Ketan Durian (Sumber foto: Dokumentasi pribadi/ www.roelly87.com) |
Sebagai warga perantauan, salah satu rasa kangenku adalah mengenai makanan. Di ibu kota ini memang banyak yang menjual kuliner khas Sumatera Barat (Sumbar). Baik itu Rendang, Ayam Pop, Gulai Tanjung, Kepala Kakap, Dendeng Balado, dan sebagainya.
Hanya, rasanya tentu berbeda ketimbang di kampung halaman. Terutama jika dibandingkan dengan masakan mandeh yang bikin aku rindu pada kuliner khas Minang. Tapi, bagaimanapun, keberadaanku di Jakarta bukan sekadar ingin bernostalgia. Melainkan demi mencari rezeki untuk kehidupan kelak. Terlebih, setiap Idul Fitri, aku memiliki libur dua pekan untuk berlebaran dengan mandeh, abak, dan ninik mamak lainnya.
Genap satu Pelita aku berada di kota ini. Sudah banyak pengalaman yang kudapat dari hiruk-pikutnya Jakarta dibanding heningnya desa Bayang di Pesisir Selatan (Sumbar). Secara tidak langsung, diriku sudah mulai beradaptasi dengan rekan-rekan kerja dan juga tetangga di sekitar kostan. Termasuk dengan Alena, partner kerja yang memiliki senyum menawan.
* * *
"Hai Dra, mau kado apa pas ultah?" demikian Alena menyapa diriku saat kami berada di kantor yang langsung kubalas dengan senyum.
"Ultah? Aku saja tidak begitu ingat. Perasaan kan tiap tahun kita merayakan ultah."
"Ah elu, pan waktu gw ultah elu udah kirim jam tangan di online. Sekarang, gantian gw yang mau kasih elu kado. Ayo cepat, apaan? Atawa, weekend kita cari berdua?"
"Tidak usah Len. Converse dari kamu tahun lalu saja masih utuh..."
"Ah elu, pake sok jaim segala. Mumpung masih seminggu lagi, gw pan bisa cari kado?"
"Bener Len, tidak usah. Kamu sering kasih kado tiap tahun. Aku jadi tidak enak menerimanya..."
"Ha ha ha... Sotoy luh. Udah deh, apaan?"
"Lha, namanya kado ultah kan buat surprise. Ini kamu kok maksa sih?"
Tanpa sengaja aku memberi jawaban yang membuat merah Alena di hadapan pengunjung kantin lainnya. Semenjak itu, sore harinya dia tidak mau bertegur sapa lagi. Bahkan, ketika kami samprokan di ruang meeting pun, Alena tetap tidak melirikku. Padahal, selama ini, justru dia yang selalu menggoda ketika diriku sedang melakukan presentasi atau menerangkan soal pekerjaan di hadapan karyawan lainnya.
Ya, berawal dari ketidak sengajaan perkataan diriku itu mungkin telah membuat Alena tersinggung. Atau, bahkan kecewa, karena disebut "memaksa" di depan umum. Tapi, aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkannya. Itu mengingat selama ini aku menganggapnya hanya sebatas kawan kerja. Meski, beredar kabar dari rekan-rekan lainnya bahwa Alena ada hati kepadaku. Dan, harus kuakui di dalam relung hati yang paling dalam bahwa aku pun sejujurnya menyukainya.
Bagi kebanyakan orang, Alena merupakan gadis yang perfect. Dia merupakan putri dari salah satu pengusaha terkaya di negeri ini. Alasan dia bekerja di perusahaan yang sama denganku dan enggan menjadi ahli waris keluarganya, karena Alena memang ingin mandiri. Alias tidak mau bergantung kepada kekayaan keluarganya yang mungkin tujuh turunan tidak akan habis.
Apalagi, sebagai gadis berdarah keturunan, dia sangat supel. Mudah bergaul dengan siapa saja. Dari mulai narasumber kelas kakap seperti pengusaha atau sekelas menteri, hingga office boy di kantor. Fakta itu yang membuat Alena dikagumi banyak pihak selain parasnya yang memang sangat memesona dengan alis mata yang lentik disertai lesung pipinya yang indah.
* * *
Lima hari berlalu setelah insiden di kantin. Kini, diriku dan dirinya bagai magnet yang saling bertolak. Namun, sebagai manusia yang memiliki liangsim. Bagaimanapun, aku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu terhadap Alena. Sebab, biasanya kami nyaris selalu bersama baik itu saat liputan, bertemu narasumber, hingga presentasi untuk event. Tapi, kini semua sudah lenyap.
Jangankan berbincang, saat bertemu pun Alena seperti membuang muka. Aku pernah mencoba untuk membuka komunikasi, namun dia hanya melengos begitu saja. Hingga ketika sedang bersantai di basement kantor, aku melihat pemandangan yang tak lazim. Saat itu, Alena diantar oleh seorang pria!
Sebagai orang yang sudah mengenalnya dalam empat tahun terakhir, jelas aku tahu siapa Alena. Dia anak tunggal yang tidak mau merepotkan siapa saja -kecuali diriku dulu- untuk melakukan sesuatu. Biasanya, Alena pergi ke kantor dengan menumpang busway. Dan, pria yang kulihat dari kejauhan itu bukanlah tukang ojek. Lantaran, Alena sempat melambaikan tangan dengan mesranya ketika hendak masuk ke kantor. Dug!!!
Lupakan saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar
Seperti dulu kala
Caci maki saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar
Seperti dulu kala
Dan... Bukan maksudku, bukan inginku
Melukaimu sadarkah kau di sini ku pun terluka
Melupakanmu... Menepikanmu
Maafkan aku...
* * *
Kabar adanya "kawan" yang mengantar jemput Alena seketika merebak di antero kantor. Tentu, rekan-rekan yang lain sempat heran dan banyak bertanya. Terutama kepada diriku yang selama ini dekat dengan Alena. Saat ini, aku merupakan sasaran empuk. Banyak yang mengatakan, pria itu merupakan pacar Alena, cowok, TTM, HTS, dan sebagainya. Tak sedikit pula yang menyebut selama ini diriku hanya jadi korban PHP dari Alena!
Toh, meski kecewa. aku berusaha tidak ambil pusing. Lantaran, niat awalku ke Jakarta untuk bekerja. Untuk itu, aku tidak terlalu perduli ketika banyak yang mengatakan kapan aku pacaran, kapan nikah, kapan kawin, dan lain-lain. Aku fokus kerja dulu, setelah cukup baru memikirkan rencana masa depan. Step by step.
Besok, Kamis, 26 Maret 2015, tepat seperempat abad lalu diriku hadir di muka bumi. Tidak seperti biasanya, karena tak ada ucapan selamat dari Alena. Ya, dalam tiga tahun terakhir, hanya dia yang rutin mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku dengan membuat gaduh kamar hingga sempat ditegur engkong Sabeni, pemilik kost ini. Lantaran, diriku enggan untuk gembar-gembor tanggal lahir kepada rekan-rekan di kantor atau kostan karena tidak mau dikerjai untuk diceplok telor. Begitu juga di jejaring sosial seperti facebook yang pengaturan tanggal lahir kubuat hanya only me.
Hingga, setelah pulang dari kantor yang sudah larut. aku bersandar di beranda kamar kost yang terletak di lantai dua. Hanya ada bintang yang kerlap-kerlip diiringi sesekali suara kendaraan bermotor yang lewat. Hening dan hanya ditemani dua lembar koran nasional dan olahraga. Tanpa sadar, aku melirik arloji di tangan kiriku yang sudah menunjukkan pukul 01.35 WIB.
Pukul 00 WIB lewat beberapa menit, mandeh dan apak, serta beberapa keluarga lainnya telah mengucapkan selamat ulang tahun melalui pesan singkat. Suatu anugerah bagiku karena, meski terpisah jauh, mereka tetap mengingatnya. Hanya, dari lubuk hatiku justru memikirkan dirinya. Tapi, sudahlah, aku mencoba untuk melangkah ke depan. Toh, bagaimanapun, aku selama ini menganggap dirinya sebagai sahabat sekaligus partner kerja.
Perlahan, aku beringsut menuju kamar yang seketika menjadi gelap meski seingatku tadi sudah menyalakan lampu sebelum ke lantai dua.
"Selamat ulang tahun Dra!" ujar Alena yang mengagetkanku karena sudah berada di belakang pintu sambil menekan saklar.
"Hei, sejak kapan kamu ada di sini?"
"Dari jam 12-an Dra. Elu sih, ngelamun terus di atas. Gw mau panggil ga jadi, ya udah gw pengen bikin kejutan buat elu."
"Kejutan?"
"Iya, ini Ketan Durian buat elu. Ini kado ultah spesial dari gw. Dimakan ya, emang sih udah dingin, tapi gw bikinnya tiga hari tiga malam cari resep ini. Secara, elu kan tahu, gw alergi sama durian. Tapi, sejak Kamis gw dianter Wisnu, sepupu gw yang baru tiba dari Turin buat tanya-tanya resepnya sama penjualnya yang ada di Radio Dalam. Elu ingat kan, kalo kita pernah ujan-ujanan waktu makan ketan ini gara-gara elu kayak ngidam masakan khas Sumbar?"
"Iya Len. Terima kasih ya. Kamu ternyata masih ingat makanan kesukaanku."
"Kita kan temenan udah empat tahun sejak 2011 hingga semalem."
"Semalem? Maksudnya..."
"Ya udah, elu cobain deh. Gw yakin, rasanya ga kalah sama yang di Radio Dalam. Mungkin, kelezatannya cuma sedikit di bawah bikinan mande elu di Sumbar. He he."
"Sip Len. Ini aku cicipi. Enak kok,"
"Tuh kan, pastilah 'bikinan Alena' tentu aja enak. Oh ya, abis ini gw mau ajak elu ketemu seseorang."
"Siapa? Wisnu, maksud kamu?"
"Bukan, kalo Wisnu mah sepupu gw. Sengaja dia ga gw kenalin biar elu cemburu. Hi hi hi. Tapi, kali ini ada orang yang sejak semalam ngarep ketemu elu. Sampe dibela-belain hujan-hujanan naik kendaraan."
"Oke Len, aku mandi dulu ya."
"Iya, ntar gw tunggu. Jangan lama-lama mandinya."
* * *
Alena memang gemar membuat kejutan. Meski begitu, dia orang yang baik. Bahkan, sampai bela-belain selama seminggu sengaja menjauhi diriku untuk bikin kejutan memberi kado ultah Ketan Durian kesukaanku yang mengingatkan pada kampung halaman.Selesai mandi, aku sudah tidak melihat keberadaannya di kamar lagi. Aku segera mencari ke lantai atas dan juga di bawah siapa tahu dia sudah menanti di tempat parkir. Mengetahui diriku yang sedang kebingungan, engkong Sabeni langsung menghampiri.
"Ade ape tong, malam-malam malah celingak-celinguk"
"Ini kong, nyari teman."
"Temen? Muke gile loh tong. Pan dari jam 11 pintu kostan udah ane tutup. Ga ada tuh yang datang ke sini. Elo kan yang terakhir buka pintu."
Mendengar penuturan kong Sabeni yang memang biasa berkata apa adanya karena beliaulah yang memegang kunci untuk akses masuk ke kostan, aku langsung kembali ke kamar. Saat membuka pintu, di meja terdapat secarik kertas yang bersebelahan dengan bungkus Ketan Durian. Langsung kubaca yang isinya membuatku agak limbung:
"Dra, maaf. Mulai sekarang, gw ga bisa nemenin elu lagi. Terima kasih ya, empat tahun ini elu udah jadi sahabat sejati gw. Gw berharap elu dapat yang terbaik."
Dalam keadaan tak percaya atas surat tersebut, tiba-tiba ponsel berdering yang langsung kutempel ke telinga.
"Dra, ini saya Wisnu, sepupu Alena. Saya dan pihak keluarga hanya mau mengabarkan. Bahwa, sejak jam 11 malam, Alena sudah tiada. Kami berharap kamu bisa menghadiri upacara kremasi Alena, sore ini di Rumah Duka Jelambar. Saya dan orangtua Alena berterima kasih karena kamu sudah mau menjadi teman terbaiknya selama ini. Terima kasih ya Dra."
Tut... Tut... Tut...
Suara telepon di seberang terputus saat diriku hendak menanyakan lebih lanjut. Tak lama, muncul pesan singkat dari, Pak Luigi, manajemen di kantor yang mengabarkan bahwa Alena sudah meninggal pukul 23.00 WIB. Beliau meminta aku dan karyawan lainnya untuk melayat ke rumah duka.
Seketika pikiranku jadi gelap. Membayangkan kawan terdekat selama empat tahun ini telah tiada. Tampak bungkusan Ketan Durian yang saat kusentuh lagi memang sudah dingin. Jadi...
* * *
Fiksi Horror sebelumnya:- Pagutan Lembut Sang Gadis, Ternyata...
- Bersekutu dengan Setan
- Kenangan Main Petak Umpet
- Yang Liu
Artikel Kuliner sebelumnya:
- Keanekaragaman Kuliner Indonesia menurut Perspektif Arie Parikesit
- Melepas Lelah dengan Segelas Kopi Aceh di Pasar Santa
- Bernostalgia dengan Legitnya Ketan Durian Khas Sumatera Barat
- Menikmati Nasi Kucing di Sudut Utara Ibukota
- Sensasi Merasakan Masakan ala Jepang
- Tentang Kuliner Halal di Disneyland Hongkong
- Jajanan di Bursa Kue Subuh Pasar Senen
- Seharian di Hotel Santika Premiere Jakarta
Artikel bertema Sumatera Barat sebelumnya
- Pengalaman Ekstrem di Pedalaman Sumatera
- Kenangan Wisata ke Kawasan Pesisir Selatan di Sumatera Barat
- Menyaksikan Perpaduan Budaya Minang dan Jawa di Museum Adityawarman
- Kawasan Indah Tak Terjamah di Sumatera Barat
- Kampung Nan Jauh di Mato
- Balimau: Tradisi yang Menuai Kontroversi
- Jatuh Cinta pada Gadis Berinisial A
- Pengalaman Ekstrem di Pedalaman Sumatera
- Kenangan Wisata ke Kawasan Pesisir Selatan di Sumatera Barat
- Menyaksikan Perpaduan Budaya Minang dan Jawa di Museum Adityawarman
- Kawasan Indah Tak Terjamah di Sumatera Barat
- Kampung Nan Jauh di Mato
- Balimau: Tradisi yang Menuai Kontroversi
- Jatuh Cinta pada Gadis Berinisial A
* * *
#CerpenKuliner #TTG4
- Cikini, 28 Maret 2015