Hendriyanti Sahara, di samping makam adinya, Ade Irma Suryani |
SETENGAH abad bukanlah periode sebentar. Butuh kesabaran segenap hati dan mentalitas yang kuat untuk mengarungi rentang waktu selama 50 tahun. Luka, kepedihan, sedih, dendam, trauma, dan ikhlas menerima kenyataan, berbaur menjadi satu. Itulah yang dialami Hendriyanti Sahara selama ini.
Putri sulung almarhum Jenderal Besar Abdul Haris Nasution ini masih ingat peristiwa yang terjadi pada lima dekade lalu. Tepatnya, 30 September 1965 ketika kediamannya di Jalan Teuku Umar nomor 40, Menteng, Jakarta Pusat, diserbu sekelompok pasukan.
Saat itu, bu Yanti -panggilan saya kepada beliau- memang berhasil lolos dari sergapan pasukan tersebut bersama ayahnya yang melarikan diri ke kediaman sebelahnya. Namun, naas, adik tercintanya yang masih berusia lima tahun, terkena berondongan peluru. Sempat enam hari menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Hanya, takdir berkata lain. Ternyata Tuhan lebih sayang dengan Ade Irma Suryani dan memanggilnya lebih cepat dibanding harus menderita akibat terkena peluru tajam.
* * *
PAGI itu, Kamis (1/10) pelataran monumen Ade Irma Suryani didatangi banyak pengunjung. Ada dari perwakilan pemerintah, mahasiswa, pelajar, hingga wartawan cetak dan online. Kehadiran mereka tidak lain untuk ziarah ke makam dari putri bungsu jenderal bintang lima yang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Saya yang menyimak aktivitas mereka sangat takjub. Sebab, itu membuktikan kita, sebagai bangsa yang tidak lupa dengan jasa pahlawan terdahulu. Apalagi, Ade Irma Suryani, meninggal tanpa sempat menanyakan apa kesalahannya. Saat saya melihat beberapa foto yang sudah buram di monumen yang terletak di samping Kantor Wali Kota Jakarta Selatan, Jalan Prapanca Raya, sungguh menyentuh.
Terlebih, ketika menyaksikan beberapa pengunjung dengan takzim berdoa di depan makam. Apa yang dilakukan mereka itu bukan berarti mengkultuskan sesuatu apalagi makam. Melainkan, sebagai makhluk hidup, sudah jadi kewajaran untuk mendoakan sesama saudara se-Tanah Air yang telah tiada.
Termasuk saya pribadi yang meski hanya mengenal Ade Irma Suryani dari cerita masa kecil dan menyaksikan tayangan televisi pada era 1990-an serta kini mendapat info dari internet, tentu berharap apa yang terjadi 50 tahun silam itu tidak terulang lagi. Jujur saja, ada perasaan pilu setiap kali mendatangi tempat tersebut dan juga Museum Abdul Haris Nasution di Menteng.
Tanpa bermaksud mengungkit masa lalu negeri ini yang pernah mengalami periode kelam. Khususnya, terkait insiden setengah abad silam, yang sudah seharusnya ditutup. Untuk diganti lembaran baru demi kelangsungan generasi mendatang. Sebagai manusia, kita harus memaafkan kesalahan yang telah lewat. Di sisi lain, kita juga tidak boleh melupakan sejarah masa lalu yang berguna untuk pelajaran di masa depan.
* * *
"SAAT kejadian, saya lari dari terjangan peluru. Kami -maksudnya bersama keluarga beliau- mengumpet hingga suasana reda. Ketika itu, ayah sudah melompat ke kediaman tetangga, Kedutaan Besar Irak. Kaki saya mendapat luka. Tapi, yang lebih sedih ketika saya dan ibu (alm Joanna Sunarti, istri Nasution) melihat Ade bersimbah darah," kata Hendriyanti di depan pusara adiknya.Siang itu, Selasa (6/10) saya menemuinya di makam Ade Irma Suryani. Sebagai penggemar sejarah, sebelumnya saya sudah sering mengunjungi monumen ini atau bekas kediamannya yang kini dijadikan museum di Menteng untuk mencari informasi atau arsip terkait peristiwa memakan korban tak berdosa.
Maklum, sebagai blogger, saya berusaha untuk menggali informasi langsung dari sumber utama agar artikel yang saya buat lebih bernyawa. Namun, setelah tiga tahun, baru kali ini saya bisa bertemu dengan anggota keluarganya yang jadi saksi hidup insiden itu.
Ya, kemarin, tepat 50 tahun meninggalnya Ade Irma Suryani. Jika almarhumah masih hidup, mungkin saat ini sudah berusia 55 tahun.
"Waktu itu saya masih berusia 13 tahun dan Ade baru lima tahun... Peristiwa itu sudah lama terjadi. Kami sudah ikhlas melepas Ade," Hendriyanti mengungkapkan dengan tegar.
Kehadiran Hendrianti di makam sang adik ditemani keluarganya. Termasuk, suami dan anaknya. Beliau senang mengetahui kami, sebagai generasi muda, masih mengingat dengan tepat tanggal gugurnya Ade Irma Suryani. Saya pun, tak kalah senang selama nyaris dua jam mendengar langsung kisah penculikan itu yang ternyata, sedikit berbeda dengan versi yang beredar saat ini.
Diselingi guyon suaminya, pak Nurdin yang mencairkan suasana, kepada kami, Hendriyanti kembali mengenang peristiwa terdahulu. Kini, usianya, -kalau tidak salah dengar- menginjak 63 tahun dengan memiliki beberapa anak dan cucu. Namun, ingatan beliau tentang insiden itu masih segar yang seolah baru terjadi kemarin.
"Saya berharap, kejadian yang dialami kami hingga membuat Ade gugur, tidak terulang lagi. (Peristiwa) malam itu, semoga bisa dijadikan sejarah ke depannya," ujar Hendriyanti sambil menatap langit-langit yang saat itu cerah.
Tak lama kemudian, beliau sekeluarga memohon pamit. Dari kejauhan, kami memandangi kepergian mereka dengan diiringi kesunyian suasana makam siang itu.
* * *
Hendriyanti, suami, dan anaknya foto bersama dengan beberapa pejabat dan pekerja di gedung Wali Kota Jakarta Selatan |
* * *
Saya beruntung bisa mendapat informasi langsung dari beliau |
* * *
Hendriyanti dan keluarga bersiap meninggalkan makam adiknya |
* * *
* * *
Kompleks Monumen Ade Irma Suryani |
* * *
Artikel Sebelumnya:
- Mengenang Ade Irma Suryani
- Sepenggal Kisah di Museum Abdul Haris Nasution
- Apel Kehormatan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
* * *
- Cikini, 7 Oktober 2015
Trus udh gitu skrng negara ini beserta Presiden harus minta maaf sama PKI?????!!! Kan gila...
BalasHapusForgive, but NEVER Forget.
yupz mbak, sebagai manusia kita harus memaafkan kesalahan sebelumnya :)
Hapustapi, sejarah ga boleh dilupain gitu aja buat pelajaran selanjutnya...
Beruntung sekali bisa mendapatkan infromasi dari sejarah hidup ya. Duh nyesek juga ya kalau harus bercerita ke belakang buat bu Yanti
BalasHapusiya mbak kebetulan setelah nunggu 3 tahun sejak 2012, baru bisa dapat info langsung dari beliau
HapusKebayang yaa sedihnya lihat adik sendiri jadi korban seperti itu. Ga kebayang euuyy anak usia 5 tahun diberondong peluru
BalasHapusmiris banget mbak, saya aja yang hanya denger udah gimana gitu
Hapusapalagi, beliau yang lihat dengan mata kepala sendiri
tapi, bu yanti udah ikhlas, melepas adiknya
kasian juga ya kalo di pikir masih sekecil itu udah kena peluru
BalasHapusiya mbak, miris banget...
Hapusterima kasih udah mampir
Duh denger ceritanya aja udah sedih banget. Gimana yg jadi kakaknya, apalagi nyaksiin ditembak :(
BalasHapusBener-bener pengecut tuh yg nembak anak kecil >.<
itu akibat konflik horisontal antarpenguasa dulu mas
Hapusironis banget sih, tapi ya dijadiin pelajaran masa depan...
Terkenang beliau pas ada filmnya dulu....dan nontonnya nyesek
BalasHapussama mbak, saya tahunya pas waktu kecil (era 1990-an dulu) kan suka ditayangin di tv sama lagu2nya...
HapusMari kita tetaplah dlm kewaspadaan,kewaspadaan akan paham paham yg tdk sesuai dgn idiologi bangsa kita Pancasila. Semoga ALLAH senantiasa melindungi,menaungi dan menempatkan sebaik baik tempat utk Ade Irma di sisiNYA. Amiin YRA
BalasHapusAamiin...
HapusTerima kasih ya mbak atas apresiasinya mengunjungi blog ini.
Yess akhirnya dapet juga ceritanya. Aku juga penggemar berat sejarah ka. Kakek ku juga saksi sejarah, fotografer termuda KAA (inen rusnan). Banyak banget foto sejarahnya mulai dari soekarno. Dari situ aku mulai suka sejarah. Tapi gak suka pelajar IPS.
BalasHapussebenarnya ceritanya banyak mbak, tapi ya sudahlah...
Hapusbtw, kakek mbak keren euy, kaa itu 1955, itu foto2nya pasti bernilai sejarah
boleh mbak diposting biar publik tahu sejarah kita...
Miris ya. Umur segitu kena peluru. Kasihan gitu
BalasHapusiya, tanpa tahu apa kesalahannya...
Hapusyang pasti, sejarah buat pelajaran masa depan biar ga terulang lagi
Ini adalah sejarah yang bertahun-tahun memenuhi kepala kita, sejak kecil, dan itu sangat membekas. Tak terbayang bagaimana rasanya ada di tengah serbuan seperti itu, serta pembantaian para jenderal.
BalasHapusSerem...
Sejarah memberikan banyak pelajaran.
terima kasih mbak apresiasinya untuk tulisan ini, jadi terharu soalnya udah lewat tujuh bulan...
Hapusyupz, miris banget kalo kita tahu kisah 51 tahun lampau
untungnya, keluarga bu Hendriyanti udah ikhlas melepasnya...
@iyah...jangan sampai anak menjadi korban kekerasan sampai kapan pun...
BalasHapussemoga kita selalu menjadi warga negara yang baik,tetap bersatu dan jangan pernah melupakan Sejarah..karna kemerdekaan Bangsa ini sangat sulit untuk memperolehnya :')
BalasHapusBegitu misterius bagiku kisah ini, sebuah saksi sejarah yang tidak boleh dilupakan sedikitpun
BalasHapusJadi sedih banget baca artikelnya, semoga sejarahnya tetap dikenang sampai kapanpun...
BalasHapusSedih dan haru
BalasHapusthanks mas rully infonya bgs bgt... blogger jln2 trus y mas :)
BalasHapusBagus...apalagi kalau kesejahteraan perawatan Museum Sasmitaloka Jenderal Besar Doktor Abdul Haris Nasution lebih diperhatikan. Karena kita yang masih hidup juga berharap udara segar dari rumah itu. Dony Nasution.
BalasHapusSemoga almarhumah Ade Irma Suryani diterima disisiNya dan berbahagia diakhirat sana.
BalasHapus