TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: #Ojol

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol
Tampilkan postingan dengan label #Ojol. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #Ojol. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 November 2020

Kamus Besar Bahasa Ojol






OJEK online atau ojol sudah mengakar di masyarakat, khususnya kota-kota besar di Tanah Air, dalam beberapa tahun terakhir. Keberadaannya, sedikit banyak berperan dalam peningkatan perekonomian negeri ini.

Meski, tak jarang masih ada stigma negatif yang menyertainya. Apa pun itu, eksistensi ojol memang dibutuhkan dan diperlukam masyarakat. Misal, layanan antar penumpang, beli makanan, kirim barang, belanja obat, dan sebagainya.

Kebetulan, saya sudah setahun jadi ojol sejak 2019. Jadi, sedikit banyak tahu seluk-beluk dunia perojolan. Termasuk, istilah sehari-hari yang mungkin percakapan di antara kami membuat bingung customer. 

Berikut, beberapa di antaranya dalam istilah dunia perojolan yang nanti akan saya update secara berkala.


Kamus Besar Bahasa Ojol

1. Pantat: Orderan untuk mengangkut penumpang. Ride atau Bike. Istilah ini memang konotasi banget. Namun, rutin disebut dalam kalangam ojol sehari-hari.

2. Kardus: Ojol yang khusus atau spesialis ambil orderan kirim barang.

3. Opang: Ojek pangkalan tanpa aplikasi. Rekan seprofesi di jalanan yang merintis dunia ojek sejak puluhan tahun silam.

4. Opang Resto: Ojol yang spesialisasinya menunggu orderan food di resto tertentu. Contoh, Mc*, B*, Geprek, dll.

5  Zona Merah: Kawasan yang secara tidak tertulis ojol dilarang mengambil penumpang untuk menghargai keberadaan opang. Misalnya, di Stasiun, Terminal, Pusat Perbelanjaan, Komplek Perumahan, dll.

6. Kalong/Ngalong/Kalongers: Ojol yang biasa narik malam hingga subuh. 

7. Red District: Kawasan favorit bagi kalongers yang biasa ambil orderan di lokasi hiburan malam. Contoh, Mangga Besar, Kota Tua, Kemayoran, Kemang, Blok M, dll.

8. Isilop/Polkis: Polisi. Atau, merujuk pada adanya razia. Baik gabungan atau saat jaga di berbagai kawasan, misalnya Semanggi.

9. Transformers: Merujuk pada kendaraan Dinas Perhubungan. Istilah ini biasa hanya digunakan taksi online.

10. Opik: Order fiktif. Musuh bersama seluruh ojol di muka bumi. 

11. Opak: Ojol f**k. Julukan ojol yang melakukan order fiktif. Bisa untuk mengusir secara halus ojol yang datang atau sakit hati akibat di-PM.

12. PM: Putus Mitra. Ojol yang diberhentikan pekerjaannya dari aplikator akibat berbagai hal. Namun, tak jarang karena kesalahan sistem yang mendeteksi hingga merugikan ojol.

13. Vermuk: Verifikasi muka, swafoto atau selfie yang dilakukan ojol sebelum memulai rutinitas demi memastikan keaslian pengguna akun.




*         *         *


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):

Kamis, 05 November 2020

Berapa Modal Jadi Ojol?

 Berapa Modal Jadi Ojol?

Saya saat menjalankan suatu orderan ojol
(Foto: Dokumentasi pribadi/www.roelly87.com)



JADI ojek online (ojol) harus modal? Serius...? Eittts, di kolong langit ini tiada makan siang yang gratis. 

Namun, modal yang saya maksud bukan untuk melamar jadi ojol. Secara, pengalaman saya sebagai mitra driver di salah satu aplikasi ini gratis. Melainkan, modal untuk narik sehari-hari.

Yupz! Sepanjang pengalaman saya, rata-rata per hari harus mengeluarkan sekitar Rp 100 ribu. 

Itu belum termasuk dana cadangan di jok sebesar Rp 50 ribu. Gunanya, untuk jaga-jaga jika ban bocor, bensin habis, motor mogok, laper tingkat tinggi, hingga force majeur. Rp 50 ribu ini merupakan uang mati. Alias, hanya digunakan saat darurat.

Sementara, yang Rp 100 ribu terbagi dalam beberapa keperluan. Memang, setiap hari tidak harus sama. Namun, diambil rata-rata saja mengingat saya merupakan kalongers. Alias, ojok yang keluar sore hingga pagi.

Dana tersebut meliputi:

Rp 30 ribu: Bensin (2x isi)

Rp 30 ribu: Makan (malam/dini hari dan sarapan)

Rp 26 ribu: Rokok (Maaf, saya perokok aktif, tapi tidak melakukan ketika mengantar penumpang, makanan, atau saat kirim barang)

Rp 4 ribu: Kopi

Rp 10 ribu: Dana taktis (parkir, toilet SPBU, pengamen Lamer, dll)


Mungkin, banyak yang heran, mengapa pengeluaran saya setiap harinya sangat tinggi. Ya, mencapai Rp 100 ribu  Namun, itu wajar mengingat mayoritas aktivitas saya di jalanan. Alias, rumah hanya sekadar numpang tidur saja.

Pun demikian berdasarkan pengalanan rekan-rekan ojol lainnya. Bahkan, ada yang per hari mencapai Rp 200 ribu. 

Tak jarang, ada juga yang tidak lebih dari Rp 50 ribu. Ini bisa jadi, jika ojol tersebut bawa bekal dari rumah. Serta, tidak merokok yang bisa menghemat anggaran. 

Ya, rokok jadi kelemahan saya. Namun, begitulah.

Pertanyaan selanjutnya, jika pengeluaran setiap hari Rp 100 ribu, berapa pemasukan saya dari hasil ojol? Saya dan rekan-rekan ojol lainnya tentu punya jawaban berbeda tapi satu konklusi.

Sebab, sebagai ojol, penghasilan tidak tetap. Bisa hari ini Rp 100 ribu, besok Rp 300 ribu, lusa Rp 150 ribu, dan sebagainya. 

Namun, saya sendiri menargetkan, minimal bawa pulang uang Rp 100 ribu. Alias, pendapatan kotor Rp 200 ribu dikurang pengeluaran Rp 100 ribu.

Itu yang mayoritas saya hasilkan sejak pandemi ini. Beda cerita sebelum pertengahan April lalu. Dalam sehari rata-rata mencapai Rp 350 ribu (kotor). Bahkan, tak jarang tembus Rp 500 ribu. 

Maklum, ketika itu dari aplikator menyediakan bonus jika driver bisa mencapai poin tertentu. Misalnya, 30 poin maksimal bonus Rp 180 ribu.

Hanya, semua berubah sejak -negara api menyerang- pandemi. Jangankan Rp 500 ribu, per hari mencapai Rp 200 ribu pun sudah sangat alhamdulillah. Bisa dipahami mengingat pandemi ini membuat masyarakat mengurangi pengeluaran untuk bepergian naik ojol, pesan makan, atau kirim barang.

Itu mengapa saya sangat bersyukur setiap hari rata-rata bisa mendapat Rp 200 ribu. Pasalnya, banyak rekan ojol lainnya yang bahkan tidsk bisa mendapat Rp 100 ribu. Kendati, ada juga yang tetap meraup minimal Rp 500 ribu.

Serius? Ya. Banyak yang seperti itu. Biasanya, mereka ini merupakan ojol senior atau riwayatnya bagus karena tidak pilih-pilih orderan. 

Namun, untuk mendapat Ro 500 ribu per hari tidak semudah membalikkan bala-bala di penggorengan. Sebab, mereka juga sangat bekerja dengan keras dan cerdas. 

Salah satunya, dengan riwayat aktif kirim barang yang rutenya lintas provinsi alias di atas 30 km hingga sekali orderan mencapai lebih dari Rp 100 ribu. 

Kebetulan, saya pernah menyaksikan rekan yang setiap harinya ngojol dari pukul 05.00 hingga 23.59 WIB. Mereka bisa dibilang ojol rasa ekspedisi. Sebab, sejak matahari masih malu-malu hingga terbenam, sudah keliling Jabodetabek. Ya, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. 

Apakah semua ojol bisa seperti itu? Tentu saja. Seperti yang diungkapkan Baron Zemo pada Captain America: Civil War, "Asal punya kesabaran dan pengalaman".


***Bersambung


Artikel Selanjutnya:

- Berapa Penghasilan Ojol per Bulan?

- Apakah Ojol Bisa Dapat Rp 500 Ribu Sehari?


- Jakarta, 4 November 2020

Ilustrasi pendapatan saya
pada 1 November lalu



*         *         *


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):
Vermuk? 70% Gojekers Setuju, tapi...
Jadi Agen GoPay, Rahasia di Balik Gacor Ngebid Saat PSBB
Kamaratih

Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm
Punya 2 Paspor, untuk Apa?
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek

Jumat, 15 Mei 2020

Vermuk? 70% Gojekers Setuju, tapi...


Wefie alias foto bersama saya dengan kru Gojek pada suatu event di ibu kota
pertengahan tahun lalu 


VERIFIKASI muka (vermuk) akhirnya akan diberlakukan di Jabodetabek. Demikian pesan dari Gojek pada aplikasi mitra driver, Selasa (12/5).

Pro dan kontra pun merebak jelang peluncurannya dengan terlebih dulu uji coba pada 13 Mei hingga 15 Juni mendatang. Meski, saya dan mayoritas Gojekers (julukan driver Gojek) sudah menduganya sejak bulan lalu. Terutama, setelah beredar info di Batam telah diberlakukan uji coba vermuk.

Bak dua sisi mata pedang, ada yang setuju dan tentu saja menolak. Itu yang saya simpulkan di lapangan dari obrolan sesama driver.

Tepatnya, ketika sharing dengan 10 Gojekers secara random di berbagai wilayah ibu kota, baik saat menunggu orderan atau nongkrong bareng. Mayoritas di antara mereka, tujuh orang, setuju.

Alasannya, kompak. Vermuk bisa meminimalkan penyalahgunaan akun. Bisa dipahami mengingat banyak modus kejahatan yang melibatkan oknum Gojekers yang menimbulkan keresahan masyarakat, khususnya customer. Itu karena penjualan atau penyewaan akun beredar luas.

Tak heran jika dalam keterangan resminya, Gojek langsung menjemput bola.

"Selama ini kami menerima masukan dari Mitra tentang perlunya fitur untuk meningkatkan keamanan akun Anda. Terutama di masa pandemi ini, banyak pihak yang mengambil kesempatan untuk melakukan pembajakan akun."

Di sisi lain, 30% Gojekers yang menolak, menilai, tidak semua akun kedua disalahgunakan.

"Ga semua rekan kita yang beli, pinjam, atau sewa akun itu menyalahgunakan. Paling satu atau dua dari sekian banyak," kata salah satu Gojekers yang saya temui ketika sedang ngalong di suatu sentra kuliner ibu kota.

Tentu saja, dari 10 Gojekers yang saya temui itu, saya tidak menanyakan lebih lanjut apakah mereka pemilik akun pribadi atau tangan kedua. Secara, itu sudah masuk ranah pribadi. Alias, di luar kewenangan saya sebagai blogger yang merangkap ojek online (ojol).

Saya pribadi tentu mendukung diberlakukan Vermuk. Itu karena posisi saya sebagai mitra PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek).

Simpelnya, apa yang ada di aplikasi saya jalankan. Jika keberatan, tentu saya punya hak untuk mengabaikan, mengingat status saya hanya mitra dan bukan karyawan.

Tidak hanya soal vermuk saja, melainkan juga orderan. Jika ada orderan yang "tidak masuk akal" dan mendapat customer yang nakal dengan menjurus fiktif (opik), tentu saya menolak.

Pada saat yang sama, tentu saya tidak boleh mengabaikan kemanusiaan. Alias,  wajib berempati kepada Gojekers yang akunnya beli, pinjam, atau sewa. Secara, kami sama-sama cari nafkah demi keluarga. Hanya, jalannya saja yang beda.

Mungkin, Gojekers itu belum berkesempatan untuk buat akun resmi. Sebab, Gojek memang belum membuka pendaftaran bagi driver baru, Goride (sepeda motor). Apalagi, di masa pandemi ini, kantor Gojek atau DSU jam operasionalnya terbatas.

Alhasil, saran saya terkait vermuk ini, win-win solution. Ada baiknya jika buka pendaftaran Goride kembali usai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Gojek memprioritaskan lowongan untuk driver yang selama ini beli, pinjam, atau sewa akun dibanding calon driver baru.

Agar, mereka bisa kembali mencari nafkah demi keluarga tanpa khawatir dengan selfie saat mengambil orderan. Namun, prioritas ini hanya untuk pendaftaran saja.

Terkait orderan, tentu sesuai sistem yang berlaku dengan kemungkinan harus siap untuk adu sigap dengan sesama Gojekers lainnya agar sama-sama gacor. Setelah itu, baru terlihat seleksi alam yang sesungguhnya.*

Responden: 10
Status: Driver Goride
Durasi: 12-14 Maret 2020
Periode: 15.00-07.00 WIB (tentatif)
Gender: Pria
Usia: 25-55 (perkiraan)
Area: Jakarta Barat, Pusat, Utara, dan Selatan

*         *         *

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):
Jadi Agen GoPay, Rahasia di Balik Gacor Ngebid Saat PSBB
Kamaratih
Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm
Punya 2 Paspor, untuk Apa?
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek


Suasana Safety Riding yang diselenggarakan Gojek bekerja sama dengan
Rifat Drive Labs di kawasan timur ibu kota pada 2019


*         *         *
Disclaimer: Artikel ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi yang dipadukan dengan sharing rekan-rekan sesama ojol di lapangan yang khusus ditujukan di blog www.roelly87.com dan bukan dimaksud sebagai survei publik.

- Jakarta, 15 Mei 2014

Minggu, 10 Mei 2020

Jadi Agen GoPay, Rahasia di Balik Gacor Ngebid Saat PSBB






PEMBATASAN Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat sendi-sendi perekonomian di Tanah Air jadi menurun. Baik itu pengusaha, pedagang, wiraswasta, hingga ojek online (ojol).

Ya, termasuk saya yang merupakan ojol mitra Gojek (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa). dan mulai full time sejak Januari lalu. Dalam dua bulan pertama pada 2020, saya benar-benar merasakan nikmatnya sebagai ojekers -julukan ojol Gojek-.

Bisa dipahami mengingat per hari sejak pagi hingga lepas petang, minimal saya mendapat Rp 200 ribu. Itu bersih. Alias, sudah dipotong bensin, makan, air mineral, kopi, rokok sebungkus (maaf, saya perokok), cemilan gorengan, dan lain-lain. Kalau dihitung, bisa Rp 300-400 ribu.

Hanya, kemesraan itu tidak berlangsung lama. Sebab, pada 10 April, diberlakukan PSBB di Jakarta yang beberapa hari berselang diikuti kota-kota penyangga lainnya. Pembatasan ini berlanjut pada 24 April hingga 21 Mei mendatang. Bahkan, ada kemungkinan bertambah melintasi Juni. Tentu, kita berharap, PSBB cukup hingga bulan ini saja.

Kendati, tujuan pembatasan ini sangat baik. Tepatnya, untuk menekan peningkatan Covid 19 atau Corona.

Namun, harus diakui ada harga mahal yang harus ditebus. Salah satunya dari segi ekonomi yang membuat mayoritas masyarakat tidak bisa beraktivitas dalam mencari nafkah. Tentu, tidak hanya ojol saja. Melainkan juga profesi lainnya, seperti ASN, pedagang, pengusaha, industri, hingga pariwisata.

Nah, sebagai blogger yang sehari-harinya merangkap gojekers, tentu yang ingin saya bahas dalam artikel ini terkait ojol. Bohong jika selama PSBB ini pendapatan di dunia per-ojolan tidak turun, apalagi naik. Namun, seperti kata pepatah, selalu ada jalan menuju Roma.

Hingga awal April, rata-rata saya per hari mendapat Rp 200 ribu bersih. Ketika PSBB, menyusut drastis. Bahkan, pernah hanya puluhan ribu dalam sehari! Itu yang saya alami pada awal-awal PSBB mengingat saya akun pantat, alias histori di Gojek, terbiasa mengangkut penumpang (GoRide).

Beruntung, seiring waktu berjalan, saya mulai "terapi". Yaitu, membiasakan untuk lebih sering membeli makanan (GoFood), antar barang (GoSend), belanja (GoShop), dan layanan lainnya dari Gojek. Alhasil, sejak akhir April hingga kini, pendapatan saya sudah lumayan membaik. Memang, belum bisa setara ketika masih normal. Namun, untuk ukuran saat pandemi ini, per hari dapat Rp 150-200 ribu, bersih, itu sudah lumayan.

Tentu saja, itu diraih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Melainkan, harus terapi, sabar, dan rajin. Yupz, saya pernah nongkrong bareng rekan-rekan di salah satu pusat perbelanjaan di jantung ibu kota. Ketika itu, mereka bolak-balik beli makanan atau antar barang. Sementara, saya? Cukup jadi penonton. Nah, setelah terapi, saya dan mereka, sama-sama mendapat orderan yang bisa dibilang lumayan.

Ada banyak cara agar bisa gampang cari orderan alias Gacor. Beberapa di antaranya, berdasarkan pengalaman pribadi dan sharing dari rekan-rekan di lapangan, meliputi:

- Tidak pilih-pilih orderan. Baik itu GoFood, GoSend, GoShop, GoMed, hingga GoMart, ambil terus!

- Kurangi kapasitas memori di smartphone. Alias, uninstal aplikasi yang tidak perlu. Misalnya, di telepon seluler (ponsel) saya yang utama dipertahankan adalah Gojek Driver, Gojek, Google Maps, WhatsApp, Facebook, Twitter, dan Instagram. Secara tidak langsung, ini berpengaruh pada kinerja smartphone yang berkolerasi dengan aplikasi Gojek Driver dan Maps.

- Setel pengeluaran, harga maksimal orderan ke Semua. Jangan Rp 50, 100, atau 200 ribu. Secara, semakin besar setelan Anda, orderan pun kian gampang. Pengalaman pribadi, dalam sehari, saya rutin mendapat order di atas Rp 200 ribu. Bahkan, rekor tertinggi, nyaris sejuta! Tepatnya, Rp 937.800.

- Sisakan saldo Gopay di atas Rp 200 ribu. Ini berkolerasi dengan poin di atas. Bahkan, saldo saya selalu di atas Rp 500 ribu.

- Perhatikan rating kepada penumpang. Saya jarang memberi penilaian bintang empat ke bawah meski seburuk apa pun perlakuan customer. Bisa jadi, ini yang diperhatikan sistem Gojek. Sebab, jika kita kerap memberi rating buruk kepada penumpang, nanti algoritma mesin menyangka kita sebagai driver yang baperan! Yupz, biasakan kasih rating 5. Kecuali, jika cust itu memang parah. Mau tidak mau, yang apa adanya.

- Jadi agen GoPay. What? Yupz, saya kerap mengisikan GoPay kepada penumpang. Baik itu menawarkannya atau customer itu sendiri yang meminta. Nominalnya mulai dari Rp 25 hingga 500 ribu. Asumsi saya, ini cukup penting yang kemungkinan terbaca sistem, bahwa "akun kita cukup baik". Namun, harus diingat. Kita mengisikan GoPay jika sudah bertemu langsung dengan customer. Andai cust meminta cepat dan terburu-buru saat kita menunggu orderan GoFood atau GoShop, tentu lebih baik ditolak. Sebab, itu rentan penipuan. Oh ya, saya juga sering mendapat orderan GoFood dan GoShop di atas Rp 500 ribu dari penumpang yang belum memiliki rating. Untuk itu, saya biasakan menelepon Customer Service (CS) Gojek lebih dulu. Saya tanya riwayat calon customer tersebut. Jika operator CS menyebut, cust selalu menyelesaikan orderan, tentu saya akan lanjut. Sebaliknya, andai CS mengatakan cust baru sekali atau bahkan belum pernah order, sudah pasti saya cancel. Meski tarifnya besar, tapi mencegah lebih baik daripada mengobati.

Oke, cukup sekian sharing saya pada artikel ini. Nantikan, terkait orderan lainnya pada tulisan selanjutnya!

Salam satu aspal.

*         *         *
Isi GoPay ke customer Rp 500 ribu

*         *         *
Isi GoPay ke cust secara beruntun

*         *         *
Rekor orderan terbesar, Rp 937.800

*         *         *
GoFood dan GoShop yang aduhai

*         *         *
Cust belum ada rating tapi memiliki
riwayat baik dalam menyelesaikan
orderan setelah saya berkomunikasi
dengan CS Gojek

*         *         *
Awalnya deg-degan jika ada cust yang
bayar cash di atas Rp 500 ribu, tapi
seiring waktu jadi sudah terbiasa

*         *         *
Tip yang lumayan dari cust, dengan
rekor tertinggi saya dapat Rp 260 ribu
saat melaksanakan orderan GoShop di
kawasan Kemang

*         *         *
Sabar dan rajin kunci gacor?
Saya sih, yes!

*         *         *


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):
Kamaratih
Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm
Punya 2 Paspor, untuk Apa?
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek

*         *         *
Disclaimer: Artikel ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi yang dipadukan dengan sharing rekan-rekan sesama ojol di lapangan. Hasil setiap individu bisa berbeda tergantung situasi, waktu, dan lokasi. Jika Anda punya pengalaman serupa atau sebaliknya, bisa ikut berbagi pada kolom komentar.

- Jakarta, 10 Mei 2020

Senin, 30 Maret 2020

Kamaratih


Ilustrasi (Foto: www.roelly87.com)


RINAI membasahi ibu kota. Kendati, bulan-bulan ini belum memasuki periode hujan. Beda, dengan Januari dan Februari yang lalu mencapai puncaknya. Banjir di mana-mana.

Jadi teringat masa-masa dulu. Hujan-hujanan menerobos genangan air demi jemput dan antar penumpang, makanan, barang, hingga beli sesuatu. Sungguh, kenangan tak terlupakan.

Tiba-tiba, dari seberang halte yang hanya dilewati segelintir manusia, ada yang mendatangi. Gadis manis yang berlari-lari kecil. Tak lama, sosok tersebut mengeluarkan smartphone, untuk mengetik sesuatu.

Aku pun beriniaiatif menyambutnya. Ternyata orderan kakap. Di atas Rp 50 ribu yang sejak dulu haram untuk dilewatkan.

"Mbak Kamaratih. Ke Ciracas?" aku menyebut nama yang dalam perwayangan dikenal sebagai dewi tercantik. Setara dengan Sumbadra yang merupakan wanita paling cantik. Mereka memiliki pasangan yang juga paling tampan. Kamajaya dan Arjuna yang dijuluki lelananging jagat.

"Iya, saya Ratih. Lho, mas di sini juga? Ga ketahuan ojol?"

"Saya kan pakai jas hujan mbak. Jaket ojol jadi tertutup."

"Oke, mas. Nanti pelan-pelan ya. Saya ga usah pake jas hujan deh. Belum gede."

"Lah, emang siapa yang mau kasih jas hujan?"

"Ih, dasar," gadis tersebut menyahut sambil menyolek pelan pundakku.

"Ha ha ha. Bercanda mbak. Yuk," aku menjawab sambil melanjutkan.

"Jangan lupa helmnya dikunci ya. Kita tidak akan berangkat sebelum bunyi klik."

"Siap, dan!"

*            *            *

JALANAN di utara Jakarta tampak ramai meski baru diguyur hujan. Maklum, untuk waktu, saat ini pukul 23.45, masih sore.

Teringat dulu saat masih ngalong. Aku biasa  memulai saat pergantian hari yang hitungan di aplikasi dari nol. Demi membunuh kebosanan, aku pun bersenandung dengan volume kecil.

"Ingatkah satu bait kenangan
Cerita cinta kita tak mungkin terlupa
Buang semua angan mulukmu itu
Percaya takdir kita aku cinta padamu..."

"Wah, penggemar Dewa 19 nih," Ratih membuka percakapan.

Aku pun menghentikan nyanyian sejenak sambil melirik ke kiri spion.

"Tahu juga mbak?"

"Tak Akan Ada Cinta yang Lain. Pasti tahu dong. Salah satu lagu romantis ciptaan Ahmad Dhani."

"Wah, berarti sama dong. Anak 1990-an."

"Ga juga, mas. Saya malah telat dengarnya."

"Lha, bukannya ini lagu keluar 1994, album Format Masa Depan?"

"Saya justru tahunya pas dibawakan Dewi Dewi. Aransemennya pun beda. Sebelumnya, lagu ini juga dinyanyikan Titi DJ," Ratih, menjelaskan.

Aku pun ingat. Tak Kan Ada Cinta yang Lain, punya beberapa versi. Dewa pada 1994 yang dilanjutkan Titi Dj 1999 dan Dewi Dewi 2007. Selain ketiganya, di laman Youtube bertebaran musisi atau masyarakat awam yang meng-covernya.

Lagu ini sudah lebih dari 25 tahun. Bagi manusia, periode itu merupakan satu generasi. Namun, kedahsyatan lirik dan aransemen tak lekang dimakan usia.

"Sayangnya, Inna keluar lebih awal. Kalau tidak, hingga kini Dewi Dewi masih berkibar di jagat musik Tanah Air. Bahkan, bisa melibas genre pop tak bermutu serta invasi K-Pop," ujar Ratih.

Ya, Dewi Dewi dibentuk Ahmad Dhani lewat Republik Cinta Management (RCM) yang beranggotakan Inna Kamarie, Purie Andriani, dan Tata Janeeta. Namun, Inne keluar pada 2008 menyisaka Purie dan Tata yang membentuk Mahadewi dengan single hit Satu Satunya Cinta. Aku ingat, pernah menjadikan lagu itu sebagai Nada Dering Pribadi (NSP) pada smartphone XpressMusic andalanku.

"Dewi Dewi bukti kegeniusan Dhani. Meski seumur jagung, karyanya masih terasa," ujar Ratih.

"Ya, dekade lalu, masyarakat Indonesia dimanjakan karya-karya berkualitas dari RCM. Sayang, proyek itu seperti tidak terurus seiring Dhani yang mendekat ke politik."

"Iya, sayang banget. Padahal, Dhani itu genius. Salah satu musisi terbaik Indonesia."

"Setuju. Menurut saya, levelnya setingkat dengan Guruh Soekarnoputra, Koes Plus, dan Roma Irama."

"Serius mas? Bagaimana dengan Ariel yang kalau nulis lirik sangat metafora, baik dengan Peterpan maupun Noah. Erros yang bikin lagu Sheila On 7 mudah dicerna? Azis MS yang menjadikan rock jadi puitis bersama Jamrud. Jangan lupakan, Bimbim, mengangkat Slank dari keterpurukan," tutur Ratih dengan bersemangat.

"Ini pandangan saya pribadi ya, sebagai sosok yang menggemari musik Indonesia sejak dulu. Jelas, Dhani ga bisa dikomparasi dengan keempatnya. Bahkan, mereka sama sekali tidak sebanding. Saya penggemar berbagai jenis musik, baik dalam atau luar negeri. Punya album fisik, kaset atau cd dari So7, Peterpan, Jamrud, bahkan Slank yang Tujuh. Namun, secara musikalitas, jelas masih di bawah Dewa, khususnya Dhani," aku menjawab sambil memperhatikan spion kanan dan kiri.

Sebab, di belakang ada tiga sepeda motor yang jalan bergerombol. Feeling-ku merasakan tidak enak. Bisa jadi, mereka begal. Jadi ingat dulu, saat meladeni gerombolan seperti itu yang membuat denyut jantung kini nyaris berdebar saking semangatnya.

Tentu, aku sangat waspada. Sudah pasti, bukan untuk diriku. Sebab, aku tak perlu khawatir terkait keselamatanku. Melainkan, Ratih.

Ya, sejak dulu saat jadi ojol, keselamatan penumpang yang utama. Beruntung, ketiga sepeda motor yang ternyata berisi enam manusia itu hanya lewat. Ternyata, mereka seperti hendak balapan atau tes kecepatan.

Mungkin, tahu ini Jumat dini hari yang tentu jalanan sepi. Apalagi, di kawasan ini yang memiliki trek lurus tapi kalau lewat jam 22, biasanya sunyi.

"Bahaya banget mereka. Pada ga pake helm, jalan ngebut," Ratih, mengungkapkan.

"Biasa mbak. Jalanan ini trek lurus, polisi tidur sedikit, jadi dimanfaatkan mereka untuk balapan."

"Eh, lanjut soal musik dong. Menarik tuh."

"He he he, kepo..."

"Ih, si mas begitu. Perjalanan jauh, sambil ngobrol itu asyik. Ga bikin jenuh, apalagi ngantuk."

"Siap selalu, tuan ratu."

"He he he, Ratu tanpa Mulan, sekarang sudah beda."

"Nah... Lanjut obrolin Dhani."

"Boleh..."

"Terlepas dari kontroversi dan drama keluarganya, bagi saya, Dhani tetap genius."

"Setuju."

"Terkait musisi segenerasinya, Dhani masih lebih unggul. Hanya Slank F13, yang sedikit bisa mendekatinya. Ya, Dhani bisa dibilang lebih besar dari Dewa 19. Namun, Dewa 19 yang membuat nama Dhani jadi besar. Jadi, itu seperti simbiosis-mutualis. Tanpa Dewa 19, tentu Dhani tidak bisa seperti sekarang, legenda. Pun demikian, jika tidak ada Dhani, lagu-lagu Dewa 19 hanya kuat di aransemen tanpa adanya lirik yang puitis."

"Ha ha ha. Susah ya, kalo ngobrol sama fan Dhani. Masnya, terlalu mengidolakan dia."

"Saya sih ga mengkultuskan Dhani. Namun, harus diakui musikalitasnya jauh di atas berbagai musisi era 1989-an hingga sekarang. Bahkan, jika ada superband sekalipun seperti Ariel sebagai vokalis, Erros gitar, Azis drum, dan Bimbim drum..."

"Mirip Ahmad Band?"

"Nah, iya dulu kan ada supergrup juga, Dhani bersama Andra, dua eks Slank, Pay dan Bongky, serta Bimo Netral."

"Bibiku punya kaset tipnya tuh. Jadul banget, ha ha ha."

"Legend tuh mbak. Waktu albumnya rilis, saya masih SD. Ha ha ha."

"Sama mas. Kita satu generasi, kayainya. Ha ha ha,"

*            *            *

MEMASUKI jalan utama ibu kota membuatku mempercepat laju sepeda motor. Aku melirik speedometer di dashboard yang tembus pandang menanjak ke angka 50. Laju yang ideal mengingat di jalur utama ini, kendaraan tidak boleh terlalu kencang. Namun, juga jangan tidak harus pelan banget. Itu mengingat banyak truk besar serta kondiai jalan kerap berlubang hingga membahayakan.

Ratih, mencolek pinggangku, "Mas, jangan ngebut. Santai aja, ga apa-apa."

"Iya, mbak. Ini kecepatan standar."

"Sejak tadi perasaan saya ga menentu. Tiba-tiba merasa nyaman. Namun, kadang ga enak."

"Angin mungkin mbak. Mau berhenti, cari makan dulu? Soalanya, angin malam bahaya bagi kesehatan. Apalagi, kalau perut kosong," ucapku sambil menepikan sepeda motor di depan jembatan legendaris Tanah Air.

"Sebelum balik, saya udah makan. Ga tahu kenapa. Namun, bukan angin. Ya, lanjut deh mas."

"Eh, saya minum dulu mas," Ratih, melanjutkan sambil menepuk pundak saya dengan tangannya yang halus.

Perjumpaan dengan gadis yang mengaku lebih senang disapa Ratih, ini sangat berkesan. Usianya, tidak terpaut jauh denganku, dulu. Sikapnya yang simpatik, ceplas-ceplos, smart, hingga senyumannya yang menggugah jantung ini untuk kembali berdetak.

Namun, siapa sangka, di balik keceriaannya itu, tersirat temaram pada hatinya.

"Tuhan selalu menciptakan sesuatu secara berpasangan. Termasuk, jika itu masalah, tentu ada solusinya," Ratih, bergumam diplomatis.

Aku pun mengangguk saat mendengar penuturannya. Udara setelah hujan memang selalu dingin. Meski, aku sama sekali tak terpengaruh. Namun, aku memelankan kendaraan mengingat penumpang di belakang seperti menggigil.

Ada pemandangan menarik ketika berhenti di lampu merah. Di seberang jalan, terdapat pusat perbelanjaan yang memasang lampu led raksasa berisi poster film yang masuk rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU).

'Black Widow! Tayang mulai hari ini, Kamis, 2020.' Demikian keterangan pada poster berukuran jumbo itu yang  bisa terlihat jelas, meski dari jarak 50 meter sekalipun.

"Akhirnya tayang juga ya, sejak subuh tadi," kata Ratih yang ikut melirik poster tersebut saat tahu aku memandanginya dengan antusias.

"Iya, jadwal awal Mei, di negaranya atau akhir April lalu di Indonesia. Namun, karena ada wabah, jadi diundur beberapa bulan," aku, menjawab.

"Padahal, filmnya seru nih kayaknya."

"Yoi, pembuka fase empat MCU."

"Natasha jadi favorit saya di MCU, di antara beberapa karakter wanita. Meski, wanita, tapi saya suka nonton film superhero juga, baik Marvel atau DC."

"Ebuset..."

"Iya. Serius. Apalagi, Black Widow jadi film MCU kedua dengan karakter utama wanita," Ratih menjawab dengan sayup-sayup akibat suaranya terbawa angin.

"Captain Marvel?"

"Klise. Datar. Kaku. Saya nonton hanya karena ada adegan yang diiringi lagu Come As You Are, aja."

"Nirvana..."

"Iya, mas. Momennya tepat. Namun, hanya itu yang berkesan. Secara keseluruhan, film dan akting Brie ya 'B' aja," Ratih, menerangkan.

"Kalo saya lebih suka aksi Sharon Carter."

"Bukan Wanda? Padahal, Olsen itu seksi habis. Hot banget," ucap Ratih yang tampak menyunggingkan senyumnya hingga dari balik spion terlihat manisnya lesung di pipi kiri. Benar-benar nyaris membuat jantungku berdegup kembali seperti dulu.

"Ga. Emily VanCamp itu ga seksi, tapi manis. Enak dipandang. Meski, kadar kemanisannya masih kalah sama penumpang di belakang saya ini," aku berseloroh yang langsung disambut cubitan di pinggang.

*            *            *

KADANG aneh dengan makhluk hidup bernama wanita. Khususnya yang baru atau belum lama kenal. Sebab, tanpa rasa berdosa, kerap main cubit ke lawan jenis. Mungkin, sebagai simbol keakraban.

Padahal, situasi bisa beda jika pria yang melakukannya. Bisa-bisa diteriaki pelecehan meski bercanda. Namun, itulah keunikan manusia.

"Ojol, kapan aja mas?" Ratih memecah keheningan dini hari tersebut.

"Maksudnya, mbak?"

"Nariknya, dari siang atau malam aja."

"Ga tentu mbak."

"Wow, enak ya. Freelance. Beda sama yang kerja biasa yang jarang liat matahari. Kadang pergi pagi buta dan pulang malam."

"Ya, begitu mbak. Nanya-nanya, emang mau daftar ojol juga?"

"Ga, iseng aja. Saya sepeda aja ga bisa, apalagi naik motor."

"Mau saya ajarin sampe bisa, kapan? Gratis, he he he."

"Kursus ya... Bayarnya?"

"Kan, free."

"Di kolong langit ini, mana ada makan siang gratis, mas."

"Boleh deh bayar. Pakai tiket Black Widow aja ya, kebetulan saya belum nonton."

"Tiket? Berdua gitu, saya dan masnya."

"Yoi..."

"Maunya, si mas itu mah."

"He he he."

"Boleh deh, tapi akhir pekan aja ya."

"Siap."

"Di mana?"

"Nontonnya? Bebas. Kan mbak yang bayarin. Terserah si mbak, waktu dan tempatnya."

"Dasar!" Ratih memotong cepat. "Ajarin motornya. Kalo udah bisa baru traktir nonton."

"Oh... Kirain, nonton dulu baru belajar motor."

"Ih... Kalo kayak gitu mah, si masnya menang banyak atuh."

"Siap, mbak. Oh ya, ini belok kiri, masuk komplek kan?" tutur saya saat melihat maps yang terpasang di dashboard sepeda motor.

"Iya, lewatin aja portalnya. Ini akses masuk dan keluar satu-satunya di komplek yang biasanya dijaga dua security di pos."

"Ga ada orang mbak."

"Mungkin pada keliling. Namun, kawasan ini tergolong aman. Banyak CCTV tersebar di berbagai titik. Termasuk, samping pos."

"Ooh..."

*            *            *

SETELAH belasan meter lewat tikungan, akhirnya sampai depan rumah bergaya kolonialisme. Anggun tapi tergolong seram. Apalagi, jika malam mengingat lokasinya di samping gang buntu.

"Oke, kiri ya mas."

"Siap mbak."

"Bayarnya nontunai ya."

"Oke."

Ratih pun turun sambil membuka helm seraya berkata, "Ga minta nomor hape saya?"

"Buat apa mbak?"

"Serius?"

"Sebagai ojol, saya ga pernah minta nomor hape customer. Kecuali, untuk berjaga-jaga jika opik atau order fiktif terkait pesanan makanan."

"Kan, mau ngajarin saya sepeda motor."

"Oh iya."

"Catat ya, ini nomor saya, mas. 08**********."

"Oke, sudah saya simpan. Baik di kontak hape maupun hati."

"Dasar! Ntar WA ya."

"Siap."

"Mas, ini helmnya susah dibuka?" Ratih bangkit dari duduknya di jok sepeda motor. Kemudian, berdiri sambil menghadap rumahnya."

"Lah, dia bisa masang ga bisa buka. Aneh," ujarku, meledek.

"Macet nih. Udah bisa."

"Lah, si masnya kemana? Motornya juga ga ada. Mentang-mentang bayar nontunai langsung pergi aja."

"Tapi, ga kedengaran suara motornya. 'Mas, mas di mana," Ratih berlari menuju pos untuk memastikan yang disambut dua security.

"Ada apa, mbak teriak-teriak malam begini?" ujar salah satu petugas keamanan bernama Dresta.

Rekannya, Pandu yang awalnya asyik mabar di layar hape pun ikut menghampiri.

"Tadi saya ke sini naik ojol. Tapi, setelah sampe, mas drivernya pergi begitu saja." Ratih, menjawab.

"Lah, bukannya mbak Ratih tadi jalan kaki sendirian sambil nenteng helm?" tutur Drestra.

"Iya, tadi lewat pos tanpa noleh. Bahkan, senyum-senyum sendiri. Saya pikir, mbak lagi teleponan pakai headset," Pandu, menimpali.

"Serius pak Pandu, pak Dresta?" Ratih berkata perlahan yang sama sekali tak percaya dengan apa yang dialami barusan.

"Masa kami bohong, mbak," Dresta, menegaskan.

"Ada CCTV, bisa dilihat sekarang. Nih saya puterin," kata Pandu.

"Jadi, tadi... Tadi, yang mengantar saya, siapa?" Ratih, menjawab dengan pandangan kosong. Tak lama, tubuhnya ambruk. Beruntung, Dresta dan Pandu dengan sigap menyangga agar tubuh Ratih tidak membentur tanah.

Bersambung...


Selanjutnya:
Part II: PoV Ratih
Part III: Marcapada
Part IV: Kenapa Harus Wibisana?
Part V: Sudah


*         *         *


Cerita Fiksi Lainnya:
- Permintaan Terakhir
Langkah Tanpa Wujud di Museum Bahari
Helena
(https://www.kompasiana.com/roelly87/55121782813311bd53bc5fc4/helena?page=all)
- Kado Ultah Terakhir dari Alena (https://www.kompasiana.com/roelly87/5529a0fc6ea834f22e552d24/kado-ultah-terakhir-dari-alena?page=all)
- Pagutan Lembut Sang Gadis...
(http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/12/13/mirror-pagutan-lembut-sang-gadis-ternyata-421445.html)
- Bersekutu dengan Setan
(http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/12/16/mirror-bersekutu-dengan-setan-422453.html)
- Kenangan Main Petak Umpet
(http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2013/08/14/kenangan-main-petak-umpet-583688.html)
- Yang Liu
(http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/09/21/yang-liu-593693.html)


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):
- Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm
Punya 2 Paspor, untuk Apa?
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek

*         *         *
- Jakarta, 18 Maret 2020

Rabu, 18 Maret 2020

Tidak Ada Polisi 40%, Ini Alasan Penumpang Enggan Pakai Helm


Ilustrasi ojol dengan penumpang yang sama-sama mengenakan helm
(Foto: dokumentasi pribadi/www.roelly87.com)


KEPALA merupakan organ tubuh yang sangat penting bagi makhluk hidup, khususnya manusia. Itu mengapa, dalam setiap kendaraan, harus disertai alat pengamanan terhadap kepala untuk meminimalkan jika terjadi hal yang tidak diinginkan, terutama kecelakaan. Mobil dengan airbag dan sepeda motor, helm.

Sebagai driver ojek online (Ojol), tentu saja saya menyadari pentingnya penggunaan helm. Tidak hanya untuk pribadi saja, melainkan terhadap penumpang.

Itu mengapa, saya selalu menegaskan kepada customer atau calon cust, untuk mengenakan helm. Tidak ada toleransi untuk itu. Nomor satu helm, diikuti rokok yang haram dihisap penumpang saat saya bonceng, dan penggunaan telepon seluler (ponsel). Untuk rokok, akan saya bahas ada artikel berikutnya. Pun demikian dengan ponsel.


Yang pasti, saya memang mewajibkan penumpang untuk mengenakan helm. Kendati, ada beberapa yang menolak dengan berbagai alasan. Alhasil, tanpa tedeng aling-aling, saya pun memencet tombol "Cancel" di hadapannya.

Bukan bermaksud nolak rezeki. Namun, sangat beresiko membawa penumpang yang tidak mengenakan helm. Sebab, jika terjadi -Semoga tidak- kecelakaan, bukan customer tersebut, suami, istri, Orangtua, anak, atau keluarga, yang disalahkan. Melainkan, saya sebagai ojol yang harus bertanggung jawab.

Sayangnya, mayoritas penumpang yang saya bawa, enggan memakai helm. Tak jarang, harus dipaksa. Bahkan, saya sendiri benar-benar bosan dengan perkataan template kepada penumpang. Alasannya beragam.

"Helmnya dipakai ya, pak, bu, mas, mbak, kak, de, dll."

Selanjutnya, jika sudah mengenakan harua disertai, "Dikunci ya. Kita belum berangkat, jika helmnya belum dikunci."

Bosan, jenuh, dan mumet, sebenarnya. Namun, sebagai ojol, saya memang harus menyampaikam himbauan tersebut.

Saya cukup girang jika cust itu dengan tanggap mengenakan helm dan menguncinya. Hanya, sering juga mendapat cibiran. "Hmm..," katanya, dengan wajah masam.

Pun dengan wajah masam saat menerima helm yang saya sodorkan. Tentu, saya bukan manusia suci yang tidak pernah melakukan pelanggaran. Sebab, saya juga beberapa kali menerobos lampu merah (di kawasan sepi) atau melawan arus. Juga, tidak bermaksud jadi hakim moral.

Namun, wajar jika saya sebagai ojol mewajibkan penumpang untuk mengenakan helm. Selain memang demi keselamatan juga terkait SOP, sebagai mitra aplikator.

Kendati, untuk beberapa hal, saya memaklumi keengganan penumpang. Misalnya, helm agak bau atau basah. Secara, saya cuma bawa satu saja yang dipakai dalam sehari bisa untuk belasan penumpang. Apalagi, jika hujan. Meski saya bawa cover antiair, tetap saja lembab. (#3)

Yang paling parah, jika alasannya karena tidak ada polisi. Bahkan, ini mendominasi! Itu yang saya alami saat melakukan riset atau survei kecil-kecilan, dalan dua pekan lalu. Padahal, helm kan demi keselamatan. Bukan, untuk dipamerkan jika ada polisi.

Bersambung...


Alasan penumpang enggan pakai helm:
40% Tidak ada Polisi/razia
20% Bau, enggan memakai bekas orang lain
13% Tunggu dekat Lampu Merah yang ada CCTV
12% Tidak biasa/jarak dekat (<4 km)
7 % Baru mandi/keramas/khawatir dengan rambutnya
6% Ribet, apalagi harus dikunci
2% Alasan lain (Sakit kepala, ukuran kekecilan, dll)


Responden: 100
Status: Penumpang 99, Calon 1
Durasi: 1-14 Maret 2020
Periode: 15.00-07.00 WIB (tentatif)
Gender: 28 pria, 72 wanita
Usia: 18-60 (perkiraan)
Area: Jakarta Barat, Pusat, Utara, dan Selatan

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO)
- Punya 2 Paspor, untuk Apa?
- Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
- PI, PP, dan TA, Ini Daftar Mal yang Kurang Bersahabat dengan Ojol
- Setelah 6 Bulan Jadi Ojol
- Narik Go-Jek Pakai Suzuki GSX R-150
- Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek

*         *         *
- Jakarta, 18 Maret 2020