Wabah Pak Ogah Merajalela, Polisi Bisa Apa?
Keberadaan Pak Ogah di setiap tikungan yang kerap mengganggu (foto: www.kompasiana.com/roelly87) |
MARET lalu merupakan peringatan empat tahun Koronavirus di Tanah Air. Pandemi yang mewabah di penjuru dunia sejak awal 2020, termasuk Indonesia yang terkena dampaknya.
Banyak korban berjatuhan, khususnya yang meninggal. Termasuk, beberapa yang saya kenal seperti keluarga, tetangga, rekan, dan sebagainya.
Pandemi juga mengguncang perekonomian Indonesia. Ada beberapa kenalan yang harus keluar dari tempat kerjanya.
Bisa itu perusahaannya bangkrut atau memang pemutusan sepihak akibat seretnya pemasukan. Wajar saja, mengingat dunia usaha memang berada dalam titik nadir.
Pengangguran pun di mana-mana. Setidaknya, dalam dua tahun pandemi hingga statusnya dicabut pada 21 Juni 2023.
Sejak saat itu, perekonomian di Tanah Air pun bangkit. Perusahaan raksasa, tradisional, hingga UMKM kembali bergeliat.
Di sisi lain, Pandemi Koronavirus membuat subur para pemalas. Yaitu, orang-orang yang ingin dapat duit mudah tanpa kerja keras hingga saya menyebutnya Gerombolan Makhluk Hidup Nirguna (GMHN).
Misalnya, Organisasi Masyarakat (Ormas), Kang Parkir Liar, Pak Ogah, Calo, Pungutan Liar (Pungli), Penjaga Perlintasan Kereta Ilegal, dan sebagainya seperti yang saya ulas pada artikel sebelumnya, Terima Kasih, Orang Baik 3/ https://www.roelly87.com/2024/03/terima-kasih-orang-baik-3.html.
* * *
MASALAH utama di ibu kota yang selalu turun temurun itu ada dua. Macet dan banjir.
Nah, saya akan bahas yang pertama. Sebab, berkaitan dengan GMHN, khususnya Pak Ogah.
Ya, Pak Ogah jadi penyebab utama macet di Jakarta. Demikian berdasarkan pengamatan saya sehari-hari yang berprofesi sebagai ojek online (ojol).
Ini bukan dongeng. Alias, fakta.
Anda, pembaca blog ini bisa melihat dan merasakannya di sepanjang jalan utama ibu kota. Itu meliputi Sudirman, Gatot Subroto, Satrio, Rasuna Said, Daan Mogot, Pasar Minggu, dan sebagainya.
Saya berani bilang, satu-satunya jalan utama di Jakarta yang tidak diserbu Pak Ogah adalah Jalan Thamrin. Untuk empat Jalan Medan Merdeka, kita ga usah bicarakan sebab itu Kawasan Ring 1.
Sumpah, saya berani mengatakan, selain lima jalan itu, Thamrin dan Medan Merdeka (Utara, Timur, Selatan, Barat), tidak ada lagi jalanan di Jakarta yang bebas Pak Ogah.
Sudirman?
Ada!
Yaitu, di Simpang Jalan Garnisun, Penjernihan 1, dan Setiabudi Raya. Aneh, jalan utama yang menghubungkan pusat bisnis Indonesia malah banyak Pak Ogah.
Gatot Subroto?
Banyak.
Termasuk, di samping Gedung MPR/DPR. Jika Anda dari arah Pejompongan Raya menuju Slipi, pasti nemuin Pak Ogah.
Anehnya, di dekatnya sering ada motor atau mobil polisi. Namun, ya gitu deh.
Bahkan, yang teranyar di media sosial dengan Pak Ogah memberi akses ilegal sepeda motor lewat trotoar dengan dimintain uang! Ini tiap hari saya amati jika mengantarkan penumpang ke Stasiun Palmerah.
Padahal, di dekatnya ada petugas, tapi seperti tak terlihat. Apalagi, ketika tahu, di sampingnya merupakan Markas Wakil Rakyat.
Anehnya, para anggota MPR, DPR, DPD, hingga polisi seperti bergeming. Apa ga malu mereka melihat situasi seperti itu tiap harinya.
Kadang, saya juga suka mengernyitkan dahi dengan keberadaan Pak Ogah yang seakan dibiarkan. Misalnya, di Jalan Rasuna Said yang banyak putaran balik.
Pak Ogah jadi biang kemacetan di sana. Ada satu waktu, mereka absen karena kehadiran polisi yang menjaga.
Namun, adakalanya kompak. Polisi di samping mengatur kendaraan yang berputar, sementara Pak Ogah di sisi lainnya ikut juga mengatur.
Aneh euy. Padahal, sepanjang jalan tersebut berderet kantor kementerian dan kedutaan besar. Sumpah, ibarat kangouw, pemandangan ini benar-benar bisa jadi bahan tertawaan dunia.
Namun, aparat seperti cuek dengan keberadaan Pak Ogah yang sangat mengganggu.
Yang saya maksud adalah pihak kepolisian.
Nah, lho. Kenapa polisi yang disalahkan?
Ya, sebab mengatasi keberadaan Pak Ogah ini memang tugasnya. Kalau Satpol PP, mana berani.
Begitu juga dengan Dishub. Yang dikejar cuma taksi konvensional dan taksi online yang parkir di pinggir jalan.
Jika mobil pejabat ikutan parkir, Dishub ini kayak ketakutan. Contoh, di Jalan Gunawarman, Senopati, Suryo, Kemang, dan sebagainya.
Tentu, untuk mengatasi keberadaan Pak Ogah ini, polisi harus kolaborasi dengan pemerintah daerah, Sat Pol PP, dan Dinas Perhubungan.
Itu juga kalo mereka pada mau kerja beneran. Jika tidak, saya lebih percaya Hitl*r meninggal di Garut.
* * *
BTW, mungkin Anda bertanya-tanya. Apa sih, kesalahan Pak Ogah hingga dibuatkan artikel ini secara khusus?
Salah besar menyebut Pak Ogah ikut mengatur lalu lintas di putaran balik, persimpangan, atau pertigaan. Itu bukan tugasnya. Titik!
Saya pernah mengulasnya 10 tahun silam pada artikel https://www.kompasiana.com/roelly87/54f71562a3331100258b4893/mengusir-pak-ogah-solusi-atau-benci?page=all.
Mereka seolah jadi pahlawan bagi kendaraan yang ingin berputar. Namun, jika Anda sadari, justru Pak Ogah ini yang bikin macet.
Pasalnya, mereka hanya mau membukakan jalan untuk mobil yang memberinya uang. Bisa seribu atau Rp 2.000.
Anda perhatikan baik-baik. Jika Anda bawa mobil pribadi hendak putar balik, lalu jendela diturunkan, dan tangan menyelipkan uang, dari jauh Pak Ogah sudah bisa melihatnya.
Mobil Anda langsung dikasih lewat dengan menghentikan kendaraan lain. Mereka tidak peduli dari arah berlawanan atau belakangnya jadi terhambat karena harus menunggu. Termasuk sepeda motor, angkot, dan taksi yang tidak dilirik mereka sama sekali.
Itu jika Anda memberinya seribu atau Rp 2.000. Bagaimana jika selembar Rp 5.000?
Tentu, Anda akan dipersilakan Pak Ogah dengan sigap layaknya diberi karpet merah. Termasuk, mereka akan mengucapkan terima kasih dengan rasa syukur. Anjing!
Lalu, jika Anda memberi selembar Rp 10.000, Pak Ogah itu bisa-bisa sujud kepada Anda. Bahkan, jika Anda membuat agama baru, hingga jadi Tuhan sekalipun, Pak Ogah bakal rela jadi hambanya.
Saking bersyukurnya mereka diberi uang ceban. Bener-bener manusia bangsat!
Hasil duitnya mereka? Kalo ga dipake buat judi, main sloth, mabuk, nyabu, hingga ngewe alias Open BO!
Sementara, 10 tahun lalu, saya catat bahwa, mereka rata-rata sehari mendapatkan penghasilan kotor Rp 100.000 - Rp 250.000.
Jumlah yang menggiurkan untuk mereka yang hanya bermodalkan "tangan di atas" dengan berdiri di tengah jalan tanpa harus memeras keringat apalagi otak. Bahkan, jika Pak Ogah itu remaja tanggung, kebanyakan uang sebesar itu dipakai untuk hal yang negatif.
Mulai dari membeli narkoba, mabok-mabokan, hingga pelesiran ke lokalisasi. Ironis, tapi faktanya yang saya dapat memang seperti itu.
* * *
Partner in Crime Anda dan Pak Ogah
Dikasih Rp 1.000 = B aja
Rp 2.000 = Ngangguk
Rp 5.000 = Karpet merah, mengucapkan terima kasih dengan penuh syukur dan khidmat
Rp 10.000 = Sembah sujud, kalo Anda bikin agama baru, mereka jadi yang pertama sebagai hambanya
Nolak lambaikan tangan = Cemberut
Lewat tanpa buka kaca = Kata-kata mutiara nan syahdu dari Kebun Binatang pun keluar
Nyelonong tancap gas = Ada kemungkinan disambit atau baret body mobil Anda
* * *
NAH, itu contoh jika Anda memberinya uang. Bagaimana jika tidak memberinya dengan kaca jendela tetap tertutup.
Ho ho ho...
Pak Ogah itu akan masa bodoh. Tak jarang, mereka mengumpat dengan kata-kata mutiara khas Kebun Binatang atau yang menjurus.
"Pelit!"
"Dasar kere!"
"Punya mobil tapi ga mau ngasih!"
"**** Anjing!"
"Dasar **** *****! Mobil aja bagus, tapi pelit."
"Ngasih seribu dua ribu ga bikin lo miskin!"
Itu belum seberapa. Bahkan, sering mobil dibaret bodynya akibat Pak Ogah kesal karena sudah membuka jalan tapi ga dikasih duit.
Ha ha ha. Mereka ini benar-benar sinting.
Btw, yang saya tulis seluruhnya ini fakta ya. Kecuali kalimat yang disensor karena menjurus SARA, untuk umpatan lainnya nyata.
Termasuk, soal baret yang bisa Anda cari beritanya di Google. Kata kuncinya, Pak Ogah Baret Mobil, nanti nongol semua.
Itu mengapa, saya sangat benci kepada mereka. Bahkan, tidak simpati sama sekali saat mengetahui berita ada Pak Ogah yang dipersekusi aparat seperti TNI atau polisi.
Mampus!
Ha... Ha... Ha...
Makanya, kalo mau duit ya kerja. Jangan cuma berdiri di putaran balik, tikungan, dan pertigaan saja.
Eit, lupa. Akibat merugikan pengendara, bahkan pernah Pak Ogah ditembak.
Sumpah, saya ga simpati sama sekali. Bahkan, saya berharap, pemerintah bersama kepolisian segera menghapus Pak Ogah dari muka bumi Indonesia ini.
Satu dekade lalu, saya sangat bangga dengan Basuki Tjahaja Purnama yang ingin menghapusnya karena telah mengganggu ketertiban akibat membuat macet kian parah. Sayangnya, Ahok yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jakarta ini dimentahkan kepolisian.
Tepatnya melalui Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi (Kombes) Mulya Budyanto. Menurutnya, keberadaan Pak Ogah malah membantu masyarakat, khususnya pihak kepolisian.
"Kalau tidak ada 'Pak Ogah' tambah macetnya. Memang Pak Ogah yang begitu-begitu harus diberi arahan. Mau diusir pun besok tetap ada di situ dia," ujar Restu pada 2014 silam.
Ha... Ha... Ha...
Mau ketawa tapi takut dosa pas puasa-puasa gini.
Mau sedih, eh inget bahwa negara ini punya mereka.
Kalau sudah begini, saya berharap Pak Ogah mampu menginvasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Bahkan, kalau perlu, gerombolan Hyena itu -yang lebih hina dari Anjing- turut mengatur lalu lintas di depan Istana Presiden yang baru.
Sumpah, jika terwujud, saya sangat bangga dengan negara ini!***
* * *
- Jakarta, 1 April 2024
* * *
Artikel Terkait:
- https://www.roelly87.com/2024/03/terima-kasih-orang-baik-3.html
- https://www.kompasiana.com/roelly87/55091051a33311f6432e3af3/ramadhan-ketika-sang-bos-konveksi-kepusingan-ditagih-thr-pemuda-kampung
- https://www.kompasiana.com/roelly87/54f71562a3331100258b4893/mengusir-pak-ogah-solusi-atau-benci
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.
Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...
Terima kasih :)