TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: April 2021

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Jumat, 30 April 2021

Kenapa Ojol Wajib Divaksin?

Kenapa Ojol Wajib Divaksin?

Saya saat divaksin pada Kamis (29/4)



SEBAGAI ojek online (ojol), mendapat vaksinasi Covid-19 jadi salah satu momen yang paling saya tunggu sepanjang 2021 ini. Terutama, sejak koronavirus mewabah pada awal tahun lalu yang hingga kini masih berdampak.

Itu mengapa, saya sangat antusias ketika aplikator tempat saya nencari nafkah, Gojek, memberikan tiket untuk vaksinasi pertama. Undangan tersebut terdapat di pesan aplikasi saya pada 26 April lalu.

Saya pun bergegas untuk daftar lewat aplikasi Halodoc yang terjadwal pada 29 April. Sangat mudah, karena setiap ojol dengan KTP DKI Jakarta yang diundang mendapat kode khusus.

Lokasinya, ada dua:

1. JIExpo Kemayoran Parkir Hall C, Jakarta Utara

2. West One Cengkareng, Jakarta Barat

Saya pun memilih yang pertama. Waktunya, kemarin, pukul 13.00 WIB. Alasannya jelas, sehabis vaksinasi, rencananya saya langsung ngebid hingga menunggu waktu berbuka puasa. Ya, sambil menyelam minum air tebu.

Kebetulan, kawasan Kemayoran, ramai untuk mengambil berbagai orderan. Itu meliputi GoRide alias penumpang, GoFood (makanan), GoSend (kirim barang), GoShop (belanja), dan sebagainya.

*       *       *

SIANG itu, Kamjs (29/4), cuaca di ibu kota sangat terik. Sambil membelah jalanan dari kawasan barat, saya pun akhirnya tiba di JIExpo. Arloji di saku kiri saya menampakkan pukul 12.31 WIB. Alias, masih ada waktu untuk registrasi vaksinasi Covid-19.

Saya pun ikut antrean dengan ratusan rekan ojol lainnya. Ada beberapa tahap sebelum vaksinasi. 

Pertama, registrasi dengan membawa KTP asli dan fotokopi. Sekaligus, mengisi data diri yang formulir dan kertas sudah disiapkan Gojek.

Selanjutnya, memperlihatkan undangan yang tercantum di Halodoc. Kurang dari seperminuman teh, kami pun bergiliran untuk divaksin dengan membawa sepeda motor masing-masing. 

Setelah itu, tinta sejarah turut mencatat. 

Ya, vaksinasi sangat singkat. Usai disuntik, saya pun diminta istirahat sekitar 30 menit. Tujuannya, untuk mengetahui apakah ada dampak lebih lanjut. Sekaligus, mendengar arahan dari perwakilan Gojek terkait vaksinasi kepada kami, mitranya.

Bisa dipahami mengingat tidak semua pihak setuju dengan adanya vaksinasi. Namun, menurut saya ini wajar. Toh, bagian dari dinamika kehidupan.

Bagi saya pribadi, mengikuti vaksinasi yang diselenggarakan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa yang merupakan induk dari Gojek yang berkolaborasi dengan PT Media Dokter Investama (Halodoc) ini merupakan kewajiban.

Mengapa?

Alasannya jelas. Itu mengingat saya sebagai ojol yang merupakan mitra Gojek. Tentu, saya ingin memberikan yang terbaik terhadal partner saya.

Setidaknya, ada tiga alasan versi saya pribadi terkait kewajiban vaksinasi.

1. Ini sangat penting bagi kesehatan saya sendiri dan keluarga. Sebab, saya harus melindungi keluarga di rumah. Dengan sudah divaksin, setidaknya saya tidak khawatir lagi saat pulang seusai ngebid. Tentu, saat ngojol, saya tetap mengikuti protokol kesehatan (prokes)  Itu meliputi memakai masker, sarung tangan, dan bawa hand sanitizer.

2. Sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah. Ya, saat ini, pemerintah sedang melakukan program vaksinasi sebagai upaya penanggulangan virus Covid-19. 

Sejak awal tahun, vaksinasi diberikan kepada masyarakat lanjut usia (lansia) dan petugas layanan publik. Nah, saya dan rekan-rekan ojol lainnya yang merupakan mitra Gojek termasuk dalam kategori tersebut.

Kelompok ini, masuk dalam prioritas pemerintah. Mengapa? Sebab, kita-kita ojol ini, memiliki interaksi dan mobilitas tinggi yang berhubungan dengan masyarakat.

Apakah, Gojek mewajibkan mitranya? Saya tidak bisa menjawab. Setidaknya, hingga saat ini. 

Yang pasti, sebagai mitra, alias bukan karyawan dari PT Karya Anak Bangsa, tentu kita punya hak untuk setuju atau menolak. Pilihan ada pada diri kita masing-masing. 

Namun, saya pribadi meyakini, vaksin merupakan solusi untuk keluar dari pandemi. 

Ya, selain profesi sebagai ojol, saya juga blogger. Jelas, kangen dengan situasi yang berkaitan dengan acara offline. Apalagi, bertepatan dengan Ramadan. Biasanya, sebelum 2020, saya kerap ikut buka puasa bersama (bukber) dengan rekan-rekan blogger lainnya.

Lalu, apakah kita akan mendapat sanksi dari Gojek jika tidak ikut vaksinasi. Ini kabar burung yang saya dengar.

Kenyataannya adalah tidak. Gojek sudah pasti tidak akan sewenang-wenang memberikan sanksi kepada mitranya yang menolak vaksinasi.

Secara, vaksinasi merupakan program pemerintah, alias bukan Gojek atau PT Karya Anak Bangsa. Namun, sebagai ojol, kita memang dianjurkan untuk mengikuti arahan pemerintah.

Kenapa? Sebab, vaksinasi ini bukan hanya untuk melindungi diri sendiri, tapi juga demi melindungi keluarga kita, orang terdekat, tetangga, masyarakat di Tanah Air, hingga warga dunia. Itu karena target vaksinasi adalah kekebalan kelompok atau herd immunity.

3. Yeeei, poin kedua pada paragraf di atas, panjang pake banget. Saya pun yang mengetiknya sambil ngalong di salah satu kawasan kuliner di jantung ibu kota, jadi lupa nulis.

Yupz. Alasan ketiga saya ikut vaksinasi demi memastikan rasa aman dan nyaman kepada customer. Sebab, bagaimana pun, sebagai ojol, tentu kita akan berinteraksi dengan customer baik langsung atau tak langsung.

Contoh, dalam layanan GoRide, saya kerap bersentuhan saat memberikan helm, haircap, dan hand sanitizer. Nah, dengan kepastian sudah divaksinasi, setidaknya tidak membuat customer was-was. 

Apalagi, ketika saya tempel stiker pemberian Gojek bertuliskan, "Saya Sudah Divaksin!" di depan sepeda motor, banyak customer (GoRide) yang antusias. Bahkan, mereka memberi apresiasi, bahwa ojol memang jadi salah satu garda terdepan dalam situasi pandemi ini.

Saya pribadi, tentu bangga. Kendati hanya setitik di samudera, setidaknya saya sudah turut ikut berkontribusi dalam perputaran ekonomi bangsa ini melalui antar penumpang kerja, sekolah, kuliah, makanan, kirim dokumen, dan sebagainya.

Nah, saya sudah divaksin. Saya tunggu cerita dari rekan-rekan ojol lainnya!

*       *       *

Saya Sudah Divaksin!


*       *       *

Dapat suvenir dari Gojek berkat menceritakan kesan usai 
divaksin pada postingan instagram, @roelly87


*       *       *

Perwakilan Gojek foto dengan latar "Saya Sudah Divaksin"


*       *       *

Usai divaksin, saya dapat SMS
untuk jadwal kedua, bulan depan


*       *       *

Sertifikat Vaksinasi Covid-19 yang bisa diunduh
pada laman pedulilindungi.id


*       *       *

Stiker "Saya Sudah Divaksin" yang jadi nilai lebih
di mata customer


*       *       *

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):


Artikel Terkait Covid-19

Pentingnya Vaksinasi di Tengah Pandemi
Bersama Halodoc Cegah Covid 19 secara Dini

*       *       *

DISKLAIMER: Artikel ini merupakan murni reportase saya sehari-hari sebagai blogger yang independen alias tidak terkait dengan pihak mana pun. Juga tanpa bermaksud menggurui.

Referensi:
- https://mui.or.id/berita/29845/fatwa-mui-nomor-13-tahun-2021-vaksinasi-injeksi-tak-membatalkan-puasa

Seluruh foto/gambar merupakan dokumentasi pribadi (www.roelly87.com)

*       *       *

- Jakarta, 30 April 2021

Rabu, 21 April 2021

Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal

Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal

Ilustrasi (Foto: www.roelly87.com)


*       *       *

POV Irawan

BEBERAPA hari usai keganjilan di basecamp ojek online (ojol) tempat gw dan beberapa rekan kumpul, situasi kembali normal. Memang, basecamp itu selalu jadi tempat istirahat atau menunggu penumpang bagi ojol.

Maklum, kawasan di sekitar kami tinggal tergolong "basah" karena terdapat pusat perbelanjaan, kuliner, gudang, hingga pabrik. Alhasil, cukup menunggu di basecamp, maka orderan pun sering datang. 

Namun, pantang bagi kami, ojol untuk mengambil penumpang tanpa aplikasi. Sebab, itu merupakan domain ojek pangkalan (opang) yang basecamp-nya hanya berjarak ratusam meter.

Antara kami dan opang saling menghormati. Apalagi, bagaimana pun, opang lebih dulu eksis dibanding ojol.

Itu mengapa, jika ada setiap penumpang yang ingin naik tanpa aplikasi, kami tidak pernah mengambilnya dan menyarankan untuk memilih opang. Kecuali, jika masih ada hubungan keluarga, tetangga, atau kenal.

Seperti tadi, ketika gw dan Ekalaya rebahan, ada calon penumpang yang ingin masuk kerja shift malam ke pabrik berjarak sekitar 1,5km. Usai menolak dengan halus, gw dan sohib gw itu kembali menunggu orderan penumpang, food, atau kirim barang sambil ngalor ngidul. Kebetulan, hari masih pagi -bagi kalongers-, sekitar pukul 19.00 WIB.

"Tumben lo masih rebahan jam segini. Biasa udah bolak-balik saking gacornya," kata gw kepada Eka yang sedang streaming Ahmad Band via youtube di ponselnya.

"Istirahat ngab. Mayan pegal, keluar dari jam 4, jauh terus," sohib yang mengaku Juventini sejak 1994 ini menjelaskan.

"Btw, pada kemana yang lain? Drestajumena dan Jayadrata juga tumben ga langsung balik abis pada dapat di pabrik," Ekalaya melanjutkan.

"Ga tahu. Di grup sih gw lihat, mereka lanjut dapat kardus," jawab gw.

"Btw, kalo ngomongin Dresta dan Jaya jadi inget kejadian Kamis lalu."

"Ha ha ha. Goblok lo pada. Bertiga tapi kabur semua," Eka menyahut.

"Serem, njir. Gw sama Dresta dan Jaya pas noleh lagi, lo udah ilang. Mana bau kembang lagi. Apalagi, malam jumat tuh," gw menjelaskan insiden kehadiran makhluk halus yang menyerupai Eka.

"Btw, lo ini beneran apa bukan nih. Secara, kita cuma berdua."

"Ebuset, parno lo kambuh. Ya iyalah, gw Eka. Lo ga lihat gw pegang hape, apa? Mana ada hantu sambil streaming?" ujar Eka, terkekeh.

"Kaga, ngab. Khawatir aje, ini bukan lo," kata gw sambil melempar botol air mineral yang tepat kena keningnya.

JDUK...

Bunyinya nyaring. Berarti, Eka beneran. Soalnya, kalo tuh botol tembus, berarti gw ga pake lama deh, langsung sipat kuping.

"Biar tambah yakin, kalo lo ini asli. Coba jawab, apa kelebihan gw," lanjut gw menatap Eka yang asyik menyeruput kopi panas di termos mini hasil goodybag Asian Games 2018.

"Kelebihan lo? Ga ada nyet. Kekurangan banyak."

"Njir... Mulai deh buka kartu."

"Iye, lo ga inget di Harmoni waktu STM lo dibantai kering sepupu gw dan teman-temannya? Kalo ga ada gw, sekolah lo yang segambreng itu tapi pada ciut jika ketemu STM si Abimanyu, bisa jadi sansak hidup," Eka menjelaskan peristiwa 2003 silam. 

Salah satu kenangan yang ga bisa gw lupain seumur hidup. Tepatnya, ketika 60-an anak STM gw kocar-kacir waktu diserang balik sekolah Abi yang hanya berjumlah belasan. Bahkan, gw udah terpojok depan Carrefour, nyaris mendapat "kenang-kenangan" dari Seta, anak Semanan yang megang kelas dua STM 1 DKI, alias seangkatan dengan gw dan Eka. 

Itu akibat celurit yang gw pegang terlepas saat beradu dengan parang Eka. Sebenarnya, gw ga pernah bawa senjata tajam (sajam), alias mengandalkan fisik saja atau kalau kepepet ya batu. 

Namun, ada saja di antara anak di sekolah gw yang menyimpan sajam, entah itu gir, parang, katana, celurit, hingga kelewang. Gw yang terpojok sulit mengambil kembali celurit yang aslinya punya anak kelas tiga sekolah gw pun terancam parang milik Seta.

Beruntung, ada Eka yang berteriak kalo gw merupakan "mangsanya". Alias, jangan sampe gw diganggu.

Tentu, Seta menolak. Apalagi, STM-nya memang sejak dulu memandang remeh sekolah Eka yang mayoritas kaum hawa.

Bahkan, SMA Abi merupakan side kick dari STM Camp Java yang ironisnya sama-sama jadi rival sekolah gw, Boedoet, dan DKI. Ya, ketiga STM ini merupakan musuh satu sama lain.

Hanya, Seta enggan gegabah. Itu mengingat status Eka yang megang SMU di sekolahnya justru sepupu Abi, pentolan DKI.

Ya, riwayat kenakalan gw saat berseragam putih abu-abu memang dipenuhi keringat, darah, dan air mata. Dalam sejarahnya, baik tawuran atau duel one by one, rekor gw memang ga sempurna. Tiga kali kalah.

Pertama, dari Abi pada awal caturwulan gw kelas dua. Sepupu Eka ini memang setingkat lebih tinggi, alias kelas tiga. Namun, harus diakui, saat itu nyalinya memang nomor satu. Abi ga pernah kalah saat duel. Gw pun jadi bulan-bulanannya dua kali ketika one by one di Lapangan VIJ, Roksi, dan saat beradu sajam di depan Citraland.

Selanjutnya, gw takluk dari Dursasana, yang megang STM Poncol saat pecah tawuran di Kramat Raya. Saat itu, bus rombongan gw diserang mereka yang berasal dari gabungan tiga sekolah bersama STM Ploeit dan SMA negeri di Mangga Besar.

Terakhir, dengan Eka yang skornya 1-2. Nah ketika insiden Harmoni itu, permintaan Eka tidak langsung diiyakan Seta yang masih mengibaskan parang depan muka gw.

Eka pun tampak geregetan dengan Seta. Hanya, dia tidak bisa apa-apa mengingat statusnya sebagai orang luar.

Beruntung Seta tidak jadi menyabetkannya setelah sempat menoleh ke Abi yang justru sedang nyantai. Abi pun mengangguk sebagai isyarat agar Seta memenuhi permintaan Eka.

Tentu, Seta 100 persen menurut. Sebab, perkataan Abi merupakan titah bagi anak-anak STM DKI. Termasuk, Seta yang megang kelas dua pun tidak punya pilihan. Selain kalah abu, juga terkait reputasi Abi sebagai legenda hidup pelajar bengal pada dekade 2000-an. Tidak terhitung berapa kali dia tawuran atau duel dengan pelajar lain, baik dari STM, SMA, bahkan veteran dan alumni.

Anehnya, Abi yang di STM jurusan mesin, sekarang kerja kantoran sebagai salah satu karyawan di instansi pemerintah di kawasan Medan Merdeka Selatan dengan posisi cukup tinggi. Gw pun baru tahu saat bertemu dengannya belasan tahun kemudian di rumah Eka.

*       *       *

"WOI... Bengong aja. Awas, kesambet lagi," tutur Eka yang menyadarkan lamunan gw.

"Si anjrit, gw lagi mikir kapan aplikator kasih kitab bonus lagi," gw berkilah.

"Ga usah dipikirin bonus mah, mending banyakin orderan biar gacor yang berujung duit datang sendiri tanpa ngarepin bonus," lanjut Eka yang sejak ngojol pada 2019 memang gw tahu sama sekali ga perduli sama bonus. 

Ibaratnya, kalo di antara anak-anak di basecamp ngejar tupo atau tuber, Eka mah nyantai aja. Tahu-tahu, sehari kumpul Rp 300-500 ribu. Maklum, Eka tipikal ojol petualang, alias hobi ngambil orderan jauh yang tentu argonya juga gede.

"Gw jadi inget waktu itu. Kok lo bertiga takut sama makhluk halus. Sementara, dengan begal dan gangster aja, kalian berani ngadepin paling depan," Eka kembali menyoal insiden di basecamp.

"Kaget njir. Kalo begal atau gangster kan disentil pake parang juga berdarah. Nah, itu makhluk halus mana mempan. Si Jaya aja yang kabur paling terakhir, liat kaki 'kembaran lo' ga napak tanah," gw menjelaskan. 

"Nah itu... Coba kalo makhluk halus yang menyerupai gw ngambil motor salah satu dari lo bertiga. Tentu, kalian bakal mati-matian mempertahankan. Jangankan cuma satu makhluk halus, bahkan Raja Iblis Pikkolo pun kalo coba ngegarong motor lo pada, gw yakin kalian bantai," lanjut Eka.

"Yongkru, pasti lah. Bagi kita-kita sebagai ojol, motor itu seperti nyawa kedua. Ga bakal rela kita kehilangan kuda besi ini."

"Nah kan, bener kata gw. Jadi inget waktu phalguna tahun lalu, lo sendirian ngadepin tiga begal di Sunter. Gw jadi ngebayangin lo masih muda pas sendirian ngebantai anak Camp Java di depan Roxy Mas. Tapi percuma, beraninya sama begal dan anak STM doang, giliran ketemu soket pada kabur," Eka tertawa semringah.

Apa yang diucapkan Eka memantik kembali semangat gw sebagai ojol yang ga kenal takut. Baik kepada ormas, kang parkir liar, security komplek yang ngehe, hingga begal. Terutama, peristiwa setahun lalu...

*       *       *

RINAI baru saja membasahi ibu kota menjelang pergantian hari. Gw pun menepikan kendaraan sejenak di depan halte Kelapa Gading arah pusat perbelanjaan. Meski mendekati larut, kawasan yang sedang dibangun kereta layang ini masih ramai. Tampak beberapa rekan ojol yang ngalong asyik menunggu penumpang.

"Bang, anter ke Kemayoran yuk. Ini saya ada 100 ribu," ujar seorang pria berambut belah tengah dengan pakaian parlente yang tangan kirinya menjinjing tas kemungkinan berisi laptop dan kanan menyodorkan uang pecahan Rp 100.000.

"Waduh, maaf bang. Saya ga bisa. Itu ga jauh, ada opang. Bisa ke sana bang," jawab gw yang memang jarang mengambil penumpang tanpa aplikasi.

"Baterai saya habis bang. Mau pesan ojol ga bisa buka aplikasi. Ga apa-apa, lumayan dekat bang. Saya mau pulang abis meeting dengan klien."

Sebenarnya, gw enggan mengangkut. Namun, gw akui terlena lembaran merah yang disodorkan. Maklum, jika pakai aplikasi, tarifnya hanya Rp 30-50 ribu. Itu pun belum dipotong biaya layanan 20 persen. Apalagi, rutenya arah balik ke rumah gw. Beda cerita jika harus ke Priok atau Cakung yang kian jauh.

"Oke bang. Ini helmnya," kata gw yang menetapkan hati meski perasaan sempat tidak enak.

Sepanjang jalan, tidak ada yang aneh. Hingga ketika lewat Jalan Danau Sunter, tiba-tiba orang itu menepuk pundak gw.

"Bang, berhenti sebentar. Ada telepon masuk. Kalo sambil jalan, saya ga kedengeran."

"Depan aja bang. Ini masih sepi, rawan," gw tetap melajukan motor.

"Lo mau berhentiin motor atau nyawa lo yang gw berhentiin," ujar penumpang itu sambil menodongkan benda tajam di pinggang gw yang berasa dingin. Njir, kemungkinan, itu pisau!

Hanya beberapa detik kemudian, dari spion kanan, gw lihat ada satu motor mendahului. Tak lama, berhenti melintangi motor gw diikuti turunnya kedua orang. 

Si botak yang mengendarai motor matic mengarahkan celuritnya. Selanjutnya, si gondrong dengan parang turut memberi kode kepada penumpang gw.

"Santai aja bro. Gw mohon kerja samanya ya," tutur si botak, tertawa.

"Kalo lo serahin motor, hp, dan dompet, lo bakal aman," ujar si belah tengah yang kini sudah berdiri di samping gw usai motor gw pinggirin, tapi tetap tangan kanannya mengarahkan pisau ke perut gw.

Si botak pun dengan sigap merogoh tas selempang gw untuk mengambil hp dan dompet. Dalam situasi ini, gw hanya dihadapkan pada dua pilihan: Melawan dengan risiko nyawa terancam. Atau, menyerahkan harta gw, terutama motor yang bakal bikin gw nganggur akibat tidak bisa ngojol.

"Selow bang. Gw buka helm dulu," kata gw sambil mengamati situasi yang sangat sepi.

"Nah gitu dong. Kita ga butuh nyawa lo, cuma pengen motor dan harta lo aje. Aman kok," ucap si gondrong yang dari nafasnya bau alkohol. Empuk nih!

Secara perlahan, gw buka tali helm ojol. Selanjutnya, tinta sejarah turut mencatat.

*       *       *

SYUUT...

PLAK!!!

Lemparan helm gw tepat kena muka si gondrong yang langsung memegangi hidungnya akibat refleks. Alhasil, gw segera loncat dari jok untuk mencomot parang.

Pada saat yang sama, si belah tengah yang merupakan penumpang abal-abal bersiap menikamkan pisaunya. Pun demikian dengan si botak yang menyabet celuritnya.

Bagi gw, ga masalah dikeroyok tiga orang sekaligus. Menurut perhitungan, baik tangan kosong maupun pakai sajam, secara pengalaman biasanya satu lawan satu jelas gw menang. 

1vs2 gw masih unggul, 1vs3 imbang, 1vs4 gw di bawah angin, 1vs5 jelas kalah, dan 1vs10 gw wajib sipat kuping karena peluang menang hanya nol koma sekian persen.

Si gondrong yang hidungnya keluar kecap sempoyongan ikut mengepung gw dengan tangan kosong bersama belah tengah dan botak.

Anjrit, gw berasa tapak tilas era Sam Kok! Tepatnya, gw yang jadi Lu Bu dikeroyok Zhang Fei yang perawakannya mirip botak, Guan Yu ala-ala belah tengah, dan gondrong yang paling lemah seperti Liu Bei.

"Kalian serius mau begal gw? Gw kasih tahu aja, sendirian lawan lo-lo pada, tetap gw menang. Mending, kalian balik, cuci muka, minum obat cacing, dan tidur," ujar gw tertawa sambil mengayunkan parang.

Ya, di balik sesumbar ini, gw coba untuk memancing emosi mereka. Bagaimanapun, satu lawan tiga bukan duel ideal. Meski menang, gw khawatir harus membayar mahal akibat luka sajam.

"Bacot lo Njing!" sahut gondrong sambil melempar helm yang dipungut bekas sambitan gw. 

Pancingan gw terbukti tepat. Jelas, gondrong yang paling emosional. Lemparannya dengan mudah gw tangkis lewat tangan kiri. Sakit juga. Namun, tak masalah dibanding rasa sakit gondong yang puluhan kali lipat.

SYUTTTT

JLEB!

"Aduh... Sakit mak," teriak gondrong ketika pundaknya gw sabet parang dan pahanya gw tusuk. Dia pun ambruk dengan telungkup.

Di sisi lain, gw dengar samberan benda tajam di belakang gw.

SYUNGGGGG

SSS...

Nyaris saja! Untung gw sudah prediksi. Kalau ga, celurit si botak udah nancap di pundak gw. Sayangnya, dia terlihat amatir dengan sajam.

Padahal, sejak kecil, gw yang berasal dari The Bronx-nya Jakarta, jelas udah main-main dengan benda seperti itu. Baik belati, golok, celurit, kelewang, katana, mandau, hingga karambit! 

Jadi, gw ga gentar menghadapi si gondrong dan belah tengah. Di atas kertas, gw yakin sohib gw, Ekalaya juga bisa mengatasi mereka bertiga jika mengalami hal yang sama. Kalo Abi? Jangan ditanya! 

Dikeroyok belasan pelajar pake sajam di Gunung Sahari pun, Abi sangat asyik meliuk-liuk bermodalkan gesper. Wajar jika sejak kelas 1, sepupu Eka ini udah jadi pentolan DKI.

WUSSS

TRANG... TRANG... TRANG

Gw yang balik nyerang lewat bacokan parang secara vertikal mampu dihalau si botak dengan susah payah. Dari arah kiri, tangan si belah tengah lurus menusukkan pisaunya ke perut gw. 

Gw pun mengegos ke samping. Gw bisa aja mencabut parang yang sedang diarahkan ke si botak dengan menyabetnya secara horizontal ke kepala si belah tengah. Alias, taktik gugur gunung.

Hanya, gw punya spekulasi lain.

Usai menghindari pisau, gw arahkan kaki gw ke "area jackpot" si botak.

JDUK

Anjrit. Pasti sakti tuh. Minimal si botak bakal mules terus dalam beberapa hari ke depan. Apalagi, tendangan gw telak banget ke dua bola di bawah perut botak yang membuat celuritnya lepas.

Sosok yang sekilas mirip Brock Lesnar ini pun KO mengikuti si gondrong. Tinggal, si belah tengah saja. Biang keladi yang gw kira orang kantoran dengan tampang paling friendly dibanding dua temannya, ga tahunya malah begal. Anjing!

Tanpa basa-basi gw sabet parang ke lengannya. Bisa sih gw tikam ke perutnya. Secara, jangkauan parang lebih luas ketimbang pisau. 

Namun, gw enggan jadi pembunuh. Niat gw sekadar melumpuhkan. Bukan menghabisi. Apalagi, gw teringat dua anak di rumah, terutama bocah yang sedang lucu-lucunya.

Ga lucu kalo gw harus ngebunuh orang. Meski, niat gw demi melindungi diri akibat di begal. 

Hanya, hukum di Indonesia terkadang anomali. Ada kemungkinan, gw sebagai korban yang berusaha membela diri malah harus mendekam di bui. 

TAKK... TAKK...

Sumpah, gw kaget ketika sabetan gw ditahan pake lengan kanannya! Bahkan, si belah tengah tersenyum menyeringai yang seolah mengejek gw. Tanpa basa-basi, gw ayunkan mata parang ke wajahnya secara vertikal dari bawah ke atas.

SYUTTT

WUSS... WUSS... WUSS

Kini, giliran tangan kirinya menangkis. Bahkan, tangan kanannya bekerja cepat dengan mencoba merebut ujung parang!

Gw coba tarik yang tanpa sengaja mengenai telapak tangannya. Kalo orang normal, itu udah cukup buat ngebeset bahkan mengoyak dagingnya.

Anehnya, si belah tengah justru belum mengeluarkan darah sama sekali. Benar-benar situasi yang ganjil bagi gw. 

Si belah tengah meringsek maju. Pada saat yang sama, gw mundur beberapa tindak.

Alarm di kepala gw memberi sinyal untuk lari. Secara, lawan punya pegangan...

"Njing. Lo punya Rawarontek?" ujar gw spontan terkait kekebalan si belah tengah.

"Lo tahu juga, bocah? Sebenarnya, ilmu ini masih jauh dari Rawarontek. Tapi, cara kerjanya hampir mirip. Ya, bisa dibilang gitu," jawab si belah tengah sambil menyulut rokok yang diambil dari saku kemejanya.

Njir... Nyantai bener. Gw yang sejak kecil malang melintang di jalanan, termasuk kenyang tawuran saat di sekolah dan bentrok antarormas, kini seolah tidak punya harga diri di hadapan si belah tengah.

"Bocah!" teriak si gondrong, mengejek sambil memegangi pundaknya yang tampak mengucurkan darah akibat beberapa titik bekas tikaman gw.

"Lo ga bakal menang. He he he. Bos, habisin aje. Kalo gw ga luka, udah gw bantai nih bocah," si gondrong berseru kepada si belah tengah yang justru tampak acuh sambil dengan khusyu menghisap rokok mild.

Dalam situasi terbalik ini akibat si belah tengah punya wapak, membuat gw segera menganalisis kelemahannya langsung. Ya, percuma kalo gw hanya sabet ke tangan, kaki, atau badan. Sebab, si belah tengah punya ilmu kebal. 

Saat itu, ada dua pilihan yang bisa gw tempuh. Pertama, sipat kuping. Ini cara paling aman. Toh, kunci motor masih di celana dan gw yakin si belah tengah tidak akan mengejar. Apalagi, dia harus menolong dua temannya, si gondrong dan botak yang sudah out of the game.

Namun, gw ogah jadi pecundang. Apalagi, darah muda gw panas menyaksikan kekebalan lawan yang bikin gw penasaran.

Yang kedua, jelas. Melawan hingga titik darah penghabisan.

Opsi ini yang gw ambil.

Berdasarkan analisis singkat gw, nggak ada manusia yang benar-benar kebal. Meski, itu punya Rawarontek sekalipun, pasti punya kelemahan. 

Ya, gw akan mengambil taktik Total Voetball! Bagaimanapun, strategi terbaik adalah menyerang.

Gw arahkan ujung parang ke kepala si belah tengah, tepatnya mata kanan! Hanya, serangan gw dapat dielakkan dengan kedua tangannya menangkap parang gw.

"Cih..." Gw memaki karena tangkapan si belah tengah cukup kuat. Bahkan, dia hanya tertawa mengejek.

Namun, itu hanya serangan kamuflase bagi gw dari tiga skema. Sebab, tangan kiri gw yang nganggur langsung menojos ke arah jakun.

Bodo amat dah, si belah tengah modar kalo lehernya gw tusuk pake keempat jari. Hanya, dia juga refleks menangkap tangan gw!

Anjing!

Itu berarti, tinggal satu serangan pamungkas. Yaitu...

DUKKK

Bangsat! Hidung gw kena tonjok tangan kiri si belah tengah yang melepaskan pegangan parang. Njir, perih banget bikin gw kayak orang nangis.

"Lo udah frustrasi? Sampe melakukan perbuatan hina ke area vital. Gw tahu, lo bakal ngarahin mata, jakun, dan dua bola di bawah perut gw," ujar si belah tengah, tersenyum.

"Gw akuin, ketiga spot itu jadi kelemahan gw meski sudah punya ilmu kebal. Lo hebat juga bisa tahu, bahkan langsung menyerang ketiganya berturut-turut. Namun, gw udah pelajari dari dulu, bagaimana caranya melindungi mata, leher, dan jackpot ini. Ha ha ha."

Bangsat. Seluruh strategi gw, gatot. Wajar saja, jika si belah tengah sudah mengantisipasi kelemahannya dalam setiap perkelahian. 

"Apa opsi satu yang gw ambil?" ujar gw dalam hati terkait rencana kabur. Pada saat yang sama, gw lihat celurit bekas dipakai si botak tergeletak di depan kaki gw.

Hmm...

Dengan tangan kanan memegang parang dan kiri, celurit, masa gw kalah!

"Bacot lo begal anjing! Lo kalo mau kaya, ya kerja. Jangan begal. Nyusahin orang aja!" teriak gw mengayunkan parang dan celurit bersamaan dengan mengarahkan ke leher hingga muka.

Terbukti, kini si belah tengah terdesak. Meski kebal senjata tajam, tapi diserang parang dan celurit secara serentak yang dengan mengarah ke titik vital ya sami mawon. 

Jika sabetan parang dengan mudah ditangkis melalui lengan, tidak dengan celuriy. Sebab, sajam melengkung ala bulan sabit ini sangat istimwa. Gw mengarahkan ujungnya yang runcing ke belakang leher si belah tengah!

Sontak, dia pun kewalahan. Gw terus menyerangnya secara membabi buta. Kemeja, celana, hingga seluruh pakaiannya pun robek. Ya, bagaimanapun, meski badannya kebal senjata, tapi pakaian yang terbuat dari bahan tentu tidak.

Saking bertahan dari dua sajam yang gw arahkan secara sporadis membuat si belah tengah tersandung. Kesempatan ini ga gue sia-siakan langsung menerjangnya untuk memberikan serangan pamungkas.

BLETAK

GEDEBUG!

Bajingan! Gw jatuh. Kaki gw nyeri, dipuntir si botak yang sudah siuman usai kempongannya gw hajar hingga ngilu. Si belah tengah pun dengan sigap memungut celurit yang terlepas dari tangan kiri.

Dengan tangan kosong saja, gw udah kewalahan apalagi ini, si belah tengah pake celurit plus nge-cheat lewat wapaknya! 

Namun, mendapat perlawanan handicap ini ga bikin gw pasrah. Sebaliknya, justru ge tertantang untuk bisa membalikkan keadaan.


Pertama, gw sepak kepala si botak pake sepatu kanan gw ala Zangief. Berlanjut dengan tulang keringnya gw injek hingga bunyi.

KLETEK

"Aaaagh!" erangan si botak yang tampak kesakitan. Si gondrong yang duduk tampak kaget dengar lolongan temannya itu.

Sementara, si belah tengah? Anjrit. Dia malah asyik nyalain rokok lagi tanpa peduli kesakitan si botak. Benar-benar "raja tamat" nih. 

"Oke, sekarang kita bisa duel tanpa lo takut diganggu teman gw," ujar si belah tengah sambil meniup asap rokok menyerupai huruf o.

"Begal macam apa lo, yang sama sekali ga solider terhadap teman yang kesakitan," kata gw kepada si belah tengah yang mengingatkan sikap Vegeta terhadap Nappa saat dihajar Son Goku.

"Jadi ini, yang kalian sebut bos? Sementara, lo berdua gw bantai, justru dia ga peduli? Lo pada bego, mau jadi anak buah dia. Kalo gw jadi lo pada, udah gw gorok si belah tengah yang pecundang ini," tutur gw melirik bergantian kepada si botak dan gondrong.

Sengaja gw lontarkan kalimat bersayap seperti itu. Agar, mereka tidak membantu si belah tengah saat sedang duel dengan gw. 

Sekaligus, menyulut konflik internal.

Siapa tahu, setelah ini si botak dan gondrong benar-benar meninggalkan si belah tengah. 

Bahkan, yang lebih ekstrem lagi, benaran menggorok bosnya! Bodo amat dah kalo itu memang terjadi. 

"Udah cukup?" kata si belah tengah usai menjentikkan puntung rokoknya. Kini, final fight yang jadi penentuan nasib gw pun tiba.

"Bacot lo!" teriak gw sambil 'terbang' dengan mengayunkan parang secara vertikal ke arah si belah tengah. Ya, mirip Trunks saat membelah tubuh Frieza jadi dua.

Sayangnya, ini bukan komik. Melainkan nyata.

Sebab, power si belah tengah besar juga. Dia mampu menahan dengan tangan kiri. Di sisi lain, tangan kanannya menyabet celurit secara menyamping ke arah gw!

Jelas, gw dalam bahaya. Sebab, sajam berbentuk bulan sabit ini bisa membuat usus gw terburai.

Langsung gw tangkis dengan menarik kembali parang. 

TRANG!

Tangan gw pun bergetar saking kerasnya sabetan celurit. Mirip saat gw kepayahan meladeni Abi di Harmoni.

Si belah tengah tersenyum mencibir. Lalu, tangan kirinya memegang celurit menggantikan tangan kanan. Gw pun berpikir dia merupakan kidal.

DUG

DUG

Anjing. Jab dari tangan kanannya mengenai ulu hati. Sakit banget. Sebab, gw ga bisa menghindar mengingat kedua tangan sudah dikerahkan untuk memegang parang. 

Ini jadi handicap bagi gw. Tentu, gw ga boleh terus-terusan di bawah angin yang bisa membahayakan nyawa gw. 

DUGG

Gw jejak perutnya yang membuat parang dan celurit sama-sama terlepas. Gw mundur sejenak sambil memegangi dada bekas hantamannya.

Sementara, si belah tengah dengan sigap memungut celurit. Gw pun ga mau kalah cepat. 

TRANGGG!

Kedua sajam beradu. Kali ini, gw di atas angin karena gw mengayunkan agak diagonal. Meski badan dan tangannya kebal, tapi si belah tengah harus melindungi tiga titik vitalnya yang seperti Duryudana dalam perwayangan, karena sama sekali tidak kebal. Yaitu, mata, leher, dan area bawah perut.

Si belah tengah melancarkan serangan lewat tangan kanan ke muka gw. Terdengar keras tapi tidak cepat. 

Bagi gw, ini sudah bisa diantisipasi. Apalagi, gw ga pernah mau mengalami hal sama dua kali.

Gw pun mengelak ke samping. Si belah tengah ternyata penasaran akibat serangannya berhasil gw elak.

Dia kembali melontarkan tinju kerasnya dengan genggaman jari terkepal. Sudah pasti, gw juga penasaran untuk adu keras.

Layaknya, Chiu Phek Tong meladeni ilmu gajah dan naga dari Kim Lun Hoat Ong!

DUKK

Adu tinju berhasil gw menangkan. Sebab, gw memang sedikit menonjolkan jari tengah yang membuat tangan si belah tengah jadi santapan empuk.

Dia mundur setindak dengan menarik celuritnya.

"Ayo, cabut," katanya saat melirik ke si botak. "Lo yang bawa motor."

Gw pun kaget mendengar si belah tengah mundur saat duel sedang sengit-sengitnya.

"Lo hebat juga. Next, gw pengen reuni sama lo tanpa ada gangguan," ujar si belah tengah saat memapah si gondrong.

Butuh beberapa detik bagi gw untuk menyadari situasi ini. Hingga, sayup-sayup terdengar suara kendaraan. Dari belakang gw tampak sorotan beberapa motor. Mungkin, kehadiran pengendara lain yang membuat si belah tengah menyudahi duel. Bagi gw, tentu patut disyukuri. Dalam hati, senang karena gw terhindar bahaya malam ini.

BRUMM... BRUMM...

"Datang seenak jidat lo-lo pada, pergi begitu aja. Lo pikir, gw di sini patung?" gw berteriak keras hingga didengar tiga motor yang menepi di belakang gw.

"Lo yakin bisa menang lawan gw? Lo pikir 100 kali deh. Lo harus latihan bertahun-tahun dulu, baru bisa ladenin ge. Dah ah, cabut," kata si belah tengah yang duduk di jok paling belakang dengan membawa celurit.

DDRRT... DDRRT... 

"Mereka siapa bang?" kata  salah satu dari pengendara yang mendatangi gw.

"Begal bro."

"Lah, kejar bang," timpal pengendara lainnya dengan gaya yang sotoy.

"Yuk, jangan didiemin. Tuman," lanjut seorang lagi.

Gw perkirakan mereka masih abege terlihat dari ketiga motornya sama-sama matic yang sudah dimodif plus knalpot racing. Ya, darah masih panas. 

Namun, menghadapi begal, khususnya si belah tengah, jelas mereka cari mati. 

"Udah pergi bro. Aman. Gw juga ga apa-apa," gw menjelaskan.

"Yakin bang? Kita berempat, mereka tigaan. Pasti menang lah. Gw juga udah gatel pengen 'olahraga' nih," kata remaja yang sotoy kini makin songong.

"Serius lo? Mereka bawa sajam. Lo pada berani bunuh-bunuhan," jawab ge sambil menunjuk ke trotoar yang tercecer bercak darah.

"Waduh, ngeri bang. Main aman aja lah. Mending pulang," jawab si sotoy.

"Iya bang, kalo udah aman lebih baik balik aja," lanjut temannya sambil putar arah diikuti yang lainnya.

BRUM...

*       *       *

KINI gw sendirian di pinggir jalan. Pandangan gw terarah ke trotoar dengan tergeletak dompet dan hp yang kemungkinan punya si botak atau gondrong. Entahlah, gw ga tahu milik salah satu di antara mereka. 

Gw cek, dompet tanpa identitas. Namun, berisi uang dengan empat lembaran merah dan satu biru. Sementara, hp merek asal Mainland yang tergolong lumayan meski kacanya agak retak tapi masih berfungsi. 

Tentu saja, "penemuan" ini ga bakal gw laporin ke polisi. Alias, bakal gw manfaatin. Lumayan.

Itung-itung sebagai ganti rugi akibat ongkos yang ga dibayar si belah tengah. Sekaligus, pelipur lara terkait duel tadi.

Ya, secara pertempuran gw memang kalah. Namun, gw bisa dibilang menang dalam perang.

Sebab, gw bisa meladeni ketiga begal. Bahkan, si botak dan gondrong gw bikin KO. Dengan si belah tengah, meski gw di bawah angin, tapi itu wajar mengjngat dia punya Rawarontek.

Next, gw harus cari cara untuk mengatasi orang yang punya pegangan. Sebagai antisipasi jika ketemu si belah tengah lagi atau begal lainnya.***

*       *       *


Serial Catatan Harian Ojol
- Part I: Ceritera dari SPBU Kosong
- Part III: Penumpang Rasa Pacar
- Part IV: Orderan Kakap

Prekuel
Kamaratih

Spin-Off
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I

*       *       *

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):


*       *       *

*Inspired by True Event
Jakarta, 21 April 2021

Rabu, 14 April 2021

Bikin SIM C Hanya Keluar Rp 155 Ribu, Ini Caranya!

 Pengalaman Bikin SIM C Hanya Keluar Rp 155 Ribu

Tampilan SIM C yang baru




SURAT Izin Mengemudi (SIM) merupakan momok menakutkan bagi mayoritas orang. Terutama, karena repot saat membuat, memperpanjang, atau ganti akibat kehilangan. Tak ayal, Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) SIM, mungkin jadi tempat yang dihindari banyak pihak. Termasuk, saya dulu yang sangat enggan berurusan di area tersebut.

Dipersulit, birokrasi rumit, adanya calo ilegal, makelar resmi, dan sebagainya jadi pengalaman saya, dulu. Dimulai saat bikin SIM C pada 2004, perpanjang 2009, bikin baru 2011 dan perpanjang 2016.

Namun, situasi sedikit berubah tahun ini. Tepatnya, saat memperpanjang SIM C yang mati sejak beberapa waktu lalu. Alhasil, saya harus bikin baru.

Itu jadi salah satu kecerobohan aneh saya yang baru ingat masa berlaku SIM telah lewat beberapa waktu lalu. Maklum, SIM memang jarang terlihat meski setiap hari saya bawa di dompet mengingat profesi sebagai ojek online (ojol). Paling baru dikeluarkan saat ada razia dari kepolisian atau tilang.

Beda dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang selalu saya keluarkan saat mengantar makanan ke komplek perumahan atau apartemen untuk ditukar ID Card khusus. Pun demikian dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang rutin diperlihatkan kepada petugas parkir di mal atau pertokoan.

Itu mengapa, saya sempat mumet ketika sadar pada pertengahan bulan lalu. Hanya, apa daya untuk bikin SIM, biaya belum ada. Sebab, meski punya yang, tapi harus dialokasikan pada urusan lain.

Hingga, Senin (12/4), saya yang sudah merasa memiliki dana cukup akhirnya siap bikin SIM di Satpas Daan Mogot, Jakarta Barat. Kendati, sejak beberapa hari sebelumnya sempat dibayangi kekhawatiran. Maklum, perpanjang SIM yang mati sama saja bikin baru. Alias, harus ikut tes rumit pada teori dan praktek.

Bayang-bayang kegagalan seperti 2011 yang harus dua kali ke Satpas pun terus menghantui. Ketika itu, saya merasa sukses melewati tes teori via kertas  dan praktek dengan sepeda motor gigi untuk melintasi berbagai rintangan, khususnya yang paling menantang, angka 8 dengan sudut sempit. 

Saat itu, saya dinyatakan tidak lulus meski tidak menyenggol patok satu pun ketika praktek langsung. Sumpah, ketika itu saya benar-benar bingung. Sebab, orang sebelah saya yang justru jatuh saat belok kelok 8, alias bukan hanya menyenggol patok, secara misteri dinyatakan lulus. Beruntung, dua pekan berikutnya, saya berhasil.

Ya, bukan rahasia umum lagi, jika bikin SIM, baik C, A, dan sebagainya, lebih mudah lewat biro jasa atau calo. Ketimbang, datang sendiri.

Memang, mereka tetap harus datang ke Satpas untuk foto, tanda tangan elektronik, cap jari, tes teori, dan praktek. Namun, untuk dua terakhir dapat diabaikan. Ibaratnya, hanya formalitas saja.

"Lo kalo pake biro jasa atau calo, isi teori cap, cip, cup, dan hitung kancing yang salah semua juga dibenerin. Begitu juga pas praktek, lo tabrakin patoknya pun ga masalah. Pasti lulus 100 persen!" demikian ujar salah satu rekan memberi nasihat, dua malam sebelum saya perpanjang SIM yang mati.

Ya, itu sudah bukan rahasia umum. Setidaknya, saya alami satu dekade silam yang ditawari "bisa cepat", baik oleh calo di luar Satpas atau oknum yang resmi.

*        *        *

MATAHARI tampak malu-malu memancarkan sinarnya saat sata hendak berangkat ke Satpas. Ketika melirik handphone, masih tertera pukul 07.01 WIB. Alias, masih satu jam lagi jelang dibukanya jam operasional Satpas. Dari rumah saya di perbatasan, tidak begitu jauh. Hanya, memakan waktu kurang dari 30 menit.

Namun, saya salah perkiraan. Meski tiba sebelum pukul 08.00 WIB, ternyata sudah ramai. Saya baru ingat, ini merupakan Senin yang tentu jadi awal aktivitas masyarakat. Apalagi, besoknya, Selasa (12/1) merupakan hari pertama puasa Ramadan 1441. Wajar, jika banyak yang memilih bikin SIM atau perpanjang pada Senin. Ketimbang, Selasa yang bisa menguras fisik dan stamina.

Usai parkir sepeda motor, saya sempat didatangi beberapa calo yang menawarkan "bantuan". Mulai dari Rp 700 hingg 800 ribu untuk bikin SIM C baru.

"Kalo sendiri pasti ngulang, bang. Banyak ojol yang sampe lima kali ke sini akibat gagal. Mending bayar mahal tapi langsung jadi ketimbang buang waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk ngebid," ujar salah satu calo yang tampak simpatik.

Tentu, dengan halus saya menolak tawaran tersebut. Secara, sejak dulu saya bikin apa-apa selalu mengurusnya sendiri. Bukan karena tidak percaya dengan calo, biro jasa, dan sebagainya. Atau, enggan keluar uang lebih.

Melainkan, karena saya punya banyak waktu. Toh, meski gagal saat perpanjang SIM mati yang berujung bikin baru, saya tak masalah. Paling hanya repot balik lagi ke Satpas, dua pekan berikutnya.

Saya memang terbiasa mengurus sendiri saat bikin KTP, SIM, Paspor, dan Visa. Nah, yang terakhir ini paling rumit. 

Saya dua kali bikin Visa. Pertama, ketika hendak ke Portugal pada 2014 dengan Schengen yang tergolong mudah. Kedua, saat mengajukan Visa United Kingdom (UK) dalam rangka nonton final Liga Champions di Cardiff, Wales.

Durasinya lebih dari sebulan sejak pertengahan April hingga akhir Mei. Alias, benar-benar injury time akibat Visa disetujui Kedutaan Besar Inggris, beberapa hari jelang keberangkatan.

Padahal, semua syarat ketika itu sudah lengkap. Mulai dari surat rekomendasi kantor tempat saya bekerja dulu, Nissan sebagai sponsor resmi Liga Champions, Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA), dan deposit di bank mencapai Rp 50 juta.

Namun, memang mengurus Visa UK tergolong sulit. Tingkat keruwetannya hanya di bawah USA, alias nomor dua, diikuti Australia. 

Bahkan, berbeda dibanding SIM yang meski tidak lulus hingga lebih dari 10 kali, peluang jadi sangat besar jika bersabar dan mencoba lagi. Sementara, Visa, andai gagal, uang pendaftaran sekian juta ikut hangus. Sekelas pejabat pemerintah pun bisa saja gagal jika pengajuannya tidak disetujui kedutaan yang bersangkutan.

*        *        *

SETELAH hampir seharian berada di Satpas, akhirnya SIM C saya pun jadi. Saya pun bersyukur tidak harus mengulang. Sebab, saat tes teori lulus meyakinkan meski sempat kaget karena bukan pakai kertas dan pensil lagi, melainkan komputer yang disertai audio-visual.

Pun demikian dengan praktek. Saya dinyatakan lulus sempurna. Btw, tim penilai praktek ini terdiri dari anggota kepolisian dan independen yang sudah memiliki sertifikasi. Alias, saya memang benar-benar absah memiliki SIM C untuk berkendara dengan sepeda motor.

Terkait praktek, saya sejatinya sudah tidak kaget lagi. Sebab, setiap bikin SIM C, selalu melahapnya dengan baik. Apalagi, saya sudah mengikuti tes serupa yang diadakan aplikator ojol dengan Rifat Drive Labs terkait Safety Riding.

Oh ya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk bikin SIM baru? Cukup Rp 155 ribu!

Ya, sangat jauh ketimbang pakai calo yang berkisar Rp 600 hingga 900 ribu. Tuh kan, mending jalan sendiri! 

Mungkin, itu terkait reformasi birokrasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia yang menjunjung tinggi 3M: Melindungi, Mengayomi, dan Melayani masyarakat.

Alhasil, di Satpas kini, memang meluluskan pengaju SIM (C) jika sudah benar saat tes teori dan praktek. Andai mengulang, bisa jadi karena gagal saat mengisi teori dan praktek. Toh, bisa melakukannya lagi, dua pekan berikutnya.

Rincian Bikin SIM C Baru:
Cek Kesehatan: Rp 25.000
Asuransi: Rp 30.000
Formulir: Rp 100.000 

Itu biaya resmi di Satpas Daan Mogot yang saya alami ya. Belum termasuk, ongkos dari rumah, seperti bensin Rp 20rb, fotokopi (wajib) Rp 2.000, dan parkir Rp 10.000 (4 jam lebih). Oh ya, jangan lupa bawa pensil dan pena untuk mengisi formulir.

Selamat mencoba dan semoga langsung lulus!

*        *        *

Datang dari pukul 08.20 WIB, antre dulu


*        *        *

Bikin SIM C baru Rp 100 ribu


*        *        *

Perpanjang bikin SIM C Rp 75 ribu


*        *        *

Bukti lulus tes teori dengan audio-visual


*        *        *

Hasil uji praktek di lapangan


*        *        *

Lulus!


*        *        *

Suasana di Satpas SIM C Daan Mogot, Jakarta Barat


*        *        *

Artikel Terkait:
Pengalaman Berurusan dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat
Michelin Ajak Marquez dan Pedrosa untuk Kampanye Kesadaran Berkendara
Pengalaman Daftar Driver Go-Ride Gojek

Seluruh foto merupakan dokumentasi pribadi (www.roelly87.com)

*        *        *

- Jakarta, 14 April 2021

Sabtu, 10 April 2021

Ceritera dari SPBU Kosong

 Ceritera dari SPBU Kosong

Ilustrasi wayang (Foto: www.roelly87.com)



MENJELANG pergantian hari, cuaca di perbatasan ibu kota dengan salah satu kawasan penyangga, kian temaram. Sesekali kilatan menyambar di atas langit disertai gemuruh tajam. 

Sambil menjalankan sepeda motor dengan kecepatan konstan, gw pun berniat mencari tempat berteduh untuk memakai jas hujan. Tepatnya, antisipasi jika Batara Indra sudah menunaikan tugasnya.

Sekeliling mata memandang, jalanan tampak sepi. Maklum, daerah ini merupakan Jakarta Coret. Tepatnya, kawasan di perbatasan ibu kota. Padahal jika pagi hingga petang, ini merupakan jalur padat merayap. 

Dari seberang tembok perumahan mewah yang menjulang tinggi terlihat cahaya terang. Tampak plang warna-warni yang menandakan tempat tersebut merupakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Gw pun mengarahkan motor ke pom bensin asal luar negeri yang dikelola swasta ini. Tampak lenggang. Hanya ada dua petugas yang berdiri tanpa ada satu pun kendaraan yang sedang mengisi bahan bakar.

Gw memang jarang lewat daerah sini. Jadi, kurang tahu dengan kondisi SPBU ini. Tadi pun ke kota penyangga Jakarta karena tergiur ongkos antar penumpang yang lebih dari selembar warna biru. Bagi gw sebagai ojek online (ojol), itu merupakan argo kakap. 

Tanpa ragu, gw cocol. Kendati, jaraknya hampir 30km. Namun, sebagai ojol petualang yang sering ngalong alias aktif dari sore hingga pagi, justru itu yang gw tunggu. Semakin jauh jaraknya, ongkos pun kian besar. 

Apalagi, mengingat malam cenderung lancar dan tidak macet. Meski, risikonya pun lumayan, mulai dari begal hingga hal di luar nalar.

"Bang, di toilet wanita saja. Kalo pria, sudah ada yang nunggu," kata mbak penjaga toilet saat gw hendak masuk ke toilet pria. Terdapat dua kamar kecil dengan ditujukan masing-masing untuk pria dan wanita.

"Lah, ogah mbak. Ntar gw digedor-gedor lagi kalo ada cewe yang mau ke toilet," gw menjawab sambil memperhatikan sang penjaga yang sedang menghitung lembaran uang berwarna hijau dengan gambar Orangutan dan biru, lompat batu di pulau nias

"Tenang, ga bakal ada orang. Percaya sama gw. Kalo toilet pria, jangan coba-coba. Udah ada yang pake," ujar si mbak dengan tersenyum. 

Gw yang enggan berdebat hal tidak penting pun menurut meski sempat merasa aneh. Toh ke toilet cuma cuci muka dan pakai jas hujan saja tidak lebih dari 5 menit.

Sambil lewat, gw melirik si mbak yang masih menghitung uang dengan di sebelah kotak untuk bayar toilet terdapat telepon seluler (ponsel) candybar berlayar monokrom. Gw masih inget, pernah punya hp itu saat masih berseragam abu-abu, alias awal 2000-an. Mungkin mbak ini penganut gaya retro atau juga kolektor barang antik mulai dari uang kertas jadul hingga hp.

Saat mau pakai jas hujan, ponsel gw bunyi. Ada chat dari Irawan, rekan ojol menanyakan kabar gw belom balik basecamp usai nganter penumpang tadi.

"Gw masih di SPBU White District. Seberang perumahan Giri Anyar. Kenape, ngab?"

"Serius lo, Ka? Udah hampir subuh, masih ngalong," balas kawan gw yang merupakan Milanisti Garis Lembut ini.

"Baru orderan tadi doang. Ini mau balik ke basecamp."

"Btw, lo tadi bilang di SPBU White District?"

"Iye, ini lagi pake jas hujan sekalian isi bensin."

"Serius?" Irawan menulis chat dengan capslock jebol alias huruf besar semua.

"Yeee, goblok. Ngapain gw boong. Emang kenape?"

"Bro, balik sekarang. Di basecamp ada  kejadian penting. Sekarang ya, ditunggu anak-anak. Lo offline dulu, jangan ambil orderan!"

"Siap! 86. Otw..."

Baca chat dari Irawan, membuat gw langsung bergegas. Tak lupa, memasukkan selembar rp 2.000 ke kotak bayar toilet.

"Terima kasih, bang," ujar si mbak yang kini tertunduk. 

Suasana malam itu kian segar usai keluar dari SPBU. Semilir angin seperti menepuk manja kedua pipi ini. Gw pun melajukan sepeda motor di atas 60km per jam. Bukan karena ingin ngebut, melainkan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab, jika pelan, rawan dikejar begal.

*       *       *

SEPANJANG jalan, gw jadi teringat keganjilan dari pesan wa Irawan. Ga biasanya, sohib dari zaman Lucinta Luna masih kencing berdiri ini sekaget itu. Ya, gw kenal Irawan sejak masih berseragam putih abu-abu pada awal milenium yang ironisnya sebagai rival.

Menariknya, kami dari sekolah berbeda meski satu angkatan. SMA gw di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Sementara, Irawan di STM yang berlokasi di area Pasar Baru, dengan tenar disebut Boedoet.

Sejatinya, sekolahan kami tidak bermusuhan. Apalagi, gw di SMA yang mayoritas kaum hawa. Namun, faktor sejarah dari senior dan gengsi sebagai anak sekolah yang masih berjiwa panas membuat gw dan kawan-kawan SMA turut nyebur ke arena tawuran.

Maklum, kami mengekor pada pelajar STM di kawasan Kampung Jawa, Jakarta Barat, yang dikenal dengan julukan Camp Java, yang justru jadi musuh besar sekolah Irawan. Alhasil, kalau pecah tawuran, gw dan anak-anak SMA gw sering membantu STM itu untuk menghadapi sekolah Irawan. Begitu juga sebaliknya, jika sekolah kami dikepung, ada STM asal Kampung Jawa yang membantu.

Ya, berbagai kawasan ibu kota hingga perbatasan Tangerang jadi saksi kenakalan kami saat tawuran. Meliputi Kota, Harmoni, Gajah Mada, Senen, Sawah Besar, Cideng, Roxy, Tomang, Pesing, Kalideres, hingga Poris.

Beberapa kali, gw berjibaku dengan Irawan untuk duel. Baik itu dengan batu, gesper, pedang, celurit, hingga kelewang. Yang parah di Harmoni, sore jelang leg kedua semifinal Liga Champions 2002/03. Irawan dan teman-temannya dibantai kering oleh STM yang berlokasi di Mangga Besar hingga menyebabkan macet parah dua jam sebelum dibubarkan aparat gabungan Polisi dan TNI.

Kebetulan, STM yang dikenal sebagai 1 DKI itu ada sepupu gw, Abimanyu yang jadi pentolan. Irawan kaget pas tahu gw ikutan. Sebab, bukan rahasia umum lagi jika ketiga STM itu, 1 DKI, Kampung Jawa, dan Pasar Baru saling bermusuhan layaknya  Roman Kisah Tiga Negara yang melibatkan Shu-Wei-Wu. 

Namun, selain kedekatan gw sama anak STM Kampung Jawa, keberadaan sepupu gw itu juga sangat membantu. Terutama, jika ada anak STM di Poncol dan Pluit sok-sokan ngolekin anak-anak sekolah gw yang mayoritas elite.

Rivalitas gw dan Irawan berakhir usai sama-sama lulus. Bahkan, kian dekat ketika kami tak sengaja bareng mendaki Gunung Semeru, pada pertengahan 2005. Hingga, dua tahun lalu, kian intens setelah gw jadi ojol yang nongkrong di basecamp-nya, di PIK Coret, alias Kapuk. Kebetulan, rumah kami sama-sama masih satu kawasan.

*       *       *

LEBIH dari seperminuman teh, akhirnya gw sampe di basecamp. Tampak, Irawan menatap cemas diiringi beberapa rekan seprofesi ojol lainnya. 

"Ekalaya, duduk dulu sini," ujar Jayadrata, salah satu sesepuh di basecamp yang langsung menyambut gw.

"Nyet, lo lama amat," Irawan, menimpali. "Tapi lo minum air putih dulu gih. Rokok gw ada nih. Lo jangan balik atau nyari orderan dulu, kita di sini aja ya sampe pagi."

"Njir, kenape nih. Kok muke-muke lo pada tegang," gw menjawab sambil menyeruput kopi hitam panas disertai sebatang rokok kretek punya Drestajumena, ojol senior yang juga salah satu pentolan ormas di situ.

"Lo tadi serius ke SPBU? Hampir enam jam dari pertama lo nganter customer. Lo ga apa-apa kan?" Irawan terus nyerocos.

"Waduh, gw kira baru jam satuan, ini udah mau subuh. Perasaan, dari Teluk Gong ke perbatasan Jakarta kalo malem cuma 40menit. Pulang pergi mentok 1,5 jam. Lah, ini lama amat gw, ya."

"Nah itu bro, kite takut lo kenapa-napa. Apalagi, perbatasan kan kalo jam 20 ke atas udah sepi," tutur Drestajumena, menatap tajam.

"Kata Irawan, lo tadi ke SPBU di perbatasan yang dekat perumahan mewah?" Jayadrata, bertanya.

"Iya bang. Emang kenape?"

"Si goblok. Itu SPBU kan ga ada. Aslinya lahan kosong sisa pembangunan rumah mewah yang ga diterusin," Irawan, menjawab.

"Iye bro, makanya gw minta Irawan agar lo cepet balik. Soalnya, udah sering pengendara motor dan mobil, termasuk ojol yang 'dikerjai' penunggunya," Drestajumena, menjelaskan.

"Untung lo balik ke sini ga kurang satu apa pun. Sumpah, gw takut lo ada yang ngikutin," lanjut Irawan.

"Maksudnya?"

"Maklum bro, dekat area itu sering terjadi pembuangan korban pembunuhan. Sempat ada perusahaan luar yang bangun SPBU di tempat itu akibat angker yang membuat usahanya sepi akhirnya ditutup. Sekarang, terbengkalai, bangunannya tak berbentuk, jadi ga ada orang sama sekali" tutur Jayadrata, panjang lebar.

"Njir, merinding gw..."

"Makanya, tadi gw langsung minta lo segera balik pas baca wa lo ada di SPBU itu. Dah, sekarang lo offline aplikasi dulu. Pagi baru narik atau ngalong sore jangan diterima kalo ada orderan ke sana lagi," kata Irawan.

Neng... Neng... Nong... Neng... HP Irawan berbunyi pertanda ada pesan masuk di aplikasi WA-nya.

"Ir, gw udah di Jalan Panjang nih. Otw ke basecamp." Ekalaya, 03.47.

Seketika, Irawan terbelalak sambil melirik Drestajumena dan Jayadrata. Keduanya pun mengangguk karena sama-sama tanggap.

"Ka, gw cabut dulu nih. Ada orderan ke Kalideres," ucap Irawan loncat dari bale yang jadi tempat nyender di basecamp.

"Gw laper Ka, mau nyari sarapan dulu," Drestajumena menuju sepeda motornya.

"Gw juga deh, mau cari angin," giliran Jayadrata, turut loncat.

"Ternyata, kalian sudah tahu ya... Hi hi hi..."

*       *       *

Serial Catatan Harian Ojol
- Part II: Ada Rawarontek di Balik Keberingasan Begal
- Part III: Penumpang Rasa Pacar
- Part IV: Orderan Kakap

Prekuel
Kamaratih

Spin-Off
Kisah Wanita dengan Blazer Hitam I

*       *       *

Artikel Terkait Catatan Harian Ojol (#CHO):


*       *       *

*Inspired by True Event
- Jakarta, 9 April 2021