TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Soe Hok Gie

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol
Tampilkan postingan dengan label Soe Hok Gie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Soe Hok Gie. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Juli 2017

40 Tahun Museum Taman Prasasti


Museum Taman Prasasti
(Klik untuk perbesar foto atau geser untuk melihat gambar lainnya)

TRAVELING (atau travelling, tergantung dialek dari Negeri Ratu Elizabeth atau Paman Sam) merupakan salah satu kegiatan yang paling menyenangkan bagi saya. Sejak jadi blogger, kegiatan ini rutin saya abadikan di blog. Baik blog pribadi pada www.roelly87.com atau pada akun Kompasiana.com/roelly87.

Yupz, banyak sisi lain yang menarik digali saat traveling. Entah itu dengan dana pribadi atau berkat dukungan sponsor. Itu yang saya rekam sejak aktif ngeblog. Mulai rutin dengan membuatkan halaman khusus wisata sejak jalan-jalan ke Manado. Setelah itu, Yogyakarta di sela-sela liputan kantor, Bali, Bromo, Palembang, Singapura, hingga Cardiff!

Namun, traveling itu tidak hanya tentang jarak dan waktu. Kebetulan, saya juga sering ngebolang -bocah petualangan- di kawasan yang dekat. Misalnya, Sea World Ancol, RPTRA Kalijodo, Waduk Pluit, Museum Bahari, dan sebagainya.

Banyak pelajaran yang saya petik dari traveling ke tempat yang dekat. Mulai dari pengetahuan sejarah, wawasan, hingga wisata edukasi. Salah satunya ketika saya mengunjungi Museum Taman Prasasti beberapa waktu lalu yang sempat saya tulis dalam artikel berjudul Soe Hok Gie: Prabowo Cerdas tapi Naif.

Bagi saya, berkunjung ke Museum Taman Prasasti yang 9 Juli lalu genap 40 tahun ini sangat menyenangkan. Utamanya, karena lokasinya yang tergolong dekat, hanya seperlemparan batu dari kediaman saya. Apalagi, tiketnya murah meriah yang terjangkau bagi setiap kalangan.

Kebetulan, sejak kecil saya sudah sering mengunjunginya. Maklum, Museum Taman Prasasti bersebelahan dengan Kolam Renang Kebon Jahe yang jadi tempat berenang saya sejak masih berseragam putih-merah.

Itu mengapa, hingga kini saya menyukai traveling ke museum atau cagar budaya dan bangunan bersejarah lainnya. Terutama, Museum Taman Prasasti yang mayoritas berisi makam. Dalam keterangan resminya, terdapat lebih dari 1.000 koleksi di museum yang terletak di Jalan Tanah Abang No 1, Jakarta Pusat.

Berbagai koleksi itu meliputi prasasti, nisan, makam, hingga peti jenazah! Yupz, terdapat dua peti jenazah yang terdapat di Museum Taman Prasasti. Yaitu, peti jenazah dwitunggal proklamator Soekarno dan Moehammad Hatta. Dua jenazah itu jadi koleksi bersejarah yang tersimpan rapi di Museum Taman Prasasti. Untuk makamnya, Soekarno di Blittar dan Hatta di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Jika Anda ingin mengunjungi Museum Taman Prasasti, caranya mudah. Baik dengan kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil. Atau, dengan transportasi umum seperti bus Transjakarta yang tinggal dituju dari halte Monumen Nasional (Monas) atau Commuter Line (Stasiun Gambir).

Namun, untuk lebih praktis, tinggal naik ojek online, yang turun depan museum.  Sekadar informasi, Museum Taman Prasasti buka sejak Selasa hingga Minggu pukul 09.00-15.00 WIB. Untuk Senin, memang tutup seperti halnya setiap museum di Tanah Air yang digunakan untuk perawatan.

Mengenai tiket masuk, pengunjung dewasa hanya membayar Rp 5.000, mahasiswa (Rp 3.000), dan anak-anak (Rp 2.000). Nah, apakah Anda sudah pernah atau ingin mengunjungi Museum Taman Prasasti? Silakan, berbagi pengalaman di kolom komentar di bawah ini.***

*        *        *
Museum Taman Prasasti terletak di Jalan Tanah Abang No 1, Jakarta Pusat

*        *        *
Museum Taman Prasasti diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin

*        *        *
Saya mendapat izin dari petugas museum untuk foto di atas kereta antik 

*        *        *
Museum Taman Prasasti diresmikan 9 Juli 1977

*        *        *
Salah satu koleksi di Museum Taman Prasasti

*        *        *
Salah satu koleksi di Museum Taman Prasasti

*        *        *
Salah satu koleksi Museum Taman Prasasti

*        *        *
Saya memotret salah satu patung di dekat makam

*        *        *
Nisan Soe Hok Gie

*        *        *
Peti jenazah Soekarno

*        *        *
Artikel ini diikutsertakan dalam kegiatan One Day One Post (ODOP) Juli 2017 bersama Komunitas ISB.
- Jakarta, 18 Juli 2017

Senin, 16 Januari 2017

Soe Hok Gie: Prabowo Cerdas tapi Naif


Nisan Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti

SIANG itu, langit ibu kota tampak mendung. Pada purnama menjelang Kartika itu, Museum Taman Prasasti hanya sedikit mendapat kunjungan. Beberapa di antaranya membawa kamera untuk mengabadikan eksotisnya cagar budaya ini. Termasuk, saya dan rekan yang memang sudah lama ingin mengunjungi Museum Taman Prasasti.

Bagi saya, museum ini sama sekali tidak asing. Karena sejak dekade 1990-an sering mengunjunginya. Maklum, lokasinya yang terletak di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat, ini dekat dengan sekolah saya. Jadi, saya sering mendatanginya ketika berenang di Kolam Renang Kebon Jahe atau Perpustakaan Umum Jakarta Pusat yang berada tepat di sebelahnya.

Mengunjungi museum ini ibarat tapak tilas pada masa lalu. Sebab, terdapat makam dan nisan dari tokoh sejarah. Beberapa di antaranya seperti Rudolf Köhler yang merupakan tokoh militer Belanda pada era kolonialisme, Olivia Marianne (istri dari Thomas Raffles), dan Soe Hok Gie (aktivis mahasiswa dekade 1960-an).

*         *         *
"DARI pagi keluyuran dengan Prabowo ke rumah Atika, ngobrol dengan Rachma, dan membuat persiapan-persiapan untuk pendakian Gunung Ciremai." Demikian, penggalan dari catatan harian Soe Hok Gie pada 29 Mei 1969 yang saya baca dua tahun lalu. Tepatnya, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang melibatkan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo.

Saat itu, saya dipinjami buku berjudul "Catatan Seorang Demonstran". Jujur saja, saya kurang tertarik dengan keseluruhan isinya. Meski, ada beberapa yang saya suka mengingat saya merupakan penggemar sejarah. Salah satunya, terkait hubungan Soe Hok Gie dengan Prabowo.

Bagi saya ini menarik. Kebetulan, sejak 2008 saya memang mengagumi Prabowo. Tentu, itu terlepas dari sisi kontroversialnya terkait penculikan mahasiswa menjelang reformasi. Bagaimana pun, benar atau salah belum terungkap. Pasalnya, hingga kini Prabowo tidak pernah disidang dalam Mahkamah Militer yang biasanya ditujukan untuk perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dalam "Catatan Seorang Demonstran", terdapat beberapa tulisan mengenai Prabowo. Jelas, ini mengundang antusiasme saya kendati saya bukan penggemar Soe Hok Gie.Kebetulan, usia mereka terpaut nyaris sembilan tahun. Soe Hok Gie kelahiran 17 Desember 1942 dan Prabowo (17 Oktober 1951).

Kendati usianya selisih cukup jauh, mereka tetap bersahabat. Layaknya, Cao Cao dengan Guo Jia atau sumpah di bawah pohon persik antara Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei. Maklum, Prabowo merupakan putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo yang kerap memberi dukungan secara finansial kegiatan mendaki gunung.

Di sisi lain, Soe Hok Gie dikenal sebagai pencintan alam yang sering mendaki gunung di Tanah Air. Itu dilakukan hingga meninggal dunia akibat menghirup gas beracun, sehari sebelum merayakan HUT ke-27 pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur, yang merupakan puncak tertinggi di pulau Jawa.

Kendati lebih senior, Soe Hok Gie sangat mengagumi Prabowo. Itu diungkapkannya saat menghadiri deklarasi Gerakan Pembaruan di rumah Soemitro. Ketika itu, Prabowo yang baru lulus SMA dan belum genap 17 tahun membaca jurnal Indonesia terbitan Cornell University yang membuat seluruh peserta kagum dengan wibawanya.

Soe Hok Gie mengukirnya dalam catatan harian 25 Mei 1969, "Ia cepat menangkap persoalan dengan cerdas tapi naif. Kalau ia berdiam dua-tiga tahun dalam dunia nyata, ia akan berubah.

Bahkan, Daud Sinjal, jurnalis senior menyebut, sepatu yang digunakan Soe Hok Gie untuk melakukan pendakian terakhirnya ke Gunung Semeru, merupakan pinjaman Prabowo. Wajar saja mengingat Soe Hok Gie dan Prabowo bersahabat erat tanpa memerdulikan usia. Apalagi, Prabowo dikenal sebagai pribadi yang supel dan loyal terhadap siapa saja.

Itu diungkapkan Jopie Lasut, aktivis 66 yang juga jurnalis senior. Sebelum berangkat ke Gunung Semeru, Soe Hok Gie memang mencari sepatu yang berkualitas. Kebetulan, ekonomi Indonesia saat itu tidak seperti sekarang. Apalagi, Soe Hok Gie bukan berasal dari keluarga mampu yang dengan mudah membeli apa yang diinginkan.

Ketika itu, tidak banyak orang yang punya sepatu lars. Salah satunya, Prabowo yang meminjamkannya untuk Soe Hok Gie. Ternyata, itu jadi pemberian terakhirnya. "Prabowo sangat sedih karena Soe Hok Gie seorang idealis tapi meninggal di usia muda," tutur Jusuf Rawis, aktivis mahasiswa 66 mengenang persahabatan keduanya.

Tiga dekade kemudian, Prabowo mengikuti jejak Soe Hok Gie untuk melakukan pendakian ke gunung tertinggi. Namun, bukan di pulau Jawa atau Indonesia, melainkan Gunung Everest yang merupakan puncak tertinggi di dunia.

Itu terjadi pada 26 April 1997 saat Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) ini menaklukkan gunung yang terletak di perbatasan Nepal-Cina tersebut. Ketika itu, Prabowo melakukannya bersama Tim Nasional Indonesia yang terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, dan Mapala UI. Untuk kali pertama, bendera merah putih berkibar di puncak tertinggi dunia yang ekspedisinya dimulai sejak 12 Maret 1997.

*         *         *
RINAI membasahi tanah di sekitar makam di Museum Taman Prasasti. Wangi harum tercium dari berbagai nisan setelah mendapat guyuran sang dewi hujan. Menjelang senja, pengunjung kian sedikit karena waktu operasi museum memang sudah berakhir. Menurut salah satu petugas, Museum Taman Prasasti buka sejak Selasa hingga Minggu pada pukul 09.00-15.00 WIB.

"Setiap hari buka kecuali Senin. Waktu tutup itu digunakan untuk membersihkan areal museum. Juga untuk melakukan perbaikan jika ada makam yang rusak dan perawatan rutin koleksi lainnya," tutur salah satu petugas yang berbincang dengan kami.

Beliau pun menunjukkan berbagai koleksi lainnya dari Museum Taman Prasasti. Termasuk, yang menarik perhatian kami setelah nisan Soe Hok Gie, "Itu, peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta. Kalau makamnya di Blitar, ini (peti jenazah) asli yang mengantar perjalanan Bung Karno menuju peristirahatn terakhirnya."

Ya, sama seperti nisan Soe Hok Gie yang kosong. Sebab, jenazahnya sudah dikremasikan dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango, Jawa Barat. Namun, namanya tetap harum hingga kini.

Nisan Soe Hok Gie di antara makam lainnya di Museum Taman Prasasti
*         *         *

Referensi: 
- Catatan Seorang Demonstran (koleksi rekan)
- Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2014, 6 Juli 2014 (Koleksi Pribadi)
- Majalah Tempo Edisi Khusus Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi, 10 Oktober 2016 (Koleksi Pribadi)
- http://kopassus.mil.id/profil-satuan/
- http://www.antarasumbar.com/berita/101435/prabowo-pada-usia-17-tahun-dirikan-lsm.html
- http://www.rmol.co/read/2014/06/07/158491/Soe-Hok-Gie-Pun-Memuji-Prabowo-sebagai-Orang-Cerdas-
- https://travel.detik.com/read/2015/10/09/101715/3040266/1519/nisan-dua-pribumi-di-museum-taman-prasasti-siapa-mereka
- http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Museum_Taman_Prasasti

*         *         *
Artikel Terkait:
Cindy Adams dan Misteri Dua Paragraf Otobiografi Bung Karno

*         *         *
- Jakarta, 16 Januari 2016