TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Tentang Rezeki yang Tak ke Mana-mana

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Sabtu, 12 Desember 2015

Tentang Rezeki yang Tak ke Mana-mana





SALAH satu "godaan ternikmat" bagi kaum pria yaitu ketika menunaikan Salat Jumat. Secara jujur, saya harus mengakuinya. Terutama saat mendengar kutbah. Entah kenapa, nyaris setiap mengikuti Jumatan, seperti ada perang yang berkecamuk. Padahal, ketika berangkat ke Masjid, mata saya sangat segar. Pun begitu berwudu, benar-benar semangat.

Tapi, ketika menyelesaikan salat sunah yang berganti kutbah, tiba-tiba mata selalu diserang kantuk. Adakalanya, saya kuat menahan godaan untuk tidak tertidur dari mulai masuk hingga keluar masjid. Tapi, pernah juga saya "kalah" karena terlelap sementara hingga ikamah tiba.

Itu seperti yang terjadi kemarin, Jumat (11/12). Ironisnya, ketika menuju rumah, seperti ada yang mengipasi angin di atas kepala saya, tiba-tiba langsung segar lagi.

*      *      *

SIANG itu, seperti biasa menjelang kerja, saya menyempatkan diri untuk menikmati secangkir kopi hitam untuk memanjakan mata di beranda rumah. Sambil memandang hilir mudik masyarakat yang bekerja, saya asyik menyeruput kopi khas Lampung yang diberi teman, bulan lalu. Tak lupa, keberadaan saya saat itu ditemani koran olahraga nasional dan harian umum yang mengisi rutinitas setiap siang.

Sambil menikmati perkembangan berita di Tanah Air bersama seteguk dua teguk kopi, saya dikagetkan suara dari jarak sekitar lima meter. Ketika menoleh, saat itu berdiri seorang pria berusia lanjut dengan memikul dagangannya.

Bagi saya, sosok tersebut tentu tidak asing lagi yang disebut sebagai tukang sol. Lantaran sering melihatnya saat menjajakan jasanya yang melewati rumah saya. Saat saya masih kanak-kanak, saya sering menyaksikan banyak tukang sol sepatu baik dipikul atau memakai sepeda bersama vermak jeans. Namun, seiring perkembangan zaman, hanya beliau yang masih bertahan.

"Jang, ceuk si ibu aya tas nu dijahit?" demikian kata pria yang dari dulu akrab kami panggil pak Solihin kepada saya dalam bahasa sunda sehari-hari. Seketika saya mangangguk dan beringsut ke rumah untuk mengambil tas yang bagian atas dekat sleting sudah jebol.

Entah memang sudah jadul karena kalau saya tidak salah ingat, adik saya memberinya sebagai kado ulang tahun pada seperlima abad. Atau, memang bekas kena paku hingga jahitannya sedikit terkelupas. Biasanya, saya memang kurang memerhatikan. Sebab, masih nyaman dipakai dan bolongnya bukan pada tempat yang penting seperti di bagian bawah.

Usai menyerahkan tas untuk dijahit pak Solihin, saya kembali melanjutkan aktivitas membaca dua surat kabar tersebut. Kebetulan, yang lagi hangat mengenai diduga publik figur berinisal NM dan PR serta mengenai wakil Seri A Italia yang lolos ke babak 16 besar Liga Champions.

Setelah selesai membolak-balik halaman demi halaman, saya iseng menengok ke samping. Saat itu, jemari pak Solihin terlihat asyik menari di antara jarum dan benang yang disimpulkan pada tas saya. Seketika, timbul keinginan  untuk memotret.

Saya pikir, beliau tidak memerhatikan saya. Ternyata, pria yang berasal dari Jawa Barat ini tersenyum saat saya mengarahkan ponsel, "Nanaonan atuh jang. Jiga euweuh pagawean wae motret-motret segala."

"He he he, da si bapak mah serius amat atuh," jawab saya segera memasukkan ponsel ke saku celana.

"Ya, serius teu serius. Ngarana geh keur gawe. Iyeu (tas ini) geus kelar. Naon deui nu disol?"

"Iya pak, nanti saya tanya di rumah dulu, ada yang mau disol lagi apa nggak," jawab saya dengan bahasa Indonesia. Meski ada keturunan sunda, tapi saya belum berani bicara sama yang lebih tua dengan memakai bahasa sunda. Alias masih kagok. Malah beberapa tahun silam saat tinggal di kota yang identik dengan cemilan tahu, saya sempat disemprot akibat menawarkan makan dengan "dahar" dan bukan "tuang".

Beruntung pak Solihin mengerti kesulitan saya dengan membalas obrolan yang dicampur bahasa Indonesia. Sambil mengerjakan sol sepatu milik tetangga, dengan ramah beliau menjawab beberapa pertanyaan saya. Salah satunya mengenai sudah berapa lama menjajakan jasa sol.

Yang menarik, jawabannya justru membuat saya terhenyak. "Ari saya mah keliling beginian jauh sebelum ujang -maksudnya saya- lahir. Dulu, banyak teman seangkatan saya yang juga jadi tukang sol. Tapi, sekarang banyak yang alih profesi dagang lain. Juga ada yang pulang kampung menikmati hari tua."

"Pak Solihin belum ada rencana pensiun?"

"Lah, ngapain? Di rumah, anak udah pada besar, cucu juga udah pada SMA. Kalau saya di rumah aja, pasti mereka ga ngebolehin dagang. Padahal, saya dari muda ga bisa diam, harus gerak. Apalagi sekarang sudah tua,  jadi harus banyak beraktivitas biar ga pikun."

"Sekarang, agak sepi ya pak, dibanding dulu."

"Iya sih. Tapi rezeki mah kan kayak jodoh, jang. Enggak ke mana-mana, tapi dicarinya harus di mana-mana. Selama saya masih kuat, saya mah terus aja bakal keliling."

"Iya juga sih pak. Lagian, lumayan juga sih kalo banyak pelanggan."

"Nah itu dia jang. Sekarang, jarang ada tukang sol. Yang muda-muda, mana mau keliling kayak saya. Jadi biar kata untungnya dikit, tapi pemasukan setiap hari lancar. Lumayan buat jajan cucu di rumah."

*      *      *

KETIKA melirik jarum jam, sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Itu berarti, saya harus bersiap menuju tempat kerja. Sambil mengucapkan terima kasih, saya pun pamit kepada pak Solihin dengan membereskan gelas dan lembaran koran. Beliau mengangguk diiringi senyum dengan jemari masih menari di sisi luar sepatu.

Saat melangkah menuju rumah, sayup-sayup terdengar obrolan dari beberapa orang yang sedang antre. Ada yang ingin sepatunya disol, tas, hingga sendal kulit. Ya, seperti kata pak Solihin. Rezeki memang tidak ke mana-mana karena sudah ada yang mengatur. Namun, jangan lupa. Untuk mendapatkannya, tentu kita harus mencarinya di mana-mana.

*      *      *
Artikel terkait:
- Malu Itu Tidak Ada dalam Hidupnya
- Menguak Rahasia Tong Setan

*      *      *
- Jakarta (12/12)

12 komentar:

  1. salut ama pak solihin, biarpun udah tua tapi masih giat bekerja..
    kita2 yang masih muda harusnyaa malu tuh ya kalau malah malas kerja.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju banget mbak
      saya aja kalah sama beliau yang pagi2 udah keliling, sementara saya pagi malah baru mau tidur he he he :)

      *kalong

      Hapus
  2. Nggak bisa diam saja, harus bergerak, supaya tidak pikun.
    Dalem bangfet tuh, karena yang bergerak kan bukan hanya fisik ya, akal dan hati juga begitu, harus bergerak.
    R%ezeki memang tak kemana

    BalasHapus
    Balasan
    1. rezeki memang tak kemana, tapi dicarinya harus di mana2 ya mbak :)

      yang saya salut, meski udah di atas 60-an, beliau tetap tegap jalan kaki, padahal keliling2 itu lumayan jauh

      Hapus
  3. seperti pak sholihin, ibu saya yg meski sudah sepuh juga gak mau diem. biasa dagang..maunya tetep dagang pdhal maunya kami biar anteng aja di masa sepuhnya. katanya alesannya gak biasa diem.udah biasa kerja

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama mbak, ibu saya juga (baru 51), ga betah diam
      maunya gerak, kebetulan deket rumah ada tempat kosong, ya akhirnya dijadiin buat buka warung nasi :)

      Hapus
  4. wah perumpamaan si bapak bisa aja ya rezeki kaya jodoh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. menohok banget mbak, apalagi bagi yang jomblo :)

      *aiiiiiih

      Hapus
  5. Balasan
    1. yupz, respek banget sama yang seperti itu
      tetap berkarya tak pandang usia :)

      Hapus
  6. "Jodoh tidak kemana-mana, tapi nyarinya yg harus kemana-mana" - ucapan yang dalam dan bener juga omongannya..nice article..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hi hi hi
      ya udah, nanti kita cari di mana-mana yuk bu :)

      #eaaaa

      Hapus

Maaf ya, saat ini komentarnya dimoderasi. Agar tidak ada spam, iklan obat kuat, virus, dan sebagainya. Silakan komentar yang baik dan pasti saya kunjungi balik.

Satu hal lagi, mohon jangan menaruh link hidup...

Terima kasih :)