Fandi Ahmad |
PUPUS sudah menyaksikan aksi tim nasional (timnas) Indonesia U-19 berlaga di Piala Dunia U-19 2015 di Australia pada 30 Mei - 20 Juni 2015. Lantaran, skuat asuhan Indra Sjafri tersingkir secara dini di Piala AFC U-19 2015 di Myanmar sebagai juru kunci Grup B. Itu karena dalam tiga pertandingan, Indonesia U-19 selalu kalah dari Uzbekistan 1-3, Australia 0-1, dan Uni Emirat Arab 1-4.
Padahal, untuk bisa melangkah ke Piala Dunia U-19, minimal sebuah tim harus bisa lolos ke semifinal Piala AFC U-19. Alhasil, Evan Dimas dan kawan-kawan pun harus merelakan impian untuk kembali berlaga di Piala Asia U-19 seperti yang terjadi pada edisi 1979. Kegagalan tim yang dijuluki "Garuda Muda" itu tentu membuyarkan ekspekstasi masyarakat setelah tahun lalu mampu menjuarai Piala AFF U-19 dan lolos kualifikasi Piala AFC U-19 secara meyakinkan dengan menundukkan Korea Selatan U-19.
Menyimak hasil tiga pertandingan tersebut, dalam hati saya bertanya, apa yang salah dari timnas U-19 di Myanmar? Sebab, materi pemain kita tergolong berkualitas. PSSI sebagai induk olahraga pun telah memberikan persiapan untuk menghadapi puluhan tim sepanjang 2014. Mulai dari klub lokal hingga mengikuti event di Brunei Darussalam dan tur ke Spanyol untuk menjajal tim kelas dua La Liga. Salah satunya, Barcelona B yang diperkuat Luis Suarez. Namun, hasil yang didapat ternyata jauh dari kata memuaskan. Jangankan target lolos ke semifinal, bahkan Indonesia U-19 malah jadi bulan-bulanan ketiga tim di Grup B.
Jebloknya prestasi "Garuda Muda" membuat saya teringat akan perkataan Fandi Ahmad yang menilai, salah satu kelemahan Indonesia -baik junior atau senior- dari segi mental. Ya, secara teknik dan postur tubuh untuk ukuran Asia, para pemain kita tidak memiliki masalah. Begitu juga dari segi kualitas. Siapa yang meragukan kemampuan Evan Dimas dalam hal menggocek bola, kecepatan dari Maldini Pali, serta ketangkasan Ravi Murdianto di bawah mistar yang mendapat julukan "Spiderman dari Grobogan"? Tidak ada! Sebab, jika diadu untuk level Asia (sekali lagi, level Asia) kemampuan penggawa Indonesia U-19 seimbang. Toh, tahun lalu, kita mampu mengalahkan Korea Selatan U-19 yang selama ini dijuluki sebagai "Raksasa Asia".
Hanya, masalah para pemain Indonesia, baik U-19, U-23 yang berlaga di Asian Games 2014, serta senior, adalah mental. Itu bisa dilihat ketika Indonesia U-19 kebobolan lebih dulu. Bisa dipastikan para pemain seperti panik. Mereka berlomba-lomba untuk mencetak gol, mulai dari striker, gelandang, hingga bek. Namun, karena "nafsu" itu yang menjadi kelemahan mereka. Sebab, ketika nyaris semua pemain maju, maka lini pertahanan menjadi kurang terjaga. Yang ada, bukannya balas mencetak gol, tapi malah kembali kebobolan. Contohnya bisa kita lihat pada pertandingan melawan Uzbekistan.
* * *
"Sebagai pelatih, yang terpenting untuk pemain jangan terlalu dibebankan target juara. Kalau di Indonesia, saya lihat timnas U-19 sudah bagus dan punya masa depan cerah. Hanya, kalian harus bisa meningkatkan mentalitas dalam hal bertanding," tutur Fandi Ahmad ketika saya temui beberapa waktu lalu di kawasan The Padang, Singapore Recreation Club & Singapore Cricket Club, Singapura.
Fandi Ahmad memang tak asing dengan sepak bola Indonesia. Lantaran pria asal Singapura kelahiran 29 Mei 1962 ini berpengalaman membela klub tanah air. Baik sebagai pemain Niac Mitra pada periode 1982-83 atau menjadi pelatih Pelita Jaya (2006-10). Kini, Fandi Ahmad menangani Lions XXI, klub "Negeri Singa" yang mengikuti kompetisi Malaysia Super League. Selain melatih, jika senggang Fandi Ahmad turut mengawasi Sekolah Sepak Bola (SSB) miliknya, yaitu F17 Academy.
Salah satu pernyataan menarik dari mantan pemain yang pernah memperkuat klub Eredivisie Belanda, FC Groningen ini mengenai pembinaan. Sebab, sebagaimana yang kita tahu, kompetisi di Indonesia belum tertata dengan baik layaknya negara-negara di Asia lainnya. Selain beberapa kasus penganiyaan wasit, penyerangan suporter, hingga karut-marutnya jadwal kompetisi. Misalnya, turnamen Indonesia Inter Island Cup 2014 yang sejatinya diputar sebelum kompetisi, malah belum berakhir sejak Januari hingga kini dengan menyisakan final Persib Bandung versus Arema Cronus.
Padahal, tolok ukur kesuksesan setiap negara adalah kompetisi domestiknya serta pembinaan usia muda. Contohnya negara "miskin" yang selevel dengan Indonesia, seperti Brasil dan Argentina, berkat kompetisinya yang rapi dan pembinaan pemain muda secara berjenjang membuat mereka maju.
"Kalian harus seperti itu jika ingin berhasil. Jangan lupa, sarana juga wajib ditingkatkan. Lihatlah Singapura, di sini banyak turnamen anak yang baik dengan kualitas lapangan internasional. Nah, kalau di Indonesia atau Jakarta, tentu sulit dapat lapangan rumput seperti di sini. Bagaimana bisa tampil hebat saat melakukan passing, dribel, dan mencetak gol, jika setelah hujan lapangannya menjadi becek," tutur Fandi Ahmad yang membuat saya tersenyum miris...
* * *
Artikel ASIOP Apacinti Sebelumnya:
- Tetap Layak Diberi Apresiasi
- Upaya Mengasah Mental Pemain
- Berangkat dengan Ekspresi Gembira
Artikel Terkait:
- Fandi Ahmad: Pemain Jangan Dibebankan Target Juara!
* * *
- Jakarta, 16 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.
Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...
Terima kasih :)