Talkshow yang diselenggarakan KBR dengan tema "Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi" pada 29 Juli lalu |
PANDEMI Koronavirus berdampak luas bagi umat manusia di kolong langit. Termasuk, di Tanah Air yang berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada Kamis (30/7) sudah mencapai lebih dari 100.000 jiwa yang terdampak.
Imbasnya, tidak hanya berdampak pada kesehatan dan ekonomi saja yang dirasakan nyaris seluruh lapisan masyarakat. Melainkan juga berbagai faktor lainnya, misalnya, industri, pariwisata, pertanian, jasa, dan sebagainya.
Tentu, yang fatal saat ini terkait kesehatan. Apalagi, jika seseorang yang mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM) dan terjangkit korona bisa berpotensi tinggi. Nah, berdasarkan riset Kementerian Kesehatan, salah satu faktor PTM adalah merokok.
Itu meliputi Kardiovaskular, Kanker, Paru Kronis, dan Diabetes atau Kencing Manis. Selain itu, rokok juga disebut jadi faktor risiko penyakit menular seperti TBC dan Infeksi Saluran Pernapasan.
Btw... Saya perokok! Yupz, jujur saja. Saya memang perokok aktif. Malah, sehari bisa sebungkus. Terlebih dengan profesi sebagai ojol alias ojek online yang membuat mayoritas waktu saya berada di jalanan. Alhasil, rokok sudah jadi tandem saya bersama kopi hitam dan cemilan yang meliputi gehu pedas dan kuaci.
Nah, sebagai ojol, tentu saya punya banyak waktu luang untuk melihat perkembangan informasi terkait Koronavirus. Tidak hanya di berita online saja, melainkan juga media sosial seperti twitter, facebook, dan instagram, serta rutin mengecek youtube. Bukan sekadar untuk dengar lagu atau mencari video klip terbaru, tapi juga untuk mengamati data terbaru mengenai Koronavirus.
Termasuk, saat menyimak talkshow yang diselenggarakan Kantor Berita Radio (KBR). Awalnya, terkesan akward mengingat saya perokok. Sementara, perusahaan media yang menyokong berita untuk 600 radio di Tanah Air dari Aceh hingga Papua ini mengusung tema yang menurut saya "agak berat". Yaitu, Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi?
Saya pun sempat mengernyitkan dahi. Sebab, sepengetahuan saya, berapa pun harga rokok, pembelinya pasti ada. Itu berdasarkan pengalaman saya yang kerap mengunjungi suatu tempat dan tetap beli rokok.
Misalnya, di Singapura yang per bungkus dibanderol 20 S$. Kalikan dengan Rp 10.000 per dolar Sin. Pun demikian ketika mengunjungi Malaysia, yang banderolnya 30 ringgit dan Wales, 10 poundsterling. Sementara, rata-rata rokok di Tanah Air, "hanya" Rp 20.000. Tergolong murah dan sangat menggoda bagi seluruh lapisan masyarakat.
Namun, saya juga sadar. Di tengah pandemi ini, Indonesia pun terkena dampak ekonomi. Itu mengapa, pemerintah menekankan kepada setiap individu, untuk memangkas pengeluaran yang tidak perlu. Termasuk, rokok yang bagi sebagian orang, termasuk saya, sudah jadi kebutuhan sehari-hari.
Masuk akal jika saat pandemi ini, cukai rokok dinaikkan. Memang, tidak serta-merta membuat orang untuk berhenti merokok. Minimal, akan berusaha mengurangi alokasi bujet untuk rokok. Termasuk, saya pribadi yang sudah melakukannya sejak April lalu terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Maklum, ketika itu, pendapatan berkurang drastis akibat dihentikannya sementara layanan penumpang. Alhasil, biaya untuk rokok pun direlokasi. Tadinya merek lumayan jadi "kelas bawah". Termasuk, awalnya beli per bungkus, menurun jadi setengah. Bahkan, saking bokeknya pada Mei lalu yang bertepatan dengan Ramadan membuat saya hanya mampu beli ketengan, per hari enam atau tiga batang.
Rasa penasaran saya terkait kenaikan cukai rokok pun terjawab saat menyimak lebih lanjut diskusi yang diselenggarakan KBR dengan menampilkan dua narasumber kompeten. Yaitu, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Profesor Hasbullah Thabrany dan Dosen serta Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Renny Nurhasana.
Ya, intinya kenaikan cukai tidak dimaksudkan untuk menghentikan konsumsi rokok di masyarakat. Namun, tindakan ini mampu mengendalikan peredaran rokok. Terutama, di kalangan mengengah ke bawah. Maklum, jadi ironi juga mengingat saat pandemi ini, perusahaan rokok mengklaim peningkatan jumlah produksi dan kenaikan permintaan rokok saat pandemi.
Saya pribadi mendukung rencana pengendalian tersebut. Meski saat ini masih aktif, tapi memang saya berencana untuk berhenti merokok, kelak. Mungkin, ketika sudah memiliki anak. Sebab, tidak lucu juga ketika asyik merokok, asapnya malah mengotori ruangan di rumah.
Niat saya untuk berhenti juga didasari pengalaman teman blogger yang merupakan perokok aktif sejak puluhan tahun. Namun, beliau bisa langsung berhenti seketika pada dekade lalu. Tepatnya, ketika berbincang dengan kolega sesama perokok di ruang tamu rumahnya.
Tidak lama, putranya yang masih balita langsung mencomot rokok dari asbak dan menghisapnya dengan gaya meniru sang ayah. Alhasil, wajah teman saya memerah karena enggan anaknya ikut-ikutan merokok. Sejak saat itu, teman saya pun berhenti ngudut hingga kini yang jadi inspirasi saya di masa depan.
"Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini."
* * *
- Jakarta, 31 Juli 2020