TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Sabtu, 12 September 2015

Nostalgia 20 Tahun Bon Jovi Konser di Jakarta


Konser Bon Jovi Tour Asia 2015 di GBK


20 TAHUN merupakan satu generasi. Dalam periode itu, zaman tentu sudah berubah. Namun, dalam blantika musik, ada rumus pasti untuk bisa bertahan selama dua dekade: Konsistensi. Fakta itu pula yang menjadi latar belakang kesuksesan Bon Jovi.

Band yang berdiri sejak 1983 ini tak lekang di makan zaman. Meski bukan idola saya, namun Bon Jovi merupakan satu di antara sedikit band (Big Six) era 1980-an yang paling saya ingat. Tentu, setelah Guns N' Roses (GNR), Nirvana, Red Hot Chili Peppers (RHCP), Metallica, dan U2.

Konser Bon Jovi ini merupakan yang kedua kalinya di Indonesia setelah 1995 yang tentu saat itu tidak bisa saya ikuti karena masih bocah. Catatan tersebut menyamai Metallica yang juga dua kali ke Jakarta pada 1993 dan 2013. Kendati usia personilnya sudah gaek (baca: uzur) tapi semangat mereka tetap tinggi untuk mengajak sekitar 70 ribu penggemarnya bernostalgia sejenak.

*        *        *
LAGU That's What The Water Made Me mengawali konser bertajuk Bon Jovi Tour Asia 2015. Ya, Jakarta mendapat  kehormatan untuk membuka tur mereka di 10 negara Asia (Tiongkok batal) yang bertempat di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) semalam (11/9). Setelah lagu tersebut, Bon Jovi tak hentinya mengajak penggemarnya untuk bernostalgia dengan beberapa hits-nya.

Hanya, berhubung saya bukan penggemarnya, jadi kurang tahu berapa jumlah lagu yang dibawakan. Apalagi, di antara hit Bon Jovi, cuma sediki yang saya hafal, berbeda jika bicara Guns N' Roses yang mungkin saya kuat bercerita dari A sampai Z.

Beberapa lagu dari band yang beranggotakan Jon Bon Jovi, David Bryan, dan Tico Torres, ini sukses menghibur kami. Namun, bagi penggemar berat harus kecewa lantaran Richie Sambora tidak ikut. Absennya gitaris sekaligus salah satu pencipta lagu terbaik Bon Jovi itu sangat disayangkan. Mungkin, bagi penggemar GNR seperti saya, sama saja Axl Rose kehilangan Slash.

Ok, lupakan GNR yang akan saya buat postingan pada lain kesempatan. Kali ini fokus mengenai Bon Jovi saja. Berdasarkan beberapa lagu yang saya ingat dan berhasil "menggoyang" 70 ribu -perkiraan saya terkait pengalaman seringnya nonton sepak bola- penonton di GBK. Yang lagunya hits seperti You Give Love a Bad Name, It's My Life, Wanted Dead or Alive, dan Livin on a Prayer sebagai penutup.

Hanya, beberapa penggemarnya yang duduk di samping saya pada kecewa. Itu karena Bon Jovi tidak membawakan beberapa lagu hit-nya seperti Bed of Roses, Always, dan Never Say Goodbye. Saya pribadi kurang terlalu peduli dengan absennya tiga lagu itu karena, cukup terpuaskan dengan Give Love a Bad Name yang berhasil saya rekam dan Livin on a Prayer.

*        *        *
SAAT ini, usia personil Bon Jovi rata-rata di atas 50 tahun. Jon saja -menurut situs resminya- pada 2 Maret lalu sudah 53 tahun. Pantas jika banyak pihak yang bilang konser di Jakarta kali ini bagi Bon Jovi hanya untuk mendulang rupiah dari penggemarnya di Tanah Air.

Hal itu tidak salah memang. Namun, -saya netral, bukan penggemarnya- sedikit keliru. Faktanya, mayoritas penonton justru anak muda. Ada sih yang berusia 50-60 tahunan yang mungkin, bagi mereka bernostalgia mengenang masa-masa percintaan era 1980-an dan 1990-an. Tapi, musik itu meski tidak abadi, tetap dapat dikenang sampai kapan pun. Saya saja hingga kini masih menggemari November Rain, Don't Cry, Sweet Child o Mine, dan lagu-lagu lawas GNR lainnya.

Apalagi, Jon, sebagai vokalis sekaligus pentolan Bon Jovi sangat responsif. Dalam artian, sosok yang semasa mudanya jadi tukang sapu studio ini tak segan berdialog dengan penonton. Misalnya, yang saya ingat seperti dalam sambutannya memberi sapaan, "Kalian baik-baik saja?" yang merujuk pada konser keduanya di Jakarta setelah 20 tahun berselang. Atau, saat Jon berteriak, "Kalian ingin jadi koboi?" sebelum menggebrak GBK lewat Wanted Dead or Alive.

Ya, meski bukan penggemarnya, namun saya sangat puas menyaksikan penampilan Bon Jovi selama dua jam ini. Pengorbanan menunggu di area GBK sejak pukul 14.00 WIB hingga pintu dibuka pada 17.00 WIB dan baru selesai 23.00, terbayarkan lunas.

Bagaimanapun, Bon Jovi merupakan legenda hidup di dunia musik yang sukses mengajak kami sedikit melupakan kepenatan akibat dolar naik dan situasi politik yang memanas dengan bernostalgia bersama lagu-lagu mereka.

*        *        *
Pukul 14.00 WIB penonton masih menunggu di luar are GBK

*        *        *
Papan penunjuk elektronik untuk pemegang tiket

*        *        *
Panitia bersantai sejenak sebelum diserbu penonton

*        *        *
Demi Bon Jovi sekitar 70 ribuan penonton rela ngedeprok

*        *        *
Penjagaan yang ketat untuk masuk

*        *        *
Area GBK yang bagusnya lapangan sudah ditutupi alas hingga tidak merusak rumput

*        *        *
Bon Jovi dari kejauhan...

*        *        *
Panggung yang lumayan megah untuk standar band sekelas Bon Jovi

*        *        *

*        *        *
*        *        *


Video You Give Love A Bad Name

*        *        *

Video It's My Life 
*        *        *


Video That's What The Water Made Me
*        *        *

Catatan Musik Lainnya:
Tipe-X
Slank
Afgan
Reggae
Ariel
Noah
Kotak
*        *        *
Keterangan: Seluruh foto dan video merupakan dokumentasi pribadi/www.roelly87.com

*        *        *
- Cikini, 12 September 2015

Rabu, 09 September 2015

HUT Polantas ke-60: Dengarlah Aspirasi Masyarakat untuk Bersama Mengurai Kemacetan

HUT Polantas ke-60: Dengarlah Aspirasi Masyarakat untuk Bersama Mengurai Kemacetan

Panas-panasan? Untuk Polantas sudah jadi santapan sehari-hari

TERIK matahari tidak menghalangi tugasnya mengatur lalu lintas. Bermodalkan helm untuk melindungi kepala dari sengatan sang surya serta masker sebagai penyaring debu, pria berpakaian dinas itu terus mengatur lalu lintas di kawasan termacet di ibu kota. 

Di seberangnya, terdapat beberapa pengendara, khususnya sepeda motor, seperti tidak sabar menanti lampu hijau. Itu dilakukan mereka dengan berhenti di zebra cross yang seharusnya ditujukan untuk pejalan kaki. Sosok berjaket hijau dan helm warna putih biru itu menghampiri mereka untuk meminta mundur agar berhenti di belakang garis. 

Apa daya, imbauan itu hanya tinggal imbauan. Lantaran, lampu lalu lintas sudah berganti hijau yang artinya, mereka -pengendara- langsung melajukan kendaraannya tanpa menoleh sedikit pun. Saat itu, sosok tersebut langsung menarik nafas panjang. 

Bukan hanya karena imbauannya tidak didengar diindahkan sama sekali oleh pengendara. Melainkan karena pelanggaran yang dianggap "sepele" bagi masyarakat ini selalu terulang setiap saat. 

Ya, apa lagi yang bisa dilakukan polisi lalu lintas (Polantas) tersebut. Ingin menilang? Ah, itu sama saja mencari penyakit. Konon, masyarakat saat ini sudah lebih pintar, meski kebanyakan keblinger. 

Sekali saja Polantas itu berniat menegur, apalagi tilang, fotonya sudah ramai beredar di media sosial. Sumpah serapah dan caci maki pun keluar dengan menyebut polantas itu sewenang-wenang lah, hanya berani kepada masyarakat umum dan bukan pejabat, pilih kasih lah, serta lainnya.

Padahal, kalau mau jujur-jujuran, jika mereka ingin merenungi perbuatan sepele seperti berhenti melewati garis lalu lintas itu memang salah yang secara tidak langsung menyebabkan kemacetan. Tapi, stigma negatif masyarakat terhadap aparat kepolisian, khususnya Polantas, memang sulit dihilangkan.

*        *        *

"UBI Societas, ibi ius". Di mana ada masyarakat, di situlah terdapat hukum. Fakta ini yang dilupakan masyarakat, termasuk saya pribadi. Kami seperti terdoktrin bahwa, polisi, khususnya polantas selalu salah. Padahal, kami juga menyadari, bahwa yang salah itu hanya oknum. Alias, masih banyak Polantas yang bekerja sungguh-sungguh di jalan.

Pertanyaannya, bagaimana agar kami bisa kembali percaya kepada kinerja Polantas? Sebab, seperti yang kita ketahui, memulihkan kepercayaan yang hilang itu jauh lebih sulit dibanding saat membangunnya pertama kali. Butuh waktu lama agar percaya penuh kepada kinerja aparat kepolisian dan Polantas seperti era 1990-an ketika Gerakan Disiplin Nasioinal (GDN) berkumandang.

Sebagai blogger, saya berharap aparat kepolisian, khususnya Polantas, lebih reaktif lagi mendengar keluhan masyarakat. Salah satunya dalam menyusun peraturan. Contoh nyata terjadi pada aksi pesepeda yang menghentikan iring-iringan motor gede (moge) pertengahan Agustus lalu.

Saat itu, polantas -yang mengawal- merasa sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam pasal 134. Di lain pihak, masyarakat mempertanyakan ayat G yang berarti “kepentingan tertentu”. Nah, beda tafsir antara pihak kepolisian dan masyarakat inilah yang membuat permasalahan melebar ke mana-mana, hingga menjadi stigma negatif.

Ada baiknya, aparat kepolisian dan pihak berwenang, sebelum membuat peraturan, lebih dulu mengkajinya dengan meminta masukan dari masyarakat, baik di dunia nyata atau via media sosial. Jika itu terjadi, saya yakin, aparat kepolisian, termasuk Polantas secara perlahan kian dicintai masyarakat.

Menurut saya pribadi, itu semua berawal dari pemberlakuan aturan yang konsisten mengenai pengendara yang berhenti di belakang garis lalu lintas. Bagaimana dengan yang lainnya seperti mengendarai sepeda motor dengan tiga orang lebih, knalpot racing, tidak memasang kaca spion yang standar, dan sebagainya. Jawabannya, tentu bakal mengikuti proses secara perlahan. Bukankah, untuk mencapai 60 selalu diawali angka satu?


Yuk, ah, aparat kepolisian dan Polantas, lebih sering-sering mendengar aspirasi kami, masyarakat umum untuk mengurai kemacetan secara bersama. Terutama, blogger yang kini bisa jadi penyeimbang di tengah gencarnya berita negatif di berbagai media.

Selamat hari jadi Polisi Lalu Lintas ke-60 pada 22 September mendatang. Teruslah berkarya untuk negeri dan masyarakat.

*        *        *
Yang nakal itu oknum, lihatlah pak Polantas ini yang bekerja dengan sungguh-sungguh

*        *        *
Polantas saat bertugas mengurai kemacetan di Senayan

*        *        *
Polantas mengawal kendaraan salah satu klub sepak bola

*        *        *
Dua Polwan unjuk kebolehan di depan Markas Polda Metro Jaya

*        *        *
Polisi juga manusia. Tentu bisa bernyanyi dan tidak selalu berwajah galak

*        *        *
Keterangan: Seluruh foto merupakan dokumentasi pribadi/ www.roelly87.com
*        *        *
Artikel terkait:

*        *        *
- Cikini, 9 September 2015

Senin, 07 September 2015

Yuk, Kunjungi Jerman Fest 2015 di Sembilan Kota di Indonesia

Yuk, Kunjungi Jerman Fest 2015 di Sembilan Kota di Indonesia

Pemutaran film Metropolis di TIM pada pembukaan Jerman Fest 2015

HUBUNGAN Indonesia dan Jerman telah terjalin sejak lama. Baik itu rakyatnya atau di pihak pemerintahan yang meliputi sosial, budaya, politik, olahraga, hiburan, hingga pertukaran pelajar. Yang saya ingat jelas ialah Bacharudin Jusuf Habibie. Mantan presiden Indonesia ketiga itu merupakan salah satu putra bangsa yang banyak memperoleh kemajaun saat "belajar" di Jerman pada era 1950-an.

Berselang puluhan tahun, kerja sama kedua negara kian erat. Bahkan, tahun ini, ditandai dengan adanya Jerman Fest 2015. Yaitu, acara yang berlangsung September-Desember ini yang ditujukan untuk mendorong pertukaran informasi yang bermanfaat antara Indonesia dan Jerman.

"Indonesia jadi negara di Asia Tenggara pertama yang menyelenggarakan Jerman Fest," kata Duta Besar Jerman Dr. Georg Witschel, dalam sambutannya. "Acara ini merupakan inisiatif dari Kementerian Luar Negeri Jerman dan diadakan berkat kerja sama antara Goethe-Institut Indonesien, Kedutaan Besar Jerman, dan EKONID."

*      *      *

JERMAN Fest 2015 dibuka dengan pemutaran film Metropolis di Teater Jakarta dan Atrium Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (5/9). Saya beruntung dapat undangan istimewa untuk jadi saksi dari film monumental yang menurut Internet Movie Database (IMDb) disebut sebagai film bisu klasik yang sangat monumental di zamannya.

Metropolis disutradarai Fritz Lang yang disebut sebagai film dengan biaya termahal saat itu. Versi Box Office Mojo -belum dihitung inflasi-, Metropolis meraup 1,2 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 16 miliar.

Awalnya, menyaksikan film klasik berdurasi 148 menit (2 jam 28 menit) ini membuat saya bingung. Itu karena Metropolis merupakan film tanpa suara, alias bisu. Alhasil, hingga setengah jam pertama, saya lebih banyak menguap dan berupaya menahan kantuk. Padahal, di sekitar kursi yang saya duduki, banyak yang antusias menyimak adegan demi adegan.

Kebetulan, meski film ini tanpa suara, namun didukung penuh lebih dari 60 musisi dari Deuches Filmorchester Babelsberg (Orkes Film Jerman Babelsberg). Hingga, sambil mengunyah permen karet untuk melawan kantuk, akhirnya saya bisa menyaksikan Metropolis hingga selesai.

Oh ya, Metropolis, bercerita mengenai kota masa depan yang bagi masyarakat saat itu (dekade 1920-an) kesannya sangat futuristik. Selain di TIM, film yang menuai pujian dari kritikus dan mendapat apresiasi banyak musisi seperti Madonna, Queen, hingga Lady Gaga ini, juga diputar di dua kota lainnya: Surabaya di Ciputra Hall pada sore ini (7/9) dan Bandung di aula barat ITB (9/9).

Jakarta, Surabaya, dan Bandung, jadi kota pembuka rangkaian Jerman Fest 2015. Setelah itu, masih ada enam kota lainnya di Tanah Air yang menyelenggarakannya. Mulai dari Banda Aceh, Medan, Yogyakarta, Denpasar, Balikpapan, dan Makassar, dengan tema dan acara yang tentu berbeda. Sebelum di Indonesia, Jerman Fest juga pernah diselenggarakan di Brasil, Tiongkok, dan India.

Ya, Jerman Fest 2015 tidak melulu mengenai film. Melainkan juga aspek lainnya. Yaitu, musik, seni, sains, olahraga, eknomi, sosialisasi, literatur, teater, tari, game, konferensi agama, dan sebagainya yang berlangsung hingga 6 Desember. Bagi rekan-rekan yang berdomisili di Jakarta, saya sudah buat daftar acaranya di bawah.

*      *      *

DALAM periode itu, juga terdapat acara untuk memperingati 25 tahun penyatuan Jerman pada 1 Oktober mendatang di Hotel Indonesia Kempinski. Yang menarik, bagi saya pribadi dan juga penggemar sepak bola, pada salah satu rangkaian Jerman Fest 2015 ini akan ada kunjungan pesepak bola Jerman yang akan menyapa penggemarnya di Tanah Air.

Sepanjang pengetahuan saya dengan mengambil referensi resmi dari FIFA.com, Indonesia sudah lima kali menghadapi klub dan timnas Jerman. Dimulai saat dua kali menghadapi timnas Jerman yang masih terpecah dan bernama Jerman Timur pada 20 September 1956 skor 1-3 dan 11 Februari 1959 (2-2). Selanjutnya versus klub Bundesliga, Werder Bremen pada 19 Juni 1965 (5-6), Borussia Dortmund (19 Desember 2007, 0-1), dan Bayern Muenchen (21 Mei 2008, 1-5).

Berdasarkan fakta tersebut, dengan adanya Jerman Fest ini, tentu, bisa dipetik pelajaran bagi kita semua. Khususnya, pemangku kepentingan, seperti Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Itu seperti diungkapkan Witschel, "Melalui kegiatan ini (Jerman Fest 2015), diharapkan Jerman dan Indonesia dapat melangkah lebih maju ke depannya dalam berbagai bidang."

Semoga saja, itu termasuk sepak bola Indonesia. Meski tidak harus menyamai prestasi Jerman yang sudah empat kali menjuarai Piala Dunia, setidaknya "Tim Garuda" mampu berbicara di Asia.

*      *      *

Agenda Jerman Fest 2015 di Jakarta

5/9 - Pembukaan. Pemutaran film Metropolis di Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM)
11/9 - German Cinema Film Festival di Studio XXI Epicentrum Walk
12/9 - German Cinema Film Festival di GoetheHaus, Menteng
20/9 - Penutupan German Cinema Film Festival di Studio XXI Epicentrum Walk
16-25/9 - Pameran Dunia Budaya di Tugu Kunstkring Paleis
1/10 - Perayaan Hari Penyatuan Jerman di Hotel Indonesia Kempinski
4/10 - Teater Boneka Kontemporer Indonesia di Teater Salihara
5-15/10 - Pameran Sains di Museum Nasional
6-7/10 - Pemutaran Film Arthouse Cinema di GoetheHaus
21/10 - Konser Paduan Suara Interaktif "Rundfunkchor Berlin" di Aula Simfonia
23/10 - Kolaborasi Tari (Frankfurt, Salihara, Plesungan) di Teater Salihara
2/11 - Konferensi: Agama, Negara, dan Masyarakat di Abad 21 di Goethe Institut
2/11 - Kunjungan studio Game Mixer bagi pengembang games di Goethe Institut
3,4,6/11 - Workshop Game Mixer di Goethe Institut
5/11 - Diskusi antarpengembang Game Mixer di Goethe Institut
6-27/11 - Pameran Jerman, Negeri Penemuan di Deutsche Schule Jakarta
10/11 - Pasar Seni Festival di Pasar Tebet Timur dan Barat
25/11 - Konferensi: Radikalisasi/ Deradikalisasi di Morissey
26/11 - Festival Tari Sebastian Matthias: Volution/Groove Space di Komunitas Salihara
1/12 - Green City: Kompetisi konsep masa depan di Universitas Katolik Indonesia - Atma Jaya
2/12 - Ensemble Modern Ruang Suara di Komunitas Salihara

Keterangan: 
- Seluruh foto merupakan dokumentasi pribadi (www.roelly87.com)
- Referensi artikel berdasarkan penuturan langsung Duta Besar Jerman Dr. Georg Witschel, panitia Jerman Fest Nindia Satiman, dan Koordinator Humas Goethe-Institut Indonesia Katrin Figge (via email)

*      *      *
"Layar tancap" di atrium Teater Jakarta - TIM

*      *      *
Narsis sejenak sebelum menyaksikan pembukaan Jerman Fest 2015

*      *      *
Bertambah lagi kartu pos khas Eropa setelah sebelumnya dari Italia, Portugal, dan Turki  

*      *      *

*      *      *
Tipe-X
Afgan

*      *      *
- Cikini, 7 September 2015

Jumat, 04 September 2015

Yuk, Baca Komik Gratis di VIVA.co.id


Tampilan komik.viva.co.id (screenshot Choirul Huda/www.roelly87.com)


KOMIK Indonesia (lokal) pernah mencapai masa kejayaannya pada dekade 1970-an hingga awal 1990-an. Dalam periode itu, tak terhitung banyaknya komikus kita yang sangat terkenal, bahkan hingga kini. Berhubung kapasitas memori saya terbatas, saya hanya mampu mengingat beberapa di antaranya seperti Raden Ahmad (R.A.) Kosasih, Ganes TH, Jan Mintaraga, hingga Tatang S, yang identik dengan "si Petruk".

Memasuki pertengahan 1990-an sampai sekarang, komik Indonesia seperti mengalami stagnan, alias jalan di tempat. Meski, saat ini muncul beberapa komikus lokal dengan kualitas hebat, namun harus diakui masih kalah pamor dengan gempuran komik luar dari Eropa, Amerika Serikat (AS), dan tentunya Jepang.

Ya, bagaimanapun, kita harus mengakui jika konsistensi masih jadi musuh utama bangsa ini. Alias, pandai membuat sesuatu, tapi tak berdaya mempertahankannya. Termasuk untuk kalangan komikus.

*        *        *

SAAT ini, di era gombalisasi globalisasi dengan mewabahnya internet, untuk mencari situs atau portal penyedia komik gratis sangat lah mudah. Baik itu dari Eropa, AS, Jepang, hingga lokal, bertebaran di mana-mana. Namun, tidak semuanya resmi, banyak di antaranya -bukan berarti semua- ilegal. Hanya, ini semua kembali kepada penggemar komik itu sendiri.

Salah satu penyedia komik lokal secara gratis dan legal yang saya tahu terdapat di portal VIVA.co.id. Sejatinya, mereka sudah lama memanjakan penggemar komik di Indonesia melalui mini site komik.viva.co.id. Namun, saya sendiri baru mengetahuinya pekan lalu saat menghadiri gathering Daihatsu Terios 7 Wonders di GIIAS (28/7).

Ketika itu, saya tengah memotret suasana gathering dengan 50 blogger yang tengah diaudisi untuk mencari tiga pemenang ke Kalimantan. Tanpa sengaja, mata saya tertuju pada banner di pojok ruangan dengan tokoh Si Buta dari Gua Hantu.

Kebetulan, saat itu Rizal Maulana dan Dian Lestary yang merupakan perwakilan VIVA.co.id dan VIVAlog. Langsung saja, saya tanya mengenai maksud banner tersebut. Menurut mereka, komik.viva.co.id atau biasa disingkat Komik VIVA, merupakan satu dari tiga kanal terbaru di VIVA.co.id. Yaitu, memuat komik online yang bisa diakses secara gratis dan sudah pasti legal.

Untuk dua kanal lainnya, saya sudah tidak asing lagi, karena telah lama mengetahuinya. Seperti, Cerita Anda yang beberapa waktu lalu pernah saya kirim artikel dari blog ini dan Jepret VIVA yang kerap mengadakan lomba, termasuk Semarak Kemerdekaan RI ke-70.

*        *        *
UNTUK sementara, kita -sebagai pembaca- baru bisa menikmati tiga cerita di Komik VIVA: Si Buta dari Gua Hantu, Mandala, dan Godam. Sayangnya, saya lupa menanyakan kepada Rizal dan Dian, selain tiga komik itu apakah akan ditambah atau tidak.

Yang pasti, setiap hari saya bisa menyaksikan lanjutan cerita dari ketiga tokoh tersebut. Lantaran, Komik VIVA selalu memperbarui halamannya setiap hari pukul 12.00 WIB. Wow, ini jadi angin segar bagi penggemar komik seperti saya.

Terutama perkembangan komik Indonesia agar lebih maju dengan promosi yang dilakukan VIVA.co.id. Maklum, saya pun sudah bosan sekadar jadi "penonton di rumah sendiri". Alias, hanya bisa menyaksikan komik luar dari Eropa, AS, dan Jepang, berjaya, sementara komik lokal seperti kurang bergairah.

Di sisi lain, saya berharap ada versi untuk mobile. Sebab, dalam beberapa hari ini saya hanya bisa menikmatinya via dekstop. Padahal, dengan membaca tiga komik tersebut melalui telepon seluler (ponsel), tentu jauh lebih asyik karena bisa sambil tiduran. Apalagi, saat ini mayoritas pengguna internet di Indonesia berasal dari ponsel yang mudah diakses ketimbang dekstop.

Mengenai tampilannya, memang saat ini masih kaku. Jujur saja, dalam beberapa hari ini, saya belum nyaman untuk membacanya. Itu karena saya harus melakukan zoom in dan zoom out agar bisa menikmatinya secara utuh yang masih tertinggal dibanding situs penyedia komik lainnya. Ini jadi catatan bagi Komik VIVA agar ke depannya bisa lebih mudah dibaca dan jadi barometer penggemar komik lokal.

*        *        *
Banner "Baca Komik di VIVA.co.id" yang terdapat di booth Daihatsu di GIIAS 2015

*        *        *
Pembaca tinggal pilih di antara tiga komik yang tersedia

*        *        *
Ini versi layar normal

*        *        *
Dikecilin 33%

*        *        *
Tampilan utuh seperti komik cetak tapi tulisannya sulit dibaca

*        *        *
Versi normal yang harus geser kursos dan agak ribet

*        *        *
Berkat fitur baru VIVA ini saya jadi rutin buka kompie tiap jam 12an...

*        *        *

*        *        *
*        *        *

- Cikini, 4 September 2015

Rabu, 02 September 2015

Komitmen Indosat Terhadap Pelanggan, Sepak Bola, dan Blogger


Penandatanganan kerja sama Indosat dengan tiga klub raksasa Eropa


"PROGRAM ini merupakan komitmen kami (Indosat) terhadap sepak bola. Khususnya komunitas yang ada di Tanah Air. Untuk kerja sama dengan klub lokal, saat ini tengah kami jajaki." Demikian pernyataan dari President Director & CEO Indosat Alexander Rusli di hadapan puluhan media, komunitas suporter, dan blogger.

Ya, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini yang berskala global itu baru saja merlis layaanan terbaru untuk memuaskan pelanggannya. Yaitu, VAS content yang berisi berita terkini dan video bagi pelanggan mereka yang merupakan pecinta sepak bola.

Tidak tanggung-tanggung, Indosat melakukan kerja sama dengan tiga klub ternama di Eropa: Barcelona, FC Internazionale, dan Arsenal. Kerja sama itu kian membuktikan Indosat sebagai perusahaan yang identik dengan sepak bola dan juga blogger.

*       *       *

SENIN (31/8) sekitar puluhan orang memadati meeting room di lantai 25 kantor pusat Indosat, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Saya beruntung jadi saksi penandatanganan kontrak kerja sama (MOU) antara Indosat dan tiga klub ternama Eropa itu.

Dari Inter diwakili pemiliknya langsung, Erick Thohir. Bahkan, sosok yang menjabat sebagai presiden klub asal kota Milan sejak 14 November 2013 itu baru tiba pagi harinya usai mengikuti perayaan HUT ke-12 Inter Club Indonesia (ICI). Sementara, Arsenal turut dihadiri direkturnya, William Brown, yang sayangnya minus perwakilan Barcelona..

Dalam kesempatan itu, Rusli, mengaku bangga bisa menjalin kerja sama dengan mereka demi memuaskan keinginan pelanggan Indosat, "Bisa menjalin kerja sama dengan ketiga klub besar Eropa ini merupakan kebanggaan bagi kami. Mereka, mewakili sepak bola Spanyol, Italia, dan Inggris. Kami berharap, dengan kerja sama ini bisa memenuhi informasi pelanggan Indosat yang juga penggemar sepak bola."

Untuk dapat menikmati konten eksklusif dari ketiga klub tersebut, pelanggan Indosat cukup mengetik *123*810#. Cara lainnya dengan SMS melalui REG INTER atau REG ARSENAL ke nomor 99456 dan REG BARCA kirim ke 99465.

Jadi, dengan tarif berlangganan mulai dari Rp 2.000, pelanggan bisa mendapat informasi tentang tim dan invidivu pemain, video eksklusif, serta memiliki kesempatan memenangkan tiket untuk menyaksikan langsung pertandingan klub yang bersangkutan di Eropa!

Itu seperti yang dilakukan mereka tahun lalu saat menerbangkan empat pelanggannya yang beruntung untuk menyaksikan langsung Piala Dunia 2014 di Brasil dalam program Hiperbola 888. Ke depannya, Indosat akan membuat voucher isi ulang dengan gambar pemain atau klub favorit untuk dikoleksi.

Tak pelak, tawaran dari Indosat itu disambut antusiasme puluhan orang yang mengikuti acara tersebut. Termasuk saya dan enam rekan blogger yang mendapat kehormatan undangan dari Indosat yang disampaikan melalui rekan blogger Ani Berta.

*       *       *

BERBICARA mengenai program Indosat, saya sendiri sudah tidak asing lagi. Bagi saya, anggota dari Ooredoo Group ini merupakan perusahaan yang sangat dekat dengan sepak bola dan blogger yang memang saling berkaitan.

Sejak aktif ngeblog, saya sudah tidak ingat berapa kali mendapat undangan dari Indosat dan anak perusahaannya (IM3, IM2, Cipika, dan sebagainya) saat mengadakan kopdar atau peluncuran produk. Kebetulan, saya merupakan pelanggan layanan prabayar IM3 sejak 2003 hingga kini dan IM2 untuk pemakaian domain di blog ini.

Bahkan, saat SEA Games 2011 dengan Indosat sebagai sponsor utama, saya mendapat kehormatan dipercaya meliput pesta olahraga dua tahunan antarnegara Asia Tenggara itu bersama beberapa rekan blogger lainnya.

Bagi saya, komitmen perusahaan yang berdiri sejak 1967 ini terhadap olahraga, khususnya sepak bola dan blogger, tidak diragukan lagi. Itu mengapa saya selalu menyimak informasi Indosat yang selalu di-update melalui media sosial seperti facebook dan twitter.

*       *       *
Pemandangan kota Jakarta dari lantan 25 kantor pusat Indosat

*       *       *
Manekin berseragam Inter

*       *       *
President Director & CEO Indosat Alexander Rusli

*       *       *
Presiden Inter Erick Thohir 

*       *       *
Jajaran petinggi Indosat, perwakilan tiga klub Eropa, dan undangan lainnya

*       *       *

*       *       *

Sebelumnya tentang Erick Thohir dan FC Internazionale
*       *       *
Keterangan: Seluruh foto merupakan dokumentasi pribadi (www.roelly87.com)

*       *       *
- Cikini, 2 September 2015