TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Langkah Tanpa Wujud di Museum Bahari

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Kamis, 09 Maret 2017

Langkah Tanpa Wujud di Museum Bahari


Film abad pertengahan tentang perang maritim
yang diputar di lantai dua Museum Bahari (Klik foto untuk perbesar)


"DRA, bosan ah di sini terus. Kita ke atas yuk, itu kayaknya rame ada suara seperti studio."

"Ok Sum. Bentar, aku fotoin maket Sunda Kelapa abad XVII."

"Ya udah, gw duluan ya. Ntar lo nyusul. Gw ga mau sendirian di atas, takutnya ga ada orang."

"Iye bawel."

Siang itu, pada pertengahan periode phalguna, aku bersama Sumbadra mengunjungi Museum Bahari di kawasan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Kebetulan, kami sama-sama libur, jadi daripada jenuh di cafe dan tempat hang-out lainnya, kami mengisi waktu senggang di tempat wisata yang kata orang sih, anti-mainstream. Alias, ke museum!

Terlebih, aku memang menyukai petualangan yang rutin ke cagar budaya seperti museum. Sementara, Sumbadra meski tidak terlalu sering tapi beberapa kali menemaniku ke tempat bersejarah. Terakhir, kami sama-sama tapak tilas ke Museum Prasasti.

"Sepi Sum. Kirain rame suara orang, ga tahunya audio ini," kataku menunjuk ke arah proyektor yang menayangkan film peperangan pada abad pertengahan.

"Iya."

"Lha, dirimu wangi bener. Perasaan di bawah ga kayak gini. Abis mandi?"

"Aku memang wangi dari dulu. Kamu ga tahu ya?" jawab Sumbadra dengan tersenyum manis sambil memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih. Ah, dengan senyum yang memesona ini membuat pria mana yang tidak luluh?

"Kirain dirimu mandi di toilet sini. Ha ha ha."

"Dari dulu kan ga ada toilet di sini. Adanya di lantai bawah tahu."

"Oh, ga tahu aku Sum. Kalo ke sini ga pernah perhatiin toilet segala."

*        *        *

SETINDAK demi setindak kami menjelajahi lantai dua dari bangunan yang telah berdiri sejak 1718. Alias, sudah nyaris tiga abad. Pantas saja beberapa ornamen terlihat uzur. Meski begitu, secara keseluruhan, museum ini masih kokoh.

Tak heran jika Museum Bahari jadi salah satu tujuan wisata edukasi bagi rakyat Indonesia untuk belajar lebih tentang dunia maritim. Bisa dipahami mengingat museum ini menyimpan banyak koleksi menarik. Seperti benda bersejarah, lukisan, miniatur, biota laut, buku kuno, hingga atribut TNI.

"Wah, ada Malin Kundang juga. Jadi ingat waktu berkunjung ke sana dulu."

"Kamu udah pernah ke sana, Dra? Kok ga pernah cerita?"

"Lah, waktu itu kan aku pernah cerita pas dapat kiriman kripik balado."

"Oh..."

Selain diorama Malin Kundang, di Museum Bahari juga terdapat beberapa properti sejarah Indonesia yang dibuatkan patung dengan menyerupai ukuran aslinya. Seperti Raden Fatahillah, penyiar agama islam dari India dan jazirah Arab, pedagang Cina. Kehadiran, Laksamana Cheng Ho dan Cornelis de Houtman turut diabadikan.

Begitu juga dengan legenda atau mitos dengan keberadaan Ratu Pantai Selatan yang berdialog dengan Danang Sutawijaya dan petemuan Dewa Ruci dengan Werkudoro alias Bima, ksatra penegak Pandawa.

"Sum, fotoin aku dong di sebelah Bima."

"Ih, ga ah. Foto sendiri aja."

"Yaelah. Ya udah, sini aku foto dirimu di depan Ibnu Batuta."

"Enggak ah. Aku ga mau difoto!"

"Lha, tumben galak. Salah makan ya?"

"Kamu juga sih. Aku kan udah bilang ga mau foto dan difoto. Aku hanya ingin menemani kamu tapak tilas di lantai dua ini."

"Ok, ok. Cantik. Jangan ngambek."

*        *        *

MUSEUM
Bahari memiliki tiga lantai. Lantai dasar terdapat koleksi perahu, perkakas, dan peralatan TNI. Di lantai dua terdiri dari berbagai diorama dan perpustakaan. Sementara, lantai tiga kosong, biasanya dipakai untuk melihat pemandangan di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa.

"Buku-buku ini ga bisa dibawa pulang ya mbak?" ujarku kepada petugas perpustakaan.

"Ga mas, baca di sini aja. Bebas kok, dari pagi sampai tutup, yang penting isi absensi."

Di dalam ruangan perpustakaan yang tergolong besar ini terdapat berbagai koleksi buku menarik. Mulai dari tentang dunia maritim, profil TNI Angkatan Laut, hingga sejarah Indonesia. Di sisi kiri pintu masuk terdapat ruangan kecil untuk memnatau CCTV yang terdiri dari empat monitor dan beberapa PC.

"Dra, tolong isiin ya."

"Isi sendiri napa. Males banget? Tinggal tulis nama aja."

"Tolong dong."

"Ogah."

"Beneran nih, ga mau isiin?"

"Ga. Rempong ih."

"Oke, kalau begitu..."

"Iya, iya. Ini diisiin, jelek."

"Makasiiiih," ujar Sumbadra sambil ngeloyor.

Saat itu, meski senyap, perpustakaan lumayan ramai. Selain kami berdua, tampak beberapa pengunjung yang asyik membaca buku. Dari raut mereka, terlihat begitu serius yang seolah tidak memerdulikan kehadiran pengunjung lainnya kendati ada yang lalu lalang dan berdesakan di samping rak.

Begitu juga dengan anak-anak yang melompat dari satu kursi ke kursi lain. Sementara, orangtua atau mungkin keluarganya mengawasi anak-anak tersebut dengan pandangan ke depan.

"Mas Indra datang dengan berapa orang?" tanya mbak petugas perpustaan seusai aku mengisi buku daftar hadir.

"Berdua teman. Ini dia tadi minta isiin."

"Berdua?"

"Iya mbak."

"Oh... Oke mas, silakan dibaca-baca bukunya ya," tutur mbak tersebut dengan ramah meski tadi di wajahnya sempat terlihat kebingungan.

*        *        *

SAMBIL membaca buku "Maps of War" karya Ashley dan Miles Baynton-Williams, aku melirik ke arah Sumbadra. Tampak pemilik alis yang lancip itu sibuk mencari buku di rak sejarah. Tangannya yang lentik itu asyik membolak-balikkan beberapa buku yang ada di lorong tersebut. Tanpa sadar, aku benar-benar terpikat dengan rambutnya yang terurai indah sebahu.

Ketika asyik membaca perang maritim pada abad pertengahan, ponselku bergetar.

"Dra, di mana sih? Lama amat." demikian pesan dari aplikasi chat yang identik dengan logo telepon berwarna hijau.

"Lagi baca."

"Di mana?"

"Jonggol."

"Serius?"

"Iya dua rius.Ini nemenin Sony Wakwaw di Jonggol."

"Dra, aku serius. Jangan bercanda terus ah."

"Di sampingmu. Ini duduk di meja, lagi baca. Udah dapet bukunya Sum?"

"Buku. Apa lagi?"

"Lha, bukannya dirimu lagi cari buku..." jawabku seusai mengetil langsung menoleh ke sebelah kiri. Namun, tidak ada Sumbadra. Aku cari dari setiap lorong, tetap tidak ada. Begitu juga dengan pengunjung lainnya. Saat itu, di ruangan hanya ada aku dan mbak petugas perpustakaan beserta rekannya. Tak lama, ponselku kembali memunculkan notifikasi.

"Please Dra, aku tunggu kamu di bawah. Samping kita beli tiket."

"Iya bawel."

*        *        *

"CEPAT amat. Tadi kulihat lagi cari-cari buku," kataku kepada Sumbadra, yang duduk menyandar di kursi panjang.

"Aku dari tadi cari kamu ga ada. Katanya mau nyusul ke lantai dua. Tapi kosong. Sampe aku..." jawabnya dengan nada lemah.

"Mas," ujar salah satu petugas keamanan yang berada di samping Sumbadra, menyelak. "Mbak ini tadi pingsan. Kami temukan di lantai dua pas ada guide dan wisatawan luar negeri yang lapor."

"Serius, pak?"

"Masak, kami bohong mas."

"Dra, apa yang kamu lakukan ke aku itu jahaddd. Aku tunggu-tunggu ga muncul. Aku sendirian di atas..." tutur Sumbadra dengan wajah yang sendu. Ah, sungguh bodoh jika ada pria yang membuatnya menitikkan air mata.

"Aku tadi kan keliling lantai dua sama kamu, Sum. Terus, kita juga baru dari perpustakaan."

"Aku tadi sendirian Dra. Aku takut... Aku..."

"Ya udah, masnya sama mbak ini pulang aja. Tapi, sementara, bisa istirahat di depan buat beli air mineral. Mbaknya tenang aja, udah ga ada apa-apa kok."

"Terima kasih ya pak. Sum, ayuk kita beli air dekat parkiran."

"Aku takut Dra. Aku mau langsung pulang aja. Aku ga mau dibawa naik kapal Jung lagi."

"Pak, kami duluan ya. Terima kasih."

"Ya mas, hati-hati di jalan."

"Iya pak," tuturku sambil memapah Sumbadra ke arah parkiran sepeda motor yang ketika bersentuhan terasa kulitnya hangat dengan keringat bercucuran sebesar jagung. Berbeda ketika kami berada di lantai dua museum yang saat itu terasa dingin dan sangat harum.***


Cerita ini hanya fiktif.
Jika ada kesamaan nama, tempat, dan pengalaman,
hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.


Lorong di lantai dua Museum Bahari

*        *        *

Artikel Terkait
- Tapak Tilas Museum Bahari
Intip Sejarah Nusantara di Museum Bahari
Langkah-langkah Tanpa Wujud di Pojok Museum Bahari (Kisah Horor)
Mengarungi Dunia lewat Museum Bahari
Jalesveva Jayamahe: Di Lautan Kita (Pernah) Jaya
Titik Nol di Menara Syahbandar

Cerita Horor Sebelumnya
Kado Ultah Terakhir dari Alena
- Jembatan Penyeberangan Kalideres
Pagutan Lembut Sang Gadis, Ternyata... (http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/12/13/mirror-pagutan-lembut-sang-gadis-ternyata-421445.html)
Bersekutu dengan Setan (http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/12/16/mirror-bersekutu-dengan-setan-422453.html)
Kenangan Main Petak Umpet (http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2013/08/14/kenangan-main-petak-umpet-583688.html)
Yang Liu (http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/09/21/yang-liu-593693.html)

Artikel Cagar Budaya Lainnya
Museum Prasasti
Museum Naional
Patung Soekarno-Hatta

*        *        *
- Jakarta, 9 Maret 2017

5 komentar:

  1. Ihiyy jadi mb sumbadra iji calonnnya ya mas
    Wah sempet pingsan, duh...
    Mendadak merinding jiwa mas karena bau haruum huhuuu
    Spooky abis

    BalasHapus
    Balasan
    1. merinding?
      ini kan cerpen mbak :)
      *inget, cuma cerpen hehehe

      Hapus
    2. Oiya ya wakaaaak, ga ngliat kategorinya hahaaa

      Hapus
  2. Lah kok bisa tiba2 ada wangi2, wahh jangan jangannn ?!(&#!?#?*#^^(!??
    Cie cie disenyumin sama mbak cewe cieee #kembalisalfok
    upsss cuma cerpen ya, mas? cerpen dari kisah nyata?

    BalasHapus

Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.

Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...

Terima kasih :)