TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Rabu, 21 April 2021

Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal

Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal

Ilustrasi (Foto: www.roelly87.com)


*       *       *

POV Irawan

BEBERAPA hari usai keganjilan di basecamp ojek online (ojol) tempat gw dan beberapa rekan kumpul, situasi kembali normal. Memang, basecamp itu selalu jadi tempat istirahat atau menunggu penumpang bagi ojol.

Maklum, kawasan di sekitar kami tinggal tergolong "basah" karena terdapat pusat perbelanjaan, kuliner, gudang, hingga pabrik. Alhasil, cukup menunggu di basecamp, maka orderan pun sering datang. 

Namun, pantang bagi kami, ojol untuk mengambil penumpang tanpa aplikasi. Sebab, itu merupakan domain ojek pangkalan (opang) yang basecamp-nya hanya berjarak ratusam meter.

Antara kami dan opang saling menghormati. Apalagi, bagaimana pun, opang lebih dulu eksis dibanding ojol.

Itu mengapa, jika ada setiap penumpang yang ingin naik tanpa aplikasi, kami tidak pernah mengambilnya dan menyarankan untuk memilih opang. Kecuali, jika masih ada hubungan keluarga, tetangga, atau kenal.

Seperti tadi, ketika gw dan Ekalaya rebahan, ada calon penumpang yang ingin masuk kerja shift malam ke pabrik berjarak sekitar 1,5km. Usai menolak dengan halus, gw dan sohib gw itu kembali menunggu orderan penumpang, food, atau kirim barang sambil ngalor ngidul. Kebetulan, hari masih pagi -bagi kalongers-, sekitar pukul 19.00 WIB.

"Tumben lo masih rebahan jam segini. Biasa udah bolak-balik saking gacornya," kata gw kepada Eka yang sedang streaming Ahmad Band via youtube di ponselnya.

"Istirahat ngab. Mayan pegal, keluar dari jam 4, jauh terus," sohib yang mengaku Juventini sejak 1994 ini menjelaskan.

"Btw, pada kemana yang lain? Drestajumena dan Jayadrata juga tumben ga langsung balik abis pada dapat di pabrik," Ekalaya melanjutkan.

"Ga tahu. Di grup sih gw lihat, mereka lanjut dapat kardus," jawab gw.

"Btw, kalo ngomongin Dresta dan Jaya jadi inget kejadian Kamis lalu."

"Ha ha ha. Goblok lo pada. Bertiga tapi kabur semua," Eka menyahut.

"Serem, njir. Gw sama Dresta dan Jaya pas noleh lagi, lo udah ilang. Mana bau kembang lagi. Apalagi, malam jumat tuh," gw menjelaskan insiden kehadiran makhluk halus yang menyerupai Eka.

"Btw, lo ini beneran apa bukan nih. Secara, kita cuma berdua."

"Ebuset, parno lo kambuh. Ya iyalah, gw Eka. Lo ga lihat gw pegang hape, apa? Mana ada hantu sambil streaming?" ujar Eka, terkekeh.

"Kaga, ngab. Khawatir aje, ini bukan lo," kata gw sambil melempar botol air mineral yang tepat kena keningnya.

JDUK...

Bunyinya nyaring. Berarti, Eka beneran. Soalnya, kalo tuh botol tembus, berarti gw ga pake lama deh, langsung sipat kuping.

"Biar tambah yakin, kalo lo ini asli. Coba jawab, apa kelebihan gw," lanjut gw menatap Eka yang asyik menyeruput kopi panas di termos mini hasil goodybag Asian Games 2018.

"Kelebihan lo? Ga ada nyet. Kekurangan banyak."

"Njir... Mulai deh buka kartu."

"Iye, lo ga inget di Harmoni waktu STM lo dibantai kering sepupu gw dan teman-temannya? Kalo ga ada gw, sekolah lo yang segambreng itu tapi pada ciut jika ketemu STM si Abimanyu, bisa jadi sansak hidup," Eka menjelaskan peristiwa 2003 silam. 

Salah satu kenangan yang ga bisa gw lupain seumur hidup. Tepatnya, ketika 60-an anak STM gw kocar-kacir waktu diserang balik sekolah Abi yang hanya berjumlah belasan. Bahkan, gw udah terpojok depan Carrefour, nyaris mendapat "kenang-kenangan" dari Seta, anak Semanan yang megang kelas dua STM 1 DKI, alias seangkatan dengan gw dan Eka. 

Itu akibat celurit yang gw pegang terlepas saat beradu dengan parang Eka. Sebenarnya, gw ga pernah bawa senjata tajam (sajam), alias mengandalkan fisik saja atau kalau kepepet ya batu. 

Namun, ada saja di antara anak di sekolah gw yang menyimpan sajam, entah itu gir, parang, katana, celurit, hingga kelewang. Gw yang terpojok sulit mengambil kembali celurit yang aslinya punya anak kelas tiga sekolah gw pun terancam parang milik Seta.

Beruntung, ada Eka yang berteriak kalo gw merupakan "mangsanya". Alias, jangan sampe gw diganggu.

Tentu, Seta menolak. Apalagi, STM-nya memang sejak dulu memandang remeh sekolah Eka yang mayoritas kaum hawa.

Bahkan, SMA Abi merupakan side kick dari STM Camp Java yang ironisnya sama-sama jadi rival sekolah gw, Boedoet, dan DKI. Ya, ketiga STM ini merupakan musuh satu sama lain.

Hanya, Seta enggan gegabah. Itu mengingat status Eka yang megang SMU di sekolahnya justru sepupu Abi, pentolan DKI.

Ya, riwayat kenakalan gw saat berseragam putih abu-abu memang dipenuhi keringat, darah, dan air mata. Dalam sejarahnya, baik tawuran atau duel one by one, rekor gw memang ga sempurna. Tiga kali kalah.

Pertama, dari Abi pada awal caturwulan gw kelas dua. Sepupu Eka ini memang setingkat lebih tinggi, alias kelas tiga. Namun, harus diakui, saat itu nyalinya memang nomor satu. Abi ga pernah kalah saat duel. Gw pun jadi bulan-bulanannya dua kali ketika one by one di Lapangan VIJ, Roksi, dan saat beradu sajam di depan Citraland.

Selanjutnya, gw takluk dari Dursasana, yang megang STM Poncol saat pecah tawuran di Kramat Raya. Saat itu, bus rombongan gw diserang mereka yang berasal dari gabungan tiga sekolah bersama STM Ploeit dan SMA negeri di Mangga Besar.

Terakhir, dengan Eka yang skornya 1-2. Nah ketika insiden Harmoni itu, permintaan Eka tidak langsung diiyakan Seta yang masih mengibaskan parang depan muka gw.

Eka pun tampak geregetan dengan Seta. Hanya, dia tidak bisa apa-apa mengingat statusnya sebagai orang luar.

Beruntung Seta tidak jadi menyabetkannya setelah sempat menoleh ke Abi yang justru sedang nyantai. Abi pun mengangguk sebagai isyarat agar Seta memenuhi permintaan Eka.

Tentu, Seta 100 persen menurut. Sebab, perkataan Abi merupakan titah bagi anak-anak STM DKI. Termasuk, Seta yang megang kelas dua pun tidak punya pilihan. Selain kalah abu, juga terkait reputasi Abi sebagai legenda hidup pelajar bengal pada dekade 2000-an. Tidak terhitung berapa kali dia tawuran atau duel dengan pelajar lain, baik dari STM, SMA, bahkan veteran dan alumni.

Anehnya, Abi yang di STM jurusan mesin, sekarang kerja kantoran sebagai salah satu karyawan di instansi pemerintah di kawasan Medan Merdeka Selatan dengan posisi cukup tinggi. Gw pun baru tahu saat bertemu dengannya belasan tahun kemudian di rumah Eka.

*       *       *

"WOI... Bengong aja. Awas, kesambet lagi," tutur Eka yang menyadarkan lamunan gw.

"Si anjrit, gw lagi mikir kapan aplikator kasih kitab bonus lagi," gw berkilah.

"Ga usah dipikirin bonus mah, mending banyakin orderan biar gacor yang berujung duit datang sendiri tanpa ngarepin bonus," lanjut Eka yang sejak ngojol pada 2019 memang gw tahu sama sekali ga perduli sama bonus. 

Ibaratnya, kalo di antara anak-anak di basecamp ngejar tupo atau tuber, Eka mah nyantai aja. Tahu-tahu, sehari kumpul Rp 300-500 ribu. Maklum, Eka tipikal ojol petualang, alias hobi ngambil orderan jauh yang tentu argonya juga gede.

"Gw jadi inget waktu itu. Kok lo bertiga takut sama makhluk halus. Sementara, dengan begal dan gangster aja, kalian berani ngadepin paling depan," Eka kembali menyoal insiden di basecamp.

"Kaget njir. Kalo begal atau gangster kan disentil pake parang juga berdarah. Nah, itu makhluk halus mana mempan. Si Jaya aja yang kabur paling terakhir, liat kaki 'kembaran lo' ga napak tanah," gw menjelaskan. 

"Nah itu... Coba kalo makhluk halus yang menyerupai gw ngambil motor salah satu dari lo bertiga. Tentu, kalian bakal mati-matian mempertahankan. Jangankan cuma satu makhluk halus, bahkan Raja Iblis Pikkolo pun kalo coba ngegarong motor lo pada, gw yakin kalian bantai," lanjut Eka.

"Yongkru, pasti lah. Bagi kita-kita sebagai ojol, motor itu seperti nyawa kedua. Ga bakal rela kita kehilangan kuda besi ini."

"Nah kan, bener kata gw. Jadi inget waktu phalguna tahun lalu, lo sendirian ngadepin tiga begal di Sunter. Gw jadi ngebayangin lo masih muda pas sendirian ngebantai anak Camp Java di depan Roxy Mas. Tapi percuma, beraninya sama begal dan anak STM doang, giliran ketemu soket pada kabur," Eka tertawa semringah.

Apa yang diucapkan Eka memantik kembali semangat gw sebagai ojol yang ga kenal takut. Baik kepada ormas, kang parkir liar, security komplek yang ngehe, hingga begal. Terutama, peristiwa setahun lalu...

*       *       *

RINAI baru saja membasahi ibu kota menjelang pergantian hari. Gw pun menepikan kendaraan sejenak di depan halte Kelapa Gading arah pusat perbelanjaan. Meski mendekati larut, kawasan yang sedang dibangun kereta layang ini masih ramai. Tampak beberapa rekan ojol yang ngalong asyik menunggu penumpang.

"Bang, anter ke Kemayoran yuk. Ini saya ada 100 ribu," ujar seorang pria berambut belah tengah dengan pakaian parlente yang tangan kirinya menjinjing tas kemungkinan berisi laptop dan kanan menyodorkan uang pecahan Rp 100.000.

"Waduh, maaf bang. Saya ga bisa. Itu ga jauh, ada opang. Bisa ke sana bang," jawab gw yang memang jarang mengambil penumpang tanpa aplikasi.

"Baterai saya habis bang. Mau pesan ojol ga bisa buka aplikasi. Ga apa-apa, lumayan dekat bang. Saya mau pulang abis meeting dengan klien."

Sebenarnya, gw enggan mengangkut. Namun, gw akui terlena lembaran merah yang disodorkan. Maklum, jika pakai aplikasi, tarifnya hanya Rp 30-50 ribu. Itu pun belum dipotong biaya layanan 20 persen. Apalagi, rutenya arah balik ke rumah gw. Beda cerita jika harus ke Priok atau Cakung yang kian jauh.

"Oke bang. Ini helmnya," kata gw yang menetapkan hati meski perasaan sempat tidak enak.

Sepanjang jalan, tidak ada yang aneh. Hingga ketika lewat Jalan Danau Sunter, tiba-tiba orang itu menepuk pundak gw.

"Bang, berhenti sebentar. Ada telepon masuk. Kalo sambil jalan, saya ga kedengeran."

"Depan aja bang. Ini masih sepi, rawan," gw tetap melajukan motor.

"Lo mau berhentiin motor atau nyawa lo yang gw berhentiin," ujar penumpang itu sambil menodongkan benda tajam di pinggang gw yang berasa dingin. Njir, kemungkinan, itu pisau!

Hanya beberapa detik kemudian, dari spion kanan, gw lihat ada satu motor mendahului. Tak lama, berhenti melintangi motor gw diikuti turunnya kedua orang. 

Si botak yang mengendarai motor matic mengarahkan celuritnya. Selanjutnya, si gondrong dengan parang turut memberi kode kepada penumpang gw.

"Santai aja bro. Gw mohon kerja samanya ya," tutur si botak, tertawa.

"Kalo lo serahin motor, hp, dan dompet, lo bakal aman," ujar si belah tengah yang kini sudah berdiri di samping gw usai motor gw pinggirin, tapi tetap tangan kanannya mengarahkan pisau ke perut gw.

Si botak pun dengan sigap merogoh tas selempang gw untuk mengambil hp dan dompet. Dalam situasi ini, gw hanya dihadapkan pada dua pilihan: Melawan dengan risiko nyawa terancam. Atau, menyerahkan harta gw, terutama motor yang bakal bikin gw nganggur akibat tidak bisa ngojol.

"Selow bang. Gw buka helm dulu," kata gw sambil mengamati situasi yang sangat sepi.

"Nah gitu dong. Kita ga butuh nyawa lo, cuma pengen motor dan harta lo aje. Aman kok," ucap si gondrong yang dari nafasnya bau alkohol. Empuk nih!

Secara perlahan, gw buka tali helm ojol. Selanjutnya, tinta sejarah turut mencatat.

*       *       *

SYUUT...

PLAK!!!

Lemparan helm gw tepat kena muka si gondrong yang langsung memegangi hidungnya akibat refleks. Alhasil, gw segera loncat dari jok untuk mencomot parang.

Pada saat yang sama, si belah tengah yang merupakan penumpang abal-abal bersiap menikamkan pisaunya. Pun demikian dengan si botak yang menyabet celuritnya.

Bagi gw, ga masalah dikeroyok tiga orang sekaligus. Menurut perhitungan, baik tangan kosong maupun pakai sajam, secara pengalaman biasanya satu lawan satu jelas gw menang. 

1vs2 gw masih unggul, 1vs3 imbang, 1vs4 gw di bawah angin, 1vs5 jelas kalah, dan 1vs10 gw wajib sipat kuping karena peluang menang hanya nol koma sekian persen.

Si gondrong yang hidungnya keluar kecap sempoyongan ikut mengepung gw dengan tangan kosong bersama belah tengah dan botak.

Anjrit, gw berasa tapak tilas era Sam Kok! Tepatnya, gw yang jadi Lu Bu dikeroyok Zhang Fei yang perawakannya mirip botak, Guan Yu ala-ala belah tengah, dan gondrong yang paling lemah seperti Liu Bei.

"Kalian serius mau begal gw? Gw kasih tahu aja, sendirian lawan lo-lo pada, tetap gw menang. Mending, kalian balik, cuci muka, minum obat cacing, dan tidur," ujar gw tertawa sambil mengayunkan parang.

Ya, di balik sesumbar ini, gw coba untuk memancing emosi mereka. Bagaimanapun, satu lawan tiga bukan duel ideal. Meski menang, gw khawatir harus membayar mahal akibat luka sajam.

"Bacot lo Njing!" sahut gondrong sambil melempar helm yang dipungut bekas sambitan gw. 

Pancingan gw terbukti tepat. Jelas, gondrong yang paling emosional. Lemparannya dengan mudah gw tangkis lewat tangan kiri. Sakit juga. Namun, tak masalah dibanding rasa sakit gondong yang puluhan kali lipat.

SYUTTTT

JLEB!

"Aduh... Sakit mak," teriak gondrong ketika pundaknya gw sabet parang dan pahanya gw tusuk. Dia pun ambruk dengan telungkup.

Di sisi lain, gw dengar samberan benda tajam di belakang gw.

SYUNGGGGG

SSS...

Nyaris saja! Untung gw sudah prediksi. Kalau ga, celurit si botak udah nancap di pundak gw. Sayangnya, dia terlihat amatir dengan sajam.

Padahal, sejak kecil, gw yang berasal dari The Bronx-nya Jakarta, jelas udah main-main dengan benda seperti itu. Baik belati, golok, celurit, kelewang, katana, mandau, hingga karambit! 

Jadi, gw ga gentar menghadapi si gondrong dan belah tengah. Di atas kertas, gw yakin sohib gw, Ekalaya juga bisa mengatasi mereka bertiga jika mengalami hal yang sama. Kalo Abi? Jangan ditanya! 

Dikeroyok belasan pelajar pake sajam di Gunung Sahari pun, Abi sangat asyik meliuk-liuk bermodalkan gesper. Wajar jika sejak kelas 1, sepupu Eka ini udah jadi pentolan DKI.

WUSSS

TRANG... TRANG... TRANG

Gw yang balik nyerang lewat bacokan parang secara vertikal mampu dihalau si botak dengan susah payah. Dari arah kiri, tangan si belah tengah lurus menusukkan pisaunya ke perut gw. 

Gw pun mengegos ke samping. Gw bisa aja mencabut parang yang sedang diarahkan ke si botak dengan menyabetnya secara horizontal ke kepala si belah tengah. Alias, taktik gugur gunung.

Hanya, gw punya spekulasi lain.

Usai menghindari pisau, gw arahkan kaki gw ke "area jackpot" si botak.

JDUK

Anjrit. Pasti sakti tuh. Minimal si botak bakal mules terus dalam beberapa hari ke depan. Apalagi, tendangan gw telak banget ke dua bola di bawah perut botak yang membuat celuritnya lepas.

Sosok yang sekilas mirip Brock Lesnar ini pun KO mengikuti si gondrong. Tinggal, si belah tengah saja. Biang keladi yang gw kira orang kantoran dengan tampang paling friendly dibanding dua temannya, ga tahunya malah begal. Anjing!

Tanpa basa-basi gw sabet parang ke lengannya. Bisa sih gw tikam ke perutnya. Secara, jangkauan parang lebih luas ketimbang pisau. 

Namun, gw enggan jadi pembunuh. Niat gw sekadar melumpuhkan. Bukan menghabisi. Apalagi, gw teringat dua anak di rumah, terutama bocah yang sedang lucu-lucunya.

Ga lucu kalo gw harus ngebunuh orang. Meski, niat gw demi melindungi diri akibat di begal. 

Hanya, hukum di Indonesia terkadang anomali. Ada kemungkinan, gw sebagai korban yang berusaha membela diri malah harus mendekam di bui. 

TAKK... TAKK...

Sumpah, gw kaget ketika sabetan gw ditahan pake lengan kanannya! Bahkan, si belah tengah tersenyum menyeringai yang seolah mengejek gw. Tanpa basa-basi, gw ayunkan mata parang ke wajahnya secara vertikal dari bawah ke atas.

SYUTTT

WUSS... WUSS... WUSS

Kini, giliran tangan kirinya menangkis. Bahkan, tangan kanannya bekerja cepat dengan mencoba merebut ujung parang!

Gw coba tarik yang tanpa sengaja mengenai telapak tangannya. Kalo orang normal, itu udah cukup buat ngebeset bahkan mengoyak dagingnya.

Anehnya, si belah tengah justru belum mengeluarkan darah sama sekali. Benar-benar situasi yang ganjil bagi gw. 

Si belah tengah meringsek maju. Pada saat yang sama, gw mundur beberapa tindak.

Alarm di kepala gw memberi sinyal untuk lari. Secara, lawan punya pegangan...

"Njing. Lo punya Rawarontek?" ujar gw spontan terkait kekebalan si belah tengah.

"Lo tahu juga, bocah? Sebenarnya, ilmu ini masih jauh dari Rawarontek. Tapi, cara kerjanya hampir mirip. Ya, bisa dibilang gitu," jawab si belah tengah sambil menyulut rokok yang diambil dari saku kemejanya.

Njir... Nyantai bener. Gw yang sejak kecil malang melintang di jalanan, termasuk kenyang tawuran saat di sekolah dan bentrok antarormas, kini seolah tidak punya harga diri di hadapan si belah tengah.

"Bocah!" teriak si gondrong, mengejek sambil memegangi pundaknya yang tampak mengucurkan darah akibat beberapa titik bekas tikaman gw.

"Lo ga bakal menang. He he he. Bos, habisin aje. Kalo gw ga luka, udah gw bantai nih bocah," si gondrong berseru kepada si belah tengah yang justru tampak acuh sambil dengan khusyu menghisap rokok mild.

Dalam situasi terbalik ini akibat si belah tengah punya wapak, membuat gw segera menganalisis kelemahannya langsung. Ya, percuma kalo gw hanya sabet ke tangan, kaki, atau badan. Sebab, si belah tengah punya ilmu kebal. 

Saat itu, ada dua pilihan yang bisa gw tempuh. Pertama, sipat kuping. Ini cara paling aman. Toh, kunci motor masih di celana dan gw yakin si belah tengah tidak akan mengejar. Apalagi, dia harus menolong dua temannya, si gondrong dan botak yang sudah out of the game.

Namun, gw ogah jadi pecundang. Apalagi, darah muda gw panas menyaksikan kekebalan lawan yang bikin gw penasaran.

Yang kedua, jelas. Melawan hingga titik darah penghabisan.

Opsi ini yang gw ambil.

Berdasarkan analisis singkat gw, nggak ada manusia yang benar-benar kebal. Meski, itu punya Rawarontek sekalipun, pasti punya kelemahan. 

Ya, gw akan mengambil taktik Total Voetball! Bagaimanapun, strategi terbaik adalah menyerang.

Gw arahkan ujung parang ke kepala si belah tengah, tepatnya mata kanan! Hanya, serangan gw dapat dielakkan dengan kedua tangannya menangkap parang gw.

"Cih..." Gw memaki karena tangkapan si belah tengah cukup kuat. Bahkan, dia hanya tertawa mengejek.

Namun, itu hanya serangan kamuflase bagi gw dari tiga skema. Sebab, tangan kiri gw yang nganggur langsung menojos ke arah jakun.

Bodo amat dah, si belah tengah modar kalo lehernya gw tusuk pake keempat jari. Hanya, dia juga refleks menangkap tangan gw!

Anjing!

Itu berarti, tinggal satu serangan pamungkas. Yaitu...

DUKKK

Bangsat! Hidung gw kena tonjok tangan kiri si belah tengah yang melepaskan pegangan parang. Njir, perih banget bikin gw kayak orang nangis.

"Lo udah frustrasi? Sampe melakukan perbuatan hina ke area vital. Gw tahu, lo bakal ngarahin mata, jakun, dan dua bola di bawah perut gw," ujar si belah tengah, tersenyum.

"Gw akuin, ketiga spot itu jadi kelemahan gw meski sudah punya ilmu kebal. Lo hebat juga bisa tahu, bahkan langsung menyerang ketiganya berturut-turut. Namun, gw udah pelajari dari dulu, bagaimana caranya melindungi mata, leher, dan jackpot ini. Ha ha ha."

Bangsat. Seluruh strategi gw, gatot. Wajar saja, jika si belah tengah sudah mengantisipasi kelemahannya dalam setiap perkelahian. 

"Apa opsi satu yang gw ambil?" ujar gw dalam hati terkait rencana kabur. Pada saat yang sama, gw lihat celurit bekas dipakai si botak tergeletak di depan kaki gw.

Hmm...

Dengan tangan kanan memegang parang dan kiri, celurit, masa gw kalah!

"Bacot lo begal anjing! Lo kalo mau kaya, ya kerja. Jangan begal. Nyusahin orang aja!" teriak gw mengayunkan parang dan celurit bersamaan dengan mengarahkan ke leher hingga muka.

Terbukti, kini si belah tengah terdesak. Meski kebal senjata tajam, tapi diserang parang dan celurit secara serentak yang dengan mengarah ke titik vital ya sami mawon. 

Jika sabetan parang dengan mudah ditangkis melalui lengan, tidak dengan celuriy. Sebab, sajam melengkung ala bulan sabit ini sangat istimwa. Gw mengarahkan ujungnya yang runcing ke belakang leher si belah tengah!

Sontak, dia pun kewalahan. Gw terus menyerangnya secara membabi buta. Kemeja, celana, hingga seluruh pakaiannya pun robek. Ya, bagaimanapun, meski badannya kebal senjata, tapi pakaian yang terbuat dari bahan tentu tidak.

Saking bertahan dari dua sajam yang gw arahkan secara sporadis membuat si belah tengah tersandung. Kesempatan ini ga gue sia-siakan langsung menerjangnya untuk memberikan serangan pamungkas.

BLETAK

GEDEBUG!

Bajingan! Gw jatuh. Kaki gw nyeri, dipuntir si botak yang sudah siuman usai kempongannya gw hajar hingga ngilu. Si belah tengah pun dengan sigap memungut celurit yang terlepas dari tangan kiri.

Dengan tangan kosong saja, gw udah kewalahan apalagi ini, si belah tengah pake celurit plus nge-cheat lewat wapaknya! 

Namun, mendapat perlawanan handicap ini ga bikin gw pasrah. Sebaliknya, justru ge tertantang untuk bisa membalikkan keadaan.


Pertama, gw sepak kepala si botak pake sepatu kanan gw ala Zangief. Berlanjut dengan tulang keringnya gw injek hingga bunyi.

KLETEK

"Aaaagh!" erangan si botak yang tampak kesakitan. Si gondrong yang duduk tampak kaget dengar lolongan temannya itu.

Sementara, si belah tengah? Anjrit. Dia malah asyik nyalain rokok lagi tanpa peduli kesakitan si botak. Benar-benar "raja tamat" nih. 

"Oke, sekarang kita bisa duel tanpa lo takut diganggu teman gw," ujar si belah tengah sambil meniup asap rokok menyerupai huruf o.

"Begal macam apa lo, yang sama sekali ga solider terhadap teman yang kesakitan," kata gw kepada si belah tengah yang mengingatkan sikap Vegeta terhadap Nappa saat dihajar Son Goku.

"Jadi ini, yang kalian sebut bos? Sementara, lo berdua gw bantai, justru dia ga peduli? Lo pada bego, mau jadi anak buah dia. Kalo gw jadi lo pada, udah gw gorok si belah tengah yang pecundang ini," tutur gw melirik bergantian kepada si botak dan gondrong.

Sengaja gw lontarkan kalimat bersayap seperti itu. Agar, mereka tidak membantu si belah tengah saat sedang duel dengan gw. 

Sekaligus, menyulut konflik internal.

Siapa tahu, setelah ini si botak dan gondrong benar-benar meninggalkan si belah tengah. 

Bahkan, yang lebih ekstrem lagi, benaran menggorok bosnya! Bodo amat dah kalo itu memang terjadi. 

"Udah cukup?" kata si belah tengah usai menjentikkan puntung rokoknya. Kini, final fight yang jadi penentuan nasib gw pun tiba.

"Bacot lo!" teriak gw sambil 'terbang' dengan mengayunkan parang secara vertikal ke arah si belah tengah. Ya, mirip Trunks saat membelah tubuh Frieza jadi dua.

Sayangnya, ini bukan komik. Melainkan nyata.

Sebab, power si belah tengah besar juga. Dia mampu menahan dengan tangan kiri. Di sisi lain, tangan kanannya menyabet celurit secara menyamping ke arah gw!

Jelas, gw dalam bahaya. Sebab, sajam berbentuk bulan sabit ini bisa membuat usus gw terburai.

Langsung gw tangkis dengan menarik kembali parang. 

TRANG!

Tangan gw pun bergetar saking kerasnya sabetan celurit. Mirip saat gw kepayahan meladeni Abi di Harmoni.

Si belah tengah tersenyum mencibir. Lalu, tangan kirinya memegang celurit menggantikan tangan kanan. Gw pun berpikir dia merupakan kidal.

DUG

DUG

Anjing. Jab dari tangan kanannya mengenai ulu hati. Sakit banget. Sebab, gw ga bisa menghindar mengingat kedua tangan sudah dikerahkan untuk memegang parang. 

Ini jadi handicap bagi gw. Tentu, gw ga boleh terus-terusan di bawah angin yang bisa membahayakan nyawa gw. 

DUGG

Gw jejak perutnya yang membuat parang dan celurit sama-sama terlepas. Gw mundur sejenak sambil memegangi dada bekas hantamannya.

Sementara, si belah tengah dengan sigap memungut celurit. Gw pun ga mau kalah cepat. 

TRANGGG!

Kedua sajam beradu. Kali ini, gw di atas angin karena gw mengayunkan agak diagonal. Meski badan dan tangannya kebal, tapi si belah tengah harus melindungi tiga titik vitalnya yang seperti Duryudana dalam perwayangan, karena sama sekali tidak kebal. Yaitu, mata, leher, dan area bawah perut.

Si belah tengah melancarkan serangan lewat tangan kanan ke muka gw. Terdengar keras tapi tidak cepat. 

Bagi gw, ini sudah bisa diantisipasi. Apalagi, gw ga pernah mau mengalami hal sama dua kali.

Gw pun mengelak ke samping. Si belah tengah ternyata penasaran akibat serangannya berhasil gw elak.

Dia kembali melontarkan tinju kerasnya dengan genggaman jari terkepal. Sudah pasti, gw juga penasaran untuk adu keras.

Layaknya, Chiu Phek Tong meladeni ilmu gajah dan naga dari Kim Lun Hoat Ong!

DUKK

Adu tinju berhasil gw menangkan. Sebab, gw memang sedikit menonjolkan jari tengah yang membuat tangan si belah tengah jadi santapan empuk.

Dia mundur setindak dengan menarik celuritnya.

"Ayo, cabut," katanya saat melirik ke si botak. "Lo yang bawa motor."

Gw pun kaget mendengar si belah tengah mundur saat duel sedang sengit-sengitnya.

"Lo hebat juga. Next, gw pengen reuni sama lo tanpa ada gangguan," ujar si belah tengah saat memapah si gondrong.

Butuh beberapa detik bagi gw untuk menyadari situasi ini. Hingga, sayup-sayup terdengar suara kendaraan. Dari belakang gw tampak sorotan beberapa motor. Mungkin, kehadiran pengendara lain yang membuat si belah tengah menyudahi duel. Bagi gw, tentu patut disyukuri. Dalam hati, senang karena gw terhindar bahaya malam ini.

BRUMM... BRUMM...

"Datang seenak jidat lo-lo pada, pergi begitu aja. Lo pikir, gw di sini patung?" gw berteriak keras hingga didengar tiga motor yang menepi di belakang gw.

"Lo yakin bisa menang lawan gw? Lo pikir 100 kali deh. Lo harus latihan bertahun-tahun dulu, baru bisa ladenin ge. Dah ah, cabut," kata si belah tengah yang duduk di jok paling belakang dengan membawa celurit.

DDRRT... DDRRT... 

"Mereka siapa bang?" kata  salah satu dari pengendara yang mendatangi gw.

"Begal bro."

"Lah, kejar bang," timpal pengendara lainnya dengan gaya yang sotoy.

"Yuk, jangan didiemin. Tuman," lanjut seorang lagi.

Gw perkirakan mereka masih abege terlihat dari ketiga motornya sama-sama matic yang sudah dimodif plus knalpot racing. Ya, darah masih panas. 

Namun, menghadapi begal, khususnya si belah tengah, jelas mereka cari mati. 

"Udah pergi bro. Aman. Gw juga ga apa-apa," gw menjelaskan.

"Yakin bang? Kita berempat, mereka tigaan. Pasti menang lah. Gw juga udah gatel pengen 'olahraga' nih," kata remaja yang sotoy kini makin songong.

"Serius lo? Mereka bawa sajam. Lo pada berani bunuh-bunuhan," jawab ge sambil menunjuk ke trotoar yang tercecer bercak darah.

"Waduh, ngeri bang. Main aman aja lah. Mending pulang," jawab si sotoy.

"Iya bang, kalo udah aman lebih baik balik aja," lanjut temannya sambil putar arah diikuti yang lainnya.

BRUM...

*       *       *

KINI gw sendirian di pinggir jalan. Pandangan gw terarah ke trotoar dengan tergeletak dompet dan hp yang kemungkinan punya si botak atau gondrong. Entahlah, gw ga tahu milik salah satu di antara mereka. 

Gw cek, dompet tanpa identitas. Namun, berisi uang dengan empat lembaran merah dan satu biru. Sementara, hp merek asal Mainland yang tergolong lumayan meski kacanya agak retak tapi masih berfungsi. 

Tentu saja, "penemuan" ini ga bakal gw laporin ke polisi. Alias, bakal gw manfaatin. Lumayan.

Itung-itung sebagai ganti rugi akibat ongkos yang ga dibayar si belah tengah. Sekaligus, pelipur lara terkait duel tadi.

Ya, secara pertempuran gw memang kalah. Namun, gw bisa dibilang menang dalam perang.

Sebab, gw bisa meladeni ketiga begal. Bahkan, si botak dan gondrong gw bikin KO. Dengan si belah tengah, meski gw di bawah angin, tapi itu wajar mengjngat dia punya Rawarontek.

Next, gw harus cari cara untuk mengatasi orang yang punya pegangan. Sebagai antisipasi jika ketemu si belah tengah lagi atau begal lainnya.***

*       *       *


Serial Catatan Harian Ojol
- Part I: Ceritera dari SPBU Kosong
- Part III: Penumpang Rasa Pacar
- Part IV: Orderan Kakap

Prekuel
Kamaratih

Spin-Off
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I

*       *       *

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):


*       *       *

*Inspired by True Event
Jakarta, 21 April 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.

Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...

Terima kasih :)