Trofi Liga Champions: Boleh dilihat tidak bisa digenggam |
SIMA Yi pernah mengatakan, ada lima kemungkinan dalam strategi perang. Pertama, jika dapat melawan, harus lawan. Jika tidak dapat melawan, tentu bertahan sebisa mungkin. Jika bertahan pun tidak sanggup, lari jadi pilihan terbaik. Jika lari juga tidak mampu, kibarkanlah bendera putih (menyerah). Jika menyerah saja gagal, pasang peti mati alias pasrah.
Taktik nomor satu dari Perdana Menteri Wei dalam Kisah Tiga Negara di pengujung Dinasti Han itu diterapkan Massimiliano Allegri untuk meredam dominasi Bayern Muenchen. Yaitu, menyerang tanpa henti untuk meraih kemenangan. Pelatih Juventus ini sadar timnya butuh kemenangan setelah hanya bermain imbang 2-2 di markas sendiri pada leg pertama 16 besar Liga Champions (23/2).
Tidak ada pilihan, Allegri langsung mengaplikasikan siasat bertarung dengan memunggungi sungai pada leg kedua yang berlangsung malam tadi. Taktik ini sukses diterapkan Xiang Yu, Han Xin, Cao Cao, dan Thariq bin Zayid. Terbukti, baru lima menit laga berjalan, Paul Pogba membobol gawang Manuel Neuer. Gelandang Juventus ini berhasil merayakan ulang tahun ke-23 yang berlangsung dua hari sebelumnya, dengan gol indah.
Memasuki menit ke-28, akselerasi Alvaro Morata di sisi kanan pertahanan Muenchen berhasil dikonversi Juan Cuadrado jadi gol. Neuer kembali memungut bola untuk kedua kalinya. Saat itu, papan skor elektronik di Stadion Fussball Arena, Rabu (16/3) atau Kamis dini hari WIB, menunjukkan keunggulan tim tamu. Muenchen 0-2 Juventus.
Ya, strategi menyerang total seperti yang dilakukan Xiang Yu, Han Xin, Cao Cao, dan Thariq, memang cocok untuk Juventus. Sebab, Hernanes dan kawan-kawan bermain sungguh trengginas. Setelah unggul dua gol, mereka tidak berhenti untuk memperbesar skor. Pepatah mengatakan, "Ketika seseorang hanyut di sungai, jangankan batang pohon. Bahkan, rumput pun dipegang demi selamat."
Itu seperti strategi berperang dengan memunggungi sungai. Yang berarti, bertempur dengan tubuh bersandar pada sungai yang tidak ada jalan mundur. Alias, setiap pasukan harus melawan hingga tetes darah terakhir jika tidak ingin tewas sia-sia.
Sejarah mencatat, jenderal Chu, Xiang Yu memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan kapal saat menghadapi Qin pada 207 sebelum masehi. Tindakan yang dilakukannya itu bukan tanpa alasan. Demi meraih kemenangan atas penguasa Tiongkok sebelumnya yang di ambang kemerosotan. Dalam kesempatan itu, Xiang Yu berhasil mencapai ibu kota Qin dan mendirikan negara Chu.
Beberapa tahun berselang, taktik itu diterapkan Han Xin. Mantan bawahan Xiang Yu yang membelot ke Liu Bang -pendiri dinasti Han- dalam perang nyaris lima tahun (206-202 sebelum masehi). Sadar kalah jumlah dengan pasukan eks bosnya, Han Xin melakukan pertaruhan terakhir. Memerintahkan pasukannya untuk berbaris sejajar membelakangi sungai.
Tentu, tindakannya ini mengundang pertanyaan dari bawahannya. Mereka menilai apa yang dilakukan Han Xin tidak masuk akal. Bahkan, cenderung membuat Han kalah karena rentan diserang Chu. Apalagi, tidak ada pilihan untuk mundur dengan di belakangnya mengalir deras sungai yang bisa menggulung siapa saja yang nekat untuk melewatinya.
Tapi, justru itulah yang diinginkan Han Xin. Yaitu, memotivasi moral pasukannya yang sedang merosot. Bahwa, tidak ada jalan lain untuk bertahan hidup karena sudah dikepung musuh. Kecuali, dengan bertempur habis-habisan dan menyerang kemah utama Chu seperti yang dicatat pepatah Tiongkok yang hingga kini masih relevan, "Bei Shui Yi Zhan". Pada akhirnya, pasukan Han Xin berhasil menang yang berujung dengan berdirinya dinasti Han sebagai peletak dasar Tiongkok.
* * *
LEBIH dari empat abad kemudian, dinasti Han berada dalam titik nadir. Saat itu, Tiongkok kembali terpecah jadi beberapa negara yang dilukiskan Luo Guanzhong dengan indah lewat Sanguo Yanyi (Romance of the Three Kingdoms) yang di Tanah Air populer dengan Sam Kok. Salah satunya, Cao Cao yang menjabat sebagai Perdana Menteri saat menahan gempuran Yuan Shao di Guandu.
Pertempuran Guandu (200 sesudah masehi) salah satu yang paling dikenang dalam sejarah Tiongkok bersama Perang di Tebing Merah. Lantaran periode itu menentukan terbentuknya tiga negara yang nanti dinasti Han terpecah jadi Wei (Cao Cao), Wu (Sun Quan), dan Shu (Liu Bei yang masih keturunan Liu Bang).
Hanya, ketika perang berlangsung, perbandingan pasukan Cao Cao dengan Yuan Shao sangat kontras. Sejarah mencatat 40 ribu melawan 110.000 pasukan. Sementara, versi lainnya ada yang menyebut 100 ribu berbanding satu juta prajurit. Apa pun itu, yang pasti Cao Cao sangat terdesak hingga di pinggir sungai.
Untuk memotivasi pasukannya, Cao Cao mengeluarkan perintah yang dipahat dengan indah dalam novel Sanguo Yanyi, "Tidak ada jalan lagi. Jadi, kalian harus bertarung atau mati." Seketika, pasukannya langsung mengambil senjata dan bersiap menyambut ratusan ribu tentara Yuan Shao. Di mata mereka, tidak tampak lagi ketakutan, karena bagaimanapun posisinya berada di ujung tanduk. Alhasil, Cao Cao berhasil mengalahkan Yuan Shao dan menyatukan wilayah utara dari Han.
Strategi ketiga pemimpin Tiongkok itu kembali terulang pada abad kedelapan masehi. Tepatnya ketika Thariq bin Zayid yang merupakan jenderal dinasti Umayah melakukan ekspansi ke tanah Spanyol (lihat tulisan saya sebelumnya Harga dari Sebuah Kesabaran) pada 29 April 711. Saat menginjakkan kakinya di Andalusia, Thariq bin Zayid langsung memberi instruksi singkat kepada komandannya untuk membakar kapal.
Siasat itu digunakan demi melecut motivasi pasukannya agar meraih kemenangan. Lantaran, di belakangnya terhampar lautan luas yang bisa menelan mereka hidup-hidup jika berpaling. Sementara, di depannya ratusan ribu tentara musuh yang tentu tidak akan memberi ampun. Maka, membakar kapal jadi pilihan terbaik yang berujung kemenangan pasukannya.
* * *
Dari layar televisi, raut Josep Guardiola tidak sedap dipandang. Sementara, di bangku cadangan, para pemain Muenchen terlihat frustrasi. Mario Goetze berulang kali melirik papan skor di kejauhan. Pahlawan Jerman pada Piala Dunia 2014 itu seperti tak percaya jika timnya harus tersingkir. Pada saat yang sama, yel-yel kemenangan dikumandangkan segelintir Juventini yang mendukung tim kesayangannya di Fussball Arena.
Apakah itu berarti pertandingan sudah selesai? Belum. Penampilan Juventus pada Rabu (16/1) atau Kamis dini hari WIB memang menerapkan strategi memunggungi sungai dengan sangat baik. Ya, benar-benar sempurna. Hingga, saking sempurnanya, ending-nya pun seperti keempat cerita di atas.
Xiang Yu bunuh diri setelah selalu menang nyaris dalam setiap pertempuran. Tapi, kalah pada perang terakhir yang sangat menentukan ketika menghadapi siasat Han Xin yang jadi komandan Liu Bang. Pun begitu dengan Cao Cao. Susah payah mempertahankan dinasti Han dan putranya, Cao Pi mendirikan kerajaan Wei. Namun, yang menyatukan tiga negara -Wei, Shu, dan Wu- justru dari cucu Sima Yi, yaitu Sima Yan, dengan mendirikan dinasti Jin.
Serupa dengan Thariq bin Zayid yang meski sukses menginvasi Spanyol, namun kepemimpinannya relatif singkat. Setelah dirinya mangkat, tak lama kemudian dinasti Umayah pun angkat kaki hingga saat ini hanya menyisakan sedikit monumen di Andalusia.
Bagaimana dengan Han Xin? Adagium lawas berkata, "Sebagaimana di langit hanya ada satu matahari, begitu juga dalam sebuah negara cuma terdiri dari satu pemimpin". Kebesarannya itu membuat Liu Bang iri sekaligus khawatir anak buahnya bakal memberontak. Setelah mengalahkan Xiang Yu dan mendirikan dinasti Han, pada 196 sebelum masehi, Liu Bang pun meminta Han Xin untuk menghadap. Saat itu juga, salah satu jenderal terbaik Tiongkok ini langsung dieksekusi dengan tuduhan rencana membelot terhadap kaisar.
Akhir yang tragis untuk Han Xin. Sama tragisnya dengan Allegri. Sehari sebelum bursa transfer musim panas ditutup, pelatih 48 tahun ini meminjamkan Kingsley Coman ke Muenchen. Itu jadi keputusan fatal yang efeknya berimbas pada timnya tujuh bulan kemudian. Sebab, justru Coman yang menghancurkan harapan "I Bianconeri" lewat golnya pada menit ke-110 hingga memastikan kemenangan Muenchen 4-2. Ironisnya lagi, yang memberi assist Coman, justru sesama eks Juventus yang dilepas musim panas lalu, Arturo Vidal.
Selamat untuk Muenchen. Kalian memang pantas lolos. Untuk Juventini -julukan fan Juventus- jangan larut dalam kesedihan. Pepatah mengatakan, "Selama gunung masih menghijau, jangan takut kehabisan kayu bakar". Alias, selama nafas masih tertiup, masih ada waktu untuk melihat tim favorit kita berjaya kembali di Liga Champions.
* * *
Seri Liga Champions 2015/16:- Menanti Juventus Menguji Sejarah
- Tujuh Tempat Nobar Asyik di Jakarta
- Apalah Artinya Sebuah Nama
- Ketika Pep di-PHP Max
Artikel Terkait:
- Ironi Kompasianer dan Hasil Karyanya
- Harga dari Sebuah Kesabaran
- Dua Sisi Juventus: Belum Layak Tampil di Eropa?
* * *
- Jakarta, 17 Maret 2016
Keren, ada ahli strategi di sini
BalasHapushi hi hi
Hapusiseng2 baca novel roman tiga negara, jadi keasyikan buat dibikin artikel blog mbak :)
ada yang menang , ada yang kalah, Berjuang terus tahun depan Juve bisa lolos
BalasHapusaamiin...
Hapusmakasih ya mbak, jadi terharu nih :)
*sodorin tiket kalo juve dateng ke indonesia lagi