TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Jumat, 24 Oktober 2014

Nobar Liverpool vs Real Madrid di Kampus Trilogi


Ketika Dua Kelompok Suporter Saling Respek

Suasana nobar Liverpool vs Real Madrid di Kampus Trilogi


REAL Madrid dan Liverpool merupakan dua klub besar di Eropa. Secara total, mereka sudah mengoleksi 15 trofi Liga Champions. Madrid yang berasal dari Spanyol memimpin dengan 10 kali juara dan Liverpool (Inggris) lima kali. Puncak rivalitas kedua tim terjadi pada final 1980/81 yang dimenangkan Liverpool atas raksasa La Liga tersebut.

Namun, 33 tahun kemudian, “The Reds” –julukan Liverpool– justru dibuat tak berdaya oleh Madrid. Bahkan, Steven Gerrard dan kawan-kawan dipermalukan tiga gol tanpa balas di Stadion Anfield. Fakta itu membuat suporter Liverpool yang menyaksikan pertandingan melalui nonton bareng (nobar) jadi tertunduk.

Aula Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta, Kamis (23/10) dini hari WIB jadi saksi wajah-wajah lesu fan Liverpool. Namun, tidak sebaliknya untuk “Madridista” –suporter Madrid– yang tampak berpesta menyaksikan tim kesayangannya menang 3-0. Ya, kedua suporter yang kalau ditotal sekitar ratusan orang itu memang mengadakan nobar serempak.

Selain demi mendukung tim masing-masing, mereka juga tetap respek terhadap pendukung lawan. Bahkan, seusai laga, puluhan Madridista “menggeruduk” barisan fan Liverpool untuk sama-sama menyanyikan lagu You’ll Never Walk Alone. Mereka saling berjabat tangan satu sama lain. Tampak, suasana kebersamaan itu menghapus rivalitas kedua pendukung sepanjang 90 menit pertandingan.

“Enaknya gini kalo nobar sama anak-anak Liverpool, terus bareng Madridista asyik-asyik orangnya. Ini saya sampai menyeret anak buah Louis van Gaal, biar selama 90 menit dukung Liverpool,” ujar Yenni, salah satu fan Liverpool meledek pacarnya yang kebetulan fan Manchester United. Meski kalah, tapi raut wajah Yenni dan rekan-rekannya tetap ceria.

Fan Madrid tetap respek terhadap suporter Liverpool


El Clasico di Otista

Sementara, Hafizh Alkautsar Septian, 21 tahun, bersyukur Madrid bisa menang di markas Liverpool yang selama ini angker, “Sayangnya ‘Los Blancos’ cuma menang 3-0. Meski begitu, saya yakin hasil di Anfield bisa membuat Madrid mengalahkan Barcelona pada ‘El Clasico’ nanti.”

Ya, Sabtu (25/10) Madrid akan menjamu musuh bebuyutannya, Barcelona di Santiago Bernabeu. Tak heran jika, kemenangan atas Liverpool membuat ratusan Madridista optimistis timnya bisa melakukan hal yang sama pada “El Clasico”. Itu diungkapkan Ihsan Haikal, Ketua Pena Real Madrid Indonesia (PRMI) yang mengadakan nobar tersebut.

“Kemenangan telak malam ini merupakan pesan serius untuk Barcelona agar berhati-hati di Bernabeu. Lihat saja faktanya, meski tidak diperkuat (Gareth) Bale dan (Sergio) Ramos, tapi Madrid tetap bisa menggilas Liverpool,” tutur Ihsan yang menyebut PRMI kembali mengadakan nobar “El Clasico” di GOR Otista, Jakarta Timur, akhir pekan ini.*

Suporter Liverpool tetap semangat mendukung tim kesayangannya



Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 24 Oktober 2014


Rabu, 22 Oktober 2014

Satu Dekade ICI: Semangat Kekeluargaan dari Interisti

Bendera raksasa dari Interisti pada HUT ICI 2013 (foto: roelly87)


Wajah-wajah antusias terlihat dari ratusan orang yang serempak mengenakan kostum hitam biru. Tidak ada raut kelelahan meski mereka baru saja melakoni perjalanan panjang dari Jakarta menuju Cianjur selama lebih dari enam jam. Termasuk ketika bus yang ditumpangi harus mengalami pecah ban.

Justru, di sana terlihat kebersamaan dari mereka yang menamakan dirinya sebagai Interisti -fan FC Internazionale-  sejati. Di tengah cuaca terik dan awak bus mengganti ban yang bocor. Interisti tetap semangat dengan menyanyikan lagu-lagu wajib dari tim yang sukses meraih treble winners 2010.

Ya, mereka semua berkumpul di tempat wisata The John’s, Cianjur, Jawa Barat, dengan kendaraan yang berbeda. Ada yang menggunakan bus, mobil pribadi, truk, dan konvoi sepeda motor dari seluruh pelosok Indonesia. Bahkan, terdapat empat Interisti yang bela-belain datang dari kawasan terjauh, Ambon.

Itu semua dilakukan demi mengikuti perayaan satu dekade Inter Club Indonesia (ICI) Moratti selama dua hari, Sabtu-Minggu, 7-8 September 2013. ICI Moratti yang dibentuk pada 24 Agustus 2003 merupakan salah satu kelompok suporter klub tertua di Indonesia. Keberadaan mereka juga diakui secara resmi oleh manajemen Inter di Italia.

Bahkan saat “I Nerazzurri” melakoni tur ke Indonesia pada 24 dan 26 Mei 2013, CEO Inter, Ernesto Paolilo turut merestui pemberian nama Moratti di belakang Inter Club Indonesia. Moratti sendiri merupakan kepanjangan dari Massimo Moratti yang menjabat Presiden Inter sejak 1995.

“Perayaan satu dekade ICI Moratti ini dihadiri 600 Interisti yang tergabung dari seluruh region di Indonesia,” tutur Irfan, salah satu panitia yang bertanggung jawab dengan kesuksesan acara tersebut.

Selain memperingati satu dekade, ICI Moratti juga mengadakan beberapa acara sepanjang dua hari kemarin. Mulai dari lomba koreografi, yel-yel, api unggun, dan outbond malam. Tak ketinggalan beberapa aksi Interisti cantik yang tergabung dalam Internona dengan donor darah dan bakti sosial.


Sementara, salah satu pentolan ICI Moratti, Arden, menilai, banyaknya kegiatan yang lakukan sebagai wujud eksistensi mereka. “Kami melakukan ini semua karena ICI Moratti adalah satu keluarga yang tak terpisahkan dari Inter. Kami yang berada di Indonesia tetap akan mendukung Javier Zanetti dan kawan-kawan. Baik saat Inter meraih prestasi atau dalam performa terburuk sekalipun. Apalagi setelah ditangani Walter Mazzarri, kami, ICI Moratti optimistis Inter akan kembali menjadi tim besar di Italia dan dunia.”*


Perayaan yang meriah dan penuh kesan


Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 9 September 2013

Senin, 20 Oktober 2014

Mengejar Cinta hingga ke Italia

Heny Pratiwi di Stadion Giuseppe Meazza


KECINTAAN fan sepak bola terhadap tim kesayangannya memang menjadi kisah yang menarik. Berbagai fanatisme terjadi pada seorang penggemar yang ditujukan untuk tim favoritnya. Seperti yang terjadi pada dua tifosi Juventus di tanah air. Misalnya, Ponco Pamungkas yang mendapat servis istimewa dari Giorgio Chiellini karena kedekatannya melalui twitter.

Begitu juga dengan fanatisme Fanny Mualif yang berujung pada kerelaannya untuk menginap di Mapolsek Tanah Abang selama 12 jam. Itu karena pengagum Arturo Vidal ini membentangkan bendera Palestina saat Juventus menghadapi ISL Stars di Gelora Bung Karno (6/8).

Sementara, dari kaum hawa tidak mau kalah. Bahkan, ada yang harus terbang ke Italia langsung demi mengejar cintanya terhadap FC Internazionale. Itu dialami Heny Pratiwi yang kini menetap di “Negeri Piza” tersebut. Wanita berusia 28 tahun ini berhasil mencapai impiannya untuk menyaksikan langsung pertandingan Inter di Stadion Giuseppe Meazza.

Tidak hanya itu, sekretaris manajer di salah satu hotel di Milan ini kerap menemui beberapa pemain atau mantan Inter. Terutama Fracesco Toldo yang menjadi pahlawan Italia di Piala Eropa 2000. Heny mengakui sangat terpikat dengan eks portiere Inter periode 2001-10 ini.

“Toldo salah satu pemain Inter dan Italia yang paling saya kagumi. Orangnya ramah terhadap siapa saja. Termasuk fan yang berasal dari luar negeri seperti Indonesia. Bahkan, saya sempat ditraktir di sebuah restoran bersama teman-temannya,” Heny mengungkapkan.

Wanita asal Yogyakarta ini menuturkan sudah jatuh hati terhadap Toldo ketika masih di bangku SMP pada awal dekade 2000-an. Saat itu Toldo memang sedang dalam masa kejayaan. Sejak itu, Heny bertekad untuk bisa belajar bahasa Italia dan berkunjung ke Milan demi menemui Kiper Terbaik Seri A 2000 ini.

“Kecintaan terhadap Inter dan Toldo memberikan motivasi untuk mewujudkan impian saya,” ujar Heny, semringah. “Maka, saya memutuskan untuk belajar bahasa Italia secara otodidak. Tidak mudah memang, tapi saya terus berusaha hingga kini saya lancar dan bekerja di Sisilia. Bisa dikatakan, ‘dreams come true’ ketika saya pertama kali bertemu Toldo. Sungguh, saya berdebar-debar ketika melihatnya pertama kali di stadion.”

Sahabat Lo Monaco

Selain Toldo, Heny juga kerap bertemu dengan beberapa pesepak bola Italia lainnya. Mulai dari Alessandro Nesta, Alessandro Del Piero, Antonio Conte, Paolo Cannavaro, dan Salvatore Aronica yang kini memperkuat Palermo. Bahkan, Internona –julukan fan Inter wanita– ini bersahabat dengan Pietro Lo Monaco, mantan direktur Catania yang kini memiliki Messina.

“Lo Monaco itu juga ramah. Dia kan yang membawa Diego Simeone ke Eropa untuk melatih Catania. Setelah itu, Simeone sukses melatih Atletico Madrid yang kini juara La Liga,” Heny mengungkapkan.  Saya beberapa kali bertemu dengan Lo Monaco di restoran. Kami, biasanya berbicara mengenai sepak bola Italia, terutama Inter, calciomercato, dan tak lupa tentang Indonesia. Maklum, pemilik Inter sekarang kan berasal dari negara kita,” ujar Heny dengan bangga.

*       *       *

Heny Pratiwi bersama Lo Monaco

*       *       *
Heny Pratiwi bersama Francesco Toldo


*       *       *


Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 14 Agustus 2014

Kamis, 16 Oktober 2014

Fandi Ahmad dan tentang Mentalitas Indonesia


Fandi Ahmad

PUPUS sudah menyaksikan aksi tim nasional (timnas) Indonesia U-19 berlaga di Piala Dunia U-19 2015 di Australia pada 30 Mei - 20 Juni 2015. Lantaran, skuat asuhan Indra Sjafri tersingkir secara dini di Piala AFC U-19 2015 di Myanmar sebagai juru kunci Grup B. Itu karena dalam tiga pertandingan, Indonesia U-19 selalu kalah dari Uzbekistan 1-3, Australia 0-1, dan Uni Emirat Arab 1-4.

Padahal, untuk bisa melangkah ke Piala Dunia U-19, minimal sebuah tim harus bisa lolos ke semifinal Piala AFC U-19. Alhasil, Evan Dimas dan kawan-kawan pun harus merelakan impian untuk kembali berlaga di Piala Asia U-19 seperti yang terjadi pada edisi 1979. Kegagalan tim yang dijuluki "Garuda Muda" itu tentu membuyarkan ekspekstasi masyarakat setelah tahun lalu mampu menjuarai Piala AFF U-19 dan lolos kualifikasi Piala AFC U-19 secara meyakinkan dengan menundukkan Korea Selatan U-19.

Menyimak hasil tiga pertandingan tersebut, dalam hati saya bertanya, apa yang salah dari timnas U-19 di Myanmar? Sebab, materi pemain kita tergolong berkualitas. PSSI sebagai induk olahraga pun telah memberikan persiapan untuk menghadapi puluhan tim sepanjang 2014. Mulai dari klub lokal hingga mengikuti event di Brunei Darussalam dan tur ke Spanyol untuk menjajal tim kelas dua La Liga. Salah satunya, Barcelona B yang diperkuat Luis Suarez. Namun, hasil yang didapat ternyata jauh dari kata memuaskan. Jangankan target lolos ke semifinal, bahkan Indonesia U-19 malah jadi bulan-bulanan ketiga tim di Grup B.

Jebloknya prestasi "Garuda Muda" membuat saya teringat akan perkataan Fandi Ahmad yang menilai, salah satu kelemahan Indonesia -baik junior atau senior- dari segi mental. Ya, secara teknik dan postur tubuh untuk ukuran Asia, para pemain kita tidak memiliki masalah. Begitu juga dari segi kualitas. Siapa yang meragukan kemampuan Evan Dimas dalam hal menggocek bola, kecepatan dari Maldini Pali, serta ketangkasan Ravi Murdianto di bawah mistar yang mendapat julukan "Spiderman dari Grobogan"? Tidak ada! Sebab, jika diadu untuk level Asia (sekali lagi, level Asia) kemampuan penggawa Indonesia U-19 seimbang. Toh, tahun lalu, kita mampu mengalahkan Korea Selatan U-19 yang selama ini dijuluki sebagai "Raksasa Asia".

Hanya, masalah para pemain Indonesia, baik U-19, U-23 yang berlaga di Asian Games 2014, serta senior, adalah mental. Itu bisa dilihat ketika Indonesia U-19 kebobolan lebih dulu. Bisa dipastikan para pemain seperti panik. Mereka berlomba-lomba untuk mencetak gol, mulai dari striker, gelandang, hingga bek. Namun, karena "nafsu" itu yang menjadi kelemahan mereka. Sebab, ketika nyaris semua pemain maju, maka lini pertahanan menjadi kurang terjaga. Yang ada, bukannya balas mencetak gol, tapi malah kembali kebobolan. Contohnya bisa kita lihat pada pertandingan melawan Uzbekistan.

*      *      * 

"Sebagai pelatih, yang terpenting untuk pemain jangan terlalu dibebankan target juara. Kalau di Indonesia, saya lihat timnas U-19 sudah bagus dan punya masa depan cerah. Hanya, kalian harus bisa meningkatkan mentalitas dalam hal bertanding," tutur Fandi Ahmad ketika saya temui beberapa waktu lalu di kawasan The Padang, Singapore Recreation Club & Singapore Cricket Club, Singapura.

Fandi Ahmad memang tak asing dengan sepak bola Indonesia. Lantaran pria asal Singapura kelahiran 29 Mei 1962 ini berpengalaman membela klub tanah air. Baik sebagai pemain Niac Mitra pada periode 1982-83 atau menjadi pelatih Pelita Jaya (2006-10). Kini, Fandi Ahmad menangani Lions XXI, klub "Negeri Singa" yang mengikuti kompetisi Malaysia Super League. Selain melatih, jika senggang Fandi Ahmad turut mengawasi Sekolah Sepak Bola (SSB) miliknya, yaitu F17 Academy.

Salah satu pernyataan menarik dari mantan pemain yang pernah memperkuat klub Eredivisie Belanda, FC Groningen ini mengenai pembinaan. Sebab, sebagaimana yang kita tahu, kompetisi di Indonesia belum tertata dengan baik layaknya negara-negara di Asia lainnya. Selain beberapa kasus penganiyaan wasit, penyerangan suporter, hingga karut-marutnya jadwal kompetisi. Misalnya, turnamen Indonesia Inter Island Cup 2014 yang sejatinya diputar sebelum kompetisi, malah belum berakhir sejak Januari hingga kini  dengan menyisakan final Persib Bandung versus Arema Cronus.

Padahal, tolok ukur kesuksesan setiap negara adalah kompetisi domestiknya serta pembinaan usia muda. Contohnya negara "miskin" yang selevel dengan Indonesia, seperti Brasil dan Argentina, berkat kompetisinya yang rapi dan pembinaan pemain muda secara berjenjang membuat mereka maju.

"Kalian harus seperti itu jika ingin berhasil. Jangan lupa, sarana juga wajib ditingkatkan. Lihatlah Singapura, di sini banyak turnamen anak yang baik dengan kualitas lapangan internasional. Nah, kalau di Indonesia atau Jakarta, tentu sulit dapat lapangan rumput seperti di sini. Bagaimana bisa tampil hebat saat melakukan passing, dribel, dan mencetak gol, jika setelah hujan lapangannya menjadi becek," tutur Fandi Ahmad yang membuat saya tersenyum miris...

*         *         *

Artikel ASIOP Apacinti Sebelumnya:
Tetap Layak Diberi Apresiasi
Upaya Mengasah Mental Pemain
Berangkat dengan Ekspresi Gembira

Artikel Terkait:
- Fandi Ahmad: Pemain Jangan Dibebankan Target Juara!

*         *         *
Jakarta, 16 Oktober 2014

Rabu, 08 Oktober 2014

Kembalinya “Il Sette Magnifico”

Antusiasme Juventini Indonesia di GBK (@roelly87)


ALKISAH di sebuah desa yang dahulunya tenteram mendadak berubah jadi kacau. Itu karena ulah gerombolan bandit yang kerap merampok dan membuat onar. Tak tahan dengan kekacauan itu, warga desa sepakat membentuk aliansi yang berisi tujuh penggembala kuda terbaik atau disebut koboi untuk memeranginya. 

Mereka memang berhasil menumpas habis sekitar 40 orang bandit. Namun, itu semua harus dibayar mahal karena pada akhir cerita hanya tersisa tiga koboi. Meski begitu, keempat pahlawan yang gugur itu tetap mendapat tempat di hati penduduk desa yang merasa telah diselamatkan.

Kisah itu terdapat dalam film Hollywood berjudul “The Magnificent Seven” yang dirilis tahun 1960. Ada korelasi antara film yang tayang lebih dari setengah abad lalu itu dengan kondisi sepak bola terkini. Khususnya di Italia yang tengah melangsungkan salah satu kompetisi terketat dan terbaik di Eropa: Seri A.

Ya, jika dalam film dikenal dengan istilah tujuh koboi terhebat (The Magnificent Seven). Begitu juga di Seri A yang identik dengan tujuh tim terbaik (Il Sette Magnifico). Idiom Il Sette Magnifico dipopulerkan pertama kali pada pertengahan dekade 1990-an. Tepatnya ketika Seri A masih menjadi kiblat sepak bola dunia.

Saat itu, hampir seluruh penggila bola yang awam sekalipun mengenal kehebatan dari Juventus, AC Milan, FC Internazionale, AS Roma, Lazio, Fiorentina, dan Parma. Ketujuh tim itu silih berganti mewarnai kompetisi Eropa, bahkan merajainya hingga menciptakan istilah All-Italian Finale di Piala UEFA dan Liga Champions. 

Itu berbeda dengan Liga Primer Inggris yang dalam dua dekade terakhir hanya dikuasai oleh “The Big Four”, Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool. Atau La Liga Spanyol yang melulu didominasi dua tim dengan latar belakang sejarah berbeda: Real Madrid dan Barcelona.

Namun, setelah badai ekonomi menghantam Eropa, termasuk Italia yang terkena imbasnya. Secara perlahan gaung Il Sette Magnifico mulai menghilang. Terutama seiring terdegradasinya Parma dan Fiorentina akibat kebangkrutan pada awal milenium baru. 

Napoli Pengganti Parma

Selang satu dekade kemudian, Fiorentina sudah bangkit di bawah asuhan pelatih bertangan dingin, Vincenzo Montella. Di sisi lain, Napoli yang dalam tiga tahun terakhir mampu menampilkan permainan impresif di Seri A, menggantikan posisi Parma sebagai pelengkap Il Sette Magnifico. Lima tim lainnya tetap berada di jalur yang sama.

Hanya, sebagaimana film “The Magnificent Seven”, begitu juga dengan komposisi di Seri A. Dari tujuh tim tersebut, hanya tiga tim yang benar-benar bisa melaju dan finis hingga pekan terakhir.

Juventus sudah pasti berada di urutan pertama dalam sprint scudetto. Tidak ada alasan khusus untuk menempatkan Andrea Pirlo dan kawan-kawan sebagai calon kuat meraih gelar ketiga beruntun musim ini. Materi pemain, konsistensi permainan, strategi jitu pelatih Antonio Conte, dan stabilitas manajamen dalam mengelola tim menjadi faktor utama. 

Milan ada di posisi kedua sebagai penantang serius yang dapat membendung Juventus. Kembalinya Ricardo Kaka membuat lini depan “I Rossoneri” kian berbahaya untuk melengkapi duet Mario Balotelli-Stephan El Shaarawy. Begitu juga dengan rival sekota, Inter, yang kini diarsiteki pelatih bertangan dingin: Walter Mazzarri.

Ketiga tim itu diprediksi akan bergantian merajai puncak klasemen Seri A 2013/14. Juaranya? Lagi-lagi ditentukan faktor konsistensi dalam setiap pekan hingga pengujung musim.

Namun, berbeda dengan film yang meski penuh konflik dan drama, tetap saja mengedepankan unsur hiburan hingga acap berujung pada situasi happy-ending. Sepak bola justru olahraga yang sangat penuh dengan unsur kejutan dan tak pernah bisa diduga. 

Ibaratnya, 90 menit pertandingan di lapangan sama sekali tidak menghasilkan gol. Tapi, selang beberapa detik tambahan waktu, bisa berujung pada hujan gol. Khususnya di Italia ketika sepak bola sudah menjadi “agama” kedua.

Itu dapat dilihat pada akhir pekan ketika pagi hari masyarakatnya khusyuk beribadah. Tapi, sore harinya malah saling bentrok antara fan satu tim dengan tim lain, khususnya yang melibatkan laga derby.

Roma Memimpin

Menariknya, hingga pekan kelima Seri A 2013/14, bukan tim tradisional seperti Juve, Milan, dan Inter yang memimpin klasemen. Melainkan tim dari ibu kota yang musim lalu justru terpuruk, Roma. Tanpa pembelian besar-besaran yang dilakukan klub berjuluk “I Giallorossi” itu nyatanya mampu mengangkangi hegemoni tim yang jorjoran di bursa transfer lalu. 

Urutan di enam besar klasemen melibatkan enam dari tujuh tim berjuluk “Il Sette Magnifico” yaitu, Roma, Inter, Napoli, Juve, Fiorentina, dan Lazio. Sementara, Milan yang terdampar di posisi ke-12 seperti memiliki sindrom selalu kesulitan di awal musim, namun ngebut di akhir kompetisi.

Lalu, apakah urutan klasemen saat ini akan berlanjut hingga pekan terakhir pada19 Mei 2014. Sulit untuk menjawabnya. Selain kompetisi masih berlangsung lama, tepatnya 33 pekan lagi. Juga masih banyak kemungkinan terjadinya perubahan di tangga klasemen. 

Satu hal yang sudah pasti, sebagaimana di “The Magnificent Seven”  hanya tersisa tiga koboi di akhir film. Begitu juga dengan di Seri A yang hanya meninggalkan tiga tim terbaik untuk mewakili Italia di pentas Eropa. Dan, perburuan itu tentu dimulai dari sekarang.***

Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 210 Vol 09 (Sabtu-Minggu, 28-29 September 2013)