UNTUK kali kedua secara berturut-turut, Hari Dokter Nasional yang diperingati
setiap 24 Oktober ini berada dalam suasana kesunyian. Itu akibat Koronavirus
yang melanda di muka bumi, khususnya Tanah Air sejak awal tahun lalu. Ya, pandemi
memaksa mayoritas manusia di seluruh Indonesia untuk membatasi dalam aktivitas.
Namun, tidak dengan
beberapa pihak, termasuk dokter dan tenaga kesehatan. Mereka tetap bekerja
dalam senyap meski dalam situasi tidak menentu. Bahkan, akibat Covid-19 ini,
hampir 2.000 tenaga kesehatan gugur, termasuk dokter.
Padahal, rasio
dokter di Indonesia tergolong minim. Yaitu, hanya mencapai 0,4 per 1.000 jiwa.
Alias, hanya terdapat empat dokter untuk melayani 10.000 penduduk. Bayangkan,
dengan jumlah penduduk Indonesia yang berdasarkan sensus terbaru mencapai lebih
dari 250 juta jiwa.
Nah, dengan banyaknya
tenaga kesehatan yang berguguran, jelas berdampak pada layanan kesehatan yang
tidak optimal. Salah satunya, kelompok yang terdampak adalah pasien kusta.
Maklum, pada beberapa kasus, mereka harus terpaksa putus obat dan tidak
mendapat layanan.
Akibatnya, temuan
kasus baru menurun karena aktivitas pelacakan terbatas. Serta, angka keparahan
atau kecacatan meningkat. Lalu, bagaimana perjuangan dokter untuk memberikan
layanan kesehatan yang optimal. Termasuk, apa saja tantangan yang dihadapi para
dokter dan tenaga kesehatan dalam mengatasi penyakit tropis terabaikan seperti
kusta di tengah pandemi ini?
Fakta itu yang baru saya ketahui usai menyimak webinar bertajuk “Lika-Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi”. Cerita menarik dari para dokter tangguh dalam talkshow itu disiarkan di laman youtube KBR, https://www.youtube.com/watch?v=88CKd4xSq4M.
Yaitu, portal
penyedia konten berita berbasis jurnalisme independen yang berdiri sejak 1999
silam. KBR berkolaborasi dengan NLR Indonesia yang merupakan organisasi
non-pemerintah alias Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mendorong pemberantasan
kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk kusta.
Acara tersebut
disiarkan streaming pada Jumat (9/10) pukul 09.00 WIB. Namun, saya hanya
mengikutinya tipis-tipis akibat malamnya ngalong sebagai ojek online (ojol)
hingga membuat mata berat. Beruntung, dalam informasi yang saya dapat dari Komunitas
Indonesian Social Blogpreneur (ISB), terdapat siaran ulang yang bisa saya
saksikan di youtube KBR.
Dalam perbincangan
itu terdapat dua narasumber. Yaitu, dr. Ardiansyah yang merupakan Pengurus
Ikatan Dokter Indonesia dan dr. Udeng Daman (Technical Advisor NLR Indonesia).
Sebagai masyarakat
awam, saya mengakui, topik tersebut berat. Namun, sebagai ojol yang
menghabiskan mayoritas waktunya di jalanan, tentu sedikitnya saya mengenal
tentang kusta. Beserta, mitos yang menyertainya.
Apalagi, saya juga
penggemar cerita silat (cersil). Seingat saya, ada salah satu tokoh rekaan
Liang Yusheng berjudul Tiga Dara Pendekar (Jiang Hu San Nu Xia). Atau, dalam
terjemahan populer bahasa hokkian yaitu, Kang Ouw Sam Lie Hiap yang berlatar
pada abad 17 di Cina.
Dalam kisahnya, ada jagoan
bernama Tok-liong Cuncia yang mahasakti tapi menderita akibat kusta yang
menyebabkannya dikucilkan masyarakat. Hingga, dalam perjalanannya, sosok yang
awalnya antagonis berubah jadi baik.
Bahkan, dengan hasil
penemuannya di pulau terpencil bisa mengobati masyarakat yang menderita kusta.
Maklum, dulu pengidap kusta mendapat sorotan negatif hingga dijuluki penyakit
kutukan. Sebab, saat itu, teknologi belum secanggih sekarang.
Nah, kembali lagi. Seiring
perkembangan zaman, saat ini, kusta bisa disembuhkan tanpa disertai kecacatan.
Kuncinya, pengobatan secara tepat dan tuntas sejak dini. Itu mengapa, dokter dan
tenaga kesehatan sangat dibutuhkan kehadirannya. Terutama, pada situasi pandemi
ini yang membuat para dokter bekerja ekstrakeras untuk membantu penyembuhan
penyakit.
“(Pada pandemi ini)
kami, para dokter tetap bekerja seperti biasa. Selain itu, kami juga turut
memberi edukasi. Namun, intinya peran serta masyarakat dalam kesadaran menjaga
protokol kesehatan. Ini yang kami harapkan kerjasamanya, baik dari masyarakat,
media untuk edukasi, dan seluruh elemen,” kata Ardiansyah.
Pada saat yang sama,
terkait situasi pandemi yang berpengaruh pada dunia kesehatan, Udeng
menegaskan, pelayanan terkait kusta berjalan lancar. Kendati, tidak seoptimal
saat situasi normal.
“Di lapangan, (para
dokter dan tenaga medis) menyesuaikan dengan kebijakan pada daerah
masing-masing. Misalnya, ada PPKM level 1, 2, dan 3. Kegiatan pun terbatas.
Namun, tetap ada solusi. Jika normal pemeriksaan door to door, sekarang bisa
konsultasi via teknologi. Intinya, ada solusi di tengah pandemi ini untuk
penanganan kusta,” Udeng, mengungkapkan.
Ya, stigma kusta
yang masih negatif sekarang ini perlahan berkurang. Memang, ini penyakit jika
tidak diobati berpotensi menularkan kepada orang lain dengan kontak erat dan
dalam periode sama. Namun, jika melakukan pengobatan secara intensif, kusta
bisa disembuhkan. Alias, bukan lagi kutukan seperti mitos yang selama ini beredar di masyarakat.***
* * *
Artikel Terkait Disabilitas
- Asian Para Games 2018 Bukan sekadar Menang atau Kalah, tapi...
- Lewat Bahasa Isyarat, Volunteer Buktikan Keramahan Indonesia
- Ngobrol Bareng Christie Damayanti: Ngeblog sebagai Terapi Otak
- https://www.kompasiana.com/roelly87/59f2b720c226f95795022c92/galeri-foto-christie-damayanti-selenggarakan-pameran-filateli-ke-13?page=all
- https://www.indonesiana.id/read/63461/christie-ubah-keterbatasan-jadi-kelebihan
- Jakarta, 30 Oktober 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.
Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...
Terima kasih :)