TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Rabu, 10 Maret 2021

Pria Sejati Tidak Tinggalkan Kekasihnya

Pria Sejati Tidak Akan Pernah Tinggalkan Kekasihnya

Foto bersama Andrea Pirlo yang menjalani musim terakhirnya
sebagai pemain Juventus saat tur di Indonesia 2014


BAGI saya, Liga Champions 2020/21 sudah selesai. Itu seiring dengan tersingkirnya Juventus dari babak 16 besar. Tepatnya, usai hanya menang 3-2 atas Porto di Juventus Stadium, Selasa (9/3) atau Rabu dini hari WIB. 

Hasil tersebut tidak cukup bagi skuat asuhan Andrea Pirlo untuk melaju ke perempat final. Sebab, pada leg pertama di Estadio do Dragao (17/2), Juve takluk 1-2. Alhasil, I Bianconeri pun tersingkir akibat kalah agresivitas gol tandang. 

Sekaligus, jadi momen terkelam bagi Cristiano Ronaldo. Maklum, megabintang asal Portugal ini menjalani musim ketiganya bersama Juve sejak direkrut dari Real Madrid pada 10 Juli 2018. Kehadirannya, sempat membuat asa fan La Vecchia Signora membumbung tinggi. Khususnya, saya pribadi. 

Bisa dipahami mengingat Ronaldo datang dengan lima gelar Liga Champions. Tiga di antaranya diraih beruntun dengan Madrid pada 2015/16, 2016/17, dan 2017/18. Pada saat yang sama, Juve belum pernah meraih trofi Si Kuping Lebar sejak 1995/96. 

Yaitu, saat masih diperkuat Alessandro Del Piero. Sejak saat itu, Juve lima kali melaju ke babak pamungkas pada 1996/97, 1997/98, 2002/03, 2014/15, dan 2016/17. Namun, seluruhnya berakhir dengan derai air mata. 

Termasuk, empat tahun lalu di Millennium Stadium, Cardiff, Wales, ketika saya jadi saksi mata pada laga pamungkas yang berujung kekalahan 1-4 dari Madrid. Ketika itu, Ronaldo turut mencetak dua gol ke gawang Juve yang masih dijaga Gianluigi Buffon.

Wajar, jika berita CR7 berseragam I Bianconeri membuat antusias segenap fan Juve di kolong langit. Hanya, sepak bola merupakan olahraga tim. Dimainkan 11 orang berbeda. Alias, bukan permainan individu layaknya beladiri, bulu tangkis, hingga balap. 

Alhasil, keberadaan Ronaldo saja tidak cukup. Pun demikian meski sudah ditangani Pirlo yang punya dua gelar Liga Champions saat masih jadi andalan AC Milan. Ya, faktor keberuntungan yang membuat mimpi Juve di ajang antarklub terelite Eropa tersebut masih jauh. Setidaknya, hingga kini.

*        *        *

PAGI ini, rinai menghiasi ibu kota. Memang, sejak semalam, tiada hentinya langit mencurahkan air demi membasahi marcapada. Sebagai ojek online (ojol), tentu hujan tidak memengaruhi aktivitas membelah jalan. Maklum, saya terbiasa menari di bawah badai. Jadi, rinai atau bahkan hujan deras pun tidak bakal menyurutkan langkah saya untuk mencari order.

Hanya, situasi berubah usai wasit Bjorn Kuipers meniup peluit panjang. Tepatnya, setelah perpanjangan waktu 2x15 menit dalam duel Juve kontra Porto yang saya saksikan secara streaming. Ya, sebagai Juventini, jelas saya tidak pernah ketinggalan menyaksikan pertandingan tim yang bermarkas di kota Turin tersebut. 

Terutama, di Liga Champions. Untuk Serie A, hanya partai besar yang melibatkan Milan, FC Internazionale, AS Roma, Parma, Napoli, dan Lazio, yang jadi bagian dari Il Sette Magnifico.

Saya memang kerap meluangkan waktu demi melihat Juve secara streaming. Aplikasi ojol saya non aktifkan. Sebab, sulit fokus mengantar penumpang, makanan, atau barang, jika pada saat bersamaan Juve sedang bertanding. Itu mengapa, usai si Nyonya Besar hanya menang tipis 3-2 yang berujung kalah agresivitas gol tandang dari Porto membuat saya pun lunglai.

Sahutan kokok ayam yang menandakan aktivitas di kawasan selatan ibu kota sudah mulai kendati masih rinai. Usai menyaksikan lesunya wajah-wajah penggawa Juve, saya pun menyulut asap kehidupan ditemani segelas kopi hitam nan pahit yang cocok pada situasi saat ini.

Ya, Juve kembali tersingkir secara menyakitkan pada babak-babak awal sejak diperkuat Ronaldo. Pada 2018/19, mereka dieliminasi Ajax Amsterdam, agregat 2-3, usai imbang 1-1 di Johan Cruyff Arena dan takluk 1-2 di Turin. Musim lalu, I Bianconeri lagi-lagi kalah agresivitas tandang. Tepatnya, saat takluk 0-1 di markas Olympique Lyon dan hanya menang 2-1 di Juventus Stadium.

Wajar, jika kegagalan dalam tiga musim terakhir membuat Ronaldo jadi kambing hitam. Banyak fan, khususnya haters Juve menyindir keras CR7. Pun demikian dengan klub yang dipimpin Andrea Agnelli ini. Cap sebagai pecundang, bukan bermental juara, dan tim yang tidak punya DNA Liga Champions, hingga Badut Eropa pun tersemat kepada Juve.

"Lebih baik menunggu Milan dan Inter sebagai wakil Italia yang akan juara Liga Champions, ketimbang menantikan Juve," demikian berbagai komentar di media sosial usai I Bianconeri tersingkir.

*        *        *

"KENAPA harus Juve?" 

"Ga salah, pilih tim?"

"Ketimbang Juve, mending duo Milan."

"Bla, bla, bla..."

Demikian berbagai pertanyaan dari beberapa teman yang dilontarkan sejak era 1990-an. Tepatnya, sejak kami masih kecil hingga kini kawan seangkatan sudah punya banyak anak kecil. 

Mereka tahu, saya merupakan fan berat Juve. Tidak terlalu fanatik sih. Namun, nyaris setiap ada pertandingan besar di Serie A dan babak knock-out Liga Champions, saya selalu menyaksikan I Bianconeri. 

Baik di layar kaca secara konvensional, smartphone, hingga langsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) ketika Juve melakoni pramusim di Indonesia pada 2014. 

Bahkan, saya jadi saksi tragis kekalahan si Nyonya Besar dari Madrid pada laga pamungkas Liga Champions 2016/17 di Cardiff. 

Namun, berbagai kegagalan di final turnamen antarklub terelite Eropa itu tidak menyurutkan hasrat saya sebagai Juventini. Ya, baik saat menang atau kalah, juara, runner-up, hingga degradasi pun, saya tetap fan I Bianconeri.

Sejak 1994 saya tetap antusias menyimak berita terkait rival sekota Torino FC ini. Mulai dari tabloid Bola, tabloid GO, tabloid Hai Soccer, majalah Liga Italia, majalah Sportif, hingga harian TopSkor. 

Media yang disebut terakhir ini tempat saya bekerja pada 2012 hingga tahun lalu. Termasuk, berkesempatan secara eksklusif mewawancarai Pirlo, Claudio Marchisio, dan Giorgio Chiellini.

Bagi saya, Juve tetaplah Juve. Klub favorit dalam lebih dari seperempat abad. Kendati, dalam perjalanannya, turut berwarna. Selain kekalahan di Cardiff, momen kelam saya sebagai Juventini terkait final Liga Champions 2002/03 dan calciopoli 2006 yang berujung terjun bebas ke Serie B.

Saya pun teringat dengan komentar legendaris Del Piero yang memilih bertahan kendati harus tampil di kasta terbawah. "Un Vero Cavaliere Non Lascia Ma Una La Signora," seperti dikutip dari Corriere dello Sport dengan terjemahan bebas dalam bahasa Inggris, ''a true gentleman never leaves his lady".

Ya, Il Pinturicchio bahu-membahu dengan David Trezeguet, Pavel Nedved, Gianluigi Buffon, dan segelintir bintang yang rela mengangkat Juve dari Serie B di bawah tangan dingin Didier Deschamps.

Pada saat bersamaan, Zlatan Ibrahimovic memilih hengkang ke Inter, Fabio Cannavaro (Madrid), Lilian Thuram (Barcelona), dan banyak lagi.

Padahal, Del Piero ketika itu masih dalam periode emas. Beberapa hari sebelumnya sukses membawa tim nasional (timnas) Italia juara Piala Dunia 2006. Tawaran pun silih berganti dari raksasa Eropa, termasuk Madrid. Namun, bagi Del Piero jelas, Juve merupakan kekasihnya yang tidak akan pernah ditinggalkan.

Ya, Juve adalah Juve. Kegagalan di Liga Champions musim ini dan mungkin di Serie A akibat inkonsistensi, bisa jadi pijakan ke depan. Saya pribadi tidak berharap Ronaldo akan bertahan mengingat kontraknya tersisa setahun lagi. 

Namun, saya yakin, jika Pirlo dipertahankan, secara perlahan bakan memberi DNA Eropa kepada si Nyonya Besar dalam musim-musim selanjutnya. Setidaknya, harapan saya sebagai Juventini.

#ForzaJuve!


-



-

Artikel Sebelumnya:
Kilas Balik: Del Piero Genap 42 Tahun
40 Tahun Alessandro Del Piero

- Wawancara Eksklusif Claudio Marchisio
- Wawancara Eksklusif Andrea Pirlo
- Wawancara Eksklusif Giorgio Chiellini



*        *        *

- Jakarta, 10 Maret 2021

Sabtu, 06 Maret 2021

Kompromi dengan Keadaan

Kompromi dengan Keadaan

Ilustrasi: Gambar hanya sebagai pemanis


MENJELANG pergantian hari, saya dapat orderan dari kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, menuju Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saat itu, penumpang kekeh enggan memakai helm dengan alasan khawatir covid 19. 

Meski, saya sudah menawarinya untuk menggunakan hair cap yang bisa melindungi rambutnya. Karena tidak ada titik temu, saya pun ingin cancel.

Namun, ketika hendak menekan tombol batal, justru tangan ini berat. Terutama, mengingat dari sore baru dapat dua orderan. Itu pun jarak pendek, argo minimalis. 

Sementara, orderan ini jarak jauh. Argo kakap. Seketika, saya pun batal untuk meng-cancel dengan catatan penumpang tersebut meski tidak memakai tapi tetap harus memegang helm untuk berjaga-jaga jika ada razia.

Pada akhirnya, untuk kali perdana sejak jadi ojol, saya harus melanggar GBHN. Alias, garis besar haluan ngojek. Bisa dipahami mengingat saya biasanya sangat strict jika ada penumpang yang tidak pakai helm, merokok, dan main hape. 

Entah sudah berapa kali saya meng-cancel hingga menurunkan penumpang di tengah jalan yang melanggar tiga aturan tersebut, terutama dua teratas.

Namun, kondisi saat ini memaksa saya untuk menekan idealisme GBHN tersebut. Ya, kompromi dengan keadaan. 

Bukan soal benar atau salah. Sebab, se-idealis apa pun, tetap kalah dengan urusan dapur. 

Setidaknya, hingga saat ini.***


Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):

- Jakarta, 6 Maret 2021

Senin, 25 Januari 2021

Reuni Ahmad Band dan Riuhnya Netizen Zaman Now

Reuni Ahmad Band dan Riuhnya Netizen Zaman Now

Ahmad Band kembali reuni setelah dua dekade
Foto: Instagram.com/AhmadDhaniOfficial


Yang muda mabuk, yang tua korup

Yang muda mabuk, yang tua korup

Mabuk terus, korup terus

Jayalah negeri ini

Jayalah negeri ini

Merdeka...!


DEMIKIAN sepenggal lirik yang diteriakkan Ahmad Dhani dengan lantang pada Minggu (24/1) di akun Youtube official-nya, Video Legend. Tepatnya bersama beberapa sohibnya yang tergabung dalam Ahmad Band untuk tampil streaming di Studio Video Legend, Pondok Indah, Jakarta Selatan.


Saya yang menyaksikan penampilan impresif mereka pun sangat terpana. Bahkan, rela mematikan aplikasi ojek online (ojol) demi menyimak reuni dari supergrup tersebut. Padahal, ketika itu orderan sedang ramai mengingat hujan yang mengguyur ibu kota sejak pagi sudah reda.


Namun, godaan menyaksikan Ahmad Band secara langsung via smartphone, sukses meluluhkan keinginan saya untuk ngojol. Setidaknya, secara sementara dalam durasi dua jam. 


Sambil mengintip kemenangan Juventus atas Bologna, skor 2-0, yang membuat persaingan scudetto Serie A 2020/21 kian memanas demi mengejar AC Milan dan FC Internazionale yang pada giornata 19 justru sama-sama gagal menang.


Ya, reuni Ahmad Band jadi salah satu yang paling saya tunggu tahun ini. Itu setelah 1 Desember lalu menyimak akun instagram Dhani usai tampil dalam  konser Dul Jaelani, Segitiga Sang Pemuja. 


Saya mengenal Ahmad Band sejak 1998 silam. Alias, setelah supergrup itu merilis album pertama sekaligus satu-satunya, Ideologi, Sikap, Otak, yang cover depannya tergolong nyeleneh, Dhani pakai kopiah yang sekilas mengingatkan publik terhadap Bung Karno, proklamator negeri ini.


Sebagai gambaran, saat itu personel edisi pertama Ahmad Band meliputi:

Vokal: Dhani (Dewa 19)

Gitar: Andra Ramadhan (Dewa 19)

Gitar: Pay (Eks Slank)

Bas: Bongky (Eks Slank)

Drum: Bimo (Netral)


Namun, seiring waktu berjalan, Pay dan Bongky cabut. Alias, hanya ikut pada sesi rekaman dan manggung periode awal. Selanjutnya, masuk personel baru, Thomas Ramdhan (bas/Gigi) dan Jaya (Gitar/Roxx) yang turut tampil pada konser sekanjutnya.


Nah, pada live streaming kemaren, formasinya meliputi:

Vokal: Dhani 

Gitar: Andra 

Gitar: Stephen Santoso (Musikimia)

Bas: Thomas

Drum: Yoyo (Padi, Musikimia)


*       *       *


BAGI saya, kembalinya Ahmad Band jilid 2 atau 3 ini benar-benar memantik adrenalin. Maklum, warna musik mereka sangat ramai dipengaruhi ala seattlesound alias grunge, britpop, hingga rock klasik 1980-an. Pun dengan liriknya yang warna-warni, dari cinta, kemanusiaan, filsafat, hingga politik.


Minus, Aku Cinta Kau dan Dia. Namun, dalam list, tetap terdapat lagu ikonik Ahmad Band lainnya. Mulai dari Dimensi, Bidadari di Kesunyian, Sudah, hingga Distorsi.


Termasuk, Kuldesak yang masuk dalam mini album Dhani-Andra.


Menurut saya, apa yang dibawakan Ahmad Band edisi terbaru ini sangat luar biasa. Tentu, saya tidak bisa membandingkan dengan formasi 1998. Sebab, ketika itu saya masih memakai seragam putih-biru. Alias, tidak punya kesempatan untuk nonton konser langsung. Kaset pun sekadar dipinjami teman sebaya.


Penilaian saya, memang suara Dhani tidak bagus. Namun, berkarakter. Pada usia yang nyaris kepala lima, suaranya tetap khas. Dhani pun pintar memilih lagu yang akan dibawakan.


Misalnya, Sedang Ingin Bercinta dan Cinta Gila itu sangat fenomenal. Tidak cocok dibawakan Once atau Ari Lasso. Pun demikian dengan Bidadari, Sudah, Distorsi, dan lagu Ahmad Band lainnya. 


Sulit bagi musisi lain untuk meng-covernya. Memang banyak yang suaranya lebih bagus dari Dhani. Hanya, saat didengar seperti ada yang kurang. Beda rasa jika dinyanyikan Dhani, sang the one and only...


*       *       *


NYARIS dua jam memelototin layar smartphone yang menampilkan Ahmad Band diiringi rinai pada emperan rumah toko (ruko) di kawasan perbelanjaan Jakarta Selatan ditemani segelas plastik air mineral dan asap kehidupan. Saya pun merasa puas karena penantian 23 tahun terbayar lunas.


Meski, ada beberapa catatan kecil yang membuat saya termotivasi untuk kembali menuliskannya di blog. Maklum, sebelumnya saya beberapa kali memposting tentang Ahmad Dhani. Baik reportase, saduran, dan fiksi.


Terkait penampilan, memang secara personel, untuk Ahmad Band sekarang dengan edisi 1998 sangat beda.  Namun, secara kualitas, bisa diadu. 


Siapa yang tak kenal Thomas, sebagai salah satu basis wahid di negeri ini? Pun demikian dengan Yoyo yang gebukannya memacu adrenalin layaknya John Bonham bersama Led Zeppelin dan Dave Grohl (Nirvana). 


Stephan? Doi dikenal sebagai finisher. Alias, tangan dinginnya piawai meracik komposisi pada beberapa album musisi ternama di negeri ini.


Jadi, untuk personel Ahmad Band saat ini, bagi saya tetap wah. Sebab, yang main merupakan para master.


Nah, untuk host atau mc alias pemandu acara ini yang perlu digarisbawahi. Yaitu, Rizky Billar dan Reymon Knuliqh. Tanpa bermaksud tendensius, namun duet host ini menurut saya kurang cocok.


Itu karena wawasan mereka yang masih tergolong minim. Terutama, saat sesi tanya jawab menyangkut sejarah Ahmad Band dan personelnya saat ini. Hanya, itu mungkin penilaian saya pribadi saja. Sebab, interpretasi setiap orang kan berbeda. Tergantung selera.


Kendati, untuk pembawaan, tentu Billar dan Reymon yang memang dikenal heboh, sukses mencairkan suasana. Itu dari segi positif kehadiran mereka yang di media sosial dan kolon komentar youtube mendapat pro dan kontra.


Kontra banyak banget. Namun, yang pro keduanya sebagai host pun tak sedikit.


Khususnya, Billar yang sedang naik daun. Banyak yang menilai, kehadiran kekasih Lesti Kejora ini sukses mendongkrak viewers streaming Video Legend jadi lebih dari 400 ribu.


Berdasarkan catatan saya, jumlah tersebut paling tinggi diantara streaming lainnya yang dilakukan di akun resmi youtube Dhani tersebut. Padahal, sebelumnya, Video Legend sudah rutin menyelenggarakan live streaming dengan bintang tamu dan host berbeda. 


Mulai dari Giselle Anastasia, Raffi Ahmad, Dul Jaelani, Tissa Biani, hingga Ari Lasso, dan Andre Taulany. Namun, jumlah viewers saat mereka jadi host pun kalah jauh dengan duet Billar-Reymond.


Itu mengapa, kolom komentar Video Legend dan media sosial jadi ajang pertempuran antara yang pro dengan kontra. Sebagian berharap, next live streaming memakai host yang benar-benar mengerti musik. Di sisi lain, ada juga yang meminta Dhani untuk mempertahankan Billar sebagai pembawa acara.


Saya yang sejak masih mengenakan seragam merah-putih sudah mengenal Dhani pun paham. Pentolan Republik Cinta Management ini merupakan sosok yang sulit ditebak. Dhani punya pendirian yang tegas tanpa terpengaruh pendapat orang lain.


Bisa jadi, pada live streaming selanjutnya, baik Ahmad Band, Dewa 19, Tribute to..., Triad, dan sebagainya, host tetap dipegang Billar. Alasannya, jelas. Mungkin, kehadiran Billar bisa mendongrak viewer Video Legend lagi. 


Sekaligus, menarik kalangan milenial agar lebih kenal lagu-lagu lawas dari Ahmad Band, Dewa 19, dan band besutan Dhani lainnya. Khususnya, agar musik Indonesia kembali jadi tuan rumah di tengah invasi K-Pop. 


Untuk yang ini, 100 persen saya sangat setuju dengan Dhani.***


*       *       *

Artikel Terkait: 
Ada Super Junior di Balik Kehebohan Panggung
- Ahmad Dhani dan Jalan Tengah Dewa 19 di Album Bintang Lima
- Ahmad Dhani di Antara Dewa 19 dan Reza
- Ahmad Dhani di Antara ISO, Queen, dan Rumi 
- KamaRatih


 *       *       *

- Jakarta, 25 Januari 2021

Selasa, 19 Januari 2021

Ketika Garuda Sudah Tidak Lagi di Dadaku

 Ketika Garuda Sudah Tidak Lagi di Dadaku

Ilustrasi 300 drone membentuk konfigurasi Garuda pada
countdown Asian Games 2018
(Sumber: Dokumentasi pribadi/www.roelly87.com)


Kala sang Garuda terhenyak
Menyaksikan keanehan yang terjadi di dalam negeri
Entah kapan akan berakhir
Mirip cekcok Batara Guru dengan Pandawa
Seperti gonjang-ganjing di Suralaya 

Hampir sama dengan di Senayan dan Istana
Begitulah yang terjadi di negeri ini
Padahal sewaktu perang kemerdekaan 

Semua rakyat saling bersatu melawan penjajah
Semuanya, mulai dari pemuda, orang tua, ibu-ibu
Hingga anak-anak kecil
Bersatu padu membawa bambu runcing
Untuk melawan mesiu yang mendesing 

Namun, 66 tahun kemudian
Keadaan sungguh terbalik
Sekarang
Bangsa ini sudah hebat
Sangat hebat malah! 

Jangankan mesiu, rudal, roket, dan senjata super modern apapun akan kalah
Dan dihantam balik... 

Namun, benar kata pepatah
"Tombak yang terang dapat ditangkis Tapi anak panah gelap, sukar diterka..." 

Kawan, lihatlah kondisi bangsa ini sekarang
Penjajahan berlaku secara tidak langsung
Simaklah disekitar kita
Semua yang bernilai berbau luar

Serba "made in..."
Mulai dari elektronik, kendaraan, baju
Hingga hal-hal yang sepele sekalipun
Yaitu, gunting kuku... 

Atau saksikanlah beberapa kejanggalan yang terjadi
Ketika beberapa pemimpin menyerukan perjuangan
Yah, perjuangan di masa perdamaian
Justru inilah yang paling sulit
Dibanding era kemerdekaan... 

Dengan tekad berapi-api
Semangat berkobar menyala-nyala
Serta asa yang sangat menggebu
Namun tandas ketika sang lawan membisiki 

"Ssst, pak
Damai saja
Ini ada selembar cek dalam amplop
Bapak bisa isi berapapun yang dimau." 

Ketika Garuda sudah tidak lagi di dadaku...
Apakah kalimat itu terkesan vulgar?
Miripkah dengan kisah satir
Ataukah gembar-gembor belaka... 

Entahlah, hanya...
Hati nurani kita sendiri yang tahu
Dan menyadarinya...

*         *         *

Puisi ini sebelumnya dimuat di Kompasiana pada satu dekade silam (https://www.kompasiana.com/roelly87/5508de76a3331124452e3960/ketika-garuda-sudah-tidak-lagi-di-dadaku)

- Jakarta, 23 Januari 2020

Minggu, 10 Januari 2021

Bukan Sekadar Nostalgia, Alasan IDN Pictures Luncurkan Balada Si Roy

Bukan Sekadar Nostalgia, Alasan IDN Pictures Luncurkan Balada Si Roy

Foto bersama dalam jumpa pers Balada Si Roy
(Sumber: IDN Media)


SEBAGAI bagian dari generasi 90-an, tentu saya tidak asing dengan Balada Si Roy. Yaitu, novel legendaris karya Gol A Gong yang rilis pada dekade 1980. Selain Roy yang merupakan pameran utama, ada beberapa tokoh lainnya yang saya kenal. 

Mulai dari Ani, Dullah, Wiwik, dan sebagainya yang jadi teman bacaan saya saat itu. Maklum, pada dekade 19900an, internet belum semasif sekarang. Jadi, jika ingin tahu informasi, saya biasanya membaca media massa meliputi cetak seperti koran dan majalah, tv, dan radio. 

Dulu, saya sangat senang jika ada media yang mengulas tentang Roy yang jadi asupan bergizi usai membaca novelnya. Kendati, beberapa koleksi saya terkait buku fisik sudah lenyap akibat banjir, pindahan, hilang dipinjam teman, dan lainnya. Namun, pada era internet ini, saya kerap menyimak drama si Roy, baik di web, blog, hingga media sosial.

Gayung pun bersambut ketika jelang pergantian tahun, saya mendapat informasi Balada Si Roy bakal diangkat ke layar bioskop. Itu berkat inisiatif IDN Pictures yang jadi bagian dari grup IDN Media

Balada Si Roy jadi proyek perdana mereka yang judulnya sudah dipublikasi sejak November lalu. Rencananya, film yang disutradarai Fajar Nugros tersebut bakal tayang tahun ini. Yuppiii!

Tentu, saya pun tak sabar menantikan aksi legendaris Roy yang diperankan Abidzar Al Ghifari ini. Beberapa nama tenar turut membintangi film yang juga mengeksplorasi keindahan alam dan budaya Tanah Air ini. Misalnya, Febby Rastanty sebagai Ani, Bio One (Dullah), Zulfa Maharani (Wiwik), Sitha Marino (Dewi), Maudy Koesnadi (ibu Ani), dan sebagainya.

"Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk mengangkat Balada Si Roy ke layar lebar. Ini sangat istimewa mengingat jadi proyek perdana IDN Pictures. Ceritanya mengenai seorang anak muda yang sedang mencari jati diri dengan mendobrak tatanan yang ada," kata Fajar dalam jumpa pers, Desember lalu.

Head of IDN Pictures ini berharap, proyek perdana bagi perusahaannya itu bisa diterima masyarakat di Tanah Air. Sekaligus, mendobrak tatanan perfilman Indonesia agar terus jadi lebih baik.

Bisa dipahami mengingat saat ini sedang pandemi yang turut memengaruhi industri perfilman Tanah Air. Namun, saya optimistis, Fajar dengan dukungan IDN Pictures, para pemain, hingga kru, bisa mengembalikan gairah masyarakat Indonesia untuk kembali berbondong-bondong ke bioskop jika situasi sudah normal.



PERNYATAAN senada diungkapkan Susanti Dewi. Istri Fajar sekaligus produser Balada Si Roy ini optimistis, film yang sudah melakukan syuting sejak awal Januari itu dapat memberi warna pada industri sinema di Tanah Air.

"IDN Pictures pun telah menambahkan relevansi nilai pada proses penggarapan filmnya. Ini diharapkan dapat membuat Balada Si Roy jadi makin relatable dengan kehidupan anak muda zaman sekarang," pendiri Demi Istri Production yang kini berada di bawah naungan IDN Pictures itu menambahkan. 

"Misalnya, adanya ajakan untuk menghirup udara segar di luar. Kumpul bersama teman-teman serta mengenyampingkan gadget ketika bersua dengan kawan. Nilai-nilai seperti ini terkesan picisan atau sederahana, tapi esensinya tak jarang hilang."

Ya, apa yang dikatakan Dewi dan Fajar beralasan. Sebagai pencinta novel sekaligus penikmat film, tentu saya berharap Balada Si Roy bisa memenuhi ekspekstasi. Terutama mengingat sudah lama di Tanah Air tidak ada film berkualitas berdasarkan adaptasi novel.

Fakta itu diutarakan Daniel Mahendra sebagai salah satu inisiator dari komunitas Sahabat Balada Si Roy, "Bila harus dibandingkan dengan novel-novel seangkatan, (karya Gol A Gong) ini memang lebih realistis. Sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan remaja seperti biasanya."

Yupz, tak sabar bagi saya untuk segera menyaksikan si Roy dan kawan-kawan sambil menikmati segelas minuman dingin serta jagung khas di kursi bioskop. 

FYI, Balada Si Roy sudah syuting sejak awal bulan ini di beberapa kawasan di Banten seperti kota Serang dan Rangkasbitung. Bagi Anda yang tak sabar untuk menontonnya di layar lebar, bisa kepoin akun media sosial:

Instagram: @FilmBaladaSiRoy, @IDNpictures
Youtube: https://www.youtube.com/c/Idntimes


*         *         *

Novel legendaris Balada Si Roy karya Gol A Gong


*         *         *

- Jakarta, 10 Januari 2021