Patrice Evra dan kawan-kawan belum mampu berbicara di Liga Champions |
MUNGKIN tudingan banyak pihak yang menilai
Juventus sebagai tim “jago kandang” itu memang benar. Yaitu, tim yang hanya
sukses di kompetisi domestik atau “cuma” bisa menang jika tampil di markasnya
sendiri.
Anggapan itu
memang tidak salah. Lihat saja faktanya, Juventus merupakan penguasa Seri A
dengan 30 kali juara. “Si Nyonya Tua” unggul jauh dibanding dua pesaing
dekatnya yang sama-sama baru meraih 18 trofi, AC Milan dan FC Internazionale.
Namun, bagaimana
prestasi Juventus di kompetisi Eropa, khususnya Liga Champions? Miris! Kesan
tim yang identik dengan seragam hitam putih itu baru dua kali juara. Catatan
itu sama dengan yang ditorehkan tim semenjana Eropa lainnya seperti Porto,
Benfica, dan Nottingham Forets.
Menjadi ironis,
sebab dua rivalnya di Italia malah sudah mengumpulkan 10 trofi. Milan memimpin
dengan tujuh kali juara diikuti Inter yang meraihnya tiga kali. Fakta itu tentu
membuat Juventini –julukan fan
Juventus– menjadi miris.
Meski, sebagian
kecil dari mereka dengan lantang menyebut Juventus merupakan klub pertama yang
meraih Plakat UEFA. Itu berkat keberhasilan mereka meraih trofi utama di
kompetisi Eropa. Mulai dari Piala Winners, Piala UEFA –kini Liga Europa–, dan
Liga Champions.
Namun, itu hanya
penghargaan nonformal. Pasalnya, dua rivalnya di Italia (lagi-lagi) justru
menorehkan catatan yang lebih “wah”. Sebut saja, Milan yang dijuluki “Pangeran”
di Liga Champions karena prestasinya hanya di bawah Real Madrid yang meraih 10
trofi. Berkat statistik itu, di Seri A, hanya Milan yang kerap mendapat julukan
“DNA-Eropa”.
Sementara, Inter
merupakan klub Italia pertama yang mampu meraih “Treble” pada 2009/10. Parameternya, dengan menjuarai Seri A, Piala
Italia, dan Liga Champions dalam semusim. Inter bersanding dengan tiga raksasa
Eropa lainnya yang juga pernah meraihnya. Mereka adalah Manchester United,
Barcelona, dan Bayern Muenchen.
Tapi, sudahlah.
Membicarakan prestasi Juventus di Eropa, terutama membandingkannya dengan Milan
dan Inter tentu tiada habisnya. Debat kusir itu sama seperti mengatakan, siapa
pemain terbaik dunia sepanjang masa? Ada yang menyebut Pele, Diego Maradona,
Franz Beckenbauer, Michel Platini, atau Gaetano Scirea. Sisi positifnya bagi Juventini, klub favorit mereka bermain
di Liga Champions musim ini ketimbang Milan yang absen dan Inter hanya tampil
di Liga Europa.
Terancam Tersingkir
“Diangkat
setinggi langit, lalu dijebloskan ke dasar bumi.” Adagium lawas itu pantas
disematkan saat menyaksikan perjalanan Juventus di Liga Champions musim ini.
Skuat asuhan Massimiliano Allegri itu berhasil meraih kemenangan meyakinkan
atas Malmo FF 2-0 pada laga perdana di Juventus Stadium. Sedangkan, rival
terkuat mereka sekaligus runner-up musim
lalu, Atletico Madrid dibekap Olympiakos 2-3.
Nah, konstelasi
keempat tim yang tergabung di Grup A itu berubah memasuki pekan kedua. Sebab,
Juventus ditekuk Atletico 0-1 di Vicente Calderon dan Malmo mengalahkan
Olympiakos 2-0. Sejak itu nada minor yang menyebutkan “I Bianconeri” sebagai tim jago kandang, sayup-sayup terdengar
kembali.
Puncaknya, ketika
Carlos Tevez dan kawan-kawan kembali menelan kekalahan 0-1 dari Olympiakos pada
laga ketiga di Grup A. Duel di Stadion Georgios Karaiskaki, Rabu (22/10) atau
Kamis dini hari jadi penegasan stigma “jago kandang” tersebut. Sebab, Juventus
memang babak belur di kasta tertinggi sepak bola Eropa itu.
Mereka kini hanya
menempati posisi ketiga Grup A dengan nilai tiga poin hasil dari sekali menang
dan dua kekalahan. Perolehan poin
Juventus setara dengan Malmo meski unggul selisih gol. Hanya, jawara Liga
Champions 1984/85 dan 1995/96 itu tertinggal dari Atletico yang memuncaki
klasemen sementara dengan dua kemenangan dan sekali kalah. Pada urutan kedua
ada Olympiakos yang memiliki nilai sama dengan Atletico namun kalah agresivitas
gol.
Tak pelak,
berdasarkan hasil tiga pertandingan itu membuat kans Juventus melaju ke babak
16 besar menjadi sulit. Bahkan, kegagalan lolos seperti musim lalu saat
ditangani Antonio Conte mulai membayangi Allegri. Pasalnya, mereka memiliki
selisih tiga poin dari Atletico dan Olympiakos.
Sapu Bersih
Meski secara
matematis harapan Juventus untuk lolos tetap ada dengan syarat menyapu bersih
kemenangan pada tiga laga sisa. Apalagi, dua dari tiga pertandingan itu bakal
digelar di kandang sendiri. Yaitu saat menjamu Olympiakos pada 4 November dan
Atletico (9/12). Satu-satunya laga tandang mereka saat menghadapi Malmo
(26/11).
Namun, ambisi
“sapu bersih” itu sepertinya pun sukar terjadi jika menyimak perjalanan mereka
dalam tiga laga sebelumnya. Sebab, dalam periode itu Juventus hanya mampu
mencetak dua gol dan tertinggal jauh dari Olympiakos (empat gol) serta Atletico
(delapan gol). Dengan minimnya produktivitas mereka, rasanya sulit menyaksikan
para pemain Juventus mencetak lebih dari satu gol setiap pertandingan.
Fakta itu menjadi
ironis mengingat di kompetisi domestik, “La
Vecchia Signora” sudah mengemas 14 gol dari tujuh laga. Rasio gol mereka
mencapai dua gol per pertandingan musim ini. Catatan gol Juventus di Seri A itu
setara dengan AS Roma dan hanya kalah dari Milan yang mengemas 16 gol.
Menilik komparasi
seperti itu, wajar jika banyak yang menilai Juventus hanya tim jago kandang.
Alias, superior di Seri A tapi melempem di Liga Champions. Atau, dengan kata
lain, performa Juventus yang meraih tiga scudetto
beruntun di kompetisi domestik, sesungguhnya belum layak tampil di Eropa?***
Opini ini dimuat di Harian TopSkor edisi 24 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.
Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...
Terima kasih :)