapisan masyarakat. Melainkan juga berbagai faktor lainnya, misalnya, industri, pariwisata, pertanian, jasa, dan sebagainya.

Tentu, yang fatal saat ini terkait kesehatan. Apalagi, jika seseorang yang mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM) dan terjangkit korona bisa berpotensi tinggi. Nah, berdasarkan riset Kementerian Kesehatan, salah satu faktor PTM adalah merokok.

Itu meliputi Kardiovaskular, Kanker, Paru Kronis, dan Diabetes atau Kencing Manis. Selain itu, rokok juga disebut jadi faktor risiko penyakit menular seperti TBC dan Infeksi Saluran Pernapasan.

Btw... Saya perokok! Yupz, jujur saja. Saya memang perokok aktif. Malah, sehari bisa sebungkus. Terlebih dengan profesi sebagai ojol alias ojek online yang membuat mayoritas waktu saya berada di jalanan. Alhasil, rokok sudah jadi tandem saya bersama kopi hitam dan cemilan yang meliputi gehu pedas dan kuaci.

Nah, sebagai ojol, tentu saya punya banyak waktu luang untuk melihat perkembangan informasi terkait Koronavirus. Tidak hanya di berita online saja, melainkan juga media sosial seperti twitter, facebook, dan instagram, serta rutin mengecek youtube. Bukan sekadar untuk dengar lagu atau mencari video klip terbaru, tapi juga untuk mengamati data terbaru mengenai Koronavirus.

Termasuk, saat menyimak talkshow yang diselenggarakan Kantor Berita Radio (KBR). Awalnya, terkesan akward mengingat saya perokok. Sementara, perusahaan media yang menyokong berita untuk 600 radio di Tanah Air dari Aceh hingga Papua ini mengusung tema yang menurut saya "agak berat". Yaitu, Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi?

Saya pun sempat mengernyitkan dahi. Sebab, sepengetahuan saya, berapa pun harga rokok, pembelinya pasti ada. Itu berdasarkan pengalaman saya yang kerap mengunjungi suatu tempat dan tetap beli rokok.

Misalnya, di Singapura yang per bungkus dibanderol 20 S$. Kalikan dengan Rp 10.000 per dolar Sin. Pun demikian ketika mengunjungi Malaysia, yang banderolnya 30 ringgit dan Wales, 10 poundsterling. Sementara, rata-rata rokok di Tanah Air, "hanya" Rp 20.000. Tergolong murah dan sangat menggoda bagi seluruh lapisan masyarakat.

Namun, saya juga sadar. Di tengah pandemi ini, Indonesia pun terkena dampak ekonomi. Itu mengapa, pemerintah menekankan kepada setiap individu, untuk memangkas pengeluaran yang tidak perlu. Termasuk, rokok yang bagi sebagian orang, termasuk saya, sudah jadi kebutuhan sehari-hari.

Masuk akal jika saat pandemi ini, cukai rokok dinaikkan. Memang, tidak serta-merta membuat orang untuk berhenti merokok. Minimal, akan berusaha mengurangi alokasi bujet untuk rokok. Termasuk, saya pribadi yang sudah melakukannya sejak April lalu terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Maklum, ketika itu, pendapatan berkurang drastis akibat dihentikannya sementara layanan penumpang. Alhasil, biaya untuk rokok pun direlokasi. Tadinya merek lumayan jadi "kelas bawah". Termasuk, awalnya beli per bungkus, menurun jadi setengah. Bahkan, saking bokeknya pada Mei lalu yang bertepatan dengan Ramadan membuat saya hanya mampu beli ketengan, per hari enam atau tiga batang.

Rasa penasaran saya terkait kenaikan cukai rokok pun terjawab saat menyimak lebih lanjut diskusi yang diselenggarakan KBR dengan menampilkan dua narasumber kompeten. Yaitu, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Profesor Hasbullah Thabrany dan Dosen serta Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Renny Nurhasana.

Ya, intinya kenaikan cukai tidak dimaksudkan untuk menghentikan konsumsi rokok di masyarakat. Namun, tindakan ini mampu mengendalikan peredaran rokok. Terutama, di kalangan mengengah ke bawah. Maklum, jadi ironi juga mengingat saat pandemi ini, perusahaan rokok mengklaim peningkatan jumlah produksi dan kenaikan permintaan rokok saat pandemi.

Saya pribadi mendukung rencana pengendalian tersebut. Meski saat ini masih aktif, tapi memang saya berencana untuk berhenti merokok, kelak. Mungkin, ketika sudah memiliki anak. Sebab, tidak lucu juga ketika asyik merokok, asapnya malah mengotori ruangan di rumah.

Niat saya untuk berhenti juga didasari pengalaman teman blogger yang merupakan perokok aktif sejak puluhan tahun. Namun, beliau bisa langsung berhenti seketika pada dekade lalu. Tepatnya, ketika berbincang dengan kolega sesama perokok di ruang tamu rumahnya.

Tidak lama, putranya yang masih balita langsung mencomot rokok dari asbak dan menghisapnya dengan gaya meniru sang ayah. Alhasil, wajah teman saya memerah karena enggan anaknya ikut-ikutan merokok. Sejak saat itu, teman saya pun berhenti ngudut hingga kini yang jadi inspirasi saya di masa depan.

"Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini."

*         *         *


- Jakarta, 31 Juli 2020

Jumat, 15 Mei 2020

Vermuk? 70% Gojekers Setuju, tapi...


Wefie alias foto bersama saya dengan kru Gojek pada suatu event di ibu kota
pertengahan tahun lalu 


VERIFIKASI muka (vermuk) akhirnya akan diberlakukan di Jabodetabek. Demikian pesan dari Gojek pada aplikasi mitra driver, Selasa (12/5).

Pro dan kontra pun merebak jelang peluncurannya dengan terlebih dulu uji coba pada 13 Mei hingga 15 Juni mendatang. Meski, saya dan mayoritas Gojekers (julukan driver Gojek) sudah menduganya sejak bulan lalu. Terutama, setelah beredar info di Batam telah diberlakukan uji coba vermuk.

Bak dua sisi mata pedang, ada yang setuju dan tentu saja menolak. Itu yang saya simpulkan di lapangan dari obrolan sesama driver.

Tepatnya, ketika sharing dengan 10 Gojekers secara random di berbagai wilayah ibu kota, baik saat menunggu orderan atau nongkrong bareng. Mayoritas di antara mereka, tujuh orang, setuju.

Alasannya, kompak. Vermuk bisa meminimalkan penyalahgunaan akun. Bisa dipahami mengingat banyak modus kejahatan yang melibatkan oknum Gojekers yang menimbulkan keresahan masyarakat, khususnya customer. Itu karena penjualan atau penyewaan akun beredar luas.

Tak heran jika dalam keterangan resminya, Gojek langsung menjemput bola.

"Selama ini kami menerima masukan dari Mitra tentang perlunya fitur untuk meningkatkan keamanan akun Anda. Terutama di masa pandemi ini, banyak pihak yang mengambil kesempatan untuk melakukan pembajakan akun."

Di sisi lain, 30% Gojekers yang menolak, menilai, tidak semua akun kedua disalahgunakan.

"Ga semua rekan kita yang beli, pinjam, atau sewa akun itu menyalahgunakan. Paling satu atau dua dari sekian banyak," kata salah satu Gojekers yang saya temui ketika sedang ngalong di suatu sentra kuliner ibu kota.

Tentu saja, dari 10 Gojekers yang saya temui itu, saya tidak menanyakan lebih lanjut apakah mereka pemilik akun pribadi atau tangan kedua. Secara, itu sudah masuk ranah pribadi. Alias, di luar kewenangan saya sebagai blogger yang merangkap ojek online (ojol).

Saya pribadi tentu mendukung diberlakukan Vermuk. Itu karena posisi saya sebagai mitra PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek).

Simpelnya, apa yang ada di aplikasi saya jalankan. Jika keberatan, tentu saya punya hak untuk mengabaikan, mengingat status saya hanya mitra dan bukan karyawan.

Tidak hanya soal vermuk saja, melainkan juga orderan. Jika ada orderan yang "tidak masuk akal" dan mendapat customer yang nakal dengan menjurus fiktif (opik), tentu saya menolak.

Pada saat yang sama, tentu saya tidak boleh mengabaikan kemanusiaan. Alias,  wajib berempati kepada Gojekers yang akunnya beli, pinjam, atau sewa. Secara, kami sama-sama cari nafkah demi keluarga. Hanya, jalannya saja yang beda.

Mungkin, Gojekers itu belum berkesempatan untuk buat akun resmi. Sebab, Gojek memang belum membuka pendaftaran bagi driver baru, Goride (sepeda motor). Apalagi, di masa pandemi ini, kantor Gojek atau DSU jam operasionalnya terbatas.

Alhasil, saran saya terkait vermuk ini, win-win solution. Ada baiknya jika buka pendaftaran Goride kembali usai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Gojek memprioritaskan lowongan untuk driver yang selama ini beli, pinjam, atau sewa akun dibanding calon driver baru.

Agar, mereka bisa kembali mencari nafkah demi keluarga tanpa khawatir dengan selfie saat mengambil orderan. Namun, prioritas ini hanya untuk pendaftaran saja.

Terkait orderan, tentu sesuai sistem yang berlaku dengan kemungkinan harus siap untuk adu sigap dengan sesama Gojekers lainnya agar sama-sama gacor. Setelah itu, baru terlihat seleksi alam yang sesungguhnya.*

Responden: 10
Status: Driver Goride
Durasi: 12-14 Maret 2020
Periode: 15.00-07.00 WIB (tentatif)
Gender: Pria
Usia: 25-55 (perkiraan)
Area: Jakarta Barat, Pusat, Utara, dan Selatan

*         *         *

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):
Jadi Agen GoPay, Rahasia di Balik Gacor Ngebid Saat PSBB
Kamaratih
Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm
Punya 2 Paspor, untuk Apa?
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek


Suasana Safety Riding yang diselenggarakan Gojek bekerja sama dengan
Rifat Drive Labs di kawasan timur ibu kota pada 2019


*         *         *
Disclaimer: Artikel ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi yang dipadukan dengan sharing rekan-rekan sesama ojol di lapangan yang khusus ditujukan di blog www.roelly87.com dan bukan dimaksud sebagai survei publik.

- Jakarta, 15 Mei 2014

Minggu, 10 Mei 2020

Jadi Agen GoPay, Rahasia di Balik Gacor Ngebid Saat PSBB






PEMBATASAN Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat sendi-sendi perekonomian di Tanah Air jadi menurun. Baik itu pengusaha, pedagang, wiraswasta, hingga ojek online (ojol).

Ya, termasuk saya yang merupakan ojol mitra Gojek (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa). dan mulai full time sejak Januari lalu. Dalam dua bulan pertama pada 2020, saya benar-benar merasakan nikmatnya sebagai ojekers -julukan ojol Gojek-.

Bisa dipahami mengingat per hari sejak pagi hingga lepas petang, minimal saya mendapat Rp 200 ribu. Itu bersih. Alias, sudah dipotong bensin, makan, air mineral, kopi, rokok sebungkus (maaf, saya perokok), cemilan gorengan, dan lain-lain. Kalau dihitung, bisa Rp 300-400 ribu.

Hanya, kemesraan itu tidak berlangsung lama. Sebab, pada 10 April, diberlakukan PSBB di Jakarta yang beberapa hari berselang diikuti kota-kota penyangga lainnya. Pembatasan ini berlanjut pada 24 April hingga 21 Mei mendatang. Bahkan, ada kemungkinan bertambah melintasi Juni. Tentu, kita berharap, PSBB cukup hingga bulan ini saja.

Kendati, tujuan pembatasan ini sangat baik. Tepatnya, untuk menekan peningkatan Covid 19 atau Corona.

Namun, harus diakui ada harga mahal yang harus ditebus. Salah satunya dari segi ekonomi yang membuat mayoritas masyarakat tidak bisa beraktivitas dalam mencari nafkah. Tentu, tidak hanya ojol saja. Melainkan juga profesi lainnya, seperti ASN, pedagang, pengusaha, industri, hingga pariwisata.

Nah, sebagai blogger yang sehari-harinya merangkap gojekers, tentu yang ingin saya bahas dalam artikel ini terkait ojol. Bohong jika selama PSBB ini pendapatan di dunia per-ojolan tidak turun, apalagi naik. Namun, seperti kata pepatah, selalu ada jalan menuju Roma.

Hingga awal April, rata-rata saya per hari mendapat Rp 200 ribu bersih. Ketika PSBB, menyusut drastis. Bahkan, pernah hanya puluhan ribu dalam sehari! Itu yang saya alami pada awal-awal PSBB mengingat saya akun pantat, alias histori di Gojek, terbiasa mengangkut penumpang (GoRide).

Beruntung, seiring waktu berjalan, saya mulai "terapi". Yaitu, membiasakan untuk lebih sering membeli makanan (GoFood), antar barang (GoSend), belanja (GoShop), dan layanan lainnya dari Gojek. Alhasil, sejak akhir April hingga kini, pendapatan saya sudah lumayan membaik. Memang, belum bisa setara ketika masih normal. Namun, untuk ukuran saat pandemi ini, per hari dapat Rp 150-200 ribu, bersih, itu sudah lumayan.

Tentu saja, itu diraih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Melainkan, harus terapi, sabar, dan rajin. Yupz, saya pernah nongkrong bareng rekan-rekan di salah satu pusat perbelanjaan di jantung ibu kota. Ketika itu, mereka bolak-balik beli makanan atau antar barang. Sementara, saya? Cukup jadi penonton. Nah, setelah terapi, saya dan mereka, sama-sama mendapat orderan yang bisa dibilang lumayan.

Ada banyak cara agar bisa gampang cari orderan alias Gacor. Beberapa di antaranya, berdasarkan pengalaman pribadi dan sharing dari rekan-rekan di lapangan, meliputi:

- Tidak pilih-pilih orderan. Baik itu GoFood, GoSend, GoShop, GoMed, hingga GoMart, ambil terus!

- Kurangi kapasitas memori di smartphone. Alias, uninstal aplikasi yang tidak perlu. Misalnya, di telepon seluler (ponsel) saya yang utama dipertahankan adalah Gojek Driver, Gojek, Google Maps, WhatsApp, Facebook, Twitter, dan Instagram. Secara tidak langsung, ini berpengaruh pada kinerja smartphone yang berkolerasi dengan aplikasi Gojek Driver dan Maps.

- Setel pengeluaran, harga maksimal orderan ke Semua. Jangan Rp 50, 100, atau 200 ribu. Secara, semakin besar setelan Anda, orderan pun kian gampang. Pengalaman pribadi, dalam sehari, saya rutin mendapat order di atas Rp 200 ribu. Bahkan, rekor tertinggi, nyaris sejuta! Tepatnya, Rp 937.800.

- Sisakan saldo Gopay di atas Rp 200 ribu. Ini berkolerasi dengan poin di atas. Bahkan, saldo saya selalu di atas Rp 500 ribu.

- Perhatikan rating kepada penumpang. Saya jarang memberi penilaian bintang empat ke bawah meski seburuk apa pun perlakuan customer. Bisa jadi, ini yang diperhatikan sistem Gojek. Sebab, jika kita kerap memberi rating buruk kepada penumpang, nanti algoritma mesin menyangka kita sebagai driver yang baperan! Yupz, biasakan kasih rating 5. Kecuali, jika cust itu memang parah. Mau tidak mau, yang apa adanya.

- Jadi agen GoPay. What? Yupz, saya kerap mengisikan GoPay kepada penumpang. Baik itu menawarkannya atau customer itu sendiri yang meminta. Nominalnya mulai dari Rp 25 hingga 500 ribu. Asumsi saya, ini cukup penting yang kemungkinan terbaca sistem, bahwa "akun kita cukup baik". Namun, harus diingat. Kita mengisikan GoPay jika sudah bertemu langsung dengan customer. Andai cust meminta cepat dan terburu-buru saat kita menunggu orderan GoFood atau GoShop, tentu lebih baik ditolak. Sebab, itu rentan penipuan. Oh ya, saya juga sering mendapat orderan GoFood dan GoShop di atas Rp 500 ribu dari penumpang yang belum memiliki rating. Untuk itu, saya biasakan menelepon Customer Service (CS) Gojek lebih dulu. Saya tanya riwayat calon customer tersebut. Jika operator CS menyebut, cust selalu menyelesaikan orderan, tentu saya akan lanjut. Sebaliknya, andai CS mengatakan cust baru sekali atau bahkan belum pernah order, sudah pasti saya cancel. Meski tarifnya besar, tapi mencegah lebih baik daripada mengobati.

Oke, cukup sekian sharing saya pada artikel ini. Nantikan, terkait orderan lainnya pada tulisan selanjutnya!

Salam satu aspal.

*         *         *
Isi GoPay ke customer Rp 500 ribu

*         *         *
Isi GoPay ke cust secara beruntun

*         *         *
Rekor orderan terbesar, Rp 937.800

*         *         *
GoFood dan GoShop yang aduhai

*         *         *
Cust belum ada rating tapi memiliki
riwayat baik dalam menyelesaikan
orderan setelah saya berkomunikasi
dengan CS Gojek

*         *         *
Awalnya deg-degan jika ada cust yang
bayar cash di atas Rp 500 ribu, tapi
seiring waktu jadi sudah terbiasa

*         *         *
Tip yang lumayan dari cust, dengan
rekor tertinggi saya dapat Rp 260 ribu
saat melaksanakan orderan GoShop di
kawasan Kemang

*         *         *
Sabar dan rajin kunci gacor?
Saya sih, yes!

*         *         *


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):
Kamaratih
Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm
Punya 2 Paspor, untuk Apa?
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek

*         *         *
Disclaimer: Artikel ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi yang dipadukan dengan sharing rekan-rekan sesama ojol di lapangan. Hasil setiap individu bisa berbeda tergantung situasi, waktu, dan lokasi. Jika Anda punya pengalaman serupa atau sebaliknya, bisa ikut berbagi pada kolom komentar.

- Jakarta, 10 Mei 2020

Selasa, 05 Mei 2020

Ahmad Dhani dan Jalan Tengah Dewa 19 di Album Bintang Lima



Beragam koleksi HaiKlip, termasuk Risalah Lima Bintang tentang Dewa
(Foto: Koleksi pribadi 2011/@roelly87)


DENGAN bergabungnya Once dan Tyo (drum), Dewa mengalami revolusi bentuk. Perubahan terasa hampir menyeluruh. Bukan cuma pada warna vokal atau sound drum, tapi juga gaya penulisan. Lagu Cemburu yang bernuansa rock and roll secara tegas memperlihatkan hal itu. Hanya saja, tarik ulur emosi selama masa penggarapan nampaknya sulit dihindari.

Kesulitan terutama dirasakan oleh Andra (gitar) yang sudah terbiasa dengan gaya vokal Ari Lasso. Menurut Dhani, vokal ngerock Once tergolong sulit dikawinkan dengan personel Dewa, termasuk Erwin Pras (bas). Jalan tengah yang diambil: Dewa mengikuti gaya Once. Hasilnya, ya, album Bintang Lima itu.

"Di album baru nanti, baru Once yang ngikutin gaya Dewa," katanya menjelaskan. Jika dikaitin ama konsep bermusik sebuah band, cara seperti ini tentu merupakan sebuah "penyelewengan". Rupanya dalam kerangka industri hiburan, gejala seperti ini sah-sah saja dilakukan. Toh, orang selalu bicara hasil akhir. Apalagi, di negeri dimana masyarakat musiknya selalu menggunakan angka penjualan sebagai barometer keberhasilan.

Sadar atau nggak, Dhani udah membiarkan dirinya larut dalam pusara tersebut. Dengan prinsip seperti itu, cowok yang melewatkan masa remajanya di Surabaya ini mampu bertahan dari kerasnya kehidupan Jakarta, dan berhasil membawa Dewa dari "band daerah" menjadi salah satu ujung tombak musik pop Indonesia.

Kini Dhani, yang belum lama menyelesaikan album solo Tere, tengah menuai hasil jerih payahnya selama ini. Ia memiliki rumah di jalan Pinang Emas, Pondok Indah, beberapa blok dari Mal Pondok Indah. Ia hidup tenang ditemani Maya Eksianty, mantan penyanyi latar Dewa 19, yang telah memberinya dua putra. Dhani juga punya studio pribadi yang terletak cuma "seperlemparan batu" dari rumahnya. 

Bangunan berlantai dua itu berfungsi sebagai kantor Dewa merangkap studio rekaman yang, menurutnya, dibiayai dari kocek pribadi. Untuk merenovasi rumah yang dikontraknya selama 4 tahun itu, dia mengeluarkan 100 juta rupiah.

Hasilnya memang funky. Pada dinding bagian atas tergambar dua relief bernuansa religius. Bagian kiri melukiskan umat Hindu tengah melakukan tapa sampai mati dan, diasumsikan, jiwanya sampai ke nirwana. Sedang bagian kanan memperlihatkan seorang pria berpakaian serba putih. Itulah varian dari ajaran Jalaludin Rumi, tokoh sufi yang dikaguminya. Dipadu dominasi warna pop art, Dhani nampaknya sengaja "membenturkan" dua kultur yang berbeda. Yakni, tradisional dengan modern.

Nah, dari tempat itulah dia mengekpresikan naluri seni, termasuk merekam album-album Dewa. Dia memanfaatkan waktu luang dengan bermain sepak bola bareng para kru dan personel Dewa lainnya. Penghuni tempat itu memang penggila bola semua.

Itulah Ahmad Dhani, figur dominan dalam Dewa. Dia pemain keyboard, vokalis, dan penulis sebagian besar lagu. Gerayangan tangannya bahkan sampai ke soal negosiasi dengan promotor atau pihak luar lainnya. Padahal Dewa sudah punya Didiet Dada sebagai manajer. Tapi, sampai sekarang, dia masih ikut turun tangan dalam masalah keuangan. Kalo mau jujur, kelebihan Ahmad Dhani ini sekaligus merupakan kelemahan Dewa dalam konteks profesionalisme.

"Kalo gua dinilai dominan, wajar saja. Dari dulu di Dewa apa-apa gua yang melakukan. Dari mulai nawarin master rekaman, naik turun bus kota di Jakarta, sampai ngurus kontrak sama promotor. Selain itu, di Dewa cuma gua yang anak pertama, lainnya kan bungsu semua. Mungkin karena itu, jiwa kepemimpinan gua lebih menonjol daripada yang lain."

Dhani lantas menganalogikan dirinya sebagai gabungan dari berbagai potensi. Dia adalah George Martin (produser The Beatles), Brian Epstein (manajer The Beatles), Paul Mc Cartney (penulis sebagian besar lagu The Beatles), Roy Thomas Baker (produser sejumlah album Queen) dan lain sebagainya.

Dengan kalimat ringkas, dia adalah sosok yang mampu melakukan beragam pekerjaan dalam waktu bersamaan. Boleh jadi, daftar ini akan bertambah panjang dengan pekerjaan baru yang ingin dilakukannya: Kontraktor!

Pentolan Dewa jadi kontraktor? "Lho, mengapa tidak? Gua kan senang mendesain. Siapa tau nanti ada yang ngebutuhin model rumah hasil rancangan gua," katanya terkekeh.

Ya, tapi kalo Dhani yang merancang interior sebuah rumah, sudah terbayang ongkos yang harus dikeluarkan!

*        *        *

Sebelumnya:
Ahmad Dhani di Antara Dewa 19 dan Reza
- Ahmad Dhani di Antara ISO, Queen, dan Rumi 

Artikel Terkait Ahmad Dhani
KamaRatih

Windy Ghemary
- https://www.kompasiana.com/roelly87/54f5f14da33311a17c8b4660/di-balik-panggung-mahakarya-hut-rcti-ke25?page=all#sectionall


*        *        *
Keterangan: Artikel ini disadur secara utuh dari koleksi pribadi, HaiKlip 25 Years In Rock! #1/2002 yang diketik ulang, usai santap sahur 12 Ramadan 1441


Jakarta, 5 Mei 2020

Kamis, 30 April 2020

Ahmad Dhani di Antara ISO, Queen, dan Rumi


Poster Dewa yang menghiasi kamar saya bersanding dengan Guns N' Roses
sebagai salah satu band terfavorit
(Foto: Koleksi pribadi/@roelly87)


PADA 1998 dia meluncurkan album solo Ideologi, Sikap, Otak (ISO) lewat kelompok bentukannya yang diberi nama Ahmad Band. Semua personelnya memiliki nama besar: Andra Junaidi (gitar, Dewa), Pay (gitar, BIP - mantan Slank), Bongky (bas, BIP - mantan Slank), dan Bimo drumer, mantan Netral).

Biar secara musikal layak diperhitungkan, album ini nggak ada cerita sukses komersilnya. Yang terungkap justru kegilaannya pada Soekarno, mantan Presiden pertama RI. Sampul albumnya aja menampilkan Dhani yang bergaya ala proklamator kemerdekaan itu.

Lagu-lagu Ahmad Band memperlihatkan keakraban Dhani pada musik rock, yang selama ini nggak pernah "menampakkan batang hidungnya" dalam lagu-lagu Dewa. Apalagi di awal karir musiknya, cowok kelahiran Jakarta 26 Mei 1972 ini sebenarnya lebih banyak memainkan jazz, yakni semasa bersekolah di Surabaya. Tapi meski pernah mengukir prestasi lewat grup Down Beat, Dhani akhirnya menyadari bahwa bakatnya bukan di situ. Lantas, dia pun pindah jalur dan mulai rajin menymak lagu-lagu pop dan rock.

"Di situ gua sadar bahwa John Lennon ternyata lebih besar dari Chick Corea," kenangnya. Toh, dia kesulitan untuk mendeskripsikan perbedaan kedua tokoh tersebut,bahkan dengan kalimat sederhana sekali pun. Dia terlihat lebih bersemangat saat menyinggung esensi dari musik rock itu sendiri. Rock baginya bukan semata-mata soal pencapaian estetika seni musik, tetapi juga pencapaian rasa. Artinya, untuk membuat karya rock yang baik nggak mungkin menyentuh kedua hal barusan dengan sepotong-sepotong.

"Karena itu, gua heran sampai sekarang masih ada pemusik yang menilai bahwa skill musik pemain jazz lebih bagus dari pemain rock. Atau skill pemain rock lebih bagus dari pemusik pop. Bagi gua musik apa pun bukan soal pencapaian estetika bentuk, kok," katanya panjang lebar.

Konon pencapaian rasa itu pula yang mengantar karir Dhani hingga seperit sekarang ini. Dengan mempertimbangkan energi rock sudah bercokol di benaknya, Dhani mengaku enggak akan bersedia menangani Reza lagi.

Walaupun mengidolakan John Lennon, toh grup musik yang berhasil embuatnya "jatuh cinta" setengah mati adalah Queen. Dia hapal di luar kepala nama produser yang menggarap semua album grup yang bubar karena ditinggal mati vokalisnya itu.

Bagi Dhani, The Beatles dan Queen adalah komposer terbesar setelah era John Sebastian Bach. Nggak kurang 50 album Queen tersimpan rapih di rumahnya. Koleksinya amat beragam dari Coldplay sampai Maria Callas. Referensi tersebut dikumpulkan dengan berbagai cara, termasuk rutin mendatangi pedagang kaset dan CD bekas di Taman Puring, Mayestik, Jakarta Selatan.

"Kalo diitung, investasi gua yang tertanam di sana (taman Puring, RED) ada 'kali 20 juta." Dhani juga doyan belanja laserdisc musik yang kini menurutnya sudah berjumlah 200-an.

Sebagai pemusik, Ahmad Dhani termasuk yang percaya pada kekuatan lirik. Untuk itu, dia selalu berusaha memberi roh pada setiap lirik yang ditulisnya. Referensinya untuk hal ini adalah setumpuk buku yang ditulis Jalaludin Rumi, tokoh sufi tahun 1200.

"Jadi, kalo orang menyangka gua penggemar Kahlil Girbran itu sebenarnya keliru," kata Dhani sambil memperlihatkan koleksi buku-bukunya.*

Bersambung...

*        *        *

*        *        *

Sebelum dan Selanjutnya:
#1 Ahmad Dhani di Antara Dewa 19 dan Reza
#3 Ahmad Dhani dan Jalan Tengah Dewa 19 di Album Bintang Lima

Artikel Terkait Ahmad Dhani
KamaRatih

Windy Ghemary
- https://www.kompasiana.com/roelly87/54f5f14da33311a17c8b4660/di-balik-panggung-mahakarya-hut-rcti-ke25?page=all#sectionall


*        *        *
Keterangan: Artikel ini disadur secara utuh dari koleksi pribadi, HaiKlip 25 Years In Rock! #1/2002 yang diketik ulang, usai santap sahur 7 Ramadan 1441


Jakarta, 30 April 2020