TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Permintaan Terakhir

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Sabtu, 01 Februari 2020

Permintaan Terakhir


Ilustrasi (www.roelly87.com)



JATUH cinta itu indah. Banyak orang yang mengatakan lika-liku tersebut sebagai suatu anugerah. Laksana mahakarya sebuah lukisan, cinta itu adalah seni yang harus dilakukan dengan jatuh bangun. Ya, momen berkesan itu terjadi lima tahun lalu. Saat pertama kali aku mengikrarkan janji dengannya. Sebuah senyum tersungging manis di wajahnya ketika kami bertukar cincin.

Usai melangsungkan pernikahan, kawan-kawanku bersorak histeris saat aku menggenggam erat tangannya. Wajahnya tampak bersemu merah karena malu-malu. Saat itu aku merasa sebagai pria paling bahagia di kolong langit. Betapa tidak, meski belum berada di posisi puncak, tapi karierku sedang menanjak. Kehadirannya membuat hidup ini lebih bermakna. Apalagi, setelah kami dikarunia Putri yang sungguh lucu dan menggemaskan.

Hanya, kenangan itu telah berlalu. Terkubur dengan sang waktu. Adagium lawas mengatakan, tiada perjamuan yang tak berakhir. Itu karena kami mempunyai taraf kehidupan yang meningkat. Ia seorang akuntan ternama di kota ini. Sementara, aku kian disibukkan dengan aktivitas di lapangan. Banyak orang memandang kami sebagai keluarga kecil nan bahagia. Bahkan, menurut mereka, rumah tangga kami sangat ideal.

Padahal, hampir setiap hari kami mempunyai rutinitas serupa yang membuat miris: Berangkat kerja bersama-sama dan kembali di waktu yang bersamaan, alias disibukkan dengan rutinitas masing-masing. Hingga, pada suatu hari, riak-riak kecil mulai membuat bahtera menjadi goyah. Benar kata pepatah, jangan pernah berlayar kalau takut ombak. Ternyata, ungkapan itu berlaku bagi kami. Tepatnya aku.

Ya, sejak mengenal Rere, kehidupanku berubah drastis. Kehadirannya yang berawal dari pertemuan di sebuah event sanggup membuat kemudi ini keluar dari jalur sebenarnya.

"Dirimu sosok yang sangat memesona bagi semua wanita," tuturnya ketika kami berdua bersantai di sebuah apartemen mewah yang lebih mirip istana. Rere, wanita karier berusia lebih dari seperempat abad memang pandai memikat kaum pria. Termasuk diriku yang seolah tak berdaya.

Namun, ungkapan 'memesona' itu justru membuatku limbung. Lantaran itu merupakan ucapan yang sama dari istriku pada hari pernikahan. Tidak bermaksud memuji, tapi Lenny mengatakan hal tersebut sebagai wujud kasih sayangnya yang tulus. Begitu juga dengan ketulusan Rere, meski dengan versi berbeda.

Mengingat hal itu jelas membuat aku kian ragu. Apalagi dalam beberapa hari belakangan selalu timbul permintaan yang sama dari Rere, "Ceraikan Lenny. Kita akan hidup bersama dengan bahagia. Apalagi yang kau cari?"

Aku tidak bisa memberi kepastian. Kehadiran Rere yang masih memiliki hubungan keluarga dengan mantan salah satu penguasa negeri ini, membuatku silau. Wanita beralis lancip ini mempunyai segalanya: kekuasaan, materi, serta aroma yang keluar dari tubuhnya. Hanya, dari lubuk hati yang paling dalam, aku sendiri bukanlah seorang manusia yang tidak mempunyai liangsim.

*      *      *

PUKUL 23 WIB, suasana di rumah sepi. Aku masih membaca surat kabar ditemani Lenny yang baru pulang setengah jam sebelumnya. Aku menemaninya makan malam. Sesuatu yang sudah hampir punah kulakukan sejak mengenal Rere.

"Aku ingin mengungkapkan sesuatu," ujarku sambil menatap Lenny yang sedang menikmati bacaan majalah wanita minggua.

"Tentang apa?" ujarnya sambil mengalihkan pandangan dari majalah.

"Ini penting."

"Penting?"

"Ya, ini penting bagi kita,"

"Sayang... Tidak seperti biasanya dirimu berbicara serius seperti itu. Apa karena kita sudah jarang melakukan makan malam bersamaan di rumah?"

"Bukan Len. Tapi, kali ini aku serius dan berharap dirimu dapat mengerti."

"Sayang, bicaralah. Aku akan tetap mendengarkan ceritamu dari awal hingga selesai."

Aku langsung menunduk. Tak kuasa beradu pandangan dengan wanita yang selama ini aku anggap sebagai sosok yang tak ternilai. Terlebih mendengar jawabannya yang lemah lembut dan mengandung perhatian. Iringan lagu berjudul 'Denting' dari Melly Goeslaw justru membuat malam kian dingin.

"Aku ingin kita bercerai."

"Kamu kurang sehat hari ini. Kebanyakan di lapangan membuatmu agak tertekan. Istirahat dulu, atau mau kubuatkan segelas kopi?"

"Tidak Len. Kali ini aku serius."

"Sadarkah apa yang kamu katakan barusan?"

"Ya. Tentu Len. Dan, aku minta maaf sebelumnya."

"Kamu bukan Wisnu yang dulu. Aku kecewa."

Derai air mata berlinang membasahi pipi wanita yang dulu kudapatkan dengan susah payah untuk membuktikan yang namanya cinta. Sosok yang selalu menyemangati saat diriku terjatuh dan tak pernah bosan mengingatkan ketika berada di puncak agar tetap rendah hati. Sungguh, mendengar isak tangisnya sangat menyayat hatiku. Ribuan kali lebih pedih dibanding saat saham yang kutanam di sebuah perusahaan anjlok hingga mengalami defisit ratusan juta rupiah.

*      *      *

BEBERAPA hari setelah itu perasaan bersalah terus menghantuiku. Namun, bayang-bayang bersama Rere membuat semuanya hilang. Sambil mengurus surat perceraian, kami memang masih tinggal satu rumah. Itu semua kulakukan demi membahagiakan Putri yang masih balita. Ya, hanya keberadaannya yang imut itu mampu menepis keinginan untuk bersama Rere. Meski hanya sebatas sementara.

"Aku punya satu permintaan. Apakah kamu mau mengabulkan?" tutur Lenny sebelum mengantarkan sang buah hati kami ke playgroup. Sesaat mendengar kalimat tersebut aku terhenyak. Selama lima tahun ini mengarungi rumah tangga, baru kali ini aku mendengar Lenny menyebutku dengan kata 'kamu' dan bukan 'sayang'. Sungguh suatu momen yang sedikitnya menyentuh liangsim-ku. Untuk pertama kalinya aku merasa Lenny benar-benar menganggapku sebagai orang yang asing.

"Katakanlah. Selagi mampu, pasti aku lakukan."

"Aku tidak menginginkan rumah ini, harta, kendaraan, atau gono-gini lainnya. Namun, aku ingin kamu melakukan sesuatu yang mungkin tidak perlu mengeluarkan keringat sebelum surat perceraian selesai."

"Silakan."

"Yakin kamu mau melakukannya. Tidak gengsi?

"Aku sudah mengeluarkan ucapan setuju. Bagiku, 'a adalah a, b adalah b'. Nyemplung ke laut atau lompat ke api sama saja. Kecuali membatalkan cerai, semua permintaanmu akan aku lakukan."

"Aku ingin sebelum keputusan itu keluar. Kita tetap hidup bersama dalam satu rumah. Aku tidak ingin Putri bersedih karena menyaksikan kedua Orangtuanya berpisah. Selain itu, rentang waktu beberapa hari ini sebagai bentuk tanggung jawab kita bersama yang terakhir untuk membahagiakan Putri."

"Ya..." ucapku setelah mendengar permintaan tersebut sambil tertunduk. Tidak berani aku menatap wajahnya yang kian pucat. Tanpa sengaja aku menggenggam erat tangannya yang terasa kian kurus hingga urat berwarna hijau tampak. Setelah itu, dengan berat hati aku melepaskan genggaman dan memandangi punggungnya dari kejauhan. Ya, aku merasa Lenny sekarang bukan sekadar mungil seperti dulu, melainkan sangat kurus akibat terlalu sedih memikirkan hari-hari terakhir pernikahan kami.

*      *      *

JALAN-jalan menyusuri Kota Jakarta merupakan kegemaranku sejak kecil yang memang menyukai petualangan. Selain bercanda dengan sang buah hati dan menyaksikan pertandingan sepak bola. ketiganya menjadi hiburan pelepas kesedihanku sekaligus menghindar dari Rere yang kian intens menghubungiku.

Sedang asyiknya menghirup udara segar di Taman Menteng, tanpa sengaja aku ditabrak seorang pria tua yang sedang berlari-lari kecil. Dengan kaca mata hitam, dia tampak gagah meski sudah berusia lanjut. Langkahnya tegap dengan tak hentinya menyunggingkan senyum tanda kebahagiaan. Di belakang pria tersebut, terdapat seorang bocah yang mengikutinya dengan riang. Ah, dalam hatiku berkata sungguh bahagianya bila aku dapat hidup hingga setua itu ditemani cucu.

"Maaf, ya Mas. Suami saya tidak sengaja tadi menabrak..." kata seorang Ibu yang berusia paruh baya menyadarkan lamunanku.

"Oh, tidak apa-apa Bu. Saya justru senang melihat suami dan cucu Ibu sedang bermain di taman."

"Terima kasih ya Mas. Tapi..."

"Tapi kenapa Bu?"

"Suami... Suami saya itu sebenarnya tidak bisa melihat."

"Serius Bu? Itu beliau sedang berlari-lari kecil mengitari ayunan. Bahkan tadi terdengar mengatakan taman ini sungguh indah."

"Itulah Mas. Suami saya mengidap Glaukoma hingga mengalami kebutaan. Setiap sore hari, saya, anak tertua, dan cucu mengajaknya mengunjungi taman. Itu untuk mengurangi penderitaannya akibat tidak bisa melihat. Anak kami yang tertua dan istrinya mengawasi kami dari kejauhan agar beliau tidak sampai ke jalan raya."

"Maksud Ibu? Maaf, saya kurang mengerti."

"Sejak terkena Glaukoma, beliau jadi pemurung. Tiap hari mengurung di rumah karena tiada aktivitas yang dilakukannya akibat tak bisa melihat. Beruntung, kami mempunyai cucu dan anak beserta menantu yang mengerti keadaan itu. Mereka berusaha membuat suami saya tersenyum kembali. Apalagi cucu saya selalu menceritakan keindahan taman ini. Jika yang berbicara orang lain, tentu suami saya tak percaya, karena sejak mengalami kebutaan dia tidak pernah kemana-mana dan seperti patah arang. Tapi, karena cucu saya yang memberitahu bahwa taman ini dahulunya bekas stadion sepak bola. Suami saya percaya dan tergugah keinginannya untuk turut membahagiakan sang cucu bermain di taman ini."

"Oh... Maaf Bu, kalau saya menyinggung hal itu."

"Tidak apa-apa Mas. Justru saya yang harus minta maaf, karena suami saya telah menyenggol Mas hingga hampir terjerembab."

"Saya kagum dengan tekad suami Ibu. Juga salut dengan Ibu yang tak kenal lelah mengurusinya."

"Sekitar 2004 lalu mungkin bertepatan sebelum taman ini dibangun. Sejak itu, kami sekeluarga selalu memberinya dukungan meski menyadari penyakitnya tidak bisa sembuh. Tapi, setidaknya kami bisa membuatnya kembali bahagia. Karena setelah mendengar vonis dokter, tubuhnya yang dulu kekar menjadi tinggal selembar akibat memikirkan saya dan keluarga. Beruntung saya dibantu anak dan keluarga yang selalu merawat dan memberinya motivasi bertahan hidup," ucap Ibu itu sambil menghela nafas, yang kemudian melanjutkan ceritanya.

"Terlebih, sejak kelahiran sang cucu, beliau jadi lebih bersemangat dan ingin membuktikan bahwa penyakitnya itu tidak menghalangi niatnya untuk membahagiakan sang cucu. Beliau juga ingin terus bersama saya hingga sang waktu yang benar-benar memisahkan," Ibu tersebut dengan semangat menceritakan pengalaman keluarganya. Penuturannya tentang merawat sang suami, itu ibarat guyuran air dingin yang membasahi kepalaku.

*      *      *

TIBA-tiba ponselku berdering. Nama yang tertera di layar jelas menggugah perasaanku.

"Bagaimana proses kalian?"

"Selesai."

"Hah? Secepat itu. Kalau begitu jemput aku sekarang di apartemen. Memang kalian seharusnya sudah segera berpisah. Aku ingin segera bersamamu. Berduaan sepanjang waktu..."

"Maaf, Re. Kamu salah tangkap."

"Maksudnya?"

"Hubungan kita yang selesai. Aku sudah bertekad kembali dengan Len yang telah bersamaku dalam suka dan duka.

"Beri aku alasan yang logis agar aku memercayaimu enggan menceraikan istrimu!"

"Selain faktor dirinya, aku juga ingin Putri setelah dewasa memiliki kedua Orangtua yang lengkap. Tapi, aku harus berterima kasih kepadamu, Re. Kehadiranmu dalam beberapa waktu belakangan ini membuatku mengerti. Uang dan kekuasaan itu penting. Tapi bukan segalanya. Dan, bagiku yang segalanya adalah keluarga. Terima kasih, Rere."

Dari jauh aku mendengar suara ditutupnya telepon genggam. Ada perasaan bersalah karena telah membuat Rere bersedih akibat aku mengingkari janji. Namun, setelah itu timbul perasaan lega, karena aku berhasil menyeberangi lautan meski bahtera hampir karam diterjang ombak. Ya, lega akhirnya aku bisa kembali bersama Lenny dan Putri. Aku akan berusaha terus bersama mereka hingga sang waktu benar-benar memisahkan.

Bersambung...
*      *      *

- Jakarta, 1 Februari 2020
Cerpen ini sebelumnya dimuat di Kompasiana, judul sama dengan sedikit perubahan tanda baca dan ilustrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.

Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...

Terima kasih :)