TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Antara Aku, Kau, dan Mantan Terindah

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Selasa, 18 Mei 2021

Antara Aku, Kau, dan Mantan Terindah

 Antara Aku, Kau, dan Mantan Terindah


Ilustrasi www.roelly87.com


LEMBAYUNG di ufuk barat, tampak merona. Keindahan alam sore ini kian semarak dengan lalu-lalang jalanan di seberang basecamp tempat gw nyantai. Tampak, anak-cucu Adam tengah asyik beraktivitas. Ada yang berangkat, pulang kerja, pergi makan, beli cemilan untuk buka, ngerokok, dan sebagainya.

Memang, lokasi basecamp yang terletak di pemukiman padat penduduk barat ibu kota ini tergolong strategis. Dekat jalan raya yang mengarah ke pusat perbelanjaan, kuliner, pergudangan, hingga pabrik. Alhasil, cukup menunggu di basecamp, maka orderan pun sering datang dengan sendirinya. 

"Ebuset, nyantai aja. Gw pikir lo masih lanjut," ujar Irawan yang baru tiba.

"Abis tektokan. Nganter ke Karawaci, pas balik di Cimone dapat arah Kalideres. Ya udah, sekalian istirahat nunggu buka puasa," jawab gw.

"Sama nih. Gw buka di sini aja lah. Mau pulang, bahaya. Kalo udah di rumah, bawaannya males keluar.

"Lah lo ngapain ngojol. Kontrakan bejibun, ortu tajir, rekening di atm melimpah. Lo kan ngojek cuma sebagai simbol aja, biar ga dibilang nganggur sama tetangga."

"Ha ha ha. Si goblok."

TENG NENG NONG TENG...

HP gw bunyi. Gw baru inget, tadi belom nonaktifkan aplikasi.

Orderan food. Anter ke Tanjung Duren. Argo hampir selembar biru. Termasuk kakap. Meski sudah siap-siap mau buka puasa, gw cocol.

"Kemana bro?" ujar Irawan melihat gw mengemasi kembali bungkusan kolak sagu rangi, es buah, gorengan, dan sebotol air mineral.

"Food. TanDur. Kakap, mayan. Gw buka di depan resto aja sambil nunggu makanan jadi."

"Dewi Wilutama. Ratingnya 4,9 dari 20 orderan. Anter ke Kostan Sriwedari, Tanjung Duren. Tunai," Irawan yang kepo turut membacakan keterangan di aplikasi.

"Mayan tuh. Penghuni kostan sana biasanya royal. Minggu kemaren gw dapat tip 50k," lanjut Irawan.

"Iya sih, gw juga sering nganter ke sana. Tapi, ini belinya banyak juga. Hampir 500 ribu, belom ongkirnya," gw menjawab terkait orderan makanan cepat saji hingga 10 bungkus.

"Mungkin buat bukber kali bro," sahut Irawan, asal.

"Lah, emangnya resto pesulap. Makanan kan dibuat dulu, estimasi 15-30 menit. Itu belom dihitung di perjalanan. Ya, sejam lah baru sampe lokasi. Pan ini bentar lagi beduk," gw menjelaskan.

"Gw cabut dulu ya bro."

"Sip, Ka. Gw mau siap-siap buka nih."

*       *       *

USAI menempuh perjalanan dari restoran sekitar seperminuman teh yang diselingi seteguk air mineral untuk buka puasa, gw pun sampe di Kostan Sriwedari.

Tampak, fasad gedung ini sangat megah. Modern dengan tinggi empat lantai.

Konon, harga sewa kost per bulan berkisar Rp 3-5 juta. Meski mahal, tapi wajar mengingat penghuninya rata-rata mahasiswa dan pekerja kantoran di kawasan Tanjung Duren yang terkenal strategis.

"Saya sudah di depan pos security, kak," tulis gw di chat aplikasi ketika sampai di gerbang.

Beberapa detik kemudian, balasan dari customer.

"Tunggu pak. Saya keluar."

Sambil menunggu customer keluar, gw pun asyik menyulut tembakau. Nikmat sekali hembusan dari rokok pertama sejak kali terakhir mengisapnya 14 jam lalu saat jelang imsak.

Hanya, tunggu tinggal tunggu, hingga 15 menit berlalu, tidak nampak customer tersebut keluar kostan untuk menyambut makanan. Chat yang gw kirim pun centang satu.

Alias, tidak dibaca. Pun demikian dengan telepon. Tersambung, tapi tak diangkat.

Perasaan gw pun merasa tidak enak. Tepat 30 menit sejak chat konfirmasi tiba yang tak digubris customer, gw langsung menuju pos security.

Petugas keamanan tersebut mengiyakan untuk memanggil si customer setelah melihat data di aplikasi yang tertera nama, harga makanan yang harus dibayar beserta ongkos dan kamar kost.

Tak lama...

"Iya, pak. Saya yang bernama Dewi Wilutama," ujar wanita muda berparas ayu yang menghampiri gw didampingi temannya. Sementara, security tadi mengawasi dari depan pos sambil ngelepus dan pandangan mata tertuju pada hp-nya.

"Ini kak, pesanannya," jawab gw memperlihatkan 10 bungkus makanan cepat saji.

"Hah? Saya ga mesan apa-apa bang," katanya dengan nada heran.

"Waduh, ini di aplikasi tertera nama kakak. Dewi Wilutama. Kostan Sriwedari. Kamar 378," gw menjelaskan.

"Kalo nama dan kamar kostan, memang benar. Namun, sumpah saya ga sedang pesan makanan."

"Nah, ini siapa dong kak?" gw pun garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Wi, coba lo cek aplikasi. Siapa tahu kepencet," temannya menimpali.

"Ga kok. Nih lihat," tutur Dewi memperlihatkan layar aplikasi yang terbuka di hpnya.

Gw pun mengecek datanya di akun customer Dewi.

Dewi Wilutama.

dewi_wiloetama94@rocketmail.com

085612345678

Gw pun inisiatif telepon ke nomor customer yang tadi tidak diangkat-angkat. Hingga beberapa kali, juga sama.

Sekilas, gw lihat Dewi dan temannya saling lirik.

"Kak, bisa minta izin," tanya gw dengan sopan.

"Silakan bang."

"Bisa telepon ke nomor saya dari hp kakak. Ini sebagai konfirmasi saja. Ni nomor saya, 081387879999."

"Siap bang."

Di layar hp gw tertera panggilan masuk. Nomornya 085612345678.

Gw coba telepon balik. Dewi pun mengangkatnya.

Namun, ketika gw telepon ke nomor customer, tidak ada tanda-tanda di layar hp Dewi.

Memang, sejak setahun terakhir ini aplikator menyamarkan nomor telepon antara driver ojol dan customer. Tujuannya demi privasi karena dulu sering disalahgunakan oknum ojol dan customer.

"Saya cuma pake satu nomor saja bang," Dewi kembali memperlihatkan settingan di hpnya yang hanya memuat satu SIM card.

Gw pun kembali menyulut rokok. Sebagai penenang dalam situasi rumit ini.

"Ini gimana ya, nama dan alamat tujuan sama tapi beda orang," gw menggumam.

"Emang berapa bang totalnya?" teman Dewi bertanya.

"Semuanya Rp 543.000. Pesanan Rp 495 ribu dan ongkos kirimnya 48 ribu."

"Buset... Banyak amat bang. Saya ga ada uang segitu. Kirain cuma Rp 100an ribu, saya berani talangin biar abang ga rugi. Tapi, kalo di atas gope, maaf saya tidak punya uang," Dewi, mengungkapkan.

"Ri, lo ada berapa? Gw ada 100 ribu. Patungan yuk, kasihan abang ojol ini," lanjut dara dengan rambut panjang semampai ini kepada temannya yang bernama Siti Sundari.

"Sama, Wi. Gw juga ada cepe..." Sundari, menimpali.

"Jangan, kak. Ga usah..." gw memotong percakapan mereka.

"Biar saya telepon customer service aplikator aja. Agar, pesanan ini dibatalkan karena order fiktif," tambah gw.

"Emang bisa bang? Ga rugi?" Dewi bertanya.

"Saya coba kak. Kalo bisa, mohon tetap di sini untuk klarifikasi ke aplikatornya," kata gw yang langsung diiyakan Dewi dan Sundari.

*       *       *

HINGGA 10 menit kemudian, telepon tersambung ke operator. 

"Selamat malam, dengan Arimbi. Ada yang bisa kami bantu," terdengar suara dari cs aplikator.

"Malam bu. Saya, Ekalaya, driver ojol. Domisili Jakarta Barat. Nomor telepon 081387879999," gw memperkenalkan diri.

"Ada yang bisa kami bantu, pak?"

"Saya dapat order fiktif atas nama Dewi Wilutama dari restoran cepat saji senilai Rp 543 ribu. Sebelumnya, customer aktif di chat. Namun, ketika saya sampai lokasi, dichat tidak balas dan ditelepon tidak jawab hingga 30 menit lebih," gw menjelaskan secara rinci.

Dewi yang berada di hadapan gw terus menatap. Mungkin, banyak pertanyaan di benak wanita berkulit kuning langsat ini. Pada saat yang sama, tangan kiri Sundari asyik memainkan sebatang rokok yang menari di jarinya.

"Sampai di lokasi, memang ada yang bernama Dewi Wilutama dan kamar kostnya pun seperti di aplikasi. Namun, ternyata yang bersangkutan sama sekali tidak pesan. Sampai detik ini saya chat dan hubungi, tidak ada respons dari customer. Saya khawatir ini opik," lanjut gw.

"Sebentar ya pak, akan kami cek datanya terlebih dahulu. Mohon telepon tidak ditutup" jawab cs.

Gw pun kembali menyalakan rokok. Ini batang kelima yang gw hisap. Sejatinya, rokok memang tidak memberi kenyamanan bagi penggunanya. 

Jika ada yang mengatakan menghisap rokok bikin rileks dalam menghadapi masalah, itu hanya suges saja. Namun, meski sudah tahu seperti itu, entah kenapa, gw tetap tidak lepas dari mild putih ini.

Tak lama berselang, sambungan telepon dari operator pun kembali.

"Maaf sudah lama menunggu ya pak. Setelah kami cek data lebih lanjut, ternyata akun atas nama Dewi Wilutama tidak terindikasi fiktif. Akun ini sudah melakukan lebih dari 20 pemesanan dengan penilaian dari driver cukup bagus," demikian suara cs aplikator yang memang sesuai dengan data di aplikasi yang sudah gw lihat sebelumnya.

Bahwa, akun bernama Dewi Wilutama ini telah 20 kali melakukan orderan yang ratingnya 4,9. Tergolong bagus bagi ukuran customer. 

Biasanya, gw atau mayoritas ojol lainnya paling senang dapat customer dengan rating di atas 4,7 hingga bintang 5. Sementara, rating 4,1-4,6 tergolong "b aja" dan 3,5-4 itu buruk. 

Bagaimana dengan customer yang ratingnya 3,5 ke bawah? Biasanya, itu parah banget. 

Kalo ga orangnya bawel, judes, emosional, dan lainnya. Bisa juga terkait lokasinya sulit dijangkau, seperti apartemen yang harus nunggu lama, komplek perumahan elite yang ribet di pos masuk, atau rumah susun yang kadang kami harus jalan kaki menyusuri tangga hingga lantai lima!

"Apakah pak Eka sudah sampai ke lokasi sesuai pesanan di aplikasi?" tanya cs.

"Sudah bu. Ini saya bersama orang yang bernama Dewi Wilutama. Namun, saya sudah cek aplikasinya tidak ada pemesanan untuk hari ini."

"Baik pak Eka. Mohon ditunggu ya. Kami akan crosscheck data terlebih dulu."

"Siap bu."

Gw pun menatap ke arah Dewi.

"Kak bentar ya. Lagi dikonfirmasi sama cs-nya."

"Iya bang ga apa-apa. Semoga cepat selesai. Ngeri banget kalo dapat opik hingga 500 ribu."

"Wi, gw ambil snack dulu ya. Gw dari buka belom ngemil nih. Sekalian kita kasih abangnya," Sundari menimpali.

Dari kejauhan tampak sosoknya lenggak-lenggok bak putri keraton. Secara fisik, gw akui Sundari memang body goal banget yang mengungguli Dewi. Ini berdasarkan penilaian gw sebagai naluri lelaki.

Hanya, entah mengapa, gw lebih tertarik kepada Dewi. Perawakannya memang biasa aja. Namun, Dewi punya keunggulan dibanding wanita lainnya. Lesung pipit nan indah dipadu gingsul yang mewarnai senyuman khasnya. Apalagi, dengan alisnya yang sangat kereng.

Kalo gw nilai, Sundari sangat seksi. Sementara, Dewi merupakan sosok wanita yang anggun.

Dalam Kamus Besar Naluri Pria (KBNP) yang disusun berdasarkan imajinasi gw, terdapat lima penilaian terhadap wanita.

Itu meliputi:

5. Cantik
4. Seksi
3. Manis
2. Ayu
1. Anggun

Njir, gw ngapain malah mikirin yang nggak-nggak. Padahal, ini lagi nunggu konfirmasi cs terkait orderan yang fiktif atau bukan. Geblek!

Beruntung, telepon yang gw tuju kepada cs aplikator tersambung lagi.

"Mohon maaf pak Eka sudah lama menunggu. Setelah kami crosscheck lebih lanjut, memang akun atas nama Dewi Wilutama ini benar adanya. Sudah 20 kali order layanan baik penumpang, makanan, dan kirim barang. Hanya, biasanya alamatnya di Perumahan Amarta Indah, Jakarta Pusat, dan perkantoran Pringgadani East Bay, Jakarta Utara," terdengar suara cs, menjelaskan sambil gw loudspeaker.

Gw yang menyimak pun menoleh ke Dewi. Ternyata, dia sangat kaget. Raut wajahnya tampak keheranan. Romannya memperlihatkan tanda tanya ketika mendengar alamat yang biasanya dilakukan si pengorder atas namanya.

Bahkan, tertangkap jelas, Dewi memainkan alisnya yang tebal diikuti anggukan Sundari.

Tidak perlu jadi Elon Musk yang genius untuk merekonstruksi keganjilan ini. Jelas, gw menyimpulkan ada yang aneh terkait Dewi. Entah dirinya pribadi atau masa lalunya.

"Kami sudah menghubungi pemesan, tapi hingga kini tidak ada jawaban. Kami juga sudah mengecek riwayat chat pemesan dengan pak Eka yang tidak ada keanehan. Kami putuskan, akan menutup orderan ini. Pak Eka bisa memberikan makanan ini ke panti asuhan, orang tak mampu, atau dimakan sendiri. Untuk biaya pesanan akan kami ganti di aplikasi dengan nontunai kepada pak Eka dalam 1x24 jam," cs membeberkan.

"Ada lagi yang ingin disampaikan, pak? Kalau tidak ada, telepon kami akhiri dan terima kasih," lanjut cs.

"Ga ada bu. Terima kasih," jawab gw lega karena tidak jadi merugi karena aplikator akan bertanggung jawab untuk menggantinya.

*       *       *

USAI mendengar penuturan cs, gw langsung memandang ke arah Dewi yang tatapannya jauh ke depan. Sementara, Sundari asyik mengunyah seblak yang dibawanya beserta potongan gorengan di piring.

Dewi pun seketika menunduk. Pada saat yang sama, Sundari beranjak menghampiri gw.

"Gw yang jelasin ya Wi. Mukadimah aja. Sisanya lo," kata Sundari.

TIIIN... TIIIN... TIIIIIN!

"Woi Ka! Lo bukan nganter food malah mojok!"

Terdengar teriakan dari suara yang sangat gw kenal. Njir...

"Ka, minta cireng ya satu," ujar suara tak asing lagi yang ternyata... Irawan!

"Eh goblok. Bukan punya gw itu. Punya kakak ini," jawab gw yang ga asing dengan ulah nyeleneh sohib gw tersebut sambil menatap ke Sundari.

"Eh kakak. Maaf. Gw minta ya. Satu lagi deh, enak juga. Gw buka puasa tadi cuma sama kwetiuw dan pangsit doang. Kurang nendang," Irawan kembali nyerocos.

"Eh cakep banget kakak ini. Waduh, ada satu lagi. Yang ini, manis bener. Kayak ada gula-gulanya di wajahmu," lanjut Irawan yang membuat suasana pecah setelah tadi sempat awkward.

"Silakan bang. Makan aja, kita udah dari tadi," ucap Sundari yang terkekeh mendengar celetukan Irawan.

Dewi? Tampak mengulum senyumnya yang tersipu malu akibat pujian Irawan. Njir, nih cewe, sumpah manis bener.

"Eh lo ngapain sama dua makhluk bidadari ini?" tanya Irawan yang tak hentinya mengunyah combro.

Ebuset, ini gorengan punya Sundari udah ludes dicomotin Irawan.

"Gw dapat opik. Untung ada dua kakak ini..." jawab gw.

"Opik apaan?" Irawan bertanya yang langsung gw potong.

"Si anjir. Orang mau ngomong dipotong terus. Bentar, tunggu gw sama kak Sundari dan kak Dewi jelasin, baru lo tanya. Lagian, lo bukan narik sono, rempong amat pake ketemu di sini," lanjut gw men-skak mat Irawan.

Sundari terbahak-bahak mendengar omongan gw. Sementara, Dewi tersenyum ngikik sambil menutup hidungnya.

Sepertinya, baru pertama dalam hidup mereka bertemu makhluk seaneh Irawan. Sosok yang sotoy, apalagi kalo depan cewe. Juga penakut jika berhadapan dengan makhluk halus.

Namun, berubah telengas jika berhadapan dengan musuh. Bahkan, tahun lalu, Irawan ga gentar berhadapan dengan tiga begal yang semuanya bawa senjata tajam di Sunter.

"Iye... Iye. Gw penasaran dapat opik apaan, Ka. Ini gw nyimak deh. Janji," Irawan menjawab dengan memperlihatkan jari telunjuk dan tengah.

*       *       *

SETENGAH jam, kemudian...

"Njir, itu cowo katrok banget. Cinta ditolak, opik bertindak. Mau gw ramein ga, Dew? Sun? Ntar gw samperin sama anak-anak ojol lainnya biar kapok," ucap Irawan berapi-api setelah lebih dari sepernanakan nasi hanya jadi pendengar saja.

Ya, Sundari menjelaskan bahwa 99 persen yang melakukan opik adalah Laksmana Kumara. Yaitu, mantan Dewi yang ternyata masih menyimpan perasaannya hingga kini.

Bahkan, meski sudah lewat puluhan purnama. Apalagi, dalam periode itu, keduanya sama-sama sudah mendapat pacar lagi.

Dewi dengan Pancala yang tak lama putus. Sementara, Laksmana dengan Utari yang tidak diketahui kabar selanjutnya.

"Kalo kata gw sih, ga perlu, Ir. Ga usah lah. Apalagi, jika bawa-bawa nama ojol. Terlebih, masalah udah selesai. Tadi kan cs aplikator udah mastiin orderan gw diganti. Jadi, ya clear," gw menanggapi seruan Irawan.

"Iya juga sih. Tapi, emang geregetan juga sama tuh cowo yang mentalnya pecundang banget," lanjut Irawan tampak emosional sambil tangan kanannya mengunyah combro.

"Njrit. Pedes banget. Kampret, isinya ada cabe rawit," Irawan berseru akibat kepedasan.

Tawa pun meledak diantara kami bertiga yang melihat aksi konyol secara natural tersebut.

"Ini bang, minum. Jangan ngomong dulu ya, ntar keselekan," kata Dewi sambil menyodorkan air mineral ukuran gelas yang tadi dibawa Sundari.

Gw juga turut menyeruput es buah yang tadi gw bawa dan belum habis. Tak lupa, kembali menyalakan rokok yang kini suasananya lebih rileks usai kehadiran Irawan.

Tampak, sohib gw itu sudah segar setelah sebelumnya matanya berair akibat tak sengaja menggigit cabe rawit.

"Dew. Eh, kak Dew..." kata Irawan kepada Dewi.

"Dewi aja bang. Ga usah pake sapaan kak, segala. Umur kita kan ga beda jauh," Dewi memotong.

"Iye sih. Tapi kalo lagi ngojol, kita emang selalu manggil kak ke customer. Iye ga Ka?" jawab Irawan yang memandang gw.

"Yongkru."

"Eh, Dew... Gw penasaran nih. Emang lo sama si cowo itu jadian berapa lama?" Irawan kembali berkicau.

Seketika suasana hening.

Gw menatap Dewi yang kembali tertunduk. Sementara, Sundari menyalakan rokok menthol.

Baru saja Irawan ingin memberondong kembali pertanyaan, Dewi sudah memotong, "Lima tahun bang."

"Anjrit! Itu pacaran apa kredit motor? Matic gw aja ga sampe tiga tahun udah lunas. Motor si Ekalaya malah cuma dua tahun," Irawan, menukas.

"Si goblok, orang lagi serius malah dihubungin ke kreditan," gw mengomentari celotehan Irawan.

"Tapi bener kan Ka. Gw kredit tiga tahun, lo dua tahun. Jangan-jangan lo gengsi depan dua bidadari ini kalo motor buat ojol aja nyicil," kata Irawan, terbahak-bahak.

"Njir. Yang penting mah, bisa narik orderan. Biar kata kredit juga, intinya kita sama-sama gacor," gw mengomentari sambil tertawa.

"Iya, bang. Lama juga. Tapi, emang putus nyambung," jawab Dewi yang ikut menyalakan rokok mild. Beda dengan Sundari yang jenisnya menthol.

Kami sempat beradu pandangan meski beberapa detik. Tak lama, Dewi melanjutkan.

"Kami terakhir pisah 2018, pas gw mau daftar relawan Asian Games. Abis itu, gw pacaran lagi sama temen kantor, ya setahunan. Sedangkan, Laksmana yang gw tahu sempat dua kali pacaran."

"Lah, Dew... Lo udah lama putus, tapi tahu bener sama kehidupan dia. Bener-bener mantan terindah," samber Sundari.

"Ya... Gitu lah, Sun. Gw emang saling follow medsos-nya, di IG, FB, dan Twitter. Tapi, emang ga nyangka udah hampir tiga tahun putus, dia ngajak balikan," ucap Dewi yang sepertinya likat.

Gw bayangin, goblok banget tuh cowok yang sampe melepas sosok nyaris sempurna seperti Dewi. Apalagi, pacaran udah kayak Repelita zaman Orde Baru.

Tapi, gw penasaran kenapa mereka bisa putus. Sempat ingin menanyakan langsung ke Dewi, hanya segan. Terlebih, sebenarnya urusan gw dengannya terkait opik udah selesai.

Untungnya ada Irawan. Tanpa tedeng aling-aling, dia nyeletuk lagi.

"Lo bubar kenapa Dew? Dicampakkin doi?" tanya Irawan.

"Ih... Nggak bang," potong Dewi, gercep.

"Gw yang mutusin, kok."

"Alesannya Dew?" tanya gw spontan yang membuat ketiga orang itu secara serempak memandang ke arah gw.

Anjir... Malu banget dah gw. Berasa dihakimin akibat penasaran dengan kisah percintaan Dewi dan Laksmana.

"Yaelah, lo kepo juga ya Ka," ucap Irawan, menyindir sambil tergelak tawa.

"Jangan-jangan, bang Eka ini... Wi..." timpal Sundari terkekeh sambil memberi kode kepada Dewi.

Dewi yang baru ngeh dengan sikap gw pun tertunduk. Namun, gw tahu mukanya memerah. Mungkin, saking likat.

"Gw akuin, dia tuh cowo idaman. Namun..." kata Dewi dengan nada pelan.

Sontak, gw, Irawan, dan Sundari menyimak.

"Dia ganteng banget. Lulusan S1 perguruan tinggi negeri ternama. Nyokapnya desainer yang punya banyak butik. Bokapnya anggota dewan pada dapil strategis dari partai yang masuk tiga besar pemilu 2019. Ada keturunan darah biru. Rumah keluarganya di kawasan Menteng yang elite. Kostannya di Kemang. Gw akuin, orangnya sangat baik," Dewi berturur sambil menghela nafas.

"Orangnya royal banget, baik sama gw atau teman-temannya. Wajar, mengingat statusnya sebagai anak tunggal yang setahu gw dikasih jajan sama ortunya per bulan 30 juta. Mobilnya dua, sedan merek Peugeot asal Prancis dan Nissan Navara yang biasa diajak turing. Motor, jangan ditanya. Dari NMax, Vespa, Ducati, hingga Harley Davidson, tersedia di garasi pribadinya."

Gw cuma melongo mendengar penuturannya itu. Gw yakin, Irawan dan Sundari juga setengah kati delapan tahil dengan gw.

"Tunggu Wi. Ada yang aneh dengan cerita lo," Sundari, nyeletuk.

Gw dan Irawan pun seketika menoleh ke arahnya. Namun, tidak dengan Dewi yang tampak santai.

"Kalo lo tahu dia orangnya baik, tajir, dan keturunan darah biru, kenape lo putusin?" tanya Sundari.

"Apa jangan-jangan lo udah dapat cowo yang lebih sultan dari doi?" lanjutnya memberondong.

"Yaelah, Romlah... Ga semua hal di dunia ini bisa dinilai dengan materi, termasuk uang," jawab Dewi, diplomatis.

"Iye, gw tahu Dew. Tapi, sayang banget kalo..." Sundari kembali mengatakan yang langsung dipotong Dewi.

"Makanya, dengerin cerita gw sampe selesai dulu, atuh. Ini mah belom apa-apa udah di-cut," kata Dewi.

Mendengar celotehan Dewi yang kini sudah lebih blak-blakan membuat kami tambah melongo. Mungkin, sekarang dia sudah jauh lebih rileks ketimbang di awal. Terlihat dari gaya bicaranya yang lebih lepas.

"Jadi gini, ceritanya," kata Dewi, santai dengan nada menggantung.

"Gw minta putus karena gw lihat Laksmana terlalu manja. Sebagai pacar, jelas dia sangat ideal. Namun, tidak jika jadi suami atau kepala rumah tangga. Contoh, hal kecil aja. Laksmana harus memanggil tukang ketika bohlam di kamar apartemennya padam. Begitu juga saat mantek paku buat pasang pigura. Semua dilakukan orang," Dewi, mengungkapkan.

"Padahal kan itu sudah kodrat pria. Sama halnya wanita yang meski sudah ada pesan antar makanan online, tapi tetap harus bisa masak dan menjahit. Itu yang minus dari Laksmana. Sebab, dari kecil, dia sudah dimanjakan kedua orangtuanya dengan berbagai fasilitas. Jujur, gw berat ketika minta putus mengingat Laksmana nyaris punya segalanya. Namun, demi masa depan, gw harus rela. Gw pengen cari pacar yang kelak jika resmi bisa jadi imam di rumah tangga."

*       *       *

ARLOJI di tangan kiri gw menunjukkan pukul 21.45 WIB. Alias, hampir tiga jam gw habiskan di depan kostan Dewi dan Sundari. Plus, kehadiran Irawan yang sukses mencairkan suasana.

Setelah mendengarkan yang Dewi menumpahkan segala keluh kesahnya, gw pun meminta pamit. Tidak lupa, bungkusan makanan hasil opik gw bagi-bagi. 

Dewi, Sundari, security kostan, gw, dan Irawan masing-masing satu. Dua lagi untuk anak-anak di basecamp. 

Sisanya, gw minta Irawan agar membagikannya ke marbot musala tempat kami untuk sahur. Kebetulan, makanan cepat saji itu tidak bakal basi jika dipanaskan terlebih dulu.

Usai pisah dengan Irawan yang balik kandang, gw pun menyalakan kembali aplikasi ojol. Berselang beberapa detik, bunyi tanda orderan.

Gw pun bergegas menuju resto terdekat. Hanya, tak lama, hp gw kembali bunyi. 

Kali ini bukan notifikasi dari aplikasi ojol. Melainkan, pesan masuk di WA.

"Terima kasih ya, Ka. Maaf, udah ngerepotin lo."

Gw amati nomornya tak dikenal. Pun dengan foto profil yang masih kosong. Alias, gw dan si pengirim pesan tidak saling simpan kontak.

Namun, sekelebat gw ingat sesuatu. Gw pun cek log on telepon. Ada panggilan masuk tak dikenal dari nomor 085612345678. Historinya pukul 19.11 WIB.

Gw pun save nomor tersebut. Luwi. Alias, anagram dari sang pemilik nomor.

Usai direfresh kontak, foto profil pun kini tidak lagi kosong. Tampak, sosok anggun dengan senyum memesona di kontak tersebut.

"Siap Wi. Sami2," balasan gw yang segera centang biru pertanda pesan langsung dibaca.

Gw menengadah ke langit, tampak cerah. Samar-samar seperti ada bintang jatuh.

"Next gw bakal traktir lo sebagai ganti udah ngerepotin. Waktu dan tempat gw persilakan. Btw, ttdj ya Ka."

Demikian jawaban Dewi. Seketika langkah gw jadi sangat ringan. Tanpa sadar, senyum gw pun merekah usai menbalas WA Dewi.

Ya... Mestakung!***

*       *       *


Serial Catatan Harian Ojol (Semesta Ekalaya)
- Part I: Ceritera dari SPBU Kosong
- Part II: Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal
- Part IV: Di-Ghosting Kang Parkir
- Part V: Di Suatu Desa
- Part VI: Ada Amer di Balik Modus Baru Costumer
- Part VII: Debt Collector Juga Manusia
- Part VIII: Penumpang Rasa Pacar

Prekuel
Kamaratih
- Kisah Klasik Empat Insan di Kamar Hotel

Spin-Off
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
- Ketika Manusia Memanggilku Lonte

Ekalaya Universe
- Mukadimah
- Daftar Tokoh
- Epilog

*       *       *

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):


*       *       *

*Inspired by True Event
- Jakarta, 18 Mei 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.

Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...

Terima kasih :)