TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Januari 2022

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Jumat, 28 Januari 2022

Karena Customer adalah Raja

Catatan Harian Ojol (CHO) VII

Karena Customer adalah Raja

Ilustrasi @roelly87


POV Tuti

"WOI... Pok. Sibuk amat."

"Biasa dia mah. Jam segini, asyik Drakoran. Paling juga, ntar nyesel sendiri pas ga sadar orderan lewat."

"Yah, maklum... Puber keempat."

Ha... Ha... Ha...

Riuhnya, percakapan tiga makhluk aneh penunggu basecamp ini. Ekalaya, Irawan, dan Dresta.

Ketiganya bersama Jayadrata merupakan pemilik secara de facto, basecamp ini. Sekaligus, jadi grup lenong ga jelas.

Kadang, sih gw jkutan juga, he he he. Biar kata udah mau kepala empat, kalo ngumpul bareng mereka jadi ga inget umur lagi.

Intinya, rame kalo sama keempat ojol ini. Meski cuma gw yang cewe, tapi mereka ga ngebeda-bedain.

Banyak pengalaman gw bareng keempatnya. Mulai dari kegoblokan, lucu, drama, satir, sampe horor...


*      *      *

"KA, tumben lo jam segini udah keluar? Biasa abis Maghrib baru nongol kayak dedemit," kata gw kepada Ekalaya. 

"Kejer setoran pok. Tanggal tua nih."

"Eh, oneng... Sejak kapan, ojol kayak kita-kita ada tanggal tua sama muda."

"Paling juga ngayap dia mah. Ya, Ir?" Jaya mengomentari.

"Ho... oh. Kalo ga, paling nemuin si Wilutama, Dresnala, atau Sita. Ujung-ujungnya modus doang," timpal Irawan.

"Si goblok. Namanya juga usaha, Ir. Ya ga Bang Jay, pok?"

"Auk ah... Gw ga ikutan. Tapi kalo ada temen mereka pade yang bening, boleh kenalin ke gw ya Ka."

"Ebuset. Inget, umur Bang Jay..."

"Kalo gw, bisa ya Ka? Aman deh, rokok-rokok mah ada."

"Siap, bosku Irawan. Tapi, gw ga tanggung ya kalo si Setya tahu?"

"Njir... Jangan deh, Ka. Gw ga mau nyari penyakit."

"..."

Grup lenong ini kalo udah kumpul bener-bener absurd. Apa aja dibahas. 

Pokoknya, ketiganya ini kayak ga punya beban. Meski, dari mereka, Eka yang masih single. 

Irawan dan Jaya udah berkeluarga. Juga, Dresta yang paling tua dan bahkan udah punya cucu.

"Gw lagi nenangin pikiran nih Ka. Tadi, dapat orderan food, drama banget," gw jawab pertanyaan Eka.

"Lah, hidup lo kan emang udah drama, Tut," ujar Jaya, terkekeh.

"Drama adalah bagian dari lo, Pok Tuti," timpal Irawan.

"Bener juga kata Bang Jay dan si Ir ini. Lo mah ga aneh, kalo dapat orderan drama terus," Eka, menambahkan.

"He he he... Geblek lo pade. Emang sih iya juga. Tapi, tadi siang emang super duper ngeselin," gw menjawab.

"Opik lagi?" potong Jaya.

"Bukan. Tapi, ngeselin"

"Ya udah, minum gih Pok."

"Si bego, kejadiannya udah lewat beberapa jam. Pan siang."

"Si Irawan ini emang dah ga nyambung. Pan si Pok Tuti bilang tadi, bukan sekarang."

"Ya udah, Tut. Coba ceritain."

"Begini, ceritanya..."

"Yaelah, Pok... Lo kayak narator kisah misteri di tv."

"Cocok lo jadi anchor atau penyiar radio."

"Setuju sama dua makhluk ini. Lo emang drama banget, Tut."

Ebuset, belom juga gw mau cerita, udah di-bully duluan sama grup lenong ini. Untung, gw udah pernah makan jantung serigala sama otak singa, jadi kuat ngadepin mereka. 

Kalo ga, bisa makin mumet. Belom lagi jika ditambah Dresta, duh...

"Iye, ini gw mau cerita," kata gw sambil nyender di pojok basecamp yang terbuat dari bambu.

"Menyimak."

"Lanjut Pok. Asal jangan kayak Luis di film Ant-Man."

"Yongkru... Luis mah, kebanyakan intermezzo. Mirip sih ya Ir, sama si Tuti."

"..."

*      *      *

"SIANG Ka. Pesanan sesuai aplikasi ya," gw kirim pesan lewat chat di aplikasi ojol.

Ga lama, dibales. "Ya."

Gw pun langsung menuju resto di kawasan Hayam Wuruk. Orderannya, cuma satu.

Perasaan, ada yang aneh. Pesanannya cuma satu. Harganya ga sampe seperempat lembaran biru. 

Sambil nunggu di tempat khusus ojol yang disediakan resto diiringi cemilan dan minuman ringan, gw pikir, biasa aja. Mungkin, cuma itu yang diinginkan. 

Siapa tahu, di rumahnya, customer juga masak. Jadi, orderan ini sekadar tambahan.

Kurang dari seperminuman teh, masakan pun siap. Gw kembali mengirim pesan.

"Kak, alamat sudah sesuai titik ya? Untuk lengkapnya, nomor rumah dan RT/RW berapa ya?"

Gw bertanya, karena di aplikasi hanya tertera Jalan Kebon Jeruk, yang berlokasi di Kelurahan Maphar, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Tidak ada detailnya.

Ini aneh menurut gw. Padahal, menilik akun customer dengan nama Gandari, sudah ratusan kali order pada aplikasi ojol ini. 

Meski, ratingnya mengkhawatirkan, 2,8. Sangat jelek. 

Berdasarkan pengalaman gw yang ngojol sejak 2017, rating di bawah 4 itu ngeri-ngeri sedap. Lah, ini tiga pun kurang! 

Apalagi, orderan sudah ratusan. Ada apa dengan customer ini?

Ga lama, layar di aplikasi pun berubah tampilan jadi panggilan masuk. Terdapat nomor customer yang sudah disamarkan pihak aplikator.

"Mbak, saya tambah lagi ya manual. Ntar saya ganti via nontunai."

"Siang kak, ini dengan Gandari ya?"

"Iya. Ini saya tambah pesanan nasi goreng dua bungkus lagi, sate ayam satu, dan soto daging empat. Harganya normal ya, jangan ikutin aplikasi."

"Waduh, ini serius kak?"

"Ya..."

"Untuk alamat, kalo boleh tahu?"

"Astana Indah Residence Nomor 96. Jalan Raya Kebon Jeruk. Patokannya, lewat Jalan Panjang aja, ga jauh. Bla... Bla... Bla..."

Mendengar suara Gandari di telepon bikin gw keringat dingin. Ini ngaco banget.

"Maaf, kak. Kalo di luar aplikasi, ini harganya kebanyakan. Saya ga punya uang lebih. Apalagi, alamatnya juga beda jauh. Di titik aplikasi, Jalan Kebon Jeruk IX, Kelurahan Maphar, yang argonya saya terima bersih Rp 8.000. Kalo ke Jalan Raya Kebon Jeruk, ongkosnya lumayan beda kak. Sekitar Rp 30-40 ribu. Belom lagi, jauh yang di atas 7 km dan macet."

"Lah, itu urusan situ. Saya ga mau tahu."

"Maaf, kak. Tolong kerja samanya."

"Saya kan udah bayar yang pesanan saya dengan nontunai. Minta titip tambah orderan manual aja ga mau? Soal jarak? Biasa kok. Ojol lainnya juga sebelomnya bisa."

"Duh, maaf kak. Ini..."

Klik

Ngadepin customer yang kayak gini bikin emosi gw naek ke ubun-ubun. Hanya, gw sadar, apa pun itu, pelanggan adalah raja.

Percuma mau ngomel bagaimanapun, aplikator 100 persen bakal menangin customer. Bagi perusahaan, jelas.

Kehilangan satu driver, gampang dicari dengan buka lowongan yang memunculkan ratusan calon ojol. Itu mengapa, mayoritas aturan aplikator sangat menguntungkan customer.

Gw pun tarik nafas dalam-dalam. Sambil meminum air mineral botolan yang gw selalu bawa sedikit meredakan esmosi.

Gw coba untuk telepon kembali. 1... 2... 3... Keangkat.

"Kak, saya ga ada dana buat nalangin pesanan manual yang jumlahnya ratusan ribu. Apalagi, orderan ini kan nontunai, jadi kami, para ojol jarang bawa uang lebih."

"Terus?"

"Untuk alamat juga beda jauh. Kami, para ojol hanya mengantar sampai titik yang ditentukan. Meski namanya sama Kebon Jeruk, tapi lokasi beda jauh. Mohon pengertiannya."

"Ya ga tahu. Kok tanya saya..."

Nyaris saja gw maki-maki nih bocah di telepon kalo ga inget status sebagai ojol. Sesabar-sabarnya gw, tentu ada batasnya.

Apalagi, sesama perempuan. Ini bocah songong amat sama yang tuaan.

Beruntung, ketika gw ingin menjawab telepon, dari belakang ada yang manggil. Saat menoleh, tampak pria berusia 60-an yang mendatangi gw dengan tersenyum diikuti salah satu pegawai wanita yang mengenakan seragam resto tersebut.

"Dik, bisa pinjam hapenya," kata pria itu yang saya kira sebagai salah satu pegawai atau bahkan manajer terkait usianya.

"Ada apa pak?"

"Biar saya yang bicara dengan customernya."

Dari samping, si pegawai resto mengangguk. Isyarat agar sang pria itu yang mengambilalih kemudi.

"Silakan, pak."

"Terima kasih."

Gw perhatikan, meski usianya sudah 60 atau 70-an, tapi perawakan bapak ini masih tegap. Kendati, rambutnya sudah memutih.  

Kedua tangannya pun tampak kekar. Dari raut wajahnya tampak sebagai orang yang tegas. 

"Halo... Selamat siang. Dengan dik Gandari? Saya Bisma, pemilik resto ini."

Terdengar suara khas dari pria itu yang ternyata owner ini restoran. Pak Bisma pun mengaktifkan loudapeaker agar pembicaraannya dengan si customer bisa gw ketahui.

"Iya, saya Gandari. Kenapa Anda ikut campur uruasan saya dengan ojol? Emangnya, Anda perwakilan dari aplikator? Sotoy deh."

"Saya hanya ingin menengahi. Secara, Anda adalah pelanggan setia resto saya yang sering beli. Namun, Anda juga kerap merugikan driver. Baik itu tambah pesanan manual non aplikasi dan lokasi antar yang beda dengan titik."

"Ah, kepo lo!"

"Anda harus sadar, ojol tuh dibayar per kilometer berdasarkan alamat yang tertera pada titik di aplikasi. Anda cantumkan alamat di Jalan Kebon Jeruk IX, tapi rumah di Jalan Raya Kebon Jeruk. Bedanya jauh sekali, dik."

Gw menyimak pembicaraan pak Bisma yang sangat tenang. Megang hape pun tampak elegan sekali.

"Kok, situ sewot. Udah tua, jangan rempong deh ih. Kayak mudanya ga pernah buat dosa aja."

"Dik, manusia mana yang ga pernah salah? Apalagi, dosa. Saya juga sama. Namun, garam yang saya telan masih lebih banyak dibanding nasi yang adik makan sepanjang hidup."

"Terus?"

Sumpah, ingin rasanya menjambak tuh bocah songong. Bicara sama orangtua kok ngelunjak amat.

Ini customer kapan-kapan harus gw kerjain. Apalagi, kalo Genk Lenong tahu, abis nih bocah.

"Dik, tinggal di Astana Indah Residence Nomor 96 ya?"

"Iya, kenape? Mau jadi pekerja sensus nanya-nanya rumah gw?"

"Adik pernah apa dengan Gandamana?"

"..."

Beberapa detik gw dengar tidak ada sahutan dari Gandari. Sementara, pak Bisma tersenyum kepada gw sambil memberi kode kepada salah satu pegawainya untuk membawakan minuman.

Mayan, panas-panas gini dapat jus segar. Plus, kentang goreng dan ayam crispy buat cemilan gratis yang langsung aja gw hajar.

"Maaf ya, dik, udah nunggu lama. Silakan cicipin seadanya."

"Terima kasih, pak."

Sambil mengganyang kulit crispy diiringi tegukan jus buah naga, gw kembali menyimak pembicaraan mereka. Tidak ada perubahan dari raut pak Bisma yang tetap cool.

"Saya... Saya... Cucunya, pak. Kok, Anda, bisa tahu kakek saya?"

Terdengar patah-patah suara Gandari. Aura songongnya seketika langsung sirna ketika pak Bisma menanyakan hubungannya dengan sosok yang tadi disebutkan.

"Gandamana itu, masih satu letingan dengan saya. Tapi, masih junior. Ketika saya pensiun dari Mabes, beliau menjabat posisi cukup penting. Kok, bisa ya cucunya tidak punya sopan santun begini?"

Terdengar pak Bisma menaikkan intonasi suaranya yang terdengar menggelegar di telinga. Namun, wajahnya tetap ramah dengan seperti menahan senyum kepada saya."

"Iya... Pak, beliau kakek saya. Maaf ya pak."

"Gandamana, atua biasa saya panggil Ganda itu sohib saya. Kami sering kumpul bersama purnawirawan lain sesama Cijantung. Terakhir, ada reuni di Gagak Hitam."

Pak Bisma, melanjutkan, "Jadi, saya akan adukan adik ke Pak Ganda. Nomor hapenya masih yang 0815987654 ini kan?"

"I... Iya, pak."

"Oke, saya akan telepon beliau sekaligus memberitahu terkait tindakan adik yang sudah merugikan enam ojol dalam sepekan terakhir. Siap-siap, aja jika..."

"Pak, tunggu... Pak  Saya minta maaf atas tindakan saya selama ini. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi."

"Lho, jangan ke saya, minta maafnya. Tapi, ke ojol, termasuk yang barusan ini."

"Siapa dik, nama Anda?" Pak Bisma bertanya kepada saya sambil menyodorkan hape.

"Tuti, pak. Astuti."

"Tuh, dik Gandari. Ojol ini namanya, Tuti. Silakan Anda minta maaf kepadanya. Lalu, orderan ini tidak dipersulit."

"Iya, pak," ujar Gandari dari seberang telepon. "Mbak Tuti, saya minta maaf ya. Untuk pesanannya, boleh mbak bawa pulang aja, jangan diantar ke rumah saya. Terima kasih."

"Kamu sudah janji kepada ojol bernama Tuti ini ya dik Gandari? Saya saksinya, loh."

"Iya, pak. Maaf."

"Oke, masalah saya anggap tuntas. Namun, jika adik memberi rating jelek atau mengadukan Tuti yang engga-engga kepada aplikator, tentu saya akan bertindak. Dik Gandari paham kan, bagaimana reaksi kakekmu jika tahu masalah ini?"

"Ampun, pak... Jangan sampe kakek tahu. Iya, saya minta maaf."

"Oke, saya tutup ya pembicaraan ini. Terima kasih."

Klik.

Hape pun dikembalikan kepada saya. Pak Bisma mengajak saya masuk ke restonya untuk duduk di meja bundar bertuliskan reserved.

"Dik Tuti, saya mohon maaf atas tindakan cucu teman saya tadi ya. Sesuai pembicaraan, pesanan Gandari bisa diselesaikan di sini dan adik bawa pulang. Juga, ada sedikit oleh-oleh dari kami karena sudah membuat repot."

"Ga kok, pak. Aman. Udah biasa."

"Dik, silakan masuk dulu ke ruangan kaca. Ntar saya susul."

Pak Bisma memanggil salah satu pegawai yang berjas hitam. "Tolong jamu dik ojol ini dengan baik. Siapkan makanan, minuman, dan cemilan andalan kita. Setengah jam lagi, saya susul di ruang kaca."

"Siap pak. Yuk, mbak ojol, oh ya... Mbak siapa namanya?"

"Tuti..."

"Silakan ikuti saya."

*      *      *

USAI menangsel perut hingga full tank, gw pun nyender di private room. Di depan meja gw ada tombol yang bisa menghubungkan dengan kasir jika pelanggan ingin nambah menu atau keperluan yang lain.

Gw lihat beberapa piring kosong. Seingat gw tadi sukses menandaskan seporsi ayam khas taliwang, dua nasi lengko, semangkok es degan, dan air mineral botol kaca yang premium.

Semuanya gratis! Menurut pegawai berjas itu, sebagai pengganti akibat orderan macet dari customer ganjil tersebut.

Sebagai emak-emak yang ga rempong. Btw, kalo orang nyebut gw sih mahmud alias mamah muda, padahal udah kepala empat. 

Tentu setelah makan, otak gw langsung traveling. Tepatnya, menghitung menu yang gw makan berdasarkan aplikasi ojol.

Maklum, untuk daftar menu beserta harga ada di pegawai yang mendatangi setiap meja atau room. Sudah pasti gw ogah bertanya pada mereka.

Secara, gw udah makan gratis. Masa, harus nanya ini-itu yang merepotkan. Itu namanya ngelunjak!

Setelah gw compare, total yang gw santap mencapai Rp180 ribu. Jika harga normal, sekitar 140-150 ribu. 

Secara, jika masuk aplikasi ojol, harga setiap menu dikenakan biaya tambahan 20 persen.

Ebuset... Gw langsung nelen ludah. 

Pekgo, cuma sekali makan? Di rumah, bisa kenyang bareng dua anak gw.

Tapi, emang wajar. Sebab, resto yang konon menolak diberi Bintang Michelin ini dikenal mewah. 

Ga hanya dari menu yang mencakup Eropa, Timur Tengah, Sub Sahara, Oriental, Asia Selatan, hingga penjuru Tanah Air. Juga terkait ruangan, dekorasi, dan keberadaan pegawai yang tergolong ramah.

Gw udah beberapa kali ambil orderan di resto ini. Tidak sekalipun ada yang mintain parkir, baik motor maupun mobil.

Padahal, di kanan dan kiri banyak resto yang ada parkir liarnya. Namun, di resto ini memang istimewa. 

Depan pintu masuk aja ada dua security berbadan tegap yang lebih mirip anggota SWAT atau NYPD. Namun, sikapnya simpatik, ramah, dan murah senyum kepada siapa pun yang datang.

*      *      *

"MAAF ya dik, udah menunggu lama. Kalo mau nambah pesanan, silakan aja."

Lamunan gw buyar mendengar kehadiran Pak Bisma. Tiba-tiba, beliau sudah ada di depan meja gw.

"Ga pak. Terima kasih banyak. Saya kenyang banget."

"Woles, dik. Santai aja. Maaf tadi saya agak lama. Biasa, urusan resto."

"Siap, pak."

Pak Bisma merogoh kotak kecil dari sakunya. Dia pun mengambil asbak berukiran hewan mitos.

"Ga apa-apa, ya saya merokok."

"Ga, pak. Saya juga sesekali di basecamp ojol ikutan merokok."

Namanya doang rokok, tapi yang dihisapnya adalah cerutu. Ebuset, gw aja yang sesekali ngudut mild tipis kadang batuk, apalagi cerutu.

"Jadi, begini..."

Gw menyimak penuturan dari sosok yang kemungkinan mantan militer atau polisi ini. Tidak ada perubahan sikap sejak di depan tadi hingga sekarang.

Beliau tetap tenang. Menandakan sebagai sosok yang terbiasa mengarungi kerasnya kehidupan.

"Setelah saya konfirmasi, Gandari itu memang cucu sohib saya. Masih muda, 20an tahun, seusia cucu saya juga. Maaf, ulahnya telah merepotkan adik dan rekan-rekan ojol lainnya. Meski, setelah saya selidiki, ada alasan lain dari sikapnya itu. Namun, jelas ga bisa dibenarkan. Jika benci sama oknum, jangan seluruhnya yang kena."

"Iya, pak. Saya juga udah ga mau ambil pusing. Clear. Apalagi, ada sisi positifnya dari itu customer ganjil..."

"Positif?"

"Ya. Berkat dia, saya bisa merasakan masakan mewah gratis. He he he," jawab gw tanpa tedeng aling-aling.

Pak Bisma pun tertawa mendengarnya.

"Alhamdulillah, kalo begitu. Saya juga sudah menelepon Gandamana untuk memastikan cucunya tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Secara, itu sangat merugikan kalian, para ojol. Saya tahu betul, kesalnya jika menghadapi customer seperti itu. Saya bangun resto ini dari nol, setahun usai pensiun dinas. Memang, pelanggan adalah raja, tapi ga serta merta bertindak kelewatan."

Gw mengangguk. Selama perbincangan ini gw berusaha jaga sopan santun dengan tidak memotong pembicaraan beliau.

"Bagi kami, kalian para ojol merupakan mitra. Sejak saya daftarkan resto ini ke beberapa aplikator pada 2018 lalu, saya berusaha untuk menyambut hangat kalian. Misalnya, ruang tunggu ojol di depan yang sudah tersedia kopi, minuman dingin, snack, dan koran. Jika resto rame dan terjadi antrean, kami juga enggan membedakan ojol dengan customer yang makan di tempat. 'First come, first served'. Itu prinsip kami."

Pak Bisma rehat sejenak untuk menghisap cerutunya. Sementara, gw asyik mengobok-obok es degan yang siapa tahu masih ada sisanya di mangkok.

"Apalagi, saat pandemi ini. Terutama, ketika PSBB yang resto tidak boleh makan di tempat. Otomatis, kami mengandalkan jualan online bermitra dengan aplikator. Memang, kami terima pesanan manual, tapi kami kurang pegawai yang mengantar. Itu mengapa, keberadaan ojol seperti kalian ini sangat membantu."

"Terima kasih banyak pak, atas apresiasinya."

"Ulah Gandari baru saya ketahui tadi dari manajer. Sebelumnya, dia bilang udah ada lima ojol lebih yang mengalami nasib seperti adik. Hanya, saat itu, manajer tidak berani ikut campur karena di luar kewenangannya. Jadi, ketika Gandari tadi kembali order, manajer langsung memberi tahu saya. Kebetulan, saya kenal dengan customernya."

"Iya, parah sih pak. Curang banget, apa-apa mau murah. Ongkir disamarin dan tambah pesanan manual demi menghindari harga sesuai aplikasi yang kena 20 persen."

"Ya, begitulah dik. Namanya, manusia... Seperti yang saya bilang dari awal, ada alasan Gandari melakukan itu. Namun, apa pun itu tetap salah. Problem itu saya enggan ikut campur."

"Setuju pak. Jangan dijadikan pembenaran akibat sakit hati mungkin dengan ojol lain, resto, atau aplikator."

"Oh iya dik, kelima ojol yang menerima orderan Gandari dalam sepekan terakhir tidak ada di database kami. Sebagai permintaan maaf, saya selaku pemilik resto ini sekaligus sohib dari kakeknya, akan mengundang adik untuk hadir dalam suatu event bulan depan. Adik bisa aja rekan-rekan ojol yang adik Tuti kenal. Tenang, semua saya tanggung."

"Waduh, bener pak?"

"Iya."

"Tapi, saya dan teman-teman saya makannya banyak. Yang ada malah tamu bapak ga kebagian makanan."

"He he he. Ga lah. Aman."

"Siap pak. Saya izin pamit ya, balik ngojol."

"Oh iya, silakan. Itu ada bungkusan untuk dibawa pulang. Bisa untuk keluarga atau teman-teman."

"Waduh, jangan repot-repot pak."

"Ga. Kan, udah dibuat dari tadi. Yuk kita ke depan."

*      *      *

"ENAK dong pok makan gratis. Dapat oleh-oleh pula."

"Itu ya bungkusannya, coba gw buka."

"Menurut gw sih setimpal Tut. Lo dapat orderan rese tapi dibalas sama pemilik resto yang baik."

Demikian sahut-sahutan antara Eka, Irawan, dan Jaya, sambil ngemil keripik balado pemberian pak Bisma. Sebagian gw taroh basecamp dan sisanya untuk di rumah.

"Eh tapi emang ngeselin kalo dapat customer pahit yang suka ngakalin ongkir. Kalo gw sih ogah ngambil."

"Dodol... Pan makanan udah gw pick up. Kalo tahu dari awal juga ogah," gw tanggapi komentar Irawan.

"Ya udah, yang penting clear. Ini basecamp sepi banget dah. Pada kemana?" Eka bertanya.

"Jam sibuk, Ka. Pada narik. Kalo gw rehat bentar," Jaya menimpali.

Hape gw berbunyi. Notifikasi dari Genk Lenong.

Gw emang ada banyak grup ojol. Termasuk, grup di basecamp ini berisi 19 driver dengan empat di antaranya lady ojol.

Sementara, Genk Lenong khusus berisi lima orang. Irawan sebagai penggagas diikuti gw, Eka, Jaya, dan Dresta.

"Woi, cek grup lo pade," teriak gw.

"Grup ape? Basecamp apa Genk Lenong?"

"Genk Lenong. Dresta infoin ada proyek tuh."

"Lah... Ogah. Proyek pak tua itu ujung-ujungnya selalu plot twist."

"Mayan, buat nambah-nambahin cuan. Abis tahun baru ini pan orderan sepi."

"Gw pikir-pikir dulu, pok."

"Lah, otak lo bisa mikir emang Ir?"

"Kalo info dari Dresta, perasaan gw ga enak terus, Ka."

"Wooi... Yang pake perasaan tuh, gw sebagai cewek. Lo mah cowo harusnya pake logika."

"Trauma, gw pok."

"Ya udah Tut, kita berempat aje yang ikut. Si Irawan mah udah banyak duit."

"Bener bang Jay dan pok Tuti. Gw ikut. Siapa tahu bisa dapat buat tabungan mau puasa."

"Oke, kita tunggu Dresta dateng. Gw kalo tawarannya masuk akal, mau ikut."

Irawan pun memandangi gw, Jaya, dan Eka, bergantian. 1 lawan tiga. Naga-naganya kalah dia.

"Tuh, kan... Gw ditinggal."

"Si bego, tadi diajakin ogah. Tuh baca chat baru si Dresta," gw menjawab.

"He... he... he..."

"Mayan, Ir. Cuma seminggu kali dibayar sekian-sekian," Eka, menjelaskan.

"Anggap aja, jalan-jalan ke luar kota. Sekalian, cuci mata Ir," timpal Jaya.

"Tuh, Dresta otw. Gw cabut dulu ya, mau kasih bingkisan ke bocah. Abis mandi, gw balik lagi," kata gw.

"Ok, pok."

*      *      *

Serial Catatan Harian Ojol (Semesta Ekalaya)
- Part I: Ceritera dari SPBU Kosong
- Part II: Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal
- Part III: Antara Aku, Kau, dan Mantan Terindah
- Part IV: Sebuah Kisah Klasik yang Tak Berujung
- Part V: Di Suatu Desa dengan Penumpang Random
- Part VI: Mangga Besar Punya Cerita
- Part VIII: Di-Ghosting Kang Parkir
- Part IX: Ada Amer di Balik Modus Baru Costumer
- Part X: Debt Collector Juga Manusia
- Part XI: Penumpang Rasa Pacar

Prekuel
Kamaratih
- Kisah Klasik Empat Insan di Kamar Hotel


Spin-Off

Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I
- Ketika Manusia Memanggilku Lonte


Ekalaya Universe

- Mukadimah
- Daftar Tokoh
- Epilog

*      *      *

*Inspired by True Event
Jakarta, 28 Januari 2022


Jumat, 21 Januari 2022

Genap 35 Tahun

Genap 35 TahunGenap 35 Tahun


Foto bersama keluarga pada awal Januari


"KO, nanti mlm pulang jam brp?" Demikian, chat di WhatsApp Grup (WAG) Keluarga pada awal bulan ini.

Sebagai ojek online (ojol), saya biasa  ngalong alias keluar dari sore hingga  pagi. Jadi, saya jawab, "Ga plg. Ntar pagi lagi kejar setoran."

Tak lama, balasan dari Mama, "Ntar jam 12 plg, tiup lilin. Kuenya udah dibeliin tuh."

Ya, memang sudah jadi tradisi di keluarga kami, kalau ada yang ulang tahun (ultah), dirayakan dengan sederhana. Tepatnya, untuk memperingati hari jadi yang biasanya turut mengundang sepupu dan dua anaknya yang masih kecil.

Hanya, berhubung saya lagi di kawasan selatan ibu kota yang cukup jauh dari rumah, saya ga balik. Apalagi, memang lagi kejar setoran dalam arti sebenarnya.

Alias, berburu cuan dari hasil ngojol mengingat pada awal bulan ini sangat sepi. Maklum, berdasarkan pengalaman ngojol dalam dua tahun terakhir, setiap selesai pergantian kalender, grafik orderan customer terkait antar penumpang, makanan, kirim barang, dan lainnya, memang cenderung menurun. 

Maka, saya pun berusaha, untuk mengembalikan defisit pemasukan. Dengan cara, ngojol dari sore sampe pagi. 

Bahkan, beberapa kali nyolong start sejak matahari tepat berada di kepala. Sesuatu, yang jarang terjadi. Kecuali, memang kepepet dan juga faktor hujan.

Ya, saya menjalani tahun ketiga sebagai ojol sejak daftar GoJek pada Juli 2019. Namun, seiring waktu, mengingat status hanya sebagai mitra, saya pun mulai menjalin hubungan dengan aplikator lain yang seluruhnya daftar pada 2021.

Dimulai, ShopeeFood pada Mei, LalaMove (Agustus), dan Traveloka Eats (Desember). Maklum, pada situasi pandemi ini, sulit jika hanya mengandalkan satu aplikasi saja.

Alhasil, saya harus memutar otak agar dapur tetap ngebul. Itu mengapa, kini saya bermitra dengan empat aplikator berbeda demi memperlancar pemasukan.

Itu belum termasuk tambahan di luar ngojol. Salah satunya, hasil dari blog ini dan beragam proyek lainnya.

Intinya, sebagai pria yang memiliki tanggung jawab, harus berusaha untuk mendapatkan uang. Bagaimana pun, caranya. Yang penting halal.

Sekadar catatan, terkait empat aplikator itu, harus diakui GoJek yang jadi prioritas. Wajar, mengingat itu yang kali pertama saya kerja di bidang jasa antar online.

Meski begitu, saya selalu memegang teguh adagium lawas untuk tidak berpijak di dua perahu. Yaitu, setiap hari, saya memang selalu menekan tombol on pada keempat aplikator itu secara bersamaan.

Namun, untuk prakteknya, berlaku pola baku, "first come, first served". Alias, siapa yang bunyi lebih dulu, itu yang saya jalankan. 

Sebab, saya enggan nekat untuk menjalankan orderan dari seluruh aplikasi tersebut. Serakah namanya.

Mending jika arahnya satu tujuan. Kalo beda, misal GoJek ke Utara, ShopeeFood ke Selatan, LalaMove ke Timur, dan Traveloka ke Barat? Modar saya!

Itu mengapa, aplikator yang bunyi lebih dulu, pasti saya utamakan dengan ketiga sisanya langsung di-off kan. Pengecualian, jika hujan.

Saya hanya menjalankan GoJek saja. Kenapa? 

Alasannya jelas. Tarifnya bisa meningkat hingga empat kali lipat yang biasa disebut kalangan Gojekers sebagai lonjakan. 

Itu yang jadi stimulus saya dan mungkin segenap ojol berbendera GoJek untuk menerobos hujan-hujanan bahkan kerap menari di bawah badai. Tanpa bermaksud membandingkan, tapi harus diakui jika tarif ketiga aplikator lainnya memang flat.

*      *      *

TIGA puluh lima tahun bukan waktu yang sebentar. Namun, juga tidak bisa dihitung lama. 

Yang pasti, bagi saya, usia memang -sejauh ini- hanya hitungan angka di atas kertas. Fyi, ini entah bisa dibilang sarkas atau tidak. 

Namun, cukup untuk membesarkan hati. Minimal, menghibur diri sendiri.

Ya, awal bulan ini, saya genap berusia 35 tahun. Ga nyangka juga sih.

Kalo dalam sinetron, usia segitu digambarkan sebagai eksmud (eksekutif muda), manajer, bos, dan sebagainya. Hanya, di realitas utama, saya cukup bangga jadi ojol.

Anggaplah, -meminjam ala Marvel Cinematic Universe (MCU)- saya ada di earth 1987. Bisa jadi, pada semesta lain, saya hidup sebagai eksmud, kepala divisi, bos, dan sebagainya. 

Bahkan, ada variant lain saya yang bisa sukses atau terpuruk? Duh, pembahasan terlalu jauh akibat kebanyakan nonton film Marvel, khususnya Serial Loki!

Oke, kembali terkait usia. Ketika anak-cucu Adam sudah kepala tiga, pasti diiringi pertanyaan klasik.

Kapan kawin?

Kapan punya anak?

Kapan-kapan?

Hal sama pun berlaku bagi saya. Terutama, mengingat akhir-akhir ini saya betah jomblo.

Beruntung, keluarga memahami saya. Alias, mereka, khususnya Mama, tidak ambil pusing.

Yang penting, saya sehat. Kerjaan lancar.

Saya pribadi enggan memikirkan soal berumahtangga. Namun, bukan berarti abai.

Hanya, untuk saat ini masih betah menikmati hidup. Bersama keluarga.

*      *      *

DALAM setahun, di keluarga kami ada semacam tradisi untuk kumpul bersama untuk merayakan hari kelahiran. Dimulai pada Mei, yang merupakan ultah Mama, Juni (adik paling bungsu), dan November (adik pertama).

Juga untuk hari kelahiran kedua anak sepupu. Kebetulan, bulan sama, Desember, hanya beda hari.

Sebenarnya, ini bukan sekadar tradisi. Melainkan, wujud syukur kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang sudah memberikan kami kehidupan. 

Caranya, dengan kumpul bersama yang diawali doa. Diiringi dengan makan-makan. 

Entah itu fast food, piza, gorengan, atau nasi kuning. Juga dengan kurma jika bertepatan dengan Ramadan yang dilangsungkan saat buka puasa bersama.

Intinya, sederhana tapi tetap bermakna. Secara, kumpul bersama keluarga itu sangat berkesan.

Yupz, seperti kata pepatah. Harta yang paling berharga, adalah keluarga.***


Video perayaan ultah ke-35 

- Jakarta, 21 Januari 2022