TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: November 2023

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Jumat, 17 November 2023

Sisi Lain Konser Coldplay: Mistik, Sedih, Haru, dan Bahagia

Sisi Lain Konser Coldplay: Mistik, Sedih, Haru, dan Bahagia

Ilustrasi ojol saat menunggu penumpang usai konser Blackpink (Foto: @roelly87)

SEBAGAI sosok yang tumbuh pada dekade 1990-an, tentu saya tak asing dengan Coldplay. Ya, band asal Inggris ini memang  didirikan pada 1996 silam. 

Debut albumnya, Parachutes, rilis pertengahan 2000. Saya mengenal Coldplay sejak MTV masih merajai industri hiburan kala itu bersama Majalah Hai. 

Namun, saya hanya sedikit tahu terkait band yang dipimpin Chris Martin tersebut. Maklum, genre Britpop bukanlah favorit saya yang sejak remaja menyukai rock, alternatif, metal, dan sejenis.

Hingga kini, paling hanya segelintir lagu yang saya kenal dari Coldplay. Misalnya, Shiver yang mengingatkan saya dengan lagu Dewa 19, Persembahan Dari Surga. 

Selanjutnya, Yellow, Don't Panic, In My Place, Fix You, dan Viva La Vida. Udah, itu aja. Ga nyampe 10 lagu.

Bahkan, yang terakhir itu sempat saya kira lagu Ricky Martin yang jadi OST World Cup 1998: La Copa de la Vida.

He he he.

Beda dengan Guns N' Roses yang bisa dibilang khatam dari album debut hingga kini. Maklum, dalam pustaka musik saya, era 1990-an diwarnai "Big Six".

Selain GNR, ada Nirvana, Metallica, Bon Jovi, Red Hot Chili Peppers, dan U2.

Coldplay? Ada di urutan sekian dalam daftar saya. Bahkan, ga masuk 50 besar. 

Di antaranya, Muse, Oasis, Radiohead, System of a Down, Rage Against the Machine, Limp Bizkit, Korn, Linkin Park, Slipknot, hingga Creed.

Ya, namanya juga selera. Subyektif.

Meski begitu, saya tetap mengakui Coldplay sebagai salah satu band terbesar sejak pergantian milenium. Terdapat beberapa indikatornya, mulai dari penjualan album yang mencapai jutaan copy, penghargaan (7 Grammy), hingga penggemar.

Termasuk, di Indonesia yang sukses menuntaskan dahaga lewat konser bertajuk Music of the Spheres World Tour di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), 15 November 2023.

Saya tentu enggan ketinggalan untuk menghadirinya. Namun, bukan jadi penonton, mengingat harga tiketnya yang di luar batas kemampuan saya. 

Melainkan, sebagai ojek online (ojol) yang mengantarkan penumpang. Ya, sama seperti konser-konser artis luar lainnya, saya selalu hadir. Mulai dari Blackpink, Arctic Monkeys, Slipknot, hingga SM Town.

*       *       *

MAYORITAS penumpang yang juga sebagai penonton konser mengacungkan jempol terkait aksi Coldplay. Demikian pengalaman saya saat berbincang dengan 14 customer disela-sela perjalanan.

Pertanyaannya, sebagai penonton, apa kesan Anda terkait aksi Coldplay?

11: Keren banget (78%)
1: Keren (8%)
2: B aja (14%)
0: Jelek

Btw, saya mengajukan pertanyaan ini fakta. Murni sebagai bloger. Tanpa ada tendensi dengan pihak mana pun. 

Meski, saya pantau di media sosial, khususnya twitter, ada kericuhan di beberapa pintu masuk. Hanya, saya tidak lihat langsung. 

Sebab, ojek online harus nunggu penumpang di luar kawasan GBK yang tidak bisa masuk. Itu meliputi di seberang TVRI, FX, Fairmont, JCC, hingga halte MRT Istora Mandiri.

Selain itu, minusnya konser berlangsung pada hari kerja. Jadi, sejak siang, jalanan di pusat kota sudah macet.

Puncaknya, sore yang bertepatan jam pulang kerja. Makin merayap.

Saya aja nganter dari kawasan Bendungan Hilir, Tanah Abang, Menteng, yang biasanya kurang dari 15 menit, bisa 1 jam! Khususnya di kolong Jembatan Semanggi yang benar-benar ga gerak!

Berbeda dengan konser artis lain. Misalnya, Blackpink yang dua hari tapi pada Sabtu dan Minggu yang tidak bentrok dengan hari kerja.

"Untung ga hujan. Bagus kinerja panitia yang menyewa pawang hingga 'hujannya dimajukan'. Kalo ga, ya ambyar."

Demikian, celoteh penumpang X yang mengaku puas usai menyaksikan Chris berpantun ria. Sehari sebelumnya, Selasa (14/11) memang hujan yang bersamaan dengan pengundian nomor urut capres-cawapres.

Meski cocoklogi, tapi ya dalam setiap event memang tidak lepas dengan hal mistik. Dalam hal ini, melibatkan pawang hujan. 

Tidak hanya konser, bahkan dalam event sepak bola, MotoGP, hingga kampanye pun juga. Percaya ga percaya, tapi keterlibatan pawang hujan memang jadi salah satu elemen pendukung.

Pada saat yang sama, saya juga merasa geregetan saat mendengar pengakuan penumpang yang ditipu. Itu akibat beli tiket di luar official hingga menyebabkan kerugian jutaan.

"Gw ilang 3.5 juta, bang. Gw udah transfer jauh hari, dijanjiin COD pas H-2 hingga Hari-H, eh zonk," ujar remaja asal Serpong dengan menahan sedih.

"Gw datang bertiga dengan kawan yang sama-sama beli via jastip. Ditipu semua. Dua kawan gw akhirnya bisa masuk pas beli lagi yang 4.8 juta sama calo di depan loket. Sayangnya, duit gw ga cukup. Gw cuma megang 2 juta..."

Sebagai sesama manusia, saya sangat bersimpati dengan calon penonton yang ditipu. Hanya, ironisnya ini bukan kejadian yang pertama kali sepanjang 2023. 

Kadang, heran juga kenapa mereka memaksa untuk beli di luar official. Namun, tentu kita ga bisa menghakiminya.

Sebab, namanya penggemar, apa pun dilakukan. Termasuk, nabung sejak jauh-jauh hari kendati akhirnya malah zonk.

Ini jadi pelajaran bagi kita semua, mengingat ke depan bakal banyak artis luar yang konser. Agar, jika ingin membeli tiket secara resmi saja.

Bagaimana jika tidak kebagian saat "war"? Ya, terima saja. 

Itu tandanya belum rezeki. Ketimbang harus berisiko ditipu saat beli dari calo dan sebagainya.

Sekaligus, catatan bagi EO, promotor, dan pemerintah untuk meminimalisir penipuan. Agar, membatasi setiap "war tiket" secara online dengan cukup 1 pembelian per orang.

Tujuannya, tidak ada calo yang beli hingga maksimal empat tiket lalu dijual kembali. Mending kalo mahal itu benar, ini malah banyak menipu calon penonton!

*       *       *

"GIMANA, laris dagangannya?"

"Alhamdulillah, bang. Ini mau balik."

"Lha, belom bubaran. Masih berlangsung konsernya."

"Udah capek bang. Saya dari pagi keliling. Ga apa-apa, ini sisanya saya mau jual di online. Sekaligus ini juga kejar kereta yang terakhir."

Demikian percakapan saya dengan penumpang di Pintu 5 GBK. Customer itu bawa dua koper besar berisi dagangannya.

Mulai dari stiker, kaos, suvenir, gantungan kunci, hingga kipas. Sumpah, saya jadi merinding melihatnya.

Ini anak keren banget!

Mau capek-capek jualan meski masih muda yang sepantarannya di dalam asyik nonton konser. Bagi saya, gadis yang masih belia itu pintar memanfaatkan situasi.

"Bukan dagangan saya, bang. Aslinya punya kakak yang biasa dijual di marketplace. Kebetulan, pas Hari-H saya coba datang. Alhamdulillah, hasilnya lumayan."

Saya mengantarnya ke Stasiun Cawang menjelang pergantian hari. Dara tersebut akan melanjutkan naik kereta ke kediamannya di Bogor.

Sungguh, saya melihat wajahnya yang semringah meski terpancar sedikit lelah. Wajar, mengingat dari pagi menjajakan dagangan sambil kucing-kucingan di area GBK ini tidak mudah.

Salut!

Ya, kehadiran artis, baik dalam maupun luar negeri yang konser, turut menggerakkan ekonomi masyarakat. Selain penumpang tadi yang menjual pernak-pernik Coldplay, juga banyak pedagang yang menjajakan makanan dan minuman.

Selain itu ada sektor lainnya. Termasuk, saya dan ratusan ojol, ojek pangkalan (opang), taksi konvensional dan online, serta lainnya yang turut mendapat rezeki.*** 

*       *       *

- Jakarta, 17 November 2023

*       *       *

Artikel Terkait:

- https://www.roelly87.com/2023/03/blackpink-di-mata-ojol.html

- https://www.roelly87.com/2015/09/nostalgia-20-tahun-bon-jovi-konser-di.html

- https://www.roelly87.com/2020/12/ada-super-junior-di-balik-kehebohan.html

- https://www.roelly87.com/2015/08/kisah-klasik-dalam-konser-sheila-on-7.html

- https://www.roelly87.com/2015/07/20-tahun-tipe-x-sukses-meriahkan.html

- https://www.roelly87.com/2015/06/komitmen-slank-rela-tidak-dibayar-untuk.html



Jumat, 10 November 2023

Menara Kadin yang Memanusiakan Manusia

Menara Kadin yang Memanusiakan Manusia

foto: dokumentasi pribadi/@roelly87



JIKA enggan menghormati sesama karena perbedaan derajat atau status sosial yang jomplang, minimal bisa memanusiakan manusia.

Demikian adagium yang selalu saya pegang dalam keseharian. Termasuk, dalam mencari nafkah sebagai ojek online (ojol). 

Ya, saat mengantar penumpang, makanan, atau barang, adakalanya saya menerima perlakuan aneh-aneh dari customer. Mulai dari sok ngebossy, pandangan sebelah mata, diskriminasi, hingga perlakuan fisik yang menjurus.

Namun, ya namanya juga ojol. Itu semua jadi santapan sehari-hari. Ya, NBBC! Alias, No Baper-Baper Club.

Suka jalanin, ga suka ya tetap jalanin. Mau gimana lagi, namanya juga orderan diberi sistem secara random.

Demikian yang saya alami sejak jadi ojol pada 2019 silam. Hingga kini, sudah ada lima aplikasi, termasuk kurir online (kurol) yang berarti khusus antar barang (paket) atau makanan. 

Dimulai dari Gojek, Shopee, Indriver, dan Maxim. Untuk Lalamove, jarang saya gunakan. Sementara, Traveloka Eats sudah almarhum sejak Oktober 2022 akibat gagal bersaing dalam bisnis antarmakanan.

*        *        *

"SILAKAN masuk ke dalam aja pak. Ada parkiran khusus ojol. Mau jemput penumpang atau antar barang?"

"Nganter pak."

"Ya, di samping pos security ya. Nanti langsung masuk ke lobi untuk tukar identitas. Oh ya, mohon jaket ojolnya dibalik ya."

"Siap pak. Terima kasih."

Obrolan hangat dari salah satu petugas keamanan di Menara Kadin Indonesia, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (30/10).

Saat itu, saya hendak mengantar paket aplikasi Shopee dari Mangga Dua, Jakarta Utara. Sebelumnya, saya sudah chat lebih dulu untuk menanyakan apakah ojol atau kurol boleh masuk lobi di lantai X.

Maklum, ada beberapa gedung yang "mengharamkan" ojol dan kurol masuk atau naik ke lantai tertentu. Biasanya, dititip di resepsionis atau customer ambil sendiri.

Bisa juga boleh naik ke lobi di lantai sekian, tapi ojol harus melewati lift barang. Alias, bukan lift utama. 

Diskriminasi? Yes!

Tapi, ya sebagai tamu, saya harus menghormati aturan yang dibuat tuan rumah. Bagaimana pun, saya selalu memegang teguh adagium "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".

Itu yang pernah saya alami saat pengantaran di gedung kawasan Sudirman. Naik lift barang yang lokasinya terpencil bersama karyawan yang sedang mengantar barang berdimensi besar lewat troli. 

Diskriminasi semacam itu sering saya alami di lingkup lainnya. Misal, saat mengantar makanan di Rumah Susun Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. 

Ketika itu, memang ada lift. Namun, khusus penghuni seperti peringatan yang tertera di kertas yang ditempel di depan lift. Untuk ojol atau kurir harus naik tangga. 

Bangsat! Ingin berkata halus, tapi ga mungkin. Secara, pengelola atau manajemen rumah susun benar-benar tidak memanusiakan manusia. 

Hal sama berlaku di beberapa kostan. Yaitu, di Kebon Jeruk, Mangga Besar, Jakarta Barat, dan Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Biar ga jadi fitnah atau kena pasal karet UU ITE, bukti tersebut sudah pernah saya post di IG (https://www.instagram.com/p/CsLIgujStxi/?igshid=MW13YThpaHd1bDViMw==).

Jika mengalami momen tidak enak dalam pengantaran di gedung, rumah susun, atau kostan tersebut, paling ke depannya saya blacklist. Alias, jika dapat order untuk pengantaran ke lokasi "tidak manusiawi" itu, saya ogah. 

Eittt... Ada pengecualian dong. Jika ongkosnya besar. Bisa dipertimbangkan. Ini kembali lagi ke mindset sebagai ojol yang tujuannya mencari uang. Ha ha ha.

*        *        *

SAAT di lobi lantai dasar, terdapat dua petugas yang menyambut dengan ramah. Pria dan wanita. Saya menukar KTP dengan id card yang berfungsi sebagai pass masuk. 

Liftnya? Di lift utama euy, alias bukan di lift barang! Keren nih gedung. Tepatnya, pengelola atau manajemennya.

Kalo eksterior atau interiornya, Menara Kadon Indonesia menurut saya bagus. Tapi ga spesial banget. 

Misalnya, dibandingkan dengan Menara BNI 46 di Sudirman yang memang sejak saya masih kanak-kanak hingga beberapa teman sudah punya anak, memang sangat ikonik. 

Naik ke lantai XX, saya diarahkan petugas ke lobo suatu perusahaan. Yupz, meski nama gedungnya Menara Kadin Indonesia, tapi juga disewakan ke berbagai perusahaan. 

Baik BUMN, BUMD, atau mungkin swasta. Entahlah, nama perusahaannya banyak, saya ga ada kepentingan buat hafalin.

Btw, terkait Kadin, saya jadi ingat satu hal. Yaitu, tentang rivalitas dua dari tiga tim pemenangan capres 2024 dipimpin ketuanya.

Yaitu, Arsjad Rasjid yang memimpin Kadin periode 2021-2025. Namun, sejak September lalu cuti karena jadi Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo sebagai presiden 2024.

Selanjutnya, Rosan Roeslani yang menakhodai Kadin 2015-2021. Kebetulan, saya pernah menyambangi kantornya di kawasan Adityawarman, Jakarta Selatan, pada 2013 silam. 

Ya, saat itu, Rosan bersama Erick Thohir dan Handy Soetedjo, baru mengakuisisi FC Internazionale dari Massimo Moratti. Sebagai Juventini alias fan Juventus, tentu saya bangga ada warga Indonesia yang jadi pemilik klub raksasa Italia. 

Maklum, tiga tahun sebelumnya, Inter sukses merajai Eropa berkat "Treble Winners" yang dilatih Jose Mourinho. 

Kembali ke Rosan, sekarang jadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Jadi, blantika politik menuju 2024 ini sangat menarik. 

Sebab, jadi ajang adu strategi antarketua Kadin: Arsjad versus Roslan.

Junior kontra senior di Kadin. 

Cocokologi lagi! Ha ha ha.

*        *        *

MENARA Kadin Indonesia ini salah satu dari segelintir gedung yang memanusiakan manusia. Khususnya, bagi ojol atau kurir. 

Demikian penilaian saya usai melakukan pengantarsn ke lantai XX. Mulai dari ramahnya security, petugas di lobi, akses lift yang tidak diskriminasi, hingga parkir gratis! 

Jika bisa melakukan penilaian layaknya di layanan ojol atau olshop, tentu saya kasih BINTANG LIMA! 

Maklum, hanya segelintir gedung yang sangat memanusiakan manusia. Misalnya, Centennial Tower dan The Tower di Setiabudi, Jakarta Selatan. Untuk gedung pemerintahan, ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Agus Salim, Jakarta Pusat, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Jakarta Selatan.

Bagaimana dengan sisanya? Nihil!

Setidaknya, untuk saat ini berdasarkan pengalaman saya sebagai ojol untuk antar atau jemput penumpang, barang, dan makanan. Mayoritas, gedung milik pemerintah itu bak menara gading. 

Alias, tidak ramah untuk profesi saya. Contoh nyata, pada 12 Oktober lalu ketika saya masuk ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat. Ketika itu, saya dikenakan tarif parkir Rp 4.000!

Motor lewat empat menit kena empat rebu?

Ya Tuhan, ingin berkata kasar tapi inget ini Mapolda. Markas Polisi: Urusannya bisa panjang. UU ITE menanti cuy!

Sebelumnya, keluhan ini sudah saya sampaikan di IG (https://www.instagram.com/p/CySufvYSaeD/?igshid=MTFrbWxlMXBjdzB4cQ==)

Ini rekor termahal saya dalam sejarah parkir motor. Baik saat ngojol maupun di luarnya. 

Maklum, rata-rata mal mewah seperti Plaza Indonesia, Grand Indonesia, Pondok Indah Mal, hingga Plaza Senayan, motor hanya dikenakan Rp 2.000 per jam. 

Saya jadi yakin, mahalnya parkir turut membuat masyarakat malas laporan ke polisi. Apalagi, jika mobil yang masuk, mungkin per jam dikenakan  Rp 10.000!

Selain Mapolda Metro Jaya, banyak lagi gedung pemerintah yang tidak ramah untuk ojol. Yaitu, tidak menyediakan space saat menjemput penumpang atau antar barang hingga menyebabkan macet.

Beberapa di antaranya:

- Istana Negara/Sekretariat Negara: Ojol harus nunggu di luar, di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat.

- Gedung PGN: 11/12 (Jalan KH. Zainul Arifin, Jakarta Barat)

- Gedung Bank Indonesia: 11/12 (Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat)

- Kantor Pusat Bank DKI: 11/12 (Jalan Suryopranoto, Jakarta Pusat)

- Bursa Efek Indonesia: 11/12 (Jalan Sudirman, Jakarta Selatan)

- Stasiun MRT Benhil: 11/12 (Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, kerap menimbulkan macet karena lokasinya di pertigaan fly over Doktir Satrio)

*        *        *

SEBAGAI ojol, saya berharap, ke depannya semua gedung pemerintah bisa lebih ramah. Selain tidak membebani biaya parkir, juga menyediakan space untuk antar atau jemput penumpang.

Maklum, tidak semua karyawan memiliki mobil. Yang pangkat tinggi atau sudah eselon sekian, enak, dapat fasilitas roda empat. 

Sementara, yang karyawan biasa? Mengandalkan transportasi umum atau ojol. 

Untuk gedung yang dikelola swasta, memang wajar. Selain Centennial dan The Tower, saya jarang melihat ada yang lebih manusiawi. 

Termasuk, di Mega Kuningan atau SCBD, yang enggan memberi space untuk antar jemput penumpang. Bahkan, mereka justru mempersilakan karyawannya menunggu di pinggir jalan. 

Padahal, mereka masih memiliki lahan kosong. Namun, sepertinya merasa rugi.

Jadi anomali dengan kegagahan gedung yang dilihat dari luar. Namun, di depannya berjejer motor ojol untuk jemput penumpang atau antar paket.***

*        *        *

- Jakarta, 10 November 2023



Selasa, 07 November 2023

Prabowo dan Kedaulatan Selera

Prabowo dan Kedaulatan Selera

ilustrasi buku @roelly87


"WOOOOI, anteng banget bro. Main slot lo ya?"

"Ebuset. Gw lagi mantengin pertandingan AR Roma versus Lecce. Seru banget. Bener-bener detik terakhir menangnya."

"Lukaku ngegolin lagi?"

"Yongkru. Tadi sempat error dia, penalti ga masuk. Untung pas injury time berbalik jadi pahlawan."

"Gokil emang tuh 'Big Rom'. Efek Mourinho bikin doi gacor. Btw, lo kan Juventini, ngapa mantengin Roma. Udah murtad ye?"

"Asem! Gw dari 94 udah Juventini. Nyimak pertandingan Roma karena ada Mourinho sama Dybala aja."

"Ooh... Kirain, lo udah ninggalin 'Si Nyonya Tua' ke pelukan 'Serigala Ibu Kota'."

"Dih... Ogah."

"Ha ha ha."

Demikian percakapan antara gw dan Kemumaki di salah satu kedai kopi di Grey District, Jakarta. Tempat nongkrong yang strategis bagi warga ibu kota dengan harga makanan dan minuman murah meriah.

Selain gw dan Kemumaki, ada Dekisugi dan Kuririn juga yang asyik mengganyang makanannya masing-masing. Kami berempat memang kerap nongki-nongki di kedai ini sambil membicarakan banyak hal.

Mulai dari sepak bola, musik, hingga politik. Apalagi, jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, obrolan kami kian seru.

Kemumaki merupakan die hard-nya Ganjar Pranowo. Sementara, Dekisugi sangat militan dengan Anies Baswedan. Demikian dengan Kuririn yang sejak lama jadi simpatisan Prabowo Subianto.

Gw? Sekadar penggemar Prabowo. Alias, makhluk bebas yang tidak punya kepentingan apa pun terkait tiga capres tersebut.

"All, gw cabut dulu ya," kata Kuririn yang bersiap memakai sepatu.

"Kemane lo? Masih sore gini," Kemumaki menimpali.

"Jangan mampir ke 'warung sebelah' ya," gurau Dekisugi.

"Gelo. Dia ga mampir, tapi udah punya kartu langganan," gw menambahkan.

"Anjir lo pada. Kalian kira, gw cowo apaan," tutur Kuririn. "Dah, ah. Gw cabut. Pagi mau ke Bandung, 'ada proyek' biasa."

"Bawa oleh-oleh ya. Sekalian bayarin pesanan kita-kita ini."

"Nitip 'peuyeum'."

"Tanyain tipis-tipis ya, 2024, Jabar siapa yang maju."

"Au... Ah gelap!" Kuririn ketawa sambil mengacungkan dua jari tengahnya usai membayar pesanan kami ke kasir.

Obrolan khas bapak-bapak memang jadi santapan sehari-hari bagi para penghuni kedai kopi ini. Maklum, pengunjungnya heterogen. Termasuk, profesi dari yang serabutan, calo, pebisnis, politikus, akademisi, hingga penegak hukum.

Apalagi, lokasinya di Grey District yang sesuai dengan penamaannya: Abu-abu.

Ya, berbeda dengan Red District yang juga udah lama gw kenal. Di kawasan itu, semua sudah jelas. Mayoritas penghuninya terbagi antara hitam dan putih. 

Ada garis batas antara kawasan hitam yang dipenuhi pelacuran, perjudian, hingga narkoboy dengan warga. Ada yang tidak percaya Tuhan. Namun, di sebelahnya banyak yang sangat taat dengan Tuhan.

Sementara, Grey District ini semua jadi satu. Bahkan, mungkin penghuninya bisa merasa jadi Tuhan. 

Itu karena hitam dan putih bercampur. Tidak ada yang benar-benar jahanam. Pada saat yang sama, enggan jadi orang suci.

Grey District ini memang sangat unik. Sudah lama disorot banyak pihak. Baik ulasan media arus utama atau media sosial. 

Namun, sejauh ini penghuninya kompak. Jika ada orang luar yang mengusik, mereka langsung bertindak: Hantam dulu, bicara kemudian.

Konon katanya, mereka sudah bersikap seperti itu sejak zaman penjajahan. Penghuni di sana kerap merepotkan Belanda, Jepang, Inggris, dan para pengkhianat bangsa. 

Bahkan, jadi inisiator bersama para pahlawan dalam mempertahankan Tanah Air saat perang kemerdekaan, masa bersiap, gerakan September, hingga 1998 silam.

Salah satu petinggi aparat yang berwenang di negeri ini pun sudah mahfum. Misalnya, isu-isu minor yang berkaitan dengan dunia bawah tanah.

"Ya, kami TTPPTT aja lah. Yang penting, warganya sangat berkontribusi," ujarnya dalam suatu FGD. Alias, tahu tapi pura-pura tidak tahu.

Bisa dipahami mengingat Grey Area ini penghuninya sangat keras. Bahkan, mereka menolak tegas kehadiran ormas-ormas menjijikan yang kerjanya memeras rakyat jelata. 

Dibuktikan dengan tidak adanya spanduk, baliho, dan sebagainya. Termasuk, bebas parkir liar di setiap ruko atau restoran.

Sementara, untuk pemilu, baik pilpres maupun partai politik, mereka menyambut dengan senang hati. Termasuk, 2024 nanti yang terbagi dengan tiga kubu.

*       *       *

"BRO, lo gabung Kuririn yang sekarang udah masuk Ring tujuhnya Prabowo," teriak Dekisugi yang suaranya terdengar sayup-sayup akibat bertepatan dengan lewatnya kereta api.

"Ogah. Untuk saat ini, masih pengen bebas."

"Bagus bro, ga usah ikut-ikutan. Dekisugi aja 2019 barengan Kuririn. Eh sekarang pecah kongsi. He he he," Kemumaki, menimpali.

"Biasa kawan, politik itu dinamis. Bisa jadi di putaran kedua, jagoan lo butuh suara dari Prabowo. Kalo Amin kan udah pasti lolos putaran pertama."

"Idih... Yakin bener. Survei aja mentok 20 persen."

"Ya, liat aja nanti pas valentine. Ya kan bro?" ujar Dekisugi meminta dukungan ke gw. Meski sambil ngobrol, tapi mulutnya aktif mengganyang mie instan campur nasi putih dan telur dadar.

"Ya, kalo gw sih, siapa aja yang menang bodo amat. Gw ke Prabowo sebatas penggemar. Kalo menang bagus, kalah pun ga masalah," jawab gw, sok diplomatis.

"Anjir, jawaban lo sok politikus. Wkwkwkw."

"Tapi ini kita ngobrol aja ya. Kalo Kuririn ga usah dibahas, soalnya udah masuk Rute Solo, alias bukan 'jalur H atau D'. Nah, lo ini kan ibaratnya swing voters, alias sekadar penggemar Prabowo tapi belum tentu nyoblosnya," Kemumaki, melanjutkan.

"Sementara, gw udah jelas. Ganjar itu punya prestasi usai 10 tahun jadi Gubernur Jawa Tengah. Begitu juga jagoan Dekisugi yang pengalaman mimpin Jakarta 2017-2022. Nah, pengalaman Prabowo baru sebatas Menteri Pertahanan aja. Bedain sama waktu tentara ya. Itu juga terakhir 1998 silam. Apalagi, doi kan penculik. Aneh sih, kalo gw jadi lo. Nah, pertanyaan gw, apa alasan lo milih Prabowo?"

Pertanyaan Kemumaki membuat Dekisugi yang sebelumnya lahap mengunyah mie langsung serius menatap gw. Keduanya, seperti para hakim yang memberi vonis hukuman mati dalam persidangan.

"Woi, pertanyaan lo serem banget, anjir. Gw berasa jadi terpidana. Ha ha ha."

"Tapi gw setuju sama Kemumaki nih bro. Jadi pinisirin denger jawaban lo," kata Dekisugi sambil meletakkan sumpit ke atas mangkuk dengan khidmat.

"Minta rokok lo Kem, asem. Sebats dulu," lanjutnya. "Anjir, ini rokok apaan. Mereknya aneh. Seumur-umur jadi 'ahli hisap' gw baru liat nih rokok."

"Udah pake aja. Sejak Corona, emang rokok yang beredar aneh-aneh. Gw cari yang bukan merek terkenal biar murah tapi tetap harus ada cukainya supaya pemerintah dapat pemasukan," tutur Kemumaki.

"Sama bjir. Gw juga ganti rokok dari merek satu huruf ke yang ga jelas ini," kata gw terkekeh menunjukkan sebungkus rokok berwarna hitam.

"Rokok kalian aneh ya. Padahal mau pilpres, momen cuan nih," Dekisugi menjawab seraya menyalakan rokok dengan korek kayu. 

Makhluk satu ini memang konservatif banget. Di saat korek gas atau cricket sudah lumrah, eh doi tetap setia dengan korek kayu yang kalau dinyalakan harus digesek lebih dulu.

"Eh bro, bener kata Kemumaki. Gw pinisirin sama jawaban lo."

"Anjay, dibahas lagi."

"Yoi, bro. Kalo pilihan gw, Ganjar, dan Anies sebagai jagoan Dekisugi udah jelas. Nah, lo gimana?"

"Ga gimana-gimana Kem. Ini soal selera aja. Gw menggemari Prabowo dari perbawanya sejak 2008. Udah itu aja."

"Prestasinya yang nol? Dipecat dari militer?" Kemumaki, menimpali.

"Capres abadi?" tambah Dekisugi, sarkas.

"Woi... Kalian berdua detail amat. Kalo Prabowo ini soal kedaulatan selera. Subyektif. Sama kayak penggemar fotografi, ada yang dari dulu nyaman dengan Nikon atau Canon. Atau di sepak bola, Kota Manchester terbelah jadi merah dan biru.

Begitu juga di dunia kuliner. Misalnya, lo pada doyan bubur diaduk atau ga diaduk? Kan kembali ke selera masing-masing."

"Gw diaduk sih," jawab Kemumaki.

"Gw mah ga diaduk. Geli anjir, kalo makan bubur diaduk gitu," Dekisugi, menimpali.

"Kalo gw mah bebas. Yang penting ga pake seledri sama kacang," ucap gw.

"Si oneng, jadi bahas makanan. Dah lanjut, pertanyaan gw tadi," kata Kemumaki.

"He he he. Apa ya? Oh soal kedaulatan selera? Ya itu. Meski banyak stigma negatif tentang Prabowo, tapi kalo udah suka ya mau gimana lagi. Ya, sekali lagi. Sekadar menggemari. Ga harus mati-matian membela doi. Sama kayak gw sebagai Juventini. Kalo Juve menang, bagus. Andai kalah, yo wis. Mau gimana lagi. Yang penting, gw tetao cinta Juve sejak 1994.

Terus, ke kalian ini dan Kuririn yang aktif sebagai simpatisan. Emang kalo Ganjar atau Anies menang, lo berdua bakal dilirik jadi menteri? Ga, kan. Jadi, ya kita harus punya garis batas. Jangan berlebihan dalam menyukai sesuatu."

Kemumaki menghisap dalam-dalam rokoknya usai mendengar penuturan gw. Pada saat yang sama, Dekisugi asyik memainkan sumpit layaknya stik drum yang diadu ke mangkuk.

"Dah ah, pembahasan politik bikin gw laper. Mau nambah seblak nih di seberang."

"Bro, gw nitip satu ya."

"Anjir, lo tadi udah makan mie pake nasi sama telor masih kurang aja," timpal Kemumaki.

"Kedaulatan selera, Kem. Tadi kan makan, kalo seblak ini ngemil."

"Gw nungguin uduk Mpok Gayong aja subuh nanti."

"Ha... Ha... Ha..."***

*       *       *

- Jakarta, 7 November 2023

Artikel Sebelumnya:







Artikel Selanjutnya:

- Prabowo Presiden 2024, Ganjar Mendagri, Anies Menlu, dan AHY Menhan (Bumi 666)

- (What If) Prabowo Kalah Lagi