Catatan Harian Ojol VI
Mangga Besar Punya Cerita
|
Ilustrasi @roelly87 |
MEMASUKI musim hujan begini membuat dilematis bagi ojek online (ojol). Di satu sisi, bikin rempong.
Sebab, harus basah-basahan saat menjalankan orderan. Itu meliputi bawa penumpang, antar makanan, dan kirim barang.
Belum lagi jika deras hingga banjir. Sensasinya, wow banget.
Pada saat yang sama, justru orderan melimpah drastis. Pasalnya, banyak rekan ojol yang off.
Bahkan, kerap mengalami lonjakan harga dari 1,5 hingga 4 kali lipat dibanding tarif normal. Tak heran jika hujan jadi ajang mendapat tambahan pendapatan.
Termasuk, gw yang berusaha memanfaatkan situasi ini dengan maksimal. Gw ga peduli dengan gerimis, hujan lebat, deras, hingga banjir sekalipun seperti pada malam tahun baru 2020.
Bisa dipahami mengingat gw terbiasa menari di bawah badai. Jadi, bagi gw, hujan hanya tetesan air yang jatuh dari langit.
* * *
HUJAN rata di Jabodetabek.
TangSel banjir.
Kelapa Gading ga gerak.
Kemang macet total.
Demikian sahut-sahutan komentar di Grup WhatsApp basecamp gw. Terdiri dari 19 orang yang sama-sama tinggal dan kerap berinteraksi di PIK coret
Selain gw, ada beberapa rekan ojol yang kerap ngalong di basecamp. Irawan, sudah pasti. Salah satu dedengkot tongkrongan diikuti Drestajumena dan Jayadrata.
Kalau malam, memang bisa dihitung jari. Beda, jika siang yang basecamp sangat ramai.
Termasuk, lady ojol yang wara-wiri antar makanan atau barang. Mpok Astuti merupakan pimpinan secara de facto maupun de jure untuk kaum hawa yang berprofesi ojol di kawasan kami.
Sambil neduh di emperan resto yang udah tutup, gw asyik menyeruput secangkir kopi hitam diiringi sebatang mild. Sementara, tangan kanan gw sibuk sroll hp yang penuh notif pada beberapa grup wa.
*Tuti*
Hujan gede euy. Mager mo balik basecamp. Neduh dulu di Mabes.
(21.02)
*Irawan*
Sama pok. Gw di Bonjer nih. Ada lonjakan harga sampe empat kali lipat ke Patal Senayan tp gw lewatin. Dingin euy.
(21.03)
*Gw*
Nunggu reda aja pok. Gw barusan abis dari Kepu. Ir, sama gw tadi dapat food. Tapi tanggung baru beli kopi makanya gw lewatin. :) #SenyumManja
(21.04)
*Dresta*
Woiii... Masih ngebolang aja lo pade. Gw sendirian di basecamp! Anjir mana ga bawa jas ujan.
(21.04)
*Irawan*
Tiati bang Dres, ada yang nemenin. Geulis sih, tapi buukna panjang dan teu boga suku. Ulah khilaf, bisi terbang.
(21.05)
*Tuti*
Ha ha ha, ditemenin kunti loh bang Dres. Liat kanan-kiri. Banyak baca doa :)
(21.07)
*Gw*
Bang Dres, ini gw masih di PangJay ya. Kalo tiba2 gw ada di depan lo, ga usah banyak omong lagi kayak dulu. Langsung kabur aja. ^_^ #MataBelo
(21.08)
*Dresta*
Asuuuuuuu kabeh! Gw mo balik ga bawa jas ujan. :( #Sad
(21.10)
*Jaya*
Ada apa ini rame2? Gw juga kejebak di Jelambar. Kalo reda otw basecamp. Dres, titip salam sama sebelah lo. :) #SenyumJahad
(21.11)
*Dresta*
Anjir. Goblok lo pada. Gw sendirian nih. Mana itu di lapak opang pada sepi. Bodo ah, gw cabut. #Panik
(21.15)
Gw yang baca komentar di Grup WA itu ketawa ngakak menyaksikan bang Dresta dibully. Kita-kita ini kalo udah ngebacot sesama ojol baik ketemu langsung maupun di WA memang ga ada filternya.
Termasuk, lady ojol yang ada empat orang di grup. Tuti paling senior di antara mereka.
Kami sudah terbiasa ngobrol dengan vulgar dan saling sindir. Namun, tetap ada etika dengan tidak bicara pada hal yang menjurus.
Yang pasti, grup WA ini dibuat Irawan sejak 2019 sebagai sarana komunikasi antarojol di tempat kami. Termasuk jika ada yang trouble seperti motor mogok, rusak, dan mengalami hal tak terduga saat ngalong, tanpa dikomando, kami langsung otw.
*Gw*
Gw males balik basecamp. Mau ke kostan Sudirga di Mabes. Sekalian ngangetin badan sambil ngopi2 cantik dan main ps. Kalo ada yang mau ikut nyusul aje. Kebetulan Dirga bilang lagi stay.
(21.31)
*Dresta*
Gw udah balik Ka. Salamin aje sama Dirga. Njir dingin gilak, ujan2an gw sampe basah kuyup.
(21.33)
*Irawan*
Ka ngapin lo ke Mabes? Mau Open BO? Gacor tadi ya? #SenyumJahad
(21.33)
*Gw*
Si goblok. Ini Dirga baru beli ps 4. Lo ditantangin Ir, main FIFA. No Cheat, kata dia.
(21.35)
*Irawan*
Sejak kapan Dirga menang lawan gw? Dari zaman Winning Eleven di PS 1, 2, sampe 3, die gw ampasin terus. :) #SenyumKemenangan
(21.38)
*Tuti*
Gw ikut Ka. Lo shareloc ya, mumpung gw di sekitar sini mau ganti baju, ga betah abis basah kuyup. Sekalian mau ngadem. Anak2 gw juga udah pada tidur.
(21.40)
*Jaya*
Gw ga ikut ah. Masih ngalong. Oh iya Ka, bilangin si Dirga. Kalo akun dia ga kepake, mending gw manfaatin jadi duit. He he he :) #KetawaBahaya
(21.42)
*Gw*
Siap bang Jay, ntar gw bilangin. Daripada akun dia dah lama ga dipake, takutnya disuspend.
(21.45)
* * *
AHMAD Sudirga. Salah satu ojol yang dulu sempat nongkrong di basecamp kami.
Namun, udah setahun ga pernah narik lagi sejak kantornya memindahkan lokasi kerjanya di Hayam Wuruk. Ya, Dirga menjabat sebagai kepala toko minimarket XMart.
Dia sempat setahun tugas di daerah gw. Orangnya supel, ramah, royal, dan asyik.
Dirga juga pekerja keras. Ga betah diam.
Makanya, dia ikut bikin akun ojol dan narik bareng kami di basecamp usai pulang kerjanya pukul 20.00 WIB. Padahal, masuknya pukul 08.00 WIB. Sebagai kepala toko, dia memang harus standby nyaris 24 jam untuk memantau XMart-nya.
"Tangan gw bisa kaku kalo pulang gawe ga ngapa-ngapain di kostan. Mending gw ngojol sampe tengah malem. Mayan, hasilnya bisa nambah-nambahin modal masa depan," kata Dirga, pada awal 2020.
Jebolan pesantren ternama di Bogor ini memang sebaya dengan gw dan Irawan. Namun, masih di bawah Dresta yang usianya nyaris kepala lima. Sementara, Jaya dan Tuti kemungkinan sama-sama 40-an tapi beda tahun.
"Wooi... Maen berdua aja. Ayo, yang menang lawan gw," teriak Irawan saat nongol depan pintu kostan Dirga yang berada di lantai tiga.
Gedung yang bercorak artdeco meski sudah tergolong tua karena dibangun pada dekade 1990-an ini terdiri dari lima tingkat. Selain biasa disewa bulanan, konon, kostan ini juga bisa untuk harian.
Memang sih di lobi, meja resepsionis terdapat tuliasan besar-besaran, "TIDAK UNTUK HARIAN APALAGI JAM-JAMAN!"
Hanya, sebagai kostan yang berlokasi strategis di salah satu kawasan hiburan malam terkenal di ibu kota ini tiada hil yang mustahal. Ya, TST. Tahu sama tahu.
IYKWIM. If you know what i mean.
Kembali ke Irawan. Tangannya pasti udah gatel gara-gara gw komporin ngadu ps4. Sementara, pok Tuti yang datang barengan Irawan langsung ngeloyor ke kamar mandi.
"Ga, numpang ganti baju. Basah semua nih. Tuh, gw sama Irawan patungan bawa martabak," ucap wanita yang jadi lady ojol sejak 2016 tersebut.
"Pake aja pok," kata Dirga, tanpa menoleh saking fokusnya akibat Perugia yang dimainkan gw tekan terus pake Juventus.
"Mau gw temenin ga pok?" sahut Irawan, yang tiba-tiba udah ngunyah martabak. Dasar kampret nih bocah. Niat mau beliin buat Dirga malah di unboxing duluan.
"Si goblok," Tuti menjawab celetukan Irawan.
"Tiati pok, ntar lo berdua Irawan di kamar mandi, pas keluar jadi bertiga," ujar gw terkekeh, menimpali.
"Geblek lo pade..." komentar Tuti, sambil melanjutkan, "Ga, ini kamar mandi lo wangi banget. Abis bawa cewe ya?"
"Wangi atau bau apek, po? Kaga lah, belom pernah gw bawa cewe ke kamar."
"Dirga mah 'kalo mau jajan' gampang, bisa jalan ke depan. Tinggal pilih."
"Ga nyangka ya lo Ga, jebolan pesantren doyan jajan."
"Lah Dirga kan cowo, pok. Kalo ga doyan cewe itu baru bahaya."
"Iiih, Dirga ga doyan tapi mau. Gelay..."
"Goblok lu pade."
"Ha ha ha."
"Udah ah, makan dulu martabak jangan dianggurin. Lagian si Eka payah. Kalah terus. Pake Juve, tapi lawan Perugia keok."
"Pan pemanasan Ga. Kalo si Irawan turun, baru gw serius."
"Bidji lo. Lawan Dirga aja kalah, apalagi sama gw. Bisa gw bantai 10-0."
"Ga pinjem powerbank lo, gw mau cas hape. PB gw mau dicas di stopkontak."
"Di atas lemari po. Pake aja. Mayan gede tuh PB, 20 ribu MaH."
"Udah sini bikin grup. Kita pilih format turnamen antarklub, negara, atau gabungan."
"Klub aje. Gw Perugia, tetep."
"Sama, Juve. Always."
"Oke. Gw FC Internazionale."
* * *
URUSAN main PS, emang Irawan jagonya. Dirga yang ganti klub beberapa kali dari Perugia ke Real Madrid, Barcelona, hingga Paris Saint Germain, tetap ampas.
Gw? Jangan ditanya. Ga kebobolan 0-3 pun udah sukur.
Pantes di tempat gw, Irawan beberapa kali juara turnamen PS 3. Termasuk, puasa kemaren saat diselenggarakan Karang Taruna yang melibatkan enam RT di RW gw.
Flashback sejenak, saat itu, kami ga bisa milih tim. Alias random, format diundi komputer. Gw kebagian Liverpool dan Irawan dapat Ajax Amsterdam.
Dia melaju ke final tanpa kalah dalam sistem UEFA Champions League yang udah dimodifikasi. Sementara, gw mentok di babak 16 besar. Anjir.
Apalagi, kalahnya sama bocil 14 tahun yang dapat Manchester United, skor 2-6. Bocah dari RT sebelah itu yang melaju ke final lawan Irawan.
Di atas kertas, jelas Ajax bukan tandingan MU. Pasar gelap, tepatnya taruhan kecil-kecilan antarsesama ojol dan pemain PS pun demikian.
Irawan divoor 1/2. Babak kedua, bahkan over-undernya gila. Itu akibat Ajax udah unggul 2-0 sebelom turun minum.
Panik ga, panik ga, yang ngejagoin Irawan? Paniklah!
Namun, Irawan membuktikan statusnya sebagai yang terbaik di kawasan kami. Usai jeda, Ajax pun menggila.
Irawan mencetak tiga gol tanpa balas. Sekaligus, membalikkan kedudukan jadi 3-2.
Lima menit sebelum peluit panjang, jari-jemari Irawan kian asyik menari lewat stik PS. Terbukti, Ajax kian unggul 4-2.
Saat itu, gw lirik muka si bocil memerah kayak kepiting rebus. Pun demikian dengan beberapa rekan ojol dan para pemain ps yang ikut bertaruh kecil-kecilan jadi mingkem.
"Gw bisa aja bantai nih bocil 8-2. Tapi, gw cukupin 6-2 aja buat balas kekalahan lo," ujar Irawan kepada gw.
Terbukti, usai peluit panjang berbunyi, Ajax menang 6-2. Irawan pun sukses melampiaskan kedongkolan gw kepada si bocil sekaligus menggondol hadiah utama.
Yaitu, uang tunai Rp100.000 disertai jersey KW3 dan sepatu capung. Memang, hadiahnya ga seberapa.
Wajar mengingat turnamen yang diikuti 32 peserta yang beragam profesi di wilayah gw mulai dari ojol, PNS, anggota, hingga masih sekolahan ini bersifat swadaya. Alias, untuk main harus daftar dengan biaya Rp10.000.
Namun, gengsinya itu di atas segalanya. Irawan bisa jemawa di hadapan gw sebagai raja ps.
Termasuk, sombong saat kumpul-kumpul di basecamp dengan selalu membahas keberhasilannya juara di RW kami. Kampret tuh orang!
* * *
DOK... Dok... Dok... dari luar kostan terdengar suara penjual keliling. Kalo ga mie dokdok, nasgor, bakwan malang, pempek, atau ketoprak.
Kami berempat yang baru saja mengganyang martabak hasil promo dengan diskon 70 persen plus gratis ongkir tentu langsung reaktif kegirangan. Maklum, efek kehujanan bikin cacing dalam perut demo terus.
Tadinya, Tuti mau pesan online lagi mengingat di aplikasinya masih tersedia voucher untuk food. Belum termasuk, promo makanan dan gratis ongkir dari aplikator sebelah.
Hanya, niat tersebut diurungkan. Sebab, di luar masih rinai.
Jika begini, sulit mendapat ojol yang rela basah-basahan demi mengantar makanan. Wong, kami saja yang terbiasa menari di bawah badai sudah menonaktifkan aplikasi masing-masing.
Gw dan Irawan sibuk main ps dengan Dirga. Pun demikian dengan Tuti yang asyik scroll IG sambil sesekali mengomentari pertandingan kami bertiga.
"Eh, itu ada Bakwan Malang kang Sakri. Pesen aja kalo pada mau, ntar gw bayar," ujar Dirga menoleh ke gw yang memang lagi jadi penonton menyaksikannya duel dengan Irawan.
"Hujan gini jualan emang Ga?" gw menjawab.
"Jualan. Justru laris. Kalo malam plus hujan pan banyak yang nyari anget-anget."
"Lebih anget lagi yang di pinggir jalan ke arah Gajah Mada. Berjejer. Bening. Tinggal pilih."
"He he he. Bloon. Gituan mah, lain cerita."
"Gw pesenin sekalian, Ka. Bakwannya dipisah," Irawan langsung menyambar. Kalo denger makanan, entah kenapa makhluk satu ini cepat bereaksi.
"Sama, gw juga Ka. Sambelnya lima sendok biar mata melek," Tuti, menimpali.
"Lah, gw yang jalan?"
"Pan lo lagi nganggur. Daripada bengong mending lo ke bawah."
"Siap tuanku."
"Gw sih bisa aja beliin kalian bertiga. Bahkan, gratis gw borong. Tapi dengan syarat. Lo harus menang. Sekali aja deh. He he he."
"Si goblok mulai sombong."
"Ha ha ha."
"Lo teriak dari jendela aja, pan kedengeran. Buka kacanya. Kang Sakri udah paham kok. Dia selalu bawa payung."
"Kang Sak, empat mangkok ya. Biasa. Bos Dirga lagi dapat warisan buat nraktir kita-kita. Sekalian, kecap, sambal, dan saos dibawa biar ga bolak-balik," teriak gw dari jendela ke arah kang Sakri yang ada di balik pagar depan.
Penjual bakso yang juga Aremania Garis Keras ini pun mengacungkan jempolnya. "Siap bosku. Pesanan meluncur."
"Si bego, teriak-teriak tengah malam gini. Bikin tetangga kostan pada bangun," ucap Tuti sambil melempar wijen sisa-sisa martabak ke arah gw.
"Dah pada tidur pok. Lagian ini kostan cenderung bebas. Sering kok di kamar sebelah ada 'gempa bumi'. Si Dirga aja yang ga pernah neko-neko," gw menjawab.
"Yah, namanya kostan. Apalagi, di daerah abu-abu gini. Tadi aja pas gw lewat bareng pok Tuti, di kamar ujung pas belokan tangga ada yang lagi syuting smackdown," tutur Irawan, dengan senyum yang ganjil.
"Lo enak, bisa ngintip. Untung ga ketahuan," lanjut Tuti, usai beberapa detik mencerna arah angin.
"Irawan mah, aji mumpung," Dirga, menimpali.
"Lah, gw ga salah dong. Pan pintunya ga ketutup, separoh kebuka. Jadi keliatan dari luar pas kita naik tangga," kata Irawan dengan memasang ekspresi lugu tanpa dosa.
"Njir enak dong lo sama pok Tuti dapat 'cuci mata'. Pas gw dateng sendirian tadi digembok dari luar," gw mengomentari.
"Yaelah, lo sama kayak si Irawan. Kalian ini sebelas dua belas," Tuti, menimpali.
Celetukan kami berempat terpotong suara angin yang mendesis dari jendela yang posisinya di sebelah kanan tv. Padahal, dari kamar terdengar hujan sudah tidak deras.
Alias, hanya gerimis manja. Ga lama, dari balik jendela, gw dipanggil kang Sakri.
"Bosku, bakwannya dipisah aja ya. Ini gw plastikin ya, ga dicampur di mangkok biar enak pas dicocol masih garing," kata kang Sakri dari balik jendela.
"Aman kang. Yang penting mah anget, coz kami abis keujanan," jawab gw.
"Siap bosku. Gw ambil nampan dulu."
"Yongkru, kang!"
Gw pun kembali bersiap melangkahi Dirga dan Irawan untuk duduk di belakang. Namun, ketika itu, gw lihat keduanya saling tatap dengan Tuti.
"Ga, ini kamar lo kan lantai tiga?" ucap Tuti dengan mencabut chargernya dari stop kontak.
"Iya... Ya," sahut Irawan yang seketika meletakkan stik ps.
"1... 2... 3... Beresin barang-barang kalian," Dirga menyeru sambil bersiap sipat kuping.
Gw pun makin bingung dengan tingkah mereka bertiga. Termasuk, Dirga yang tergopoh-gopoh tanpa memerdulikan psnya.
"Bosku, Eka... Ini pesanannya empat mangkok," ujar kang Sakri dengan senyum yang tiba-tiba nongol.
"Cabut Ka!" Dirga berteriak. Di depannya ada Tuti yang sangat gesit layaknya sedang mengantar orderan kakap. Irawan pun mengikuti dengan sigap meski nyaris terserimpet asbak.
Hanya gw yang masih bergeming. Sepertinya, otak gw belom sinkron untuk merekonstruksi situasi ini.
Hingga...
"Bosku, ini udah jadi. Jangan pada kabur dong. Bercandanya ga lucu nih. Bayar dulu," tutur kang Sakri dengan tersenyum yang lebih mirip menyeringai.
"Ka, goblok. Cabut, cepet," sumpah serapah terdengar dari mulut Irawan saat menyaksikan gw terdiam.
"Anjir... Gw kira lo kang Sakri beneran. Kampret!" ujar gw saat tersadar usai mendengar kata-kata mutiara Irawan.
Tanpa memerdulikan kang Sakri yang mengangsurkan nampan berisi empat mangkok bakso dan seplastik bakwan, gw pun segera lintang pukang.
"He he he... Cemen ah, begini doang udah pada kabur. Apalagi, kalo ntar..."
Sayup-sayup terdengar suara kang Sakri yang agak melengking saat gw menuruni tangga dengan mengekor Irawan.
* * *
USAI 'olahraga malam' yang benar-benar menguras fisik dan mental, akhirnya kami berhenti depan pos hansip. Tampak, beberapa orang keheranan melihat kami yang keringatan.
"Lo kenape tong? Kayak dikejar-kejar jurig," ujar salah satu hansip yang baru saja memukul kentongan di tiang listrik sebelah pos.
"Kang Sakri, beh..." Dirga menjawab dengan terbata-bata.
"Si Sakri kenape?"
"Lah, dia kan molor di musala. Dagangannya abis dari jam sembilanan. Terus, Sakri ga pulang," salah satu warga setempat menimpali.
"Serius, bang?"
"Iye... Itu keliatan, gerobaknya. Eh, bocah, coba bangunin si Sakri. Ini ada apa," ujarnya lagi meminta remaja tanggung untuk memanggil kang bakso itu di musala yang letaknya berlawanan dari kostan Dirga.
Gw pun meneguk sisa sebotol air mineral pemberian Tuti yang dibagikan kepada kami. Meski situasi kalut tadi, hebatnya lady ojol tersebut tetap sigap dengan membawa air.
Ga lama, Sakri pun datang. Dia juga sebelas dua belas dengan yang lain, keheranan menatap kami berempat.
"Kenape bosku? Kayak abis dikejar Satpol PP saat Open BO di depan," ujarnya, terkekeh.
"Kampret lo... Gw dikerjain soket yang menyerupai muke lo," Dirga menjawab, sambil tertawa.
"Waduh, kenape dedemitnye nyaru muke gw, bosku? Apa wajah gw emang tampan ye, makanya banyak yang naksir. Ga cuma cewe aja, tapi juga soket," ujar Sakri, terkekeh.
"Bidji! Tadi ada soket nawarin bakso lewat jendela kamar kost gw. Itu pan lantai tiga. Pake tangga lipat aja ga mungkin. Apalagi, suasana gerimis. Anjir, gw merinding."
"Tidur di pos aje bosku. Atau musala. Ntar subuh balik."
"Ogah dah. Barang-barang gw masih di kamar. Gw lebih takut kalo ilang laptop, ps, dan lain-lain. Ya udah, kang Sak, ini gw cabut ya. Sorry ganggu lo tidur. Pak dan abang-abang sekalian, kita cabut dulu ya. Terima kasih, semua."
"Tiati bro. Kalo ada apa-apa teriak aja."
"Siap."
Dirga memberi kode kepada kami untuk balik. Nah, di antara gw, Irawan, dan Tuti pun dilanda kebimbangan.
Tapi, ya mau ga mau, gw mesti ngikut tuan rumah. Gw ga bisa ninggalin Dirga sendirian dalam kondisi seperti ini.
"Ga serius, kita balik ke kamar lo?" kata Irawan sambil menepuk pundak Dirga.
"Ya, gimana lagi Ir. Gw harus balik. Kamar tadi lupa dikunci."
"Yaudah Ir, kita balik lagi temenin. Kalo kita tinggal, ntar dia kencing di celana lagi saking takut dan ga bisa tidur nunggu subuh."
"Yaelah, Ga... Ga... Lulusan pesantren masa, sieun kanu jurig. Ngerakeun wae maneh mah."
"Eh, pok... Bukannya lo yang kabur paling duluan. Malah, gw terakhir," gw, menimpali sambil tertawa ngakak.
"Kaget Ka. Aseli. Tapi, ya udah lah. Lagian kan, soket mah teu bisa nelen kita ka. Lamun begal tah, baru ngeri," Tuti, menjawab.
"Kali ini aman. Mungkin, tadi perkenalan doang penghuni gedung ini sama kalian. Pan, kecuali Eka yang sering ke sini, pok Tuti sama Irawan baru."
"Anjir, ogah dah kalo sering-sering. Pertama kali aja kayak gini," Irawan, menepok jidat.
"Aduh... Sakit pok."
Plak... Pok Tuti menambahkan lewat tangan kanannya ke kening Irawan.
"Kaga, Ir. Cuma mastiin doang. Siapa tahu, lo gw tepok malah tangan gw tembus. Kalo lo teriak sakit berarti lo beneran manusia."
"Ha... Ha... Ha... Kurang kenceng, pok."
"Gw juga pengen ngetes lo Ir."
"Eh goblok. Udah... Udah... Geblek lo pada."
"Ha ha ha."
* * *
SALING bully di antara kami memang sudah biasa. Tak terkecuali, pok Tuti yang jadi bahan ledekan gw, Irawan, dan Dirga.
Hebatnya, wanita asal Sukabumi itu selalu punya cara buat menangkis serangan kami. Alhasil, gantian malah gw, Irawan, dan Dirga, jadi bahan ledekan.
"Pok, ada yang aneh deh," Irawan menghentikan langkahnya saat kami baru mencapai lantai tiga usai bersusah payah jalan kaki dari pos hansip hingga naik tangga.
"Kenape lagi Ir? Lo liat yang aneh-aneh di bawah atau tangga?" ucap Dirga.
"Kaga. Cuma gw merasa janggal."
"Mulai deh drama."
"Gw hitung sampe 100 ah, siap-siap kabur."
"Si goblok pada bercanda. Serius nih."
"Ada ape? Cepet jalan, gw mau liat kamar gw."
"Iya ih, rempong nih bocah."
"Lo ada yang nyolek?"
Irawan menunjuk ke sampingnya. Kamar kost nomor 303 yang berada di sisi tangga dengan tertutup rapat dan digembok.
"Ga ada apa-apa. AC, tv, dan lampu mati," Irawan menempelkan telinganya ke daun pintu.
"Lah, pan gw bilang apa. Dari gw dateng tadi digembok di luar."
"Lo yakin, Ka?"
"Lah, ini buktinya. Di depan keset ga ada sepatu. Beda sama kamar yang lain."
"Pok, tadi kita lewat sini ada sejoli kan di dalam?"
"Iye. Gw sekilas liat pas lewat. Pan lo yang berenti sambil ngintip."
"Nah... Jangan-jangan."
"Udah... Kamar ini tadi ada orang. Temen gw. Tapi udah pergi. Yuk ah, masuk kamar. Lanjut maen PS," tutur Dirga, diplomatis.
Kami pun kembali masuk ke kamarnya. Tidak ada yang aneh.
Gw iseng melongok ke luar jendela juga ga ada apa-apa. Hujan sudah reda.
Saking penasaran, gw sorot pake senter Hp, ga ada penampakan atau bayangan soket yang menyerupai kang Sakri.
Gw pun lega. Biar kata nyali gw gede, tapi bisa jantungan juga kalo tiba-tiba dijogrokin soket...
"Ir, jangan ditutup. Buka aja."
"Lah, kalo ada yang masuk tiba-tiba, gimana Ga?"
"Si oneng. Justru kalo ditutup kita susah lari jika ada yang dateng dari jendela."
"Aman. Hujan udah reda. Gw cek ga ada apa-apa di luar sini."
Kami pun melanjutkan permainan. Seolah-olah tidak terjadi sesuatu pada seperminuman teh tadi.
Giliran gw gantiin Dirga yang timnya udah keok untuk meladeni Irawan. Sementara, pok Tuti asyik pasang headset menonton drakor dengan memanfaatkan wifi gretongan.
"Jadi begini ye, Pok, Ka, Ir..." Tiba-tiba, Dirga memecah keheningan.
"Nape, Ga?" Pok Tuti langsung mencabut headset untuk menyimak.
Begitu juga dengan gw dan Irawan yang segera meletakkan stik.
"Udah lo berdua lanjut aja. Dengerin gw sambil main ps aja. Pan final. Tanggung."
"Ogah ah. Gw penasaran, Ga."
"Sama."
"Lanjut, Ga..."
Dirga tampak menarik napas dengan panjang. Gw pun tertarik untuk menyimak lebih serius bersama Irawan dan pok Tuti.
"Sebenarnya, kamar itu emang ga ada penghuni. Sama pemilik kost dikosongin. Udah lama. Jauh, sebelom gw masuk sini."
"Gw udah tahu Ga. Lo cuma..."
"Pok, jangan dipotong. Biar si Dirga jelasin."
"Iye ih, kepo banget emak-emak satu ini."
"He he he... Abis, ketebak sih. Ini mah kayak telenovela Maria Mercedes."
"Pok, rempong!"
"Jangan didengerin Ga. Lanjut. Lo cerita pake berenti sih. Bikin penasaran."
"Bentar temen-temen. Gw mau menyulut api kehidupan dulu."
"Goblok. Nyalain rokok aja gaya lo sok puitis."
"Hiperbol banget sih lo Ga."
"Kelamaan jomblo ya kayak gini nih bocah."
"..."
"Iye, gw boongin lo pade. Aslinya emang bener kata si Eka. Kamar itu digembok dari luar," kata Dirga sambil meniup asap rokok hingga membentuk beberapa bulatan.
"Bener kata si Eka. Kamar itu selalu digembok. Makanya, gw sempat heran pas lo sama pok Tuti bilang saat lewat ada penghuninya, berdua pula. Kamar itu emang hawanya beda dibanding kamar lainnya di kostan ini. Tapi, gw kan udah tiap hari. Jadi, dah khatam. Ya, selama ga ngeganggu gw, ya gw tutup mata. Tahu, tapi pura-pura ga tahu aktivitas di kamar itu yang kadang bunyi berisik, desahan, hingga kayak cecer pecah.
Nah, kalo yang penampakan Kang Sakri, itu baru gw alamin selama ngekost di sini. Emang sih, ga aneh. Gw di pondok udah pernah ketemu hal-hal ghaib seperti itu. Bahkan, jadi santapan sehari-hari. Yah, namanya juga mondok di pedesaan yang terletak di lereng gunung. Apalagi, jika mandi tengah malam di sungai atau mencari kayu bakar, pasti ada aja yang ngikutin. Minimal, liat dari kejauhan. Auranya beda. Hanya, kami lebih takut sama guru kami ketimbang makhluk halus."
"Beranian lo Ga. Kalo gw mah udah pindah kost kalo harus lewatin kamar itu," potong pok Tuti yang ga tahan untuk buka suara.
"Ya, gimana pok. Namanya, dibiayain kantor. Apalagi, kostan ini kan ga jauh sama tempat kerja gw di seberang jalan."
"Enak juga sih kalo nempatin gratis mah. Gw juga mau."
"Emang lo berani Ir?"
"Sendirian ogah gw Ka. Tapi, kan enak, di sini bening-bening. Ha ha ha."
"Bukan bening lagi, tapi tembus pandang malah. He he he."
"Si bego. Mistis terus."
"Eh gw lanjut cerita nih..."
"Yaudah, terusin. Pok, jangan dipotong lagi."
"Iya bawel."
"Jadi, terkait kamar 303. Awalnya, biasa aja. Hanya, sejak beberapa tahun lalu sengaja ditutup. Konon..."
* * *
SEPEMBAKARAN hio sudah lewat di antara diskusi yang melibatkan kami. Serius, mengingat agak menyerempet. Tepatnya, ke arah sensitif.
Namun, seperti biasa, diskusi ini tetap diiringi guyonan. Ya, susah kalo gw, Irawan, dan pok Tuti udah kumpul. Kita-kita emang genk lenong alias ga jelas.
Meski kami udah kepala tiga, tapi lagak dan lagunya kalo udah kumpul bisa kayak bocah. Ditambah, Dirga yang aslinya flamboyan dan cool, tapi akibat bergaul dengan kami jadi makin slebor.
"Oke. Kita tarik konklusi mengingat rembulan sudah condong ke barat," Tuti buka suara.
Ya. Gw, Irawan, dan Dirga mafhum. Malam kian larut. Saatnya kami balik. Apalagi, Tuti dan Irawan sama-sama udah ditunggu bocah di rumah.
"Deal ya," ujar Irawan.
"Risiko ditanggung penumpang," Dirga, menyeletuk."
"Menyimak..." kata gw.
"Jangan takut kalo nakal. Jangan nakal kalo takut," ucap Tuti, optimistis.
Ya. Kami sudah menarik kesimpulan terkait rencana sesuatu untuk kamar 303 yang berkolerasi dengan kemunculan mirip kang Sakri: Sepakat untuk tidak sepakat.
Dirga dan Tuti pro. Pada saat yang sama, gw dan Irawan, kontra.
Angin dingin meniup secara perlahan. Gw, Irawan, dan Tuti pun pamit diiringi Dirga hingga parkiran motor.
Tidak ada yang aneh saat kami melewati kamar 303. Pun ketika melangkah setindak demi setindak melintasi anak tangga.
Setidaknya, untuk saat ini.***