TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Di Suatu Desa dengan Penumpang Random

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Rabu, 20 Oktober 2021

Di Suatu Desa dengan Penumpang Random

Catatan Harian Ojol V

Di Suatu Desa dengan Penumpang Random

Ilustrasi @roelly87


KORONAVIRUS kembali meningkat di berbagai wilayah di Tanah Air sepanjang Juni-Juli ini. Meledaknya Covid-19 membuat beberapa daerah harus melakukan pembatasan aktivitas. Termasuk, di DKI Jakarta yang berlaku 14 hari terhitung sejak 21 Juni hingga 5 Juli yang berlanjut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 3-20 Juli mendatang.

Belasan titik keramaian pun dipangkas mulai pukul 21.00 WIB sampai subuh. Misalnya, kawasan yang gw kerap kunjungi sebagai ojek online (ojol) yang terbiasa ngalong alias beroperasi sore hingga pagi. Itu meliputi Asia Afrika, Melawai, Kemang, Sabang, hingga Pantai Indah Kapuk (PIK).

Memang, pembatasan ini sangat berpengaruh dalam hal orderan. Namun, wajar mengingat ini merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah demi menekan laju meledaknya Koronavirus.

Gw juga sangat bersyukur karena pembatasan ini ada pengecualian bagi ojol. Dengan syarat, ada orderan baik penumpang, beli makanan, atau kirim barang.

Pun demikian dengan warga sekitar lokasi pembatasan yang masih bisa lewat. Gw berharap, upaya ini bisa efektif. Tentu, diiringi dengan disiplin masyarakat, salah satunya selalu pakai masker jika di luar rumah.

Plok...

Bunyi tepokan telapak tangan gw dengan nyamuk membuyarkan lamunan gw. Ya, kebetulan gw habis nganter makanan di salah satu perumahan elite di Kemang. 

Mau kembali ke basecamp yang terletak di Barat Laut ibu kota, sepertinya males. Maklum, kalo balik narik terus kosong, rasanya percuma. 

Hanya habisin bensin. Makanya, gw pengen cari orderan yang searah pulang. Setidaknya, ke daerah barat atau pusat. 

Mumpung, masih tergolong sore. Waktu di hp gw menunjukkan 00.15 WIB. Biasanya, jam segini di Kemang rame dengan orderan. 

Apalagi, sebelum pandemi, aplikasi ojol gw sering merah pertanda banyak tawaran untuk anter makanan atau penumpang. Maklum, lokasinya memang strategis di kelilingi restoran, kafe, pasar, pusat perbelanjaan, hingga apartemen.

Ketika asyik menyeruput kopi hitam yang dibeli di starling dengan harga murah meriah, Rp 3.000 per gelas, ditemani udut, tampak kilau cahaya mendatangi. Wow...

Supercar asal negeri piza berhenti di trotoar. Warnanya, merah mencolok dengan emblem khas. Yaitu, mirip dengan logo jadul klub favorit gw, Juventus, yang kini sudah berganti dengan "J".

Njir... Ini mobil teope begete. 

Made in Italy.

Supercar.

Harga pasti Em-eman.

Atap bisa dilipat.

Yang pasti, pemiliknya kalo bukan orang kaya ya orang kaya banget. Kelas sultan lah.

Tapi, penilaian itu sementara gw pending. Sebab, sosok yang mendatangi gw justru terkesan 'b aja'.

"Mas, bisa minta tolong ga?" ujar wanita yang turun dari supercar tersebut. 

Menariknya, pakaian yang dipakai biasa saja. Mengenakan kaos berlogo imut hello kitty dengan paduan hijau, celana jin biru yang robek di lutut, tas gemblok hijau, dan sneaker putih-hitam. Andai ada warna kuning, udah kayak pelangi aja nih outfit-nya. 

"Iya kak?"

"Mas, bantuin gw cari makanan yang unik dong."

"Maksudnya?"

"Gw laper. Lagi bosen menu di rumah. Mau cari yang unik."

"Lah, itu di ujung ada resto cepat saji. Di pinggir jalan ada masakan serba digoreng, sate, dan sebagainya."

"Duh, bosen gw. Udah seminggu makanan itu-itu aja sejak pembatasan."

"Ya udah, pake aplikasi ojek online aja. Untuk beberapa resto, ada yang buka 24 jam meski pembatasan seperti ini."

"Males. Jauh-jauh. Sampe rumah gw biasanya udah dingin. Gw pengen cari yang anget. Enakan makan di tempat."

"Yaelah, lagi pembatasan begini jarang ada yang nyediain makan di tempat. Mayoritas bawa pulang atau lewat aplikasi ojol."

"Kelamaan. Lo lagi ngapain mas?"

"Tidur."

"Yeeeee. Dia tuh ditanya beneran."

"Lah serius."

"Ga ngojol?"

"Lah ini gw lagi ngojol. Ga lihat jaket, helm, sama aplikasi ini lagi nyala," jawab gw memperlihatkan layar hp tanda aplikasi ojol sedang on.

"Tuh kan, dodol! Ditanya ngapain jawab tidur. Tapi tadi bilang lagi ngojol."

"Ya abis, masa lo ga liat gw lagi nunggu orderan. Mau ngojek?"

"Kaga. Gw mau syuting!" 

Wanita itu pun tampak bersungut-sungut. Meski sedang cemberut, gayanya tetap menarik.

"Ya udah kak, lanjut syuting. Ttdj ya," pungkas gw sambil kembali menatap layar hp terkait Euro 2020. 

Kebetulan, gw memang lagi nyari info mengenai Piala Eropa yang sudah memasuki fase knock-out. Maklum, tahun ini gw belum pernah sekalipun menyaksikan siarannya. 

Salah satu faktornya akibat pandemi yang meniadakan nonton bareng (nonbar). Biasanya, kalo ada Euro atau Piala Dunia, gw sangat antusias. 

Namun, entah kenapa untuk edisi sekarang jadi kurang bergairah. Kali terakhir gw nonton bola secara full pada 10 Maret lalu. Tepatnya, saat Juventus tersingkir dari 16 besar Liga Champions 2020/21. 

Setelah itu, paling hanya baca-baca berita. Termasuk, ketika final yang mempertemukan dua wakil Liga Primer yang hasilnya sekadar gw intip dari berita online.

"Yaelah, pan tadi gw nanya lagi ngojol ga? Kalo iya, gw mau order nih," suara dari balik kemudi tersebut melanjutkan.

"Lah, masih di sini. Gw pikir udah jalan?"

"Duh, ini orang rempong."

"Iye.. Iye... Mau order apa?" jawab gw tersenyum sembari menghampiri.

Njir... Mobilnya gila banget. Buatan Negeri Piza memang luar biasa. Seketika, gw ingat dua film bertema balapan. Yaitu, Legend of Speed yang dibintangi aktor Hong Kong favorit gw, Ekin Cheng, dan Ford vs Ferrari.

"Bantuin gw cari makanan yang unik bang."

"Boleh. Di mana?"

"Terserah."

"Ebuset. Gw paling ngeri kalo denger jawaban terserah darj kaum hawa. Soalnya, ambigu banget. Ntar gw tunjukin A, lo maunya Z."

"Ga. Swear!

"Ok... Gw pandu dari depan. Lo bawa mobil jangan ngebut ya. Ikutin motor gw."

"Siap, komandan!"

Wanita itu pun menyalakan mesin mobilnya. Supercar memang beda. Suaranya ngebas banget, tapi terdengar merdu.

"Eh gini aja deh mas. Daripada ribet, mending motor lo taroh, terus lo ikut gw di samping."

"Malem gini parkir di mana? Mal depan? Rugi. Per jamnya dua ribu. Kalo flat sih oke."

"Lo taroh di garasi gw aja. Aman. Ada securitynya. CCTV 24 jam. Rumah gw arah jam empat dari sini."

"Serius naroh tempat lo?"

"Beneran. Aman 100 persen. Gw jamin."

"Dih... Ogah banget. Mending gw taroh depan mal."

"Yaudah terserah. Cepat ya. Gw tunggu sini. Sama ini, untuk biaya parkir."

"Banyak amat? Ga apa-apa nih?"

"Ga. Ya udah gw tunggu."

"Ok, bentar ya."

Gw pun menerima dua lembar merah. Njir, mayan banget. Ini sama aja gw ngojol dua hari. Apalagi, parkir motor tergolong murah, Rp 2.000 per jam. Kalo tiga jam aja paling enam ribu. Mentok ceban. Masih ada sisa banyak.

Terkait penolakan naroh motor di tempat tuh cewek seperti yang ditawarkan, tentu ada alasannya. Gw selalu hati-hati jika menyangkut hal penting. Maklum, motor merupakan nyawa kedua gw, yang utama di jalan.

Gw enggan gegabah dengan menitipkan ke orang yang tidak dikenal. Sekalipun, ini cewek yang memang tajir dan siap menjamin keamanannya.

Namun, siapa yang tahu jika di belakang ada udang di balik bakwan. Salah satunya terkait konspirasi. Misalnya, ternyata dia bagian dari sindikat, mafia, c3pu, hingga gangster.

Bisa mampus gw. 

Kebetulan, gw memang ga pernah percaya sama orang. Apalagi yang baru kenal. Bisa dipahami mengingat kali terakhir gw percaya penuh, gw nyaris kehilangan segalanya.

*       *       *

"LAMA amat mas. Sampe ngantuk gw nunggu. Hampir aja gw tinggal," tutur si cewek memberondong saat gw menghampiri.

"Yaelah, kan harus nyari spot strategis. Maklum, parkiran umum," jawab gw yang langsung terhenti depan mobilnya.

"Ngapain lo bengong? Ayo masuk."

"Lewat mana?"

"Yaelah, tinggal buka pintu aja. Nih. Gini. Manja banget sih."

"He he he. Maklum, gw norak. Seumur-umur belom pernah duduk di mobil sultan kayak gini. Liat di jalan aja jarang."

"Biasa aja. Ntar lama-lama juga udah ga aneh."

Untuk kali pertama dalam lebih dari seperempat abad bernafas di kolong langit, gw merasakan sensasi empuk supercar. 

Emang sih, gw sering liat di internet, baik ig, fb, atau youtube. Namun, untuk duduk, bahkan di samping bidadari lagi, ini kali perdana. 

Kalo ga salah, mobil paling mewah yang pernah gw tumpangin juga dari Eropa. Tepatnya, Peugeot 404. 

Anjrit. Itu aja udah keren. Tapi, ini puluhan kali lebih wah...

"Eh, ini atapnya ga ditutup? Musim hujan lo..."

"Ah eh ah eh... Gw punya nama, keleus."

"Oh iya ya... Sorry. Gw Ekalaya," gw menjulurkan tangan tanda kenalan. Ha ha ha, mirip salken di basecamp dengan sesama ojol.

"Raden Ayu Dyah Sita. Biasa dipanggil Sita."

"Panjang amat tuh nama. Rempong kalo bikin paspor apalagi pas ngajuin visa."

"Romo gw yang kasih dari lahir."

"Lo keturunan darah biru ya? Roman-romannya ada garis dari kesultanan di Jawa. Surakarta atau Yogyakarta?"

"Woi... Nanya terus. Ini ga jalan-jalan kitanya. Ayo, mau kemana?"

"Yaelah. Pan lo yang mau nyari makan."

"Pengetahuan gw soal area kuliner terbatas di Kemang, PangPol, Fatmawati, sama Blok M, doang. Lo kan ojol. Pasti, tahu lebih."

"Lah, apalagi gw. Biasa makan warteg."

"Aduh... Yaudah, kita jalan dulu. Bisa stress gw ngadepin lo."

"Biasa aje kale. Bibirnya diomonyongin gitu. Sexy kagak, buluk mah iye."

Sita pun tertawa mendengar celotehan gw.

"Tapi, tetep cakep kan," ujarnya sambil tangan kirinya mengusap rambut belakang yang tergerai.

"Iye aja. Biar cepet."

"Ha ha ha."

Aneh memang makhluk yang disebut wanita ini. Dalam sekejap bisa berubah tergantung mood. Tadi awalnya cemberut, kini malah ngakak.

"Ini kita lewat mana? Bangka atau Antasari?" Sita bertanya ketika kami berada di pertigaan Kemang Raya-Kemang 1.

"Antasari aja. Ntar kita ke Blok M, Melawai, sampe Mayestik. Mentok-mentok ya ke Patal Senayan, banyak sate taichan."

"Wah boleh tuh Ka. Udah lama gw ga makan di tempat panas-panas. Kalo beli online, nyampe rumah gw biasanya udah dingin."

"Siap tuan ratu. Ntar gw nemenin lo sambil jagain mobil lo."

"Makan aja bareng gw."

"Ogah ah."

"Serius. Gw bayarin."

"Gw ga begitu doyan. Di antara jenis sate, urutan pertama Madura, Padang, Kambing, baru deh taichan. Itu pun kalo terpaksa ga ada pilihan."

"Yeee... Dodol. Kalo lo ga mau makan, ngapa ngajakin gw ke Patal.

*       *       *

DINI hari WIB begini, jalanan ibu kota cenderung lenggang. Apalagi, ada pembatasan seperti ini. Kecuali, malam Sabtu dan Minggu, tetap ramai. 

Maklum, dua malam itu, para bocil dan alay bergerilya. Baik konvoi, pamer knalpot bising, hingga balap liar yang sangat gw benci hingga tulang sumsum.

Gw pribadi punya pantangan tak tertulis bersama rekan-rekan ojol di basecamp atau kenalan di jalan. Yaitu, ogah menolong jika ada pengendara yang kecelakaan akibat sok ngebut, balap liar, dan knalpot bising.

Beberapa kali gw menyaksikan seperti itu. Namun, gw bergeming. 

Ogah membantu. Lebih baik cabut.

Secara, membantu mereka sama kayak nolong anjing kejepit. Usai ditolong malah menggigit. 

Itu yang gw alamin saat memapah korban di Cilandak.

Dulu...

"Woi... ngelamun."

Sontak, gw menoleh ketika bahu gw dicolek disertai adanya suara merdu.

"Kaga. Ngantuk aje. Lagian malem gini atap lo buka. Semilir angin bikin ngantuk."

"Ini di Semanggi. Kita mau kemana?"

"Ebuset... Cepet bener."

"Lo bengong aja sih. Gw jadi ngomong sendiri dari tadi."

"Lo ga jadi ke Patal, Sit? Katanya mau makan taichan? Ini udah lewat."

"Ogah makan sendiri. Lo cariin dah, kita makan bareng."

"Warteg mau?"

"Gw sering makan gituan. Tapi kali ini, no! Gw pengen makanan yang unik."

"Warteg Warmo di Tebet sama Gang Mangga di Glodok, juga unik."

"Please, Lay. Gw ga anti sama warteg. Ge juga ga gengsi makan di warteg karena sering. Tapi, seperti gw bilang tadi. Malam ini gw mau cari masakan yang unik. Titik!"

"Lay? Siapa?"

"Lo, Lay. Ekalaya."

"Ebuset... Gw biasa dipanggil Eka dari kecil. Baru kali ini ada yang nyebut Lay. Ga sekalian Lay... Lay... Lay... panggil aku si Jabrik."

"Yaudah deh. Apa aja. Banyak intermezzo dah lo."

"Ha ha ha. Lo ngomel hidung makin kembang kempis!"

Sita hanya cemberut sambil menaikkan alisnya saat menanggapi ledekan gw. Asli, ngeliat mukanya yang memerah kayak kepiting rebus bikin gw ngakak.

Seketika gw jadi membandingkannya dengan Dresnala dan Dewi. Mereka bertiga memang beda satu sama lain. 

Namun, punya kemiripan. Yaitu, sama-sama wanita!

Duh, error gw nih.

"Selain lo, berapa orang yang punya Portofino di Indonesia?" gw bertanya untuk memecah kecanggungan Sita. 

"Tau!"

"Kali, lo tahu gitu Sit..."

"Emang gw dealer!"

Njir, kumat nih cewek. Paling males gw ngadepin situasi seperti ini. 

Meski, kadang demen juga sih. Secara, bikin gw tertantang untuk menaklukkannya!

Maksud gw, bikin dia kembali ceria. Minimal, ga badmood lagi.

"Setahu gw nih. Bukan sotoy ya... Tapi, Portofino emang jarang mengaspal di Jakarta."

"Mobil ini ga semahal yang lo kira, kali."

"Ga mahal. Tapi juga ga semua orang tajir mampu beli. Selain harga OTR, juga harus dihitung pajak tahunan, sparepart, asuransi, dan lain-lain."

"Kayaknya, lo tahu banyak soal mobil."

"Ya, nggak lah. Kebetulan aja."

"Lo penggemar sportcar?"

"Ebuset, gw aje ngojek pake motor matic yang belinya kredit."

"Ya, emang beli mobil kayak gini harus cash? Ngga lah. Banyak juga yang nyicil," Sita, mulai tersenyum.

"Ini gw sotoy ya. Jangan lo anggap serius. Prediksi gw, kali ya. Harus ada 5-6 em buat nebus Portofino seri terbaru."

"Yupz... Ini punya Romo gw. Kebetulan, beliau memang kolektor. Kalo punya gw mah cukup Livina. Itu gw beli hasil keringat sendiri dari kerjaan banting tulang hingga keluar air mata, keringat, dan darah. Ha ha ha."

"Lo penggemar Nissan ya, Sit? Jarang ada cewek pake tuh mobil buat sehari-hari. Biasa, Jazz, Agya, atau Ayla, dan sebagainya."

"Ga juga sih. Tapi di rumah, ada Infiniti dan Navara. Romo gw suka tuh merek. Meski, ga fanatik juga. Ada Mini sama Audi buat beliau sehari-hari."

"Wow... Cadas."

"Lo sendiri hobi otomotif?"

"Nonton balapan, F1 dan MotoGP di tv, iya. Kalo sehari-hari cuma ada Vario aja. Mobil belom."

"Ya, optimistis ke depannya lo bisa barengan gw di jalan dengan roda empat. Punya mobil impian?"

"Banyak. Eh lo ngapain berenti di sini. Ntar diusir satpol pp," gw coba cegah Sita yang meminggirkan kendaraan di seberang Tugu Selamat Datang."

"Udah malem. Kali aja ga ada razia. Gw ngerokok bentar. Asem," Sita membuka pintu sambil nyender menghadap air mancur.

Tampak, hanya 1-2 kendaraan yang lewat. Starling juga tumben ga lalu-lalang.

*       *       *

"NONGKI di pinggir pantai kayaknya enak. Ka, cari resto yang ada bakar-bakaran di utara yuk?" Sita menoleh ke gw usai menaruh hapenya ke saku.

"Di mana? Ancol? Pan tutup, ada pembatasan."

"Yang buka di mana? Mumpung masih jam 12an. Cuaca juga cerah."

"Kalo bakaran yang segar sih di Muara Angke. Itu berbagai macam tangkapan, kayak ikan, kepiting, udang, deelel banyak.

"Ogah ah. Amis. Gw sering ke sana. Apalagi repot parkirnya kalo bawa mobil."

"Yeee, di mane lagi."

"PIK aja."

"Emang buka?"

"Coba dulu, keleus."

"Ya udah, pan gw cuma nemenin."

"Ok, kita cuss."

Sita pun melajukan mobilnya ke arah utara. Di sisi jalan tampak banyak galian terkait pembangunan MRT Fase 2. Ya, meski ada pembatasan akibat pandemi, proyek nasional yang menghubungkan Tugu Selamat Datang hingga Stasiun Kota, harus tetap jalan.

Tak lama usai sering berpapasan dengan berbagai truk, kami sampai di kawasan elite di utara ibu kota.

"Lah, disuruh putar balik nih Ka. Ga bisa ke jembatan," ucap Sita.

"Ya gimana lagi, pan sedang pembatasan. Terpaksa kita balik."

"Duh, tanggung banget. Nyari makanan dari selatan ke sini, kalo ga dapat sama sekali."

"Resto 24 jam ada beberapa di sini, Sit. Cuma, ga tahu sesuai selera lo apa nggak."

"Lo tahu?""

"Ya iyalah. Pan gw ojol. Sering ngebid di sini. Hanya, menunya ya gitu. Mayoritas masakan cepat saji atau digoreng."

"Ga apa-apa deh. Daripada balik ke Kemang tanpa hasil. Lagian, gw juga udah laper banget.

Gw pun ketok jidat menyaksikan ulah salah satu makhluk Tuhan paling seksi ini...

*       *       *

LALU lalang kendaraan benar-benar memekakkan telinga. Meski ini sedang pembatasan dan pada beberapa titik terdapat penyekatan yang dilakukan aparat gabungan, tidak menyurutkan keinginan warga untuk bepergian.

Termasuk, dengan kendaraan roda empat yang hilir-mudik di kawasan elite ini. Mulai dari supercar hingga mobil antik tampak wara-wiri di jalanan yang sejatinya tidak mulus amat. 

Bahkan, cenderung bergelombang. Ya, kalau tidak ingin disebut bopeng sana-sini. Kontras dengan imej elite pada kawasan yang terkenal tersebut.

Saat asyik menoleh ke teras, gw kaget karena di hadapan gw terdengar suara. Bukan dari ucapan Sita, melainkan tangan kirinya yang mengadukan sumpit dengan piring. 

Yee, gw lupa. Doi ternyata kidal. Pantas apa-apa megang dengan tangan kiri. 

Ga semua sih yang gw perhatiin, tapi mayoritas. Termasuk saat mengemudikan mobilnya. 

Setahu gw orang kidal punya ciri khas tersendiri. Contohnya, Kurt Cobain dan Lionel Messi.

"Woi... Ka."

"Iye, bawel ih."

"Jadi begini, Ka. Gw pengen cerita sesuatu sama lo. Gw harap, lo bisa jadi pendengar yang baik."

"Siap." Sambil tersenyum, gw menjawab dengan kalimat template khas ojol terhadap customer.

"Gw serius Ka. Sangat serius."

"Iye, Sita. Gw kan ga nyelak omongan lo. Gw cuma bilang siap."

"Hmm..."

"Silakan, lanjut."

"Gw ga peduli kalo lo mau ngasih saran, pendapat, nasihat, atau pertimbangan ke gw soal cerita ini. Yang pasti, gw butuh sosok yang mau mendengar unek-unek gw selama ini."

Sita memainkan sumpit di tangan kirinya sambil memilin mie. Di sampingnya tampak pramusaji menuangkan cocktail ke gelasnya yang sejak awal sudah tandas.

Gw sekadar melihat di meja. Kembali melanjutkan pandangan ke arah Sita dengan khusyuk.

"Jadi begini. Lo kan tahu, status gw anak tunggal. Single. Usia udah lebih 20 pula. Nah, Romo gw udah siapin..."***

*      *      *


Serial Catatan Harian Ojol (Semesta Ekalaya)
- Part I: Ceritera dari SPBU Kosong
- Part II: Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal
- Part III: Antara Aku, Kau, dan Mantan Terindah
- Part IV: Sebuah Kisah Klasik yang Tak Berujung
- Part VI: Di-Ghosting Kang Parkir
- Part VII: Ada Amer di Balik Modus Baru Costumer
- Part VIII: Debt Collector Juga Manusia
- Part IX: Penumpang Rasa Pacar

Prekuel
Kamaratih
- Kisah Klasik Empat Insan di Kamar Hotel

Spin-Off
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
- Ketika Manusia Memanggilku Lonte

Ekalaya Universe
- Mukadimah
- Daftar Tokoh
- Epilog

*      *      *

*Inspired by True Event
Jakarta, 13 Juli 2021 (Edited 20/10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.

Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...

Terima kasih :)