(Sumber foto: dokumentasi pribadi/www.roelly87.com) |
"KAPAN kawin?" Bagi para bujangan -termasuk saya- di seluruh Tanah Air, mungkin itu pertanyaan yang terkesan sederhana tapi sangat menohok. Ya, "kapan kawin?", "kapan nikah?", "kapan married?" sangat sering diutarakan keluarga, kerabat, teman sekolah, kawan masa kecil, rekan blogger, bahkan mantan! Untuk yang terakhir, bisa di skip saja.
Terutama jika Idul Fitri tiba dan kebetulan saya sedang berlebaran ke rumah keluarga besar, tetangga, dan teman. Duh, dari pagi seusai salat ied hingga mau salat isya lagi (malam harinya), pertanyaan itu pasti diucapkan mereka. Pertanyaannya sih singkat, cuma dua kata. Tapi, jawabnya harus mikir-mikir lagi.
Mau bilang "Iya, nanti. Ntar juga dikabarin." Eh mereka malah penasaran. Nanya kapan? Ingin lihat calonnya lah, ini lah, itu lah.
Terus, kalau bilang "Belum ada. Masih direncanain." Ini lebih rumit lagi. Mereka, -terutama kawan lama yang dulu pernah satu seperjuangan- malah memberondong pertanyaan lagi yang seperti menginvestigasi ala wartawan. "Kenapa sama yang itu batal?", "Ga jadi sama yang ini?" dan lain-lain. Bahkan, ujung-ujungnya malah "mempromosikan" teman atau saudaranya juga yang masih single. Alias jadi mak comblang! Wow...
Alhasil, biar cepat selesai, biasanya saya jawab "May." Ya, kedengaran mereka Mei tahun depan. Padahal, aslinya, "Maybe yes, maybe no."
* * *
SEBENARNYA, pertanyaan mereka itu tidak salah. Khususnya yang bertanya itu mayoritas sudah menikah (ya tidak mungkin juga, jika sama-sama belum nikah, nekat nanya kapan kawin ke orang lain!).
Hanya, menikah itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus diurus, dibenahi, dan dikumpulkan. Bisa jadi, secara lahir saya siap (untuk menikah). Namun, batin? Begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan saran dan nasihat dari beberapa orang dekat, selain mental, kita -maksudnya saya- juga harus mempersiapkan secara fisik. Yaitu, dana. Kebetulan, yang pertama saya sudah yakin 100 persen siap. Nah, untuk yang kedua ini belum sepenuhnya. Alias, masih berjalan.
Sejauh ini, saya masih mengumpulkan dana. Kalau dipikir-pikir, nikah itu -berdiri di pelaminan- hanya tiga jam. Tapi, ngumpulin dana sampai dua tahun. Ya, begitulah. Lantaran, nikah itu kan -Insha Allah- hanya sekali. Jadi, saya harus secara matang merencanakannya.
Setelah dalam dua tahun ini meminta saran, pendapat, curhat, hingga diskusi, dari banyak pihak, khususnya kedua orangtua saya, akhirnya saya merasa percaya diri untuk mengatur keuangan sebelum menikah.
Oh ya, tujuan saya bertanya kepada kedua orangtua saya karena beliau sudah memiliki pengalaman dalam mengatur keuangan sebelum menikah dulu. Apalagi, bertanya kepada kedua orangtua sendiri itu lebih nyaman dibanding sama teman, keluarga, atau lainnya yang kadang bikin risih karena sering jadi bahan guyonan.
Kesimpulan yang saya dapat dalam mengatur keuangan demi mewujudkan pernikahan impian itu dengan merencanakan bujet. Ini penting yang sudah saya lakukan sejak memasuki usia 20-an. Tapi, baru terlaksana dalam dua tahun terakhir mengingat saat itu sebagian besar dana dipakai untuk kebutuhan primer seperti melunasi sepeda motor dan renovasi rumah.
Rencana alokasi dana saya ambil dari hasil "wawancara" dengan teman-teman yang sudah menikah. Termasuk mengambil referensi dari kedua orangtua saya meski zamannya sudah berbeda. Lantaran, beliau menikah pada akhir dekade 1980-an dan saat ini memasuki pengujung 2015. Namun, tetap saja relevan.
Sebagai gambaran kasar, sebagai pihak pria, misalnya alokasi dana saya -hanya perkiraan dan tidak mengikat karena terkait inflasi- Rp 25 juta yang bersama dipakai pihak wanita untuk:
- Sewa gedung (Karang Taruna di Kelurahan) sekitar Rp 2 juta
- Sewa tenda, janur kuning, dan sebagainya sekitar Rp 1 juta
- Kartu undangan (Rp 2.000 dengan desain ala gunungan wayang favorit saya x 500 lembar) sekitar Rp 1 juta
- Gaun pengantin (sudah disiapkan orangtua sebagai kado pernikahan) Rp 0
- Suvenir gantungan kunci pasangan Kamajaya-Kamaratih yang merupakan simbol langgeng di dunia wayang (Rp 5.000 x 500 lembar) sekitar 2,5 juta
- KUA Rp 600 ribu
- Mahar atau mas kawin (ini saya belum bisa pastiin, masih konsultasi) sekitar Rp 5 juta
- Pagar ayu atau penyambut tamu (4 x Rp 100 ribu) sekitar Rp 400 ribu
- Prasmanan (kami belum bisa tentukan, saat ini hanya perkiraan saja) Rp 8 juta
- Lain-lain (sewa audio dan sebagainya) sekitar Rp 500 ribu
- Biaya tak terduga (konon menurut penuturan beberapa pihak yang sudah menikah supaya saya jaga-jaga agar tidak defisit) Rp 4 juta
Melihat angka-angka di atas, awalnya membuat saya berkerut kening. Tapi, jika dijalani dalam dua tahun ini ternyata tidak berat. Apalagi, setelah saya mengikuti acara Jumpa Blogger dan Talkshow bersama Safir Senduk yang diselenggarakan Sun Life Indonesia, pada 1 Agustus lalu.
Saat itu, pria 41 tahun ini membeberkan cara mengatur keuangan dan menyiapkan dana untuk masa depan. Sontak, ilmu yang diterapkan Safir Senduk itu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai blogger, saya sungguh beruntung bisa menghadiri acara tersebut. Meski durasinya singkat, kurang dari empat jam, tapi sangat menentukan masa depan saya. Apalagi, saya sudah tidak asing dengan PT Sun Life Financial Indonesia yang kerap mengadakan acara inspiratif untuk blogger. Termasuk waktu menghadiri diskusi dengan tema asuransi syariah dalam Kompasiana Nangkring pada 30 Agustus 2014.
* * *
NAH, setelah merencanakan bujet selama dua tahun plus mendapat tipsnya usai mengikuti acara Sun Life, selanjutnya apa? Tentu saja, mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar tidak sekadar wacana, apalagi NATO (No Action Talk Only).
Misalnya, gaji saya -sesuai UMP DKI Jakarta- Rp 2,7 juta. Dengan dana tersebut, biasanya saya alokasikan untuk:
- Keperluan sehari-hari (meliputi BBM sepeda motor, pulsa, listrik, kencan, dan buku) Rp 500 ribu
- Kirim ke Orangtua Rp 1 juta
- Cicilan KPR subsidi Rp 500 ribu
- Tabungan di bank untuk persiapan nikah Rp 500 ribu
- Biaya tak terduga (jika sakit di luar BPJS, sepeda motor mogok, ban bocor) Rp 200 ribu
Hanya, pembagian itu tidak mengikat. Adakalanya lebih dan kurang karena berbagai hal. Misalnya, ketika beberapa bulan lalu saya jatuh dari sepeda motor, hingga harus nombok karena keluar Rp 1,4 juta untuk perbaikan ke bengkel dan rumah sakit. Beruntung, sebagai blogger, saya kerap mendapat hadiah atau menang lomba yang bisa saya alokasikan untuk menutupi kekurangan sebelumnya.
Jadi, kalau dihitung-hitung, sejak dua tahun ini, Rp 500 ribu x 24 = Rp 12 juta. Tentu saja, belum ada setengah dari rencana terdahulu yang mencapai Rp 25 juta. Namun, saat itu saya sudah punya simpanan sekitar Rp 5 juta. Belum lagi hasil menyisihkan bonus dari kantor, THR, menang lomba blog, dan lainnya.
Tapi, lagi-lagi setelah dihitung ulang, saat ini dananya baru sekitar Rp 20 juta lebih sedikit. Alias belum mencapai target Rp 25 juta. Terus bagaimana? Ya, dijalankan setiap hari dengan komitmen penuh.
Yang penting, untuk menikah, kita -saya khususnya- tidak boleh meminta kepada orangtua apalagi calon mertua. Kalau minta saran, nasihat, tenaga, dan bantuan pakaian pengantin yang memang permintaan khusus dari mereka sebagai kado pernikahan kami, itu oke.
Tapi, bantuan uang untuk menikah? Tentu saja saya tidak setega itu. Mereka sudah melahirkan dan membesarkan saya selama lebih dari dua dekade. Masa, pas saya mau menikah harus dibantu juga. Sudah seharusnya, saya yang membahagiakan mereka. Salah satunya seusai menikah, saya akan menabung untuk memberangkatkan haji kedua orangtua dan memberikan cucu.
Jika itu terwujud, mungkin pada Idul Fitri berikutnya, pertanyaan yang keluar dari keluarga besar dan juga teman, bukan lagi "kapan kawin?". Melainkan, "Sudah berapa anak sekarang?"***
* * *
Referensi tambahan:
* * *
Sebelumnya:
* * *
- Senayan, 24 Oktober 2015
widiiiw, lumayan banyak juga ya mas habisnya
BalasHapussemoga tahun depan saya bisa nikah, hehe
iya, mas kalo diliat emang banyak
Hapustapi ini dikumpuling sedkit dikit lama lama jadi bukit :)
Baca dari awal kalimat lgsung tertarik ni...
BalasHapushi hi hi
Hapuscerita dong mbak tya, waktu nikahan kemaren...
Pas masih gadis...*uhuk* aku jg sm ma sampean mas, nabungnya diperketat, ya meski aku ga nyumbang buat kawinan, karena semua budget dihandle suami.. tp aku bagi2 tugas kbetulan pas bujang suami justru buoros, na jd selagi dg 2 kali gaji suami, dia andil dlm budget nikahan, akunya kebagian urunan tuk nyicil rumah..memang sih klo yg rumah klo ditotal 50%suami juga yg handle, cm pas dp kebetulan kurang jadi aku cm nambahin 15 jeti gitu. Oya jd aku masi ada tabungan 15 jeti dari 30 jeti yg aku tabung selama 2 th kerja. Aku memang pengiritan abis, minimal nabung 2 juta pas masi gadis hahahaaa
Hapuseh saya juga waktu 20-an mah sempat boros, beli gadget ini itu, dll
Hapustapi memasuki seperempat abad mah jadi lebih mikir lagi, sampe sekarang lebih baik buat invest masa depan dibanding foya2...
ih...
sebulan minimal nabung 2 juta?
banyak bener, saya cuma bisa seperempatnya
*semangat mbak :)
Wah pager ayu pun mbayar jg yo mas, d kampungku gratis
BalasHapussebenarnya sih ga bayar, tapi kalo di daerah saya, ada kayak ucapan terima kasih gitu
Hapussecara, masih tetanggaan yang jadi pager ayunya n masih pada sekolah gitu :)
sudah punya anak dua tetep kok aku di tanya, gak mau nambah anak cewe :-D
BalasHapuslha, ucapannya mirip kayak yang ngomong seminggu lalu :)
Hapusbedanya, dia mah niat mau punya bikin power rangers (empat anak cowok n satu cewek)
Nice plann:)
BalasHapusmakasiiiih mbak atas apresiasinya :)
Hapuswah .. yang beginian ada 2 mahzab ....
BalasHapuspertama : mesti siap ... uang dikumpulin dulu.
kedua ; sikat aja ... katanya ga akan pernah siap2 ... hanya butuh surat dan urat aja koq ... he he he ....
Wah, ijin untuk mencatat list alokasi dana di atas yah Mas, terima kasih banyak dan mohon doanya semoga tahun depan bisa segera menggenapkan setengah agama juga. :p
BalasHapus