TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Juli 2015

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Selasa, 28 Juli 2015

Tujuh Film Terlaris Tahun Ini



MEMASUKI pertengahan 2015, industri perfilman dunia, tepatnya Hollywood dikejutkan dengan melejitnya Jurassic World. Siapa sangka, formula usang yang tercipta dua dekade lalu mampu menenggelamkan beberapa film yang diprediksi bakal merajai box office dengan meraup 1,541,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 20,7 triliun.

Menjelang pergantian tahun, saya menjagokan Avengers: Age of Ultron (AoU) bakal merajai Hollywood. Maklum, prekuelnya saja menempati peringkat tiga daftar film terlaris sepanjang masa versi boxofficemojo.com.

Namun, apa daya, jalinan cerita yang klise dan persebaran rilis yang tidak merata membuat AoU melempem. Tidak hanya gagal menyamakan Marvels The Avengers, bahkan, film yang mengisahkan serbuan Ultron ini pun tak kuasa mengejar Fast and Furious 7 yang jadi penghormatan terakhir untuk Paul Walker.

Bahkan, AoU malah tersisih ke posisi enam daftar film terlaris sepanjang masa dan berada di urutan ketiga dalam list box office 2015. Berikut tujuh film terlaris tahun ini -data per 27 Juli- dengan kurs dolar Amerika Serikat (AS) Rp 13.953.


*      *      *
Jurassic World (ilustrasi Forbes.com)

1. Jurassic World
Produksi: Universal Pictures
Bujet: 150 juta dolar AS 
Box office: 1,541,5 miliar dolar AS  

Mengusung format usang dan pergantian sutradara ternyata tak memengaruhi Jurassic World untuk menjadi raja sepanjang 2015. Setidaknya, hingga saat ini. Lantaran, masih ada beberapa film -semoga tidak PHP- yang bisa menggesernya. Seperti Mission: Impossible - Rogue Nation yang rilis tak lama lagi, Fantastic Four (7 Agustus), Hotel Transylvania 2 (25 September), Steve Jobs (9 Oktober), James Bond: Spectre (26 Oktober), dan yang paling ditunggu: Star Wars: The Force Awakens (18 Desember). Oh ya, jangan lupakan Ant-Man yang masih tayang dan bisa saja secara perlahan berada di peringkat satu!


*      *      *
(Cinemabland.com)

2. Furious 7
Produksi: Universal Pictures
Bujet: 190 juta dolar AS
Box office: 1,511 miliar dolar AS

Satu kalimat yang saya suka dari film ini selain lompatan di puncak gedung: "I don't have friends, i got family". Tewasnya Paul Walker mengingatkan saya pada tragedi Heath Ledger dalam The Dark Knight (Batman) dan Brandon Lee (The Crow). Korelasi ketiganya setelah tewas jelas: Mendongkrak film lebih laris karena empati penonton. Meski begitu, secara action, Furious 7 lumayan bagus. Ya, untuk dinikmati sebagai pop corn movie!
*      *      *
(Marvel.com)

3. Avengers: Age of Ultron
Produksi: Marvel Studios
Bujet: 279 juta dolar AS
Box office: 1,396 miliar dolar AS

Ekspekstasi berlebihan membuat banyak penonton yang kecewa. Ultron yang ga banget, jalan cerita yang masih mengulangi prekuelnya, dan akibat bombardir trailer dan tv spot. Sisi positifnya, banyak film ini masih dibilang untung lantaran berdasarkan rumus box office: Pendapatan (kotor) dikurangi bujet. Tetap saja, bagi petinggi Marvel, perolehan 1,3 miliar dolar itu tergolong mengecewakan. Satu hal bagi saya dan jutaan pria lainnya bisa menyaksikan "trio bening" pada Helen Cho, Natasha Romanoff, dan Scarlet Witch!
*      *      *
(Moviefone.com)

4. Minions
Produksi: Universal Pictures
Bujet: 74 juta dolar AS
Box office: 759 juta dolar AS

Cukup menarik untuk disimak meski muncul dugaan teori konspirasi. Tapi, aksi tiga makhluk berwarna kuning ini memang menggemaskan. Kesuksesan Minions tidak hanya terjadi di negara asalnya saja, melainkan juga di Indonesia. Faktor sutradara yang masih memiliki darah Indonesia dari garis ibu, membantu popularitas Minions selain ucapan "terima kasih".

*      *      *
(People.com)

5. Fifty Shades of Grey
Produksi: Universal Pictures
Bujet: 40 juta dolar AS
Box office: 569 juta dolar AS

Film kontroversial yang sudah disorot bahkan saat syutingnya masih berlangsung. Namun, menurut saya biasa saja. Kebetulan, Fifty Shades of Grey tidak ditayangkan di Indonesia. Saya yang melihat adegan demi adegan melalui kepingan dvd menilai, film ini seperti roman picisan biasa. Bumbu seks? Itu sudah menjadi santapan sehari-hari untuk Hollywood.

*      *      *
(Pixarpost.com)

6. Inside Out
Produksi: Walt Disney Studios
Bujet: 175 juta dolar AS
Box office: 550 juta dolar AS

Satu-satunya film dalam daftar ini yang belum pernah saya tonton. Jadi, tidak ada komentar lebih lanjut.

*      *      *
(Disney.com)

7. Cinderella
Produksi: Walt Disney Studios
Bujet: 95 juta dolar AS
Box office: 539 juta dolar AS

Kisah cinta yang klise namun tetap membuat jutaan penonton larut dalam adegan demi adegan. Ya, Cinderella versi reboot ini memang sangat memesona. Bukan hanya kepiawaian Lily James mengaduk-aduk emosi penonton. Melainkan juga keberanian Disney untuk mendaur ulang film klasik jadi lebih "wah". Setidaknya, berkat Cinderella, Disney (bersama Marvel) mampu bersaing dengan Universal Pictures untuk head to head studio dengan pendapatan tertinggi pada 2015.

*      *      *

Referensi: Box Office Mojo, Weekly Entertainment, Forbes,

*      *      *
Artikel terkait:

Setelah Ultron Giliran Ant-Man Beraksi
- Kehebohan Nonton Minions Bersama
- Lebih Dekat dengan Komunitas Marvel Indonesia
- Age of Ultron Tembus 1 Miliar Dolar AS: Apakah Mampu Mengejar Furious 7?
- Ternyata Thor Bisa Bahasa Indonesia!
Antara Hammer Girl, Palu, dan Senjata Unik Lainnya dalam Film
Ekspekstasi Berlebihan di Film The Raid: Berandal
Komik The Raid: Dari Warna Merah ke Hitam Putih
Barcelona vs Chelsea Mirip Kisah The Raid
Joe Taslim dan Wakil Indonesia di Hollywood
Nostalgia Dua Dekade Jurassic Park
Mencari Hilal: Tontonan Sekaligus Tuntunan Film Berkelas
Ironi Film Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri
Antara Guardian dan Sepinya Penonton Akibat Spiderman
Gempuran Film Horror Berbau Esek-esek di Tengah Lesunya Penonton

*      *      *

- Cikini, 28 Juli 2015

Rabu, 22 Juli 2015

Horor di Jembatan Penyeberangan Kalideres


Melihat sekilas saja sudah membuat saya merinding (sumber foto: dokumentasi pribadi/ @roelly87)


GEMA takbir terdengar merdu sore itu, Kamis, (16/7). Meski Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah baru akan ditentukan selepas maghrib, namun di sekitar kawasan Kalideres, Jakarta Barat, sudah berkumpul remaja dan anak kecil yang memukul bedug. Tak lupa, alunan takbir juga terdengar melalui rekaman kaset atau vcd dari rumah penduduk.

Saat itu, saya kebetulan sedang berada di kawasan Kalideres, untuk mengambil kiriman paket. Berbekal google maps yang terpasang di telepon seluler (ponsel), saya pun mencoba mencari jalan pintas dari Jalan Kamal Raya menuju Kebon Mede. Apa mau di kata, sebagaimana buatan manusia lainnya, aplikasi populer ini pun tak lepas dari kesalahan.

Lantaran, menurut Global Positioning System (GPS) di google maps, dari Kamal Raya ke Kebon Mede tinggal lurus melewati Jalan Kebon 200 dan menembus Jalan Tol Profesor Sedyatmo (Bandara). Namun, ketika persis di pinggir jalan tol, ternyata buntu. Untuk bisa melintasinya sesuai petunjuk google maps, saya harus melewati Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang terlihat sangat horor.

Sambil berpikir sejenak, karena saya kembali di-PHP google maps lantaran di layar ponsel saya terdapat jalan tembus yang ternyata hanya JPO. Tentu saja, sesuai namanya, JPO itu ditujukan khusus bagi orang dan bukan kendaraan, seperti sepeda motor yang saya pakai. Tapi, setelah saya perhatikan dengan seksama, ternyata banyak juga sepeda motor yang melintasi JPO itu.

Saya  pun sempat tergoda untuk kembali melanjutkan perjalanan dengan menaiki sepeda motor seperti yang dilakukan beberapa pengendara lainnya. Hanya, saat itu, saya masih bisa berpikir lebih lanjut. Sebab, untuk melewati JPO itu kondisinya sangat curam. Memang sih, beberapa pengendara yang lewat saya perhatikan tetap nyaman melewati jembatan penyeberangan tersebut.

Namun, setelah berhitung lebih lanjut, akhirnya saya lebih memilih memarkirkan sepeda motor saya di dekat mini market sekitar. Kebetulan, rumah teman yang saya tuju untuk mengambil paket tidak jauh dari JPO. Sebenarnya, bisa saja saya tetap melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor untuk melewati jembatan penyeberangan itu.

Hanya, melihat tanjakannya saja sudah membuat saya agak ragu, terutama saat turunan yang begitu curam. Apalagi, saya khawatir jika kurang keseimbangan saat naik dan turun dengan sepeda motor membuat saya jatuh. Yang ada, niatnya ingin tidak capek -karena jalan kaki- malah membuat saya tidak bisa berlebaran karena berujung di rumah sakit.

*      *      *

Beberapa hari kemudian, saya sempat membaca berita di Viva.co.id, mengenai kecelakaan beberapa pengendara sepeda motor yang melintasi JPO. Yang menjadi pertanyaan, kenapa pemerintah DKI Jakarta masih membiarkan JPO untuk dilewati sepeda motor. Padahal, setahu saya, JPO itu seharusnya hanya untuk dilewati orang saja.

Meski, ada saja pengendara yang bandel atau nekat -saya nyaris seperti itu- dengan alasan mempersingkat perjalanan dan waktu (Kompas.com). Padahal, jika terjadi sesuatu seperti kecelakaan akibat licin atau kurang keseimbangan, tentu merugikan si pengendara sendiri. Namun, ini juga -setahu saya- karena tidak ada aturan tertulis dari pemerintah, Dinas Perhubungan, dan Kepolisian mengenai JPO khusus untuk orang.

Mengutip info dari laman HukumOnline, mengenai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, secara tersirat, disebutkan JPO memang khusus untuk dilewati orang. Alias, pengendara sepeda motor tentu tidak boleh melintasinya. Di sisi lain, jamaknya segala sesuatu di Indonesia ini, ya peraturan dibuat untuk dilanggar.

Kalau sudah terjadi kecelakaan, tentu yang dirugikan pengendara motor itu sendiri meski memang salah dengan dalih enggan jauh untuk memutar jalan. Namun, alangkah baiknya jika pemerintah dan pihak terkait yang memiliki kewenangan, tidak menutup mata begitu saja. Sebab, bagaimana jika ada keluarga atau kerabat dari mereka yang nekat melintasi JPO dan berujung kecelakaan?***

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG
PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

Bagian Ketujuh
Fasilitas Pendukung
Pasal 39
(1) Fasilitas pendukung meliputi fasilitas pejalan kaki, parkir pada
badan jalan, halte, tempat
istirahat, dan penerangan jalan.
(2) Fasilitas pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari:
a. trotoar;
b. tempat penyeberangan yang dinyatakan dengan marka jalan dan atau rambu-rambu;
c. jembatan penyeberangan;

Bagian ketiga
Berhenti dan Parkir
Pasal 66
(1) Setiap jalan dapat dipergunakan sebagai tempat berhenti atau
parkir apabila tidak dilarang
oleh rambu-rambu atau marka atau tanda-tanda lain atau di
tempat-tempat tertentu.
(2) Tempat-tempat tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu:
a. sekitar tempat penyeberangan pejalan kaki, atau tempat
penyeberangan sepeda yang
telah ditentukan;
b. pada jalur khusus pejalan kaki;
c. pada tikungan tertentu;
d. di atas jembatan;
e. pada tempat yang mendekati perlintasan sebidang dan persimpangan;
f. di muka pintu keluar masuk pekarangan;
g. pada tempat yang dapat menutupi rambu-rambu atau alat pemberi
isyarat lalu lintas;
h. berdekatan dengan keran pemadam kebakaran atau sumber air sejenis.

Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”)

- Berdagang, berusaha di bagian jalan/trotoar, halte, jembatan penyeberangan orang dan tempat-tempat untuk kepentingan umum (Pasal 25 ayat (2));
- Membeli barang dagangan pedagang kaki lima pedagang yang berusaha di bagian jalan/trotoar, halte, jembatan penyeberangan orang dan tempat-tempat untuk kepentingan umum (Pasal 25 ayat (3));
- Menggunakan jasa kendaraan bermotor/tidak bermotor yang tanpa seizin Gubernur digunakan sebagai sarana angkutan umum (Pasal 29 ayat (3)).

*      *      *
Saya tidak bisa membayangkan jika kurang keseimbangan... (@roelly87)

*      *      *
Sekeluarga (suami, istri, dan balita) yang melintasi JPO (@roelly87)

*      *      *
Pemandangan dari atas JPO (@roelly87)

*      *      *
Lokasi JPO di peta via Google Maps (@roelly87)

*      *      *
Referensi: HukumOnline.com, Kompas.com, Viva.co.id, PoskotaNews.com, Merdeka.com

Artikel terkait:
- GPS: Petunjuk Arah atau Menyesatkan di Jalan?
- Menelusuri "Lorong Waktu" di Masjid Raya Baitussalam
- Mengunjungi Masjid Hidayatullah yang Bersejarah dan Dikelilingi Gedung Bertingkat
- Tujuh Tempat Nongkrong Asyik di Jakarta
- Tujuh Taman Asyik di Jakarta yang Layak Dikunjungi
- Menikmati Eksotisnya Candra Naya yang Tersembunyi
- Resensi Buku Jelajah Negeri Sendiri: Bertualang ala Reporter Warga
- Apakah Jakarta Layak Dibenci?
- Alasan Cinta Jakarta
*      *      *

- Cikini, 22 Juli 2015

Senin, 20 Juli 2015

Di Bandung, Jokowi Kalah Populer Dibanding Ridwan Kamil


Antre sebelum foto di depan patung Ridwan Kamil (sumber foto: dokumentasi pribadi/ @roelly87)

JOKO Widodo atau biasa disapa Jokowi dan Ridwan Kamil (kang Emil) merupakan dua dari sedikit tokoh populer nan bersahaja di Tanah Air. Yang satu merupakan presiden negeri ini dan satunya lagi walikota Bandung.

Kebetulan, dalam satu dekade terakhir, perjalanan karier keduanya melejit pesat. Jokowi mengawalinya sebagai walikota Solo, lalu menjabat gubernur DKI Jakarta, dan kini presiden Republik Indonesia (RI). Sementara, kang Emil kini sedang merintis karier di pemerintahan dengan memimpin kotamadya Bandung.

Sudah bukan rahasia umum lagi jika mereka termasuk dalam daftar pemimpin populer di negeri ini bersama Tri Rismaharini yang menjabat sebagai walikota Surabaya dan Basuki Tjahaya Purnama (gubernur Jakarta).

Yang menarik, meski "statusnya" lebih tinggi dibanding ketiga tokoh tersebut, bukan berarti Jokowi -saat ini- lebih dikenal rakyatnya di seluruh penjuru nusantara. Banyak faktor yang membuat popularitas pria kelahiran Solo, 21 Juni 1961 ini kian menurun dibanding saat baru menjabat presiden. Itu yang saya simak melalui berbagai berita di media online, televisi, dan cetak.

Bahkan, saya menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri betapa Jokowi sebagai presiden RI kalah populer dibanding kang Emil! Momentum itu terjadi pada hari kedua Idul Fitri, Sabtu (18/7). Tepatnya, ketika saya singgah di Museum Konperensi Asia Afrika (KAA), Jalan Asia Afrika, Bandung.

Saat itu, tampak ratusan masyarakat lebih antusias untuk foto bersama dengan patung kang Emil. Padahal, di sekitarnya, terdapat patung dari beberapa pemimpin negara, termasuk Jokowi. Namun, mayoritas warga, khususnya yang berasal dari Bandung cenderung berebut foto dengan kang Emil.

Wajar saja mengingat kang Emil bisa disebut sebagai salah satu calon pemimpin RI di masa depan. Bahkan, pemilik akun twitter @ridwankamil ini dicalonkan beberapa pihak untuk bersaing dengan Jokowi pada pemilu 2019. Tak jarang, sosok yang dua tahun lalu diusung Prabowo Subianto sebagai walikota ini mulai dilirik untuk menggantikan Basuki pada pilkada Jakarta 2017.

*       *       *

Namun, sebelum menggapai posisi DKI 1 dan juga RI 1, kang Emil harus bisa membenahi Bandung terlebih dulu. Sebab, jangan sampai pria berusia 43 tahun ini menjadi pemimpin yang prematur. Yaitu, di tingkat kotamadya belum beres, sudah ingin membenahi ibu kota, bahkan negara.

Maklum, meski menuai pujian dalam dua tahun kepemimpinannya di Bandung, tapi masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi kang Emil. Terutama mengenai semrawutnya perencanaan ruang dan tata kota yang meliputi kemacetan, pedagang kaki lima (PKL), parkir liar, hingga alihfungsi trotoar, halte, dan zebra cross.

Fakta itu yang saya lihat saat libur lebaran kemarin mengunjungi Bandung untuk bersilaturahmi dengan keluarga. Menurut saya, kota yang sejak dulu dijuluki sebagai Paris van Java ini, bak pedang bermata dua. Di satu sisi, Bandung sudah bersolek dengan dibangunnya beberapa taman yang ikonik seperti Taman Jomblo, Taman Film, Taman Fotografi, dan sebagainya.

Namun, di sisi lainnya, masih banyak lobang yang harus ditambal-sulam. Entah itu kriminalitas, vandalisme, hingga banjir untuk beberapa daerah tertentu yang menjadi ironis mengingat Bandung berada di ketinggian. Sementara, mengenai kemacetan, jangan ditanya lagi. Lantaran, angkot sudah seperti raja jalanan yang berhenti dan menaikkan penumpang seenak jidat sopirnya saja, PKL menguasai trotoar, zebra cross, dan jembatan penyebarangan. Alhasil, pejalan kaki seperti anak tiri yang keberadaannya nyaris tidak mendapat tempat lagi.

Semoga saja, kang Emil mampu membenahi Bandung terlebih dulu sebagai ibukota Jawa Barat, sebelum mendapat mandat jadi DKI 1, atau bahkan memimpin negeri ini. Setuju?

*       *       *

Patung presiden yang sendirian (@roelly87)

*       *       *
Sekeluarga foto bersama memanfaatkan libur lebaran (@roelly87)

*       *       *
Di balik patung pemimpin dan calon (@roelly87)

*       *       *
Alihfungsi zebra cross di samping Museum Konperensi Asia Afrika (@roelly87)

*       *       *
Salah satu bangunan bersejarah di kota Bandung (@roelly87)

*       *       *

*       *       *
Artikel Terkait:


*       *       *

- Kiara Condong, 20 Juli 2015

Kamis, 16 Juli 2015

Jika Ini Ramadan Terakhir


Jika ini Ramadan terakhir
Kami mohon untuk diberi petunjuk
Kami berharap dilapangkan jalan menuju-Mu
Kami tak sanggup lagi untuk berkata-kata

Jika ini Ramadan terakhir
Kami sadar
Bahwa kami tidak layak ke Surga-Mu
Tapi, kami juga takut akan siksa Neraka-Mu

Jika ini Ramadan terakhir
Terimalah ibadah kami
Khususnya kedua orangtua kami
Dan berikanlah kemudahan kepada hambamu sekeluarga

Jika ini Ramadan terakhir
Dari lubuk hati yang paling dalam
Sejujurnya kami masih ingin merasakan suasana seperti ini
Pada malam-malam di bulan puasa

Jika ini Ramadan terakhir
Betapa nikmat yang Engkau berikan
Di bulan ini malam jadi siang
Dan siang tetaplah siang

Jika ini Ramadan terakhir
Nikmat mana yang berani kami dustakan
Betapa kami bisa berkumpul dengan keluarga jelang hari nan fitri
Menyaksikan indahnya perjalanan umat yang ingin pulang kampung

Jika ini Ramadan terakhir
Sejujurnya kami mengharap lebih
Kami ingin bertemu dengan beberapa Ramadan berikutnya
Sahur, buka bersama, dalam suasana kekeluargaan

Jika ini Ramadan terakhir
Tentu kami sedih
Karena tidak akan menemukan rasa penasaran
Untuk mendapatkan malam-malam kemuliaan di sepertiga akhir bulan

Jika ini Ramadan terakhir
Kami tidak tahu
Dan tentu tidak akan mengetahui
Apakah ibadah dan amalan selama nyaris 30 hari ini bermakna

Jika ini Ramadan terakhir
Sesungguhnya kami enggan mengharapkan seperti itu
Berat untuk melukiskan kata-kata pisah
Seperti mereka yang telah mendahului kami

Jika ini Ramadan terakhir...

*       *       *




*       *       *

*       *       *

*       *       *

*       *       *


*       *       *

Artikel Terkait:

2011

2012

2013

2014

2015
Mencari Hilal: Tontonan Sekaligus Tuntunan Film Berkualitas
Hari Ini Setahun yang Lalu: Selamat Jalan Bang Faqih
Tujuh Permainan Tradisional yang Asyik untuk Ngabuburit
Natal Kini Tanpa Nenek...
Kampuang Nan Jauh di Mato

*       *       *
- Jakarta, 16 Juli 2015

Rabu, 15 Juli 2015

Tujuh Permainan Tradisional yang Asyik untuk Ngabuburit


Permainan dampu dengan melompati kotak demi kotak (sumber foto: Dokumentasi pribadi (www.roelly87.com)

SORE itu, Sabtu (11/7) suasana di kediaman saya sangat ramai. Di seberang jalan ada yang bersiap menunggu bus untuk pulang kampung (pulkam). Begitu juga di depan gang, terdapat warung yang dipenuhi antrean pembeli kolak. Sementara, tak jauh, berkumpul beberapa bocah sedang asyik bercanda. Usut punya usut, ternyata mereka tengah mengikuti salah satu permainan tradisional: Dampu.

Senang rasanya melihat keasyikan mereka bermain dampu di tengah derasnya teknologi. Maklum, saat ini -setahu saya- sudah jarang ada anak kecil yang masih melakukan permainan tradisional. Itu akibat gencarnya teknologi, hingga mayoritas lebih memilih untuk bermain playstation, ke warnet, atau larut dengan gadgetnya masing-masing.

Kebetulan, saat itu sekitar pukul 16.00 WIB, saya sedang mengajak adik saya yang paling kecil, Putry, untuk ngabuburit, alias menunggu waktu berbuka puasa. Jadi, saya pun dengan senang hati mengiyakan permintaan adik saya untuk nimbrung sejenak. Ya, selain bulan puasa (Ramadan), kapan lagi bisa menyaksikan para bocah yang sedang bermain dampu sambil ngabuburit?

Seketika, saya jadi teringat dengan masa kecil pada belasan tahun silam. Yaitu, ketika teknologi belum merambah anak seusia kami. Biasanya, nyaris setiap sore, kampung kami ramai dipenuhi anak-anak yang sedang ngabuburit di tengah lapang. Entah itu, bermain sepak bola, bulu tangkis, tak benteng, dan sebagainya.

Berikut, tujuh cara asyik kami lakukan sambil ngabuburit:

- Main Dampu
Saya yakin di antara pembaca artikel ini, sudah lupa dengan cara bermain dampu? Hayo ngaku! He he he. Sama kok, saya juga lupa-lupa ingat. Kalau saja adik saya tidak menunjukkan cara melempar batu untuk melompati garis demi garis, mungkin saya masih bingung. Oh ya, dampu itu permainan yang membutuhkan tenaga untuk melompat baris demi baris usai melempar batu ke kotak tertentu. Kalau tidak salah, ada sembilan kotak yang harus kita lewati dengan kaki tidak menyentuh garis. Pemenangnya, yang piawai melompat secara bolak-balik tanpa menginjak garis. Bingung? Sok atuh, silakan dipraktekkan sendiri biar ga bingung mumpung masih ada dua hari puasa.

- Monopoli
Ini salah satu permainan favorit kami waktu masih kecil hingga kini di antara kami sudah punya anak kecil lagi. Dulu, saya dan teman sebaya memakai papan monopoli yang terbuat dari kertas. Paling kesel kalo masuk penjara. Tapi, senengnya pas dapat Kesempatan dan Dana Umum. Dekade 1990-an, harga monopoli masih lumayan mahal bagi seukuran kami. Alternatifnya, yang lebih merakyat murah meriah ya, ludo sama ular tangga.

- Bulu Tangkis
Rasanya, dulu bangga kalo bisa main olahraga tepok bulu ini. Apalagi sore hari yang ramai di tanah lapang dan ketika remaja berharap dilihat gadis tetangga pemandu bakat karena kediaman kami dekat sebuah Gelanggang Olah Raga (GOR). Oh ya, selain memakai raket, kami juga biasa menggunakan triplek yang sudah dibentuk atau rotan pemukul kasur. Permainannya simpel, bisa sendiri (single), berdua (double) tuh kan bulu tangkis aja ada yang berdua, masa kamu masih jomblo! atau ganda campuran.

- Sepak Bola
Permainan sekaligus olahraga sejuta umat ini sepertinya tidak perlu dijelaskan lagi. Sebab, banyak cara untuk bisa memainkannya. Misalnya, ketika lapangan becek tidak ada go-jek akibat hujan, kami tetap bermain di gang atau parkiran. Tiang gawangnya? Bisa memakai kaleng yang ditengahnya ditancapkan kayu berisi semen. Atau, paling ekonomis dengan batu dan sendal.

- Benteng
Jujur saya sudah lupa dengan permainan ini. Pasalnya, sudah belasan tahun tidak memainkannya lagi. Tapi, permainan yang di kampung kami disebut "Tak Benteng" ini seru juga lho. Kita bisa lari-larian gitu. Mirip dengan petak umpat dan sebagainya.

- Egrang
Mengingat permainan ini jadi terbayang nostalgia cinta monyet remaja. Kalau tidak salah, saya bisa bermain egrang saat sudah berseragam putih biru, alias bukan anak-anak lagi. Tapi, di kampung nan jauh di mato saya dulu, permainan ini paling sering dimainkan anak-anak. Apalagi, caranya relatif mudah. Kita hanya butuh keseimbangan agar bisa berjalan dengan dua batang bambu yang di bawahnya terdapat pijakan kaki. Dulu itu, berasa keren jika bisa bermain egrang di tanah lapang yang tidak hanya saat ngabuburit saja, melainkan juga sehabis sahur.

- Bekel
Salah satu permainan yang paling sering saya dan teman sebaya lakukan di teras rumah yang menghadap ke lapangan. Tapi, kalau ingat permainan  yang terbuat dari bola karet disertai biji bekel yang terbuat dari tembaga atau kuningan (lupa). Sayangnya, saya punya memori kelam dengan permainan ini akibat stigma "harus perempuan" yang memainkannya. Lantaran, akibatnya, ada teman yang -maaf- hingga kini,  jadi kemayu akibat konon sering berbaur dengan anak perempuan bermain bekel.

*      *      *
Mengambil batu agar tidak terkena garis (@roelly87)

*      *      *

Ada yang bisa hitung berapa kotak? (@roelly87)

*      *      *
*      *      *

- Cikini, 15 Juli 2015

Senin, 13 Juli 2015

Ant-Man Rilis 16 Juli, Bagaimana "Nasib" Perfilman Indonesia?


Yuk, dukung perfilman nasional dengan menontonnya pada pekan pertama (@roelly87)


AKHIRNYA, yang ditunggu-tunggu tiba: Marvel Studio resmi merilis Ant-Man. Menurut info dari laman resminya, film bertema superhero itu akan tayang perdana serentak di seluruh nusantara pada Kamis, 16 Juli 2015. Sebagai penggemar film, tentu saya senang karena Indonesia kembali mendapat "kehormatan" rilis sehari lebih dulu dibanding negara asalnya, Amerika Serikat (AS).

Apalagi, Ant-Man merupakan pamungkas dari fase kedua Marvel Cinematic Universe (MCU). Fase ketiga dibuka tahun depan dengan Captain America: Civil War yang di AS tayang 6 Mei 2016. Sekadar informasi, tokoh utama Ant-Man, Hank Pym (diperankan Michael Douglas) dalam versi komiknya merupakan salah satu pendiri The Avengers. Yaitu, kumpulan superhero terbaik di kolong langit.

Wajar, jika banyak yang menantikan kehadiran dari film berdurasi 117 menit ini. Khususnya saya yang tak sabar untuk melengkapi daftar film MCU yang pernah saya tonton di layar perak sejak Iron Man pada 2008 hingga The Avengers: Age of Ultron, 22 April lalu.

*       *       *

Di sisi lain, rilis Ant-Man yang bertepatan sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri -yang kemungkinan jatuh pada 17 Juli setelah dilaksanakan sidang istbat- membuat saya khawatir. Kenapa? Sebab, dengan begitu, bisa dikatakan pangsa perfilman nasional akan tergerus oleh film luar.

Saya tidak menafikan diri bahwa saya memang menyukai produk luar (asing). Mulai dari film, gadget, kendaraan, dan sebagainya. Namun, tayangnya Ant-Man pada 16 Juli ini bakal menyedot perhatian penonton. Maklum, setiap libur Lebaran, biasanya kita dibanjiri perfilman lokal. Entah itu bertema religi, drama, petualangan, komedi, dan sebagainya (kecuali esek-esek). Untuk tahun ini ada Mencari Hilal, Surga yang Tak Dirindukan, Lamaran, dan Comic 8: Casino King.

Berdasarkan pengalaman saya mengamati perkembangan perfilman nasional dalam lima tahun terakhir, saya berani jamin, tayangnya Ant-Man akan memengaruhi pendapatan empat film lokal tersebut. Jelas, ini sangat merugikan industri perfilman nasional yang berupaya bangkit dari keterpurukan. Mengingat, saat ini bioskop yang ada di Tanah Air lebih didominasi film Hollywood. Sekalinya ada film lokal, malah film horror dengan bumbu esek-esek yang tidak jelas.

Bahkan, menurut data yang saya kutip dari situs filmindonesia.or.id, rata-rata film lokal yang tayang di bioskop hanya mampu bertahan selama sepekan! Tentu, itu sangat menyedihkan mengingat pekan pertama sangat berpengaruh terhadap bertahannya film Indonesia di bioskop.

Mirisnya, dua tahun lalu, saya mengamati ada film lokal yang tayang kurang dari sepekan (baca Ironi Film Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri). Yang tak kalah menyedihkan, tahun lalu, saat menyaksikan Guardians, gedung bioskop hanya terisi enam orang!

*       *       * 

Untuk itu, saya berharap pemerintah menerapkan regulasi terkait jadwal rilis film luar demi mengakomodasi sineas lokal. Biar bagaimanapun, Lebaran merupakan ajang pelaku industri perfilman nasional untuk meraup untung karena masyarakat sedang menikmati liburan. Jangan sampai, mereka malah menjadi "buntung" karena pendapatannya digerus film luar.

Salah satu contoh menarik, terjadi pada Lebaran tahun lalu ketika salah satu film Marvel Studio, Guardians of the Galaxy. Seharusnya film tersebut rilis di Indonesia pada Lebaran (bertepatan dengan tayang di AS 21 Juli 2014) namun akhirnya diundur hingga beberapa pekan untuk memberikan kesempatan kepada perfilman lokal.

Lalu, apakah kita, tepatnya saya tidak boleh menyaksikan Ant-Man? Tentu saja boleh. Namun, waktunya setelah libur Lebaran. Ini menjadi solusi demi mengakomodasi industri perfilman nasional yang pendapatannya sangat bergantung pada pekan pertama. Toh, kita tentu tidak ingin hanya menjadi "penonton" di negeri sendiri.

Setelah libur Lebaran berakhir yang ditandai dengan masuk kerja dan sekolah, baru kita menyaksikan film luar seperti Ant-Man dan sebagainya. Yuk, dukung perfilman nasional dengan menontonnya pada pekan pertama!
*       *       *

Sebelumnya:
- Mencari Hilal: Tontonan Sekaligus Tuntunan Film Berkelas
- Setelah Ultron Giliran Ant-Man Beraksi
- Ironi Film Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri
- Antara Guardian dan Sepinya Penonton Akibat Spiderman
- Gempuran Film Horror Berbau Esek-esek di Tengah Lesunya Penonton

*       *       *

- Cikini, 13 Juli 2015

Minggu, 12 Juli 2015

Tujuh Perlengkapan Mudik yang Harus Dibawa dengan Sepeda Motor


Servis sepeda motor menjelang mudik Lebaran (Sumber foto: Dokumentasi pribadi/ www.roelly87.com)

JAKARTA menjelang Hari Raya Idul Fitri kian lenggang. Saat ini (H-5) nyaris jalanan di ibukota yang biasanya macet menjadi sepi. Itu karena mayoritas warganya sudah berangkat untuk pulang kampung (pulkam). Ya, mudik merupakan rutinitas tahunan bagi sebagian besar rakyat Indonesia dengan tujuan bersilaturahmi untuk mengunjungi keluarga di kampung halamannya.

Nah, bagaimana persiapan Anda saat ini? Apakah sudah sampai di kampung halaman, sedang di perjalanan, atau tengah mempersiapkan diri untuk pulkam. Baik itu membawa kendaraan pribadi, misalnya mobil dan sepeda motor atau menggunakan angkutan umum seperti bus, kereta api, kapal laut, hingga pesawat.

Menjelang lebaran ini, saya pun tengah mempersiapkan untuk mudik. Tapi, bukan pulkam karena saya dan orangtua sama-sama tinggal di Jakarta. Melainkan, untuk mengunjungi keluarga besar di Kota Bandung. Tepatnya, seusai kami menunaikan salat Ied dan bersilaturahmi dengan warga sekitar di kediaman saya. Rencananya, saya akan menggunakan sepeda motor. Sementara, orangtua dan adik via kereta api yang tiketnya sudah dipesan online 90 hari sebelum lebaran.

Alasan saya lebih memilih sepeda motor karena saya menikmati suasana sepanjang perjalanan. Entah itu lewat Puncak atau Jonggol. Namun, saya cenderung memilih yang pertama karena pemandangannya lebih menarik. Terutama di Puncak Pass sambil menyantap ubi cilembu sambil beristirahat sejenak di Masjid Atta Awun demi menikmati panorama alamnya yang memesona. Sementara, jalur Jonggol bagi saya merupakan alternatif saja jika sedang memburu waktu mengingat kawasan Jonggol masih relatif sepi.

Untuk itu, sepekan sebelum lebaran, tentu saya harus mempersiapkan sesuatunya. Yang utama, jelas melakukan servis sepeda motor disertai ganti oli dan beberapa spare part lainnya. Ini penting, karena, sepeda motor merupakan "nyawa kedua" saya untuk menunjang kegiatan sehari-hari.

*      *      *
Selain servis motor dan pergantian oli, saya juga wajib mempersiapkan beberapa hal lainnya sebelum mudik. Maklum, jarak dari kediaman saya menuju Bandung memerlukan waktu sekitar lima hingga enam jam. Untuk itu, sejak akhir pekan lalu, saya mencoba "mencicil" berbagai keperluan yang akan dibawa agar pada hari H tidak repot mencarinya lagi karena sudah dipastikan banyak toko yang libur.

1. Semprotan Cabe atau Merica
Mungkin banyak yang bertanya, kenapa saya harus bawa barang seperti ini. Sebab, dalam perjalanan, kita tidak akan tahu apa yang terjadi. Untuk itu, sejak dulu, saya membiasakan diri untuk membawa botol yang diisi serbuk cabe atau merica. Ya, sekadar demi antisipasi jika terjadi apa-apa di jalan raya.

2. Jerigen 5 Liter 
Jika sedang melakukan perjalanan jauh (ke luar kota) saya berusaha membawa jerigen lima liter yang berisi bensin di cantolan sepeda motor. Gunanya jika bahan bakar minyak (BBM) di tangki kendaraan saya habis, sementara Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sulit ditemui, minimal saya memiliki cadangan agar sepeda motor yang kita kendarai tidak mogok di tengah hutan.

3. Perlengkapan Obat
Ini salah satu yang terpenting. Maklum, naik sepeda motor rentan kena angin. Untuk itu, saya selalu membekali beberapa obat seperti pereda masuk angin, minyak kayu putih, dan obat sakit kepala di tas saya. Tak ketinggalan, alkohol dan plester penutup luka untuk berjaga-jaga jika terjadi insiden seperti yang saya alami beberapa tahun silam.

4. Pakaian Berlapis
Di Jakarta memang cuacanya panas. Namun, ketika memasuki Bogor hingga Puncak, sangatlah dingin. Untuk itu, pakaian berlapis seperti jaket dan sweeter sangat berguna untuk mengurangi masuk angin. Tidak ketinggalan, sarung tangan dan masker agar wajah kita tidak kusam.

5. Cabe Rawit atau Sambel
Saya percaya dengan pepatah yang mengatakan, "di sekitar ular berbisa tinggal, terdapat tumbuhan yang dapat dijadikan penawarnya". Alias racun dilawan racun. Ya, salah satu musuh utama pengendara sepeda motor, khususnya saat mudik adalah kantuk. Jelas, itu membahayakan jika kita paksakan untuk tetap mengendarai sepeda motor dalam mata yang kurang lima watt. Untuk itu, saya punya solusi dengan mengkonsumsi cabe rawit atau sambel. Gunanya, sebagai peredan (sementara) kantuk agar bisa melanjutkan perjalanan atau menuju rest area terdekat.

6. Gadget
Untuk yang ini mungkin tidak perlu dijelaskan lagi. Lantaran, zaman sekarang, hampir setiap individu memiliki gadget. Terutama telepon seluler (ponsel). Sebelum berangkat, malam harinya saya berusaha mengisi daya baterai hingga penuh agar ketika dalam perjalanan tidak direpotkan dengan ponsel yang tiba-tiba mati. Selain itu, saya juga harus membawa lebih dari satu SIM card. Gunanya, jika sinyal di provider biasanya kurang kuat, kita punya cadangan lainnya agar tetap bisa berkomunikasi.

7. Uang Receh
Ini pun tak kalah pentingnya. Sebab, zaman sekarang, kita butuh uang receh untuk berbagai hal. Misalnya, ke toilet, bayar parkir, tambah angin ban sepeda motor atau penitipan sendal dan sepatu. Untuk itu, saya sudah membekali uang receh dengan nominal seribuan dan dua ribuan di tas. Satu hal lagi, biasanya saya menaruh "uang lupa" di jok sepeda motor yang berkisar hingga Rp 100.000. Itu diperlukan jika sepeda motor saya bocor dan saya punya dana cadangan untuk melakukan penambalan ban dalam atau ganti baru.

*      *      *

Ganti oli sangat penting agar mesin kendaraan awet
*      *      *

- Cikini,  12 Juli 2015

Sabtu, 11 Juli 2015

Selamat Ulang Tahun Pak TeDe


Thamrin Dahlan saat peluncuran buku perdana (sumber foto: dokumentasi pribadi/ www.roelly87.com)
"SEBAGAI pensiunan Polri, saya bangga bisa bergabung dengan kalian sesama blogger. Bagi saya, menulis di blog itu tidak hanya mengisi hari-hari setelah pensiun. Atau juga demi mengatasi kepikunan seperti yang dialami orang seusia saya. Melainkan, menulis di blog itu agar bermanfaat bagi pembaca. Saya bangga bisa disebut sebagai blogger."

Pernyataan itu diungkapkan rekan blogger Thamrin Dahlan, tiga tahun lalu. Tepatnya ketika pria asal Jambi ini meluncurkan buku perdana, "Bukan Orang Terkenal" di Rumah Sakit Kepolisian Pusat Dokter Sukanto, Jakarta Timur, 7 Juli 2012. Acara tersebut bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-60 dari sosok yang akrab disapa pak "Te-De" ini.

Sebagai blogger, saya bangga bisa kenal sekaligus menjalani persahabatan dengannya. Meski usianya terpaut jauh, namun tidak menjadi masalah. Saya tetap menghormatinya sebagai blogger senior sekaligus salah satu mentor saya untuk berkecimpung di dunia blog. Sebaliknya, pak TeDe pun senang bisa berbaur dengan saya dan rekan-rekan blogger lainnya yang masih muda.

Mungkin, ini yang dinamakan sebagai persahabatan: Tak pandang usia, jenis kelamin, ideologi, dan sebagainya. Yang jelas, selama masih hobi menulis di blog, kita harus bangga disebut blogger: Kita adalah blogger, blogger adalah kita!

*      *      *
PERSAHABATAN kami bermula saat kami sama-sama menghadiri launching Kompas TV di Balai Sidang Jakarta (JCC) pada Jumat, 9 September 2011. Kebetulan, kami mendapat undangan eksklusif sebagai blogger dari Kompasiana. Sejak itu, saya dan pak TeDe kerap sering bertemu. Baik dalam acara yang diadakan Kompasiana, komunitas blogger, dan sebagainya.

Termasuk ketika beliau mengajak saya bergabung dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk proyek penulisan artikel pada pertengahan Agustus 2012. Awalnya, mendengar kata "BNN", saya cenderung skeptis. Maklum, saya sering mendengar cap buruk dari instansi pemerintah itu dalam menangani kasus narkoba. Namun, pak TeDe dengan sabar menjelaskan lebih lanjut. Bahwa, gerakan dari BNN itu bertujuan mulia.

Kebetulan, selain pensiunan Polri dengan pangkat Komisaris Besar (Kombes), beliau juga lama berkecimpung di BNN sebagai Direktur Pasca Rehabilitasi. "Ayo rul, kita kampanyekan blogger peduli narkoba bersama BNN," tutur pak TeDe dalam pertemuan yang terjadi di Pusat Grosir Cililitan (PGC) bersama rekan blogger Aji Najiullah Thaib yang merupakan sineas dan Shulhan Ramaru (mantan admin Kompasiana).

Setahun berselang, tepatnya Desember 2013, beliau kembali mengajak saya untuk bekerja sama dengan BNN. Kali ini, skalanya lebih besar dengan melibatkan puluhan blogger untuk tergabung dalam proyek 10.000 halaman artikel bertema pencegahan narkoba. Sayangnya, proyek itu terputus pada pertengahan 2014 lantaran dana yang tersedia dialihkan pemerintah.

Meski begitu, hubungan saya dan pak TeDe beserta BNN tetap terjalin baik. Sebagai blogger, saya sering mendapat undangan dan seminar dari instansi yang bermarkas di Cawang tersebut. Termasuk saat BNN mengadakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang diadakan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan (4/2), yang dihadiri Kepala BNN Anang Iskandar dan Presiden Joko Widodo.

*      *      *

"SAYA membiasakan menulis di blog itu sehari satu artikel. Waktunya fleksibel, bisa itu pagi hari, sebelum mengajar, atau setelah main tenis. Di usia saya ini, saya harus terus aktif dalam berbagai kegiatan. Untuk itu, saya senang jika ada mendapat undangan di acara blogger. Sebab, dari situ, saya bisa mendapat pengetahuan lebih dan menambah persahabatan di dunia nyata," kata pak TeDe saat kami bertemu pada acara Kompasianival 2013 di Grand Indonesia.

Ya, kini beliau sudah memasuki usia 63 tahun. Namun, semangatnya sebagai blogger jauh mengalahkan saya yang masih muda hingga membuat saya kian kagum. Pak TeDe bukan hanya piawai dalam menulis reportase. Melainkan juga hebat dalam membuat opini melalui analisisnya yang tajam. Bahkan, pak TeDe tak segan menebarkan virus menjadi blogger kepada mahasiswa dan anak didiknya. Agar, sedari muda, mereka dibiasakan menulis di blog sebelum akhirnya kelak menjadi penulis hebat.

Selamat ulang tahun yang ke-63, pak. Teruslah menginspirasi kami.

*      *      *
Celoteh Kompasianer TeDe (@roelly87)

*      *      *
Bersama rekan-rekan blogger (@roelly87)

*      *      *
Bersama Aji dan Shulhan (@roelly87)

*      *      *
Diskusi dengan Kepala BNN Anang Iskandar dan rekan blogger (@roelly87)

*      *      *
Workshop BNN darurat narkoba (@roelly87

*      *      *

*      *      *

*      *      *

- Cikini, 11 Juli 2015