Persija Jakarta yang digdaya pada musim lalu nyaris kehilangan keperkasaannya pada awal kompetisi. Bisa dipahami mengingat klub berjulukan Macan Kemayoran itu kehilangan sang nakhoda, Stefano Cugurra, dan beberapa pilar penting lainnya.
Alhasil, klub kebanggaan ibu kota ini pun nasibnya nyaris tragis. Hampir saja seperti AC Milan pada 1980/81 dan Juventus (2006/07) yang juara tapi langsung degradasi pada musim berikutnya. Kendati, apa yang dialami dua raksasa Serie A Italia itu beda konteks.
Namun, saya pribadi sempat deg-degan mengamati perkembangan Persija pada Liga 1 2009 ini. Sebab, mereka mengarungi kompetisi dengan memprihatinkan pada awal musim. Itu karena Marko Simic dan kawan-kawan hanya mampu meraih sekali kemenangan dari 10 pertandingan awal! Alhasil, Persija pun sempat terlempar ke peringkat 17. Alias, zona degradasi.
Ya, bayang-bayang mereka harus terjun bebas ke Liga 2 musim depan pun sempat menghantui saya. Itu terkait kurang padunya antarlini. Ditambah dengan beberapa kali pergantian pelatih yang membuat saya dan segenap The Jakmania -julukan untuk suporter Persija- pun pesimistis. Ketika itu, jangankan berpikir untuk mempertahankan gelar, bahkan untuk keluar dari papan bawah pun sulit.
Yupz, sebagai fan Persija, tentu saat itu saya harus realistis. Berharap boleh, tapi jangan muluk-muluk. Harapan saya dalam hati, boleh gelar lepas, yang penting jangan degradasi. Ya, itu nada optimisme yang saya tancapkan setiap menyaksikan pertandingan Persija.
Bagaimana pun, saya percaya, selalu ada pelangi yang indah setelah badai. Itu yang saya yakini terhadap Persija!
Bisa dipahami mengingat secara personal, saya merupakan penggemar Persija. Itu berlaku sejak masih kanak-kanak hingga rekan sepantaran kini sudah memiliki banyak anak.
Meski hingga kini belum memiliki keanggotaan resmi The Jakmania, tapi saya kerap menyaksikan Persija bertanding di berbagai stadion. Baik itu Menteng, Lebak Bulus, Gelora Bung Karno, Patriot Candrabhaga, hingga Madya Senayan.
Banyak suka dan duka yang menyertai sebagai fan Persija. Paling bangga ketika Macan Kemayoran juara 2001. Saat itu, saya dan beberapa rekan yang masih berseragam putih-biru tumpah dalam euforia.
Apalagi, ketika beberapa tahun berselang, ada dua di antaranya yang berkiprah sebagai pesepak bola profesional. Bahkan, mereka sempat berseragam Persija. Termasuk, memperkuat tim nasional (timnas) Indonesia usia muda.
Sementara, ketika juara Liga 1 2018, harus diakui jika suasananya sudah beda. Sebab, saya juga kerap meliput dan menulis tentang Persija. Alhasil, saya harus objektif.
Namun, bagaimana pun rasa cinta tidak bisa dipendam. Ketika tahu Persija mengakhiri paceklik gelar 17 tahun dalam kompetisi nasional, saya pun bangga.
Maklum, dari 2001 hingga 2018 itu bukan waktu yang sedikit. Lebih dari dua windu. Dalam periode itu, banyak yang sudah berubah. Namun, kekaguman saya terhadap Persija tidak akan luntur. Baik juara atau degradasi, tak masalah bagi saya.
Nah,
harapan saya dan jutaan fan Persija, termasuk The Jakmania terkabul. Sejak paruh kedua kompetisi, mereka mulai bangkit. Sang Macan mulai
mengaum. Tentu, tidak
ujug-ujug langsung bersaing dalam perebutan juara di papan atas. Melainkan, perlahan tapi pasti mulai
meninggalkan zona merah.
Fakta tersebut tersaji sepanjang November ini. Dari empat
pertandingan bulan ini, hanya sekali. Persija kehilangan poin penuh yaitu, saat tandang
ke Semen Padang pada 7 November lalu yang berujung 1-1. Sementara,
dalam tiga lainnya berujung sapu bersih dengan menekuk TIRA Persikabo 2-0 (3/11), Borneo FC 4-2 (11/11), dan
Persela Lamongan 4-3 (15/11).
Mereka pun hingga Sabtu (16/11)
menyeruak di urutan 12 dengan 34 poin dari 27 pertandingan. Alias, unggul delapan angka dari
Kalteng Putra yang menempati urutan 16 sekaligus batas akhir degradasi dengan
26 poin. Dari empat pertandingan bulan ini, Persija mengukir 12 gol dengan kebobolan tujuh gol.
Marco Simic melayani pertanyaan dari jurnalis usai pertandingan Persija (Foto: TopSkor.id/Choirul Huda) |
Simic jadi aktor protagonis dalam empat pertandingan sepanjang November ini yang selalu mencetak gol hingga delapan kali. Termasuk, quattrick-nya ke gawang Borneo. Tak heran jika Simic pun memuncaki top scorer sementara dengan 23 gol. Jauh mengungguli striker Persela, Alex dos Santos, dengan 16 gol.
Kontribusi signifikan dari Simic itu yang mendongkrak kebangkitan Persija. Tentu, dalam sepak bola yang merupakan permainan kolektif, seluruh elemen, termasuk pemain lainnya sangat berperan. Mulai dari sektor pertahanan, lini tengah, atau barisan depan. Namun, harus diakui jika peran Simic sangat berpengaruh.
Apalagi, bagi saya pribadi, Simic termasuk pemain yang sangat ramah. Ini yang saya amati saat meliput kegiatan Persija. Baik saat latihan, usai pertandingan, maupun event di luar lapangan Simic. Tidak hanya sekadar memberikan jawaban yang elegan bagi setiap jurnalis saja. Melainkan juga melayani permintaan fan untuk foto bersama.
Penampilannya yang berkualitas ditambah sikapnya yang bersahabat itu membuat Simic jadi idola di kalangan fan. Bersanding dengan sang kapten, Andritany Ardhiyasa, serta dua pemain senior, Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan.
Memasuki pengujung Liga 1 2019, tentu saya berharap Simic dan segenap elemen Persija lainnya konsisten. Target utama, tentu saja menjauh dari zona degradasi agar musim depan bisa bertahan di kompetisi terelite di Tanah Air ini. Apalagi, jika mampu finis empat besar. Itu jadi modal yang bagus untuk menghadapi Liga 1 2020 dengan target kembali juara.
Ayo, Persija... Kalian bisa!***
Di luar liputan pertandingan dan latihan, saya pun enggan ketinggalan untuk foto bareng Marko Simic |