TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Soe Hok Gie: Prabowo Cerdas tapi Naif

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Senin, 16 Januari 2017

Soe Hok Gie: Prabowo Cerdas tapi Naif


Nisan Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti

SIANG itu, langit ibu kota tampak mendung. Pada purnama menjelang Kartika itu, Museum Taman Prasasti hanya sedikit mendapat kunjungan. Beberapa di antaranya membawa kamera untuk mengabadikan eksotisnya cagar budaya ini. Termasuk, saya dan rekan yang memang sudah lama ingin mengunjungi Museum Taman Prasasti.

Bagi saya, museum ini sama sekali tidak asing. Karena sejak dekade 1990-an sering mengunjunginya. Maklum, lokasinya yang terletak di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat, ini dekat dengan sekolah saya. Jadi, saya sering mendatanginya ketika berenang di Kolam Renang Kebon Jahe atau Perpustakaan Umum Jakarta Pusat yang berada tepat di sebelahnya.

Mengunjungi museum ini ibarat tapak tilas pada masa lalu. Sebab, terdapat makam dan nisan dari tokoh sejarah. Beberapa di antaranya seperti Rudolf Köhler yang merupakan tokoh militer Belanda pada era kolonialisme, Olivia Marianne (istri dari Thomas Raffles), dan Soe Hok Gie (aktivis mahasiswa dekade 1960-an).

*         *         *
"DARI pagi keluyuran dengan Prabowo ke rumah Atika, ngobrol dengan Rachma, dan membuat persiapan-persiapan untuk pendakian Gunung Ciremai." Demikian, penggalan dari catatan harian Soe Hok Gie pada 29 Mei 1969 yang saya baca dua tahun lalu. Tepatnya, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang melibatkan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo.

Saat itu, saya dipinjami buku berjudul "Catatan Seorang Demonstran". Jujur saja, saya kurang tertarik dengan keseluruhan isinya. Meski, ada beberapa yang saya suka mengingat saya merupakan penggemar sejarah. Salah satunya, terkait hubungan Soe Hok Gie dengan Prabowo.

Bagi saya ini menarik. Kebetulan, sejak 2008 saya memang mengagumi Prabowo. Tentu, itu terlepas dari sisi kontroversialnya terkait penculikan mahasiswa menjelang reformasi. Bagaimana pun, benar atau salah belum terungkap. Pasalnya, hingga kini Prabowo tidak pernah disidang dalam Mahkamah Militer yang biasanya ditujukan untuk perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dalam "Catatan Seorang Demonstran", terdapat beberapa tulisan mengenai Prabowo. Jelas, ini mengundang antusiasme saya kendati saya bukan penggemar Soe Hok Gie.Kebetulan, usia mereka terpaut nyaris sembilan tahun. Soe Hok Gie kelahiran 17 Desember 1942 dan Prabowo (17 Oktober 1951).

Kendati usianya selisih cukup jauh, mereka tetap bersahabat. Layaknya, Cao Cao dengan Guo Jia atau sumpah di bawah pohon persik antara Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei. Maklum, Prabowo merupakan putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo yang kerap memberi dukungan secara finansial kegiatan mendaki gunung.

Di sisi lain, Soe Hok Gie dikenal sebagai pencintan alam yang sering mendaki gunung di Tanah Air. Itu dilakukan hingga meninggal dunia akibat menghirup gas beracun, sehari sebelum merayakan HUT ke-27 pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur, yang merupakan puncak tertinggi di pulau Jawa.

Kendati lebih senior, Soe Hok Gie sangat mengagumi Prabowo. Itu diungkapkannya saat menghadiri deklarasi Gerakan Pembaruan di rumah Soemitro. Ketika itu, Prabowo yang baru lulus SMA dan belum genap 17 tahun membaca jurnal Indonesia terbitan Cornell University yang membuat seluruh peserta kagum dengan wibawanya.

Soe Hok Gie mengukirnya dalam catatan harian 25 Mei 1969, "Ia cepat menangkap persoalan dengan cerdas tapi naif. Kalau ia berdiam dua-tiga tahun dalam dunia nyata, ia akan berubah.

Bahkan, Daud Sinjal, jurnalis senior menyebut, sepatu yang digunakan Soe Hok Gie untuk melakukan pendakian terakhirnya ke Gunung Semeru, merupakan pinjaman Prabowo. Wajar saja mengingat Soe Hok Gie dan Prabowo bersahabat erat tanpa memerdulikan usia. Apalagi, Prabowo dikenal sebagai pribadi yang supel dan loyal terhadap siapa saja.

Itu diungkapkan Jopie Lasut, aktivis 66 yang juga jurnalis senior. Sebelum berangkat ke Gunung Semeru, Soe Hok Gie memang mencari sepatu yang berkualitas. Kebetulan, ekonomi Indonesia saat itu tidak seperti sekarang. Apalagi, Soe Hok Gie bukan berasal dari keluarga mampu yang dengan mudah membeli apa yang diinginkan.

Ketika itu, tidak banyak orang yang punya sepatu lars. Salah satunya, Prabowo yang meminjamkannya untuk Soe Hok Gie. Ternyata, itu jadi pemberian terakhirnya. "Prabowo sangat sedih karena Soe Hok Gie seorang idealis tapi meninggal di usia muda," tutur Jusuf Rawis, aktivis mahasiswa 66 mengenang persahabatan keduanya.

Tiga dekade kemudian, Prabowo mengikuti jejak Soe Hok Gie untuk melakukan pendakian ke gunung tertinggi. Namun, bukan di pulau Jawa atau Indonesia, melainkan Gunung Everest yang merupakan puncak tertinggi di dunia.

Itu terjadi pada 26 April 1997 saat Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) ini menaklukkan gunung yang terletak di perbatasan Nepal-Cina tersebut. Ketika itu, Prabowo melakukannya bersama Tim Nasional Indonesia yang terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, dan Mapala UI. Untuk kali pertama, bendera merah putih berkibar di puncak tertinggi dunia yang ekspedisinya dimulai sejak 12 Maret 1997.

*         *         *
RINAI membasahi tanah di sekitar makam di Museum Taman Prasasti. Wangi harum tercium dari berbagai nisan setelah mendapat guyuran sang dewi hujan. Menjelang senja, pengunjung kian sedikit karena waktu operasi museum memang sudah berakhir. Menurut salah satu petugas, Museum Taman Prasasti buka sejak Selasa hingga Minggu pada pukul 09.00-15.00 WIB.

"Setiap hari buka kecuali Senin. Waktu tutup itu digunakan untuk membersihkan areal museum. Juga untuk melakukan perbaikan jika ada makam yang rusak dan perawatan rutin koleksi lainnya," tutur salah satu petugas yang berbincang dengan kami.

Beliau pun menunjukkan berbagai koleksi lainnya dari Museum Taman Prasasti. Termasuk, yang menarik perhatian kami setelah nisan Soe Hok Gie, "Itu, peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta. Kalau makamnya di Blitar, ini (peti jenazah) asli yang mengantar perjalanan Bung Karno menuju peristirahatn terakhirnya."

Ya, sama seperti nisan Soe Hok Gie yang kosong. Sebab, jenazahnya sudah dikremasikan dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango, Jawa Barat. Namun, namanya tetap harum hingga kini.

Nisan Soe Hok Gie di antara makam lainnya di Museum Taman Prasasti
*         *         *

Referensi: 
- Catatan Seorang Demonstran (koleksi rekan)
- Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2014, 6 Juli 2014 (Koleksi Pribadi)
- Majalah Tempo Edisi Khusus Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi, 10 Oktober 2016 (Koleksi Pribadi)
- http://kopassus.mil.id/profil-satuan/
- http://www.antarasumbar.com/berita/101435/prabowo-pada-usia-17-tahun-dirikan-lsm.html
- http://www.rmol.co/read/2014/06/07/158491/Soe-Hok-Gie-Pun-Memuji-Prabowo-sebagai-Orang-Cerdas-
- https://travel.detik.com/read/2015/10/09/101715/3040266/1519/nisan-dua-pribumi-di-museum-taman-prasasti-siapa-mereka
- http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Museum_Taman_Prasasti

*         *         *
Artikel Terkait:
Cindy Adams dan Misteri Dua Paragraf Otobiografi Bung Karno

*         *         *
- Jakarta, 16 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.

Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...

Terima kasih :)