TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Maret 2016

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Kamis, 31 Maret 2016

(Esai Foto) Inovasi JNE untuk Manjakan Pelanggan lewat MyCOD



JALUR Nugraha Ekakurir atau disingkat JNE. Di Tanah Air ini, siapa yang tidak mengenal perusahaan ekspedisi yang berdiri sejak 1990? Mayoritas rakyat di Indonesia pasti pernah berhubungan dengan JNE. Baik itu saat mengirim atau menerima paket.

Ya, bisa dibilang, JNE merupakan merek generik. Lantaran banyak yang ingin mengirim paket, pasti bilangnya ke JNE. Padahal, belum tentu melalui JNE. Itu membuktikan perusahaan ekspedisi ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia.

*       *       *

Saya pribadi tidak terhitung seringnya mengirim atau menerima paket dari JNE. Teranyar, saat transaksi dengan rekan di seberang pulau untuk parfum dan juga boneka horta. Bagi saya, JNE merupakan andalan untuk mengirim paket.

Pasalnya, mereka sudah sangat dipercaya publik terkait pengirimannya yang tepat waktu. Bahkan, saya pernah kirim ke pelosok nun jauh di pedalaman Sumatera, paketnya sampai tepat waktu. Apalagi, harganya tergolong kompetitif dibanding perusahaan ekspedisi sejenis.

Saya tidak bilang mengirim paket melalui JNE itu murah. Namun, saya juga tidak mengatakan mahal. Lantaran seperti kata pepatah, "Ada harga, ada rupa". Alias, kita membayar mahal atas apa yang memang pantas kita dapatkan. Bagi saya, mengirim paket dengan JNE membuat saya tidak khawatir barang yang saya kirim bakal telat. Itu karena sepanjang saya menggunakannya, selalu tepat waktu.

*       *       *


Nah, seiring perkembangan teknologi, JNE pun melakukan banyak inovasi agar tidak tergerus zaman. Salah satunya dengan meluncurkan aplikasi MyJNE untuk menjawab kebutuhan pelanggan. Dengan aplikasi ini, saya bisa mengecek tarif, status pengiriman, lokasi, hingga membuat order online dengan JNE sebagai mediasi pembayaran (COD).

Kebetulan, saya sering bertransaksi di forum jual beli dan toko online. Dengan adanya, MyJNE, kian memudahkan saya untuk memantau aktivitas pengiriman atau saat menerima. Itu bisa saya dapat dalam fitur MyCOD yang mudah diunduh melalui playstore.

Sekadar informasi, bagi rekan-rekan yang belum mengetahuinya, berikut akan saya gambarkan pengalaman saat menginstal MyCOD di ponsel saya. Kebetulan, dalam sepekan terakhir saya sudah mencoba aplikasi tersebut. Jadi, ketika saya menerima order di forum jual beli nanti atau toko online, saya tidak akan khawatir lagi. Itu semua berkat MyCOD yang terintegrasi dalam My JNE.

*       *       *

Pertama dan utama, kita ketik "My JNE" pada playstore. Nanti klik yang paling atas dengan gambar kartun memakai topi.

*       *       *

"Mengirim semakin nyaman dengan My JNE". Demikian motto yang terdapat di aplikasi tersebut.

*       *       *

Berhubung saya termasuk orang yang teliti dan cenderung perfeksionis, saya tidak pernah langsung menginstal suatu aplikasi meski itu saya suka. Melainkan, saya membacanya terlebih dulu dari a sampai z. 
*       *       *
Maklum, di playstore kerap beredar aplikasi palsu yang dibuat semirip mungkin yang menyebarkan virus dan malware yang sangat berbahaya bagi telepon seluler (ponsel).


*       *       *

Setelah mengecek lebih lanjut, ternyata aplikasi My JNE ini memang asli dibuat JNE. Ya, di dunia maya, kita harus waspada. Teliti dan lama sedikit tidak masalah dalam melakukan sesuatu. Dibanding, cepat langsung menginstal, ga tahunya itu aplikasi palsu yang dibuat orang dengan tujuan tidak baik. *pengalaman saudara yang pernah tertipu

*       *       *

Jangan lupa, baca dulu komentar dan ratingnya. Emang penting? Ga terlalu sih, tapi sedikit menentukan. Ternyata, sejauh saya lihat, komentar untuk aplikasi MyJNE itu positif.


*       *       *
Setelah mengunduhnya beberapa detik, tinggal registrasi seperti biasa. Nanti, kalau sudah linknya akan masuk ke email untuk verifikasi.


*       *       *

Yeeee, aplikasi My JNE untuk saya sudah selesai.

*       *       *

Baca-baca dulu panduannya. Apa dan bagaimana tentang MyCOD dalam My JNE. Sekadar tambahan, kalau di forum jual beli online, MyCOD ini bisa disebut Rekening Bersama (Rekber). Apa sih Rekber? Ya, gitu. *saya sering menggunakan, tapi bingung menjelaskan.

Intinya, dengan adanya rekber bisa menjamin keamanan sang pembeli. Agar, sebelum barangnya sampai, penjual (saya) tidak akan menerima pembayaran. Nah, di sini, JNE sebagai mediatornya. Jadi, antara saya, dengan pembeli, harus punya akun di MyCOD. Ini mah gampang mengingat, buyer saya 90 persen pemakai JNE. Kecuali yang kawasan Jabodetabek, biasanya saya kirim sendiri.

*       *       *

Setelah cek dan ricek, baru menuju langkah selanjutnya.

*       *       *

Ada empat item dalam deretan paling bawah. Menu home, peta, MY COD, dan My COD Wallet.

*       *       *

"No Order History Available". Yupz, saya baru menginstalnya, dan kebetulan memang belum ada transaksi dengan rekan di seberang sana. Mungkin baru bisa pertengahan April ini yang membuat saya tidak sabar untuk menggunakan fitur My COD dalam aplikasi MyJNE.

*       *       *

Edit foto dan verifikasi lebih dulu. Oo... Ternyata, foto saya dalam versi thumbnail itu terlihat lebih keren :)

*       *       *

Yupz, aplikasi My JNE sudah berada di ponsel saya. Bersanding dengan beberapa aplikasi favorit lainnya.

*       *       *

Sebagai persiapan, saya coba cek harga. Dari dan ke kota tujuan. Salah satunya Bandung.

*       *       *

Terdapat tiga kategori pengiriman. Dari Rp 9.000, Rp 10.000, dan Rp 15.000. Kalau saya, biasanya pilih yang OKE. Secara, saya sekali kirim bisa mencapai puluhan kg. Beda lagi jika barang yang saya kirim tidak lebih dari lima kg yang tentu memakai YES.

Nah, mudah kan? Aplikasi ini merupakan salah satu inovasi dari JNE untuk memanjakan jutaan pelanggannya di seluruh Indonesia. Sekaligus, My COD ini memudahkan saya dalam memuaskan pelanggan saat bertransaksi dan menarik calon pembeli baru.

https://play.google.com/store/apps/details?id=com.indivara.jneone

*       *       *
- Jakarta, 31 Maret 2016

Selasa, 29 Maret 2016

Kolaborasi Indosat Ooredoo dan Spotify demi Manjakan Pencinta Musik lewat #FreedomMusic


Laman www.Spotify.com 

BAGI saya, musik itu sudah jadi kebutuhan tersier. Terutama setelah primer yang meliputi pangan-sandang-papan dan sekunder (gadget, sepeda motor, internet). Ya, dalam kehidupan sehari-hari saya, mendengarkan musik setara dengan menonton film di bioskop atau menyaksikan pertunjukkan seni. Intinya tidak wajib, tapi sedikit keharusan.

Lantaran, saya mendengarkan musik bisa dijadikan sebagai terapi kebosanan, teman dalam bekerja, serta pengobat rindu menyalurkan hobi. Itu mengapa sejak pertama kali memiliki telepon seluler (ponsel), fitur yang ada musiknya jadi pilihan utama.

Khususnya saat memiliki dua smartphone seri xpressmusic 5610 dan 5730. Bahkan, untuk yang terakhir masih bertahan sejak kali pertama menggenggamnya pada swaranamasa 2009 hingga kini masih setia menemani. Baik untuk mendengarkan ribuan lagu dan radio.

Seiring berjalannya waktu, mendengarkan musik pun disesuaikan dengan teknologi. Dulu, saya sangat menikmati Ovi Store Nokia yang kerap menyediakan banyak lagu secara gratis. Sayangnya, kini aplikasi itu sudah almarhum seiring akuisisi Microsoft terhadap perusahaan asal negerinya Jari Litmanen tersebut.

*          *          *
SAAT ini, beredar puluhan aplikasi penyedia lagu gratis yang legal. Empat di antaranya saya kenal seperti Spotify, Guvera, Deezer, dan Apple Music. Mereka memiliki kelebihan masing-masing. Namun, yang membuat saya antusias mengenai Spotify. Lantaran penyedia layanan streaming asal Swedia itu akan segera hadir di Indonesia.

Itu setelah menyimak berbagai cuitan dari akun twitter resminya yang bahkan sudah centang biru, alias terverifivasi, @SpotifyID. Dalam beberapa hari ini, mereka sukses membangun antusiasme pencinta musik di Indonesia dengan hashtag #WaktunyaSpotify.

Rencananya, Spotify akan tersedia secara resmi mulai hari ini, Rabu (30/3). Menariknya, pada peluncurannya yang berlangsung di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) itu, mereka bakal menggandeng salah satu operator terbesar di Tanah Air, Indosat Ooredoo.

Pertama kali saya mengetahui kabar itu pada Selasa (22/3) saat membaca laman MetroTVnews.com berjudul "Spotify Cooperates With Indosat Ooredoo to Enter Indonesian Market?". Tentu, kolaborasi antara penyedia layanan musik streaming raksasa dengan provider terkemuka di Indonesia ini sangat layak ditunggu.

Bahkan, saya mendapat informasi dari sumber terpercaya, bahwa duet kedua pemimpin pasar di bidangnya masing-masing ini demi memanjakan pelanggannya. Maklum, Spotify butuh rekan terpercaya untuk masuk ke Tanah Air setelah dikembangkan di negerinya sejak 2006.

Sementara, Indosat Ooredoo dikenal sebagai penyedia jasa telekomunikasi dan jaringan yang terpercaya sejak dulu. Itu yang mendasari saya untuk tetap sebagai pelanggan utama dari perusahaan yang bermarkas di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat ini. Baik itu layanan prabayar (suara, SMS, dan data) dari IM3 yang saya gunakan sejak 2003 serta IM2 untuk pemakaian domain di blog ini.

Menariknya lagi, kolaborasi ini selain memanjakan pencinta musik, juga memberikan kemudahan untuk pelanggan Indosat Ooredoo. Terutama yang memakai paket Freedom Combo yang memberikan kebebasan pelanggan untuk menggunakan layanan suara, SMS, dan data sepuasnya tanpa syarat.

Sebab, menurut informasi dari sumber yang akurat, pengguna Indosat bakal mendapatkan diskon untuk langganan premium Spotify. Bisa jadi tagline Freedom Combo bakal bertambah jadi #FreedomMusic.


*          *          *
SEKADAR informasi dari situs resminya, di negara tetangga, Singapura, untuk berlangganan premium Spotify setiap bulan dikenakan 9,90 dolar Amerika Serikat (AS) atau menurut kurs Bank Indonesia saat ini sekitar Rp 137 ribu. Bagaimana dengan di Indonesia?

Tentu saja belum ada info resmi dari Spotify. Bahkan, di laman mereka pun, www.spotify.com, masih bertuliskan, "Kami belum tiba di Indonesia! Jadilah yang pertama tahu kapan kami diluncurkan."

Namun, menurut sumber resmi itu kepada saya, Spotify premium tarifnya sekitar Rp 49 ribu. Sudah pasti, nominal itu jauh lebih murah jika dikomparasi dengan layanan sejenis. Misalnya, Guvera Rp 75 ribu, Deezer Rp 73 ribu, dan Apple Music Rp 79 ribu.

Satu hal lagi, Spotify juga menyediakan layanan gratis yang tetap bisa dinikmati pencinta musik. Hanya, dengan syarat tertentu seperti daftar lagunya terbatas, tidak bisa disimpan, dan akan disusupi iklan. Sementara, untuk yang premium, lagunya bisa di-save untuk didengarkan kapan saja tanpa khawatir list-nya dibatasi dan bebas iklan.

Tentu, dua pilihan itu tergantung kita yang memutuskan. Yang pasti, sebagai pencinta musik legal, saya tak sabar menantikan kehadiran Spotify!

*          *          *
- Jakarta, 29 Maret 2016

Minggu, 27 Maret 2016

4 Pilihan Bouncer Bayi Terbaik untuk Kenyamanan Si Kecil


Ilustrasi Bouncer bayi (sumber: www.bukalapak.com)

MEMILIKI buah hati yang baru berusia beberapa hari sudah tentu memberikan kesibukan luar biasa bagi Orangtuanya. Terlebih untuk para ibu yang menjaga si kecil 24 jam penuh, tentu perlu mengatur waktu dan tenaga sebaik mungkin.

Masalah akan semakin terasa berat ketika si kecil masuk ke dalam tipe bayi yang hanya bisa diam saat digendong Orangtuanya. Kondisi seperti ini akan membuat tenaga semakin terkuras sehingga nyaris tidak bisa beristirahat meski sejenak. Sebagai upaya untuk mengurangi risiko kelelahan maka, Orangtua bisa memberikan bouncer bayi untuk menenangkannya.

Oh ya, saya pribadi masih single alias belum berumah tangga yang sudah pasti belum memiliki anak. Namun, saya sering mendapat referensi dari sepupu, rekan kerja, teman, hingga sesama blogger mengenai pemilihan bouncer yang tepat untuk si buah hati. Khususnya, bagi saya pribadi yang mungkin akan jadi pertimbangan jika kelak memiliki si buah hati.

*        *        *
Pilihan Bouncer Terbaik untuk Buah Hati

Bagi orangtua yang hendak membeli bouncer tentu perlu memilih yang praktis dan sesuai kebutuhan. Beberapa pengalaman hasil referensi dan rekomendasi, saya memiliki empat pilihan yang bisa dijadikan bekal sebelum datang ke toko perlengkapan bayi:

1. BabyBjorn Babysitter

BabyBjorn merupakan salah satu brand yang aktif mengeluarkan produk bouncer yang sangat praktis dan membantu para orangtua. Salah satunya tipe Babysitter Balance yang terlihat sangat sederhana dan minim aksesoris tambahan. Desainnya yang bisa dilipat dengan mudah dibutuhkan orangtua yang hendak mengajak buah hati jalan-jalan tanpa repot.

2. Combi Pod Bouncer

Berbeda dengan bouncer yang dikeluarkan BabyBjorn, brand Combi memberikan pilihan bouncer untuk bayi yang memiliki fasilitas lengkap. Salah satu produsen bouncer bayi dari Amerika Serikat ini menambahkan mainan yang bisa dilepas pasang, alunan musik, dan dapat dikontrol naik-turunnya. Kelengkapan fasilitas yang membantu meningkatkan kenyamanan bayi membuat brand satu ini sering dijadikan pilihan. Meski lengkap, harga yang ditawarkan lumayan murah atau saya menyebutnya sangat kompetitif. Yakni sekitar Rp 600-an ribu saja, namun memberikan bouncer yang aman sekaligus supernyaman untuk si buah hati.

3. Fisher-Price Rainforest

Bagi para orangtua yang menghendaki memiliki bouncer dengan warna terang dan motif khas anak-anak yang lucu dan menarik. Brand Fisher-Price menyediakan kriteria tersebut dengan kehadiran Rainforest Bouncer. Sejak dulu, ciri khas Fisher-Price memang memberikan material yang tidak hanya nyaman tapi juga bermotif yang lucu dan penuh warna. Selain itu tersedia tambahan mainan yang bisa di gantung di bagian atas sehingga cocok untuk menjaga bayi ceria di dalam bouncer-nya. Bouncer yang diproduksi Fisher-Price ini bisa didapatkan dengan kisaran harga antara Rp 400 sampai Rp 600-an ribu.

4. 4Moms MamaRoo

Brand MamaRoo disebut sebagai produsen bouncer yang menerapkan teknologi canggih untuk produksi bouncer-nya. Berdasarkan sebuah sumber yang saya dapat di internet, MamaRoo melakukan penelitian terlebih dahulu untuk mengetahui bagaimana bentuk gendongan dari orangtua. Kemudian mengaplikasikannya kepada bouncer yang dibuat sehingga memberikan kenyamanan terbaik bagi si kecil. Selain itu juga memiliki bentuk yang cantik dengan fasilitas mainan dan alunan lagu anak-anak. Keinginan untuk membawa pulang bouncer bayi satu ini bisa dilakukan dengan membayar biaya sekitar Rp 1,6 juta. Lumayan mahal. Namun, sebanding dengan kualitasnya.

*        *        *
Pertanyaannya, di mana kita bisa mendapatkan berbagai bouncer tersebut? Salah satu tempat beli bouncer ini bisa kita cek di bouncer bayi bukalapak.com. Pada situs online marketplace terkemuka di Tanah Air yang didirikan rekan blogger,  Achmad Zaky (www.achmadzaki.wordpress.com) ini, tersedia berbagai macam pilihan dan motif dari para pedagang terpercaya di seluruh Indonesia.

Yang menarik, selain keuntungan beli online melalui bukalapak.com karena murah dan terpercaya, kita juga sudah membantu para UKM yang telah jualan di bukalapak tersebut.

*        *        *
Artikel Terkait:
- Cara Pintar Memilih Pakaian Pria yang Terbaik

- Jakarta, 27 Maret 2016

Sabtu, 26 Maret 2016

Chitato Rasa Mi Goreng dan Sensasi yang Bikin Ketagihan


Chitato rasa Mi Goreng


SAYA bukan tipe orang yang "jatuh cinta" pada pandangan pertama. Baik itu terhadap makhluk hidup atau benda mati. Bisa dipahami mengingat saya butuh waktu untuk akrab dengan segala sesuatunya yang tentu, menimbang pada bibit, bebet, dan bobot. Ya, konvensional. Tapi itu fakta.

Terakhir kali saya benar-benar tergiur dengan "iklan" itu terjadi pada awal 2008. Tepatnya saat antusias membeli telepon seluler (ponsel) musik bertipe xpressmusic keluaran produsen yang dulu, dijuluki milik sejuta umat. Beruntung, hingga kini ponsel tersebut masih nyaman dipakai untuk segala hal meski baterainya kerap bermasalah.

Setelah itu, biasanya saya selalu berpikir ulang untuk membeli sesuatu. Termasuk yang teranyar saat mencoba snack Chitato rasa Mi Goreng yang berkolaborasi dengan Indomie. Ya, di Tanah Air ini, siapa yang tidak tahu dengan makanan ringan yang terbuat dari kentang tersebut?

Saya pribadi mengenal Chitato sejak pertengahan 1990-an. Sebagai bagian dari periode dekade yang konon disebut sebagai generasi emas itu, saya bangga pernah memiliki tazos. yang dikeluarkan Chitato bersama "saudaranya". Yaitu, Chiki, Cheetos, dan Jetz.

Berbicara mengenai tazos, itu jadi unggulan kami (era 1990-an) untuk men-skak anak-anak dari generasi 2000-an dan 2010-an yang sudah terkontaminasi dengan teknologi. Ya, mereka yang besar dengan berbagai gadget canggih itu -seperti ponsel, game konsol, komputer, dan sebagainya-, tidak akan pernah mengetahui nikmatnya mengumpulkan tazos untuk dimainkakn bersama-sama. Baik pada hari biasa atau ngabuburit jelang berbuka puasa.

Hingga ketika Cinta yang dulu mungil ketika belanja buku bekas di Pasar Senen dan kini sudah jadi wanita karier yang mapan, Chitato tetap jadi andalan saya untuk ngemil. Khususnya sebagai teman setia saat menyaksikan pertandingan sepak bola, terutama Juventus di layar kaca.

*        *       *
NAMUN, dalam waktu beberapa lama, saya sama sekali tidak tergiur dengan Chitato yang merilis varian rasa Mi Goreng pada Februari lalu. Pun ketika iklannya jadi viral karena dimuat di berbagai media online, televisi, cetak, hingga radio, dan testimoni di berbagai blog serta forum, pada awal tahun. Bagi saya, cukup aneh jika ngemil Chitato rasa Mi Goreng.

Lantaran saya kadung cinta dengan rasa Beef Berbeque yang -jika gajian- selalu memborongnya dalam jumlah besar sebagai stok ngemil dan kawan untuk melihat para pemain Juventus di tv. Berhubung saya pernah lama tinggal di Sumatera Barat, saya beberapa kali menikmati Chitato rasa Rendang.

Hanya, bukan berarti saya suka dengan varian itu, melainkan hanya sebatas "nostalgia" saya dengan sesuatu yang khas Sumatera Barat, khususnya Padang. Untuk rasa lain, saya nyaris tidak menggubrisnya. Bagi saya, Chitato ya cukup dua rasa: Beef Berbeque dan Rendang (sesekali). Itu sudah lebih dari cukup seperti halnya slogan dari BKKBN.

Tapi, benar kata pepatah. Tak kenal maka tak sayang. Ternyata, adagium kuno itu berlaku bagi saya. Tepatnya, Kamis (3/3) ketika menonton "Derby d'Italia" antara FC Internazionale versus Juventus pada semifinal leg kedua Piala Italia.

Kebetulan, sore harinya ketika mampir di suatu minimarket dekat kantor di bilangan Senayan, stok Chitato rasa Berbeque dan Rendang sedang kosong. Beberapa pramuniaga menawarkan solusi dengan rasa Spicy Chicken, Chicken Berbeque, Original, hingga oriental (Japanese Okonomikayi) yang menurutnya sama seperti Rendang. Tentu saja, tawaran itu saya tolak dengan halus.

Sebab, meski lahir dari "rahim yang sama" sebagai keluaran PT Indofood Sukses Makmur, tetap saja beda. Begitu juga ketika mbak-mbak pramuniaganya menawarkan rasa Mi Goreng, saya kembali bergeming. Hingga, ketika mereka sudah bolak-balik ke gudang untuk mencari Berbeque dan Rendang, masih tidak ada juga, akhirnya saya luluh.

Bisa jadi karena tidak enak dengan mbak dan mas pramuniaga yang sudah memberi pelayanan istimewa demi sebuah snack. Alhasil, karena tidak ada pilihan lain untuk menemani nonton bola malam harinya, saya pun mengambil dua pcs Chitato rasa Mi Goreng.

Sesampainya di rumah pada dini hari WIB yang dingin, setelah menyalakan tv untuk melihat siaran langsung Inter-Juve, saya membuka cemilan tersebut. Sekilas, tiada yang aneh. Baik ukuran, kemasan, dan tampilan dalam serta luar. Isinya masih seperti Chitato yang dulu. Alias sedikit.

Oh ya, bagi saya Chitato identik dengan dua hal. Rasanya yang pas lantaran seperti terdoktrin sejak 1990-an dan isinya yang memang sedikit. Jadi, saya ngemil Chitato itu satu bungkus tidak cukup. Namun, kalau dua, justru uang saya yang tidak cukup. Ya, seperti simalakama gitu.

*        *       *
KETIKA wasit Andrea Gervasoni meniup peluit tanda dimulainya pertandingan, seketika saya langsung mencicipi varian terbaru dari Chitato tersebut. Kalau mau jujur, rasanya tidak beda jauh dengan varian lainnya kecuali bumbu mi goreng yang memang sedap. Ya, sebagai mantan anak kost, sudah pasti saya familiar dengan mi instan yang dikemasannya rasa mi goreng namun aslinya justru harus direbus.

Bagi saya, selain bumbunya yang memang sedap -setara dengan Berbeque dan Rendang serta dua level di atas Original, Spicy Chicken, apalagi yang oriental-, terus terang tidak ada yang baru dari Chitato rasa Mi Goreng ini.

Hingga, ketika layar tv terlihat pertandingan berjalan 10 menit, tiba-tiba tangan kanan saya tidak menemukan apa yang saya cari dalam kemasan Chitato. Ternyata sudah kosong. Saat saya bolak-balik bungkusannya, memang nihil kecuali remah-remahan saja hingga saya mencomot satu bungkus lagi yang tersisa.

Ya, Chitato rasa Mi Goreng itu memang benar-benar mengadopsi secara nyata kolaborasi dari makanan ringan yang terbuat dari kentang dan mi instan: Satu bungkus tidak (pernah) cukup untuk menikmati sensasinya yang "kriuk-kriuk" sedap. Tapi kalau lebih dari itu justru membuat jebol kantong kami karena rasanya yang bikin ketagihan.
*        *       *
Irisan kentang yang sempurna

*        *       *
Ini tampilan belakang dari Chitato yang berkolaborasi dengan Indomie Mi Goreng

*        *       *
Yakin, satu bungkus cukup?

*        *       *
- Jakarta, 26 Maret 2016

Kamis, 24 Maret 2016

(Esai Foto) Cerita di Balik Peringatan Hari Air Sedunia




DELAPAN dari 10 orang yang saya tanya, baik tatap langsung maupun online, tidak (kurang, tepatnya) mengetahui jika Selasa, 22 Maret, diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Miris memang, mengingat air sangat penting bagi kehidupan manusia. Namun, faktanya seperti itu karena kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat luas mengenai Hari Air Sedunia dan segenap elemen lainnya.

"Emang penting ya, sampe aer diperingati setiap tahun?"
"Lha, kami aja kalo masuk Maret khawatir banjir. Boro-boro peringatin hari aer segala."
"Bro, gue tahunya 22 Maret itu ultah BCL (Bunga Citra Lestari)."
"Oh, hari air sedunia ya. Bagus deh. Yang gue liat dari pagi malah demo taksi."

*        *        *

Ruang Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (22/3), dipenuhi ratusan manusia. Saya yang datang menggunakan sepeda motor harus melewati ribuan pendemo yang memenuhi Jalan Merdeka Selatan. Ya, sejak pagi, aparat keamanan seperti satpol pp, kepolisian, dan TNI, bersiaga di depan kantor Gubernur Jakarta.

*        *        *

Kehadiran saya di markas DKI 1 itu untuk mengikuti Diskusi Hari Air Sedunia 2016 yang diselenggarakan Tempo Media Group. Sambil menikmati manisnya secangkir kopi hitam menjelang acara dimulai pukul 09.00 WIB, saya sedikit menyayangkan. 

Sebab, acara bertema "Menghadapi Tantangan Krisis Air Perkotaan" itu seperti hanya khusus untuk dua kelompok. Mahasiswa dan undangan seperti pejabat, perwakilan pemerintah kota DKI, dan instansi terkait.

Sementara, untuk blogger, nyaris tidak ada -bukan berarti nihil. Ini sangat disayangkan mengingat di Tanah Air ini tidak kekurangan blogger yang konsisten menulis tentang air dan juga lingkungan hidup. Apalagi, Tempo memiliki Indonesiana yang merupakan wadah blog publik.

*        *        *

Saya melirik jam di telepon seluler (ponsel) sudah menunjukkan pukul 11.25 WIB. Namun, belum ada tanda-tanda acara yang disebut Ngobrol Tempo -serupa dengan Kompasiana Modis- ini dimulai. Beruntung, di depan layar terdapat beberapa tayangan menarik dari publik figur. 

Ada Najwa Shihab, Dian Sastrowardoyo, Leila S. Chudori, Joko Anwar, hingga Aburizal Bakrie. Bagi saya, yang menarik justru mendengar komentar Ketua Umum Golkar itu saat memberi sambutan HUT ke-45 Tempo, "Semoga Tempo nanti ke depan akan makin baik, lebih baik, bagi negara (dan) bangsa. Kalau berita jangan dipelintir-pelintir. Nanti orang ga ada yang mau baca Tempo gitu. Tempo-tempo baik, Tempo-tempo tidak."

*        *        *

Setelah molor 30 menit lebih, akhirnya acara siap dimulai. Ternyata keterlambatan itu akibat Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama, harus mengikuti rapat sebelumnya. Mungkin, terkait demo yang hari itu merebak di kalangan pelaku transportasi umum.

*        *        *

Keberadaan pria yang akrab disapa dengan Ahok itu tergolong singkat. Tidak sampai 20 menit di atas panggung saat memberi sambutan. Namun, justru sosok 49 tahun ini merupakan magnet utama. Terlebih, Basuki, seperti biasa dengan gaya ceplas-ceplosnya mengomentari krisis air di ibu kota.

"Saya gini-gini lulusan Geologi. Saya ngerti soal ini. Ga jelek-jelek amat nilai sekolah dapat B. Ada yang A beberapa. Jadi, ga terlalu bodoh saya, pintar juga nggak. Kalo pintar saya ntar jadi dosen," kata Basuki yang disambut riuh dari ratusan peserta Ngobrol Tempo seperti saya rekam lewat video berdurasi 4.50 menit di laman youtube (https://youtu.be/w6lyF4X9sWg).

*        *        *

"Eh jangan dorong-dorongan dong. Sempit tahu."
"Maaf mbak, kalo mau lega di jalan sana sekalian ikut demo."
"Pak Ahok, senyum dong kita mau selfie nih."
"Gue upload ke twitter, hashtag-nya #NgobrolTEMPO sama #HariAirDunia atau #HariAirSedunia?"
"Ternyata pak Basuki orangnya ramah ya. Kok kita kalo lihat di tv, kesannya marah-marah terus. Salah tv apa salah pak Bas?"
"Salah gue. Salah temen-temen gue. Mungkin, ini semua salah Rangga yang ninggalin Cinta."

*        *        *

Setelah Basuki memberikan sambutan mengenai "Kelangkaan air yang terjadi di DKI dan pentingnya usaha untuk menanggulangi masalah krisis air yang dialami," acara berlanjut. Sesi ini menampilkan empat pembicara yang kompeten di bidangnya dengan dipandu Bagja Hidayat selaku Redaktur Utama Tempo Media Group, seperti yang saya catat dan rekam sepanjang acara:

- Teguh Hendarwan selaku Kepala Dinas Tata Air DKI menjabarkan tentang, "Ketersediaan dan pengelolaan air di Jakarta.
- Erlan Hidayat (Direktur Utama PAM Jaya): Pemenuhan kebutuhan air Jakarta.
- Barce Simamarta (Direktur Technical Services PALYJA): Pemanfaatan air sungai untuk penyediaan air bersih Jakarta.
- Firdaus Ali (Pendidik, Peneliti, dan Praktisi bidang Bioteknologi Lingkungan sekaligus staf khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat): Water Cycle dan keberlanjutan ketersediaan air baku di Jakarta.

*        *        *

Diskusi tanpa solusi bagi saya itu omong kosong. Saya kerap jemu menghadiri acara yang hanya diskusi sepanjang waktu dengan argumen masing-masing tapi tanpa adanya solusi. Saya harap itu tidak terjadi pada Ngobrol Tempo yang harusnya ada implementasi lebih lanjut. Terutama karena Basuki juga mengakui jika saat ini baru 60 persen warga Jakarta yang mendapat akses air bersih melalui air perpipaan.

Poin positif yang saya catat dari Basuki saat menegaskan dirinya memang sebagai pemimpin yang melayani, melindungi, dan mengayomi rakyatnya serta bukan sekadar bos yang kerjanya hanya memerintah bawahan, "Saya kira itu, silakan bapak dan ibu diskusi saja. Saya ga ada di tempat. Kalau ada saya nanti (kalian) ga enak kan. Nanti hasilnya tinggal perintah saya. Mau apa yang dikerjain. Yang penting bapak-ibu kompak, nanti saya kasih Dirut PAM. Tinggal minta dia beresin mau minta berapa triliun? Empat-lima (triliun) gue kasih. Jadi, ga ada alasan uang di Jakarta. Tinggal, alasan Anda mau atau tidak. Punya ide atau tidak untuk langsung dikerjakan." 

*        *        *


Nyaris dua jam diskusi berlangsung dengan interaktif. Salah satu yang menarik ketika mendengar pemaparan dari Brace mengenai pemanfaatan air kanal banjir barat yang bisa menghasilkan 500 liter/detik dengan menerapkan teknologi pengolahan biologis. Pasalnya, dengan teknologi yang kini tengah diselesaikan instansinya, kelak warga Jakarta bisa mendapatkan air bersih yang memenuhi standar kualitas dari Kementerian Kesehatan.

Sebelumnya, saya sempat kaget ketika mendapati kenyataan sekitar 40 persen warga ibu kota belum mendapat akses air bersih. Alhasil, mayoritas masih mengkonsumsi air tanah yang kita ketahui berdampak buruk bagi kesehatan. Ooh... Ini jadi catatan yang menohok pada peringatan Hari Air Sedunia.

*        *        *

Setelah acara selesai lewat pukul 13.00 WIB, saya pun memanfaatkannya dengan berkeliling sejenak di sekitar Balaikota. Ternyata, saya baru tahu kalau Kompleks Kantor Gubernur DKI itu dibuka untuk umum setiap Sabtu. Itu setelah saya mendapat informasi dari salah satu petugas keamanan, "Iya mas dibuka buat umum setiap akhir pekan. Gratis dan masyarakat bisa menjelajah ke setiap ruangan untuk melihat tempat kerja pak Ahok."

*        *        *

Di sudut Balai Agung, terdapat beberapa foto mengenai kinerja Pemerintah Kota DKI. Salah satu yang menarik tentang penertiban bangunan kawasan kalijodo. Lokasi yang terletak di sisi timur Banjir Kanal Barat ini ternyata berkolerasi dengan peringatan Hari Air Sedunia.

*        *        *

Ketika melangkah menuju tempat parkir, tampak beberapa personil TNI sedang beristirahat. Ada yang makan, salat, dan tidur, seusai bertugas menjaga aksi demonstrasi di depan Balaikota. Di sepanjang Jalan Merdeka Selatan, berserakan sampah, daun, dan ranting pohon serta bunga yang berguguran karena terinjak pendemo. Terlihat beberapa petugas harian lepas berusia paruh baya tengah menyapu sampah tersebut yang esoknya saya baru tahu beliau dapat apresiasi dari Basuki.

Di sisi lain, saya merasa ada yang aneh dengan hari itu. Sebab, ibu kota tampak langgeng, khususnya ruas utama di sepanjang Jalan Sudirman. Selepas kawasan SCBD menuju Patung Pemuda Membangun, aparat keamanan menutup satu jalur karena saat itu sedang dipakai demo. Ya, bagaimanapun, Hari Air Sedunia hanya diperingati setiap tahun. Sementara, kebutuhan hidup berlangsung setiap hari.

*        *        *         *        *        *


*        *        *         *        *        *

Artikel selanjutnya:
- (Esai Foto) Sepenggal Kisah pada Hari Air Sedunia
- Menelusuri Jejak RI 1 (dan calon) dari Kantor DKI 1

Artikel Terkait:
Sosok Pemungut Sampah yang Terlupakan
Tenggelamnya Tiang Gawang Kami
- (Esai Foto) Anugerah Jurnalistik Aqua: Antara Kritik dan Apresiasi
- Anomali Ahok: Pahlawan atau Pengkhianat?
- Sisi Lain Krishna Murti: Catatan Polisi di Mata Blogger
Pelabuhan Sunda Kelapa: Banyak Sampah dan Airnya Tercemar Limbah
Perlunya Peraturan Tegas Pemerintah dalam Menangani Banjir
"Jakarta Banget": Mengupas Sisi Lain Kehidupan Jakarta 
Ketika Sepak Bola Tinggal Kenangan
Menyaksikan Keindahan Pelabuhan Sunda Kelapa yang Termahsyur
Waspadai Pohon Tumbang Mengancam Kendaraan Kita
- Sisi Lain Banjir Ibu Kota

*        *        *
- Jakarta, 24 Maret 2016

Senin, 21 Maret 2016

(Esai Foto) Tapak Tilas Zaman Sekolah Bersama Kelas Blogger #6: Belajar Fotografi dan Vlog

(Esai Foto) Tapak Tilas Zaman Sekolah Bersama Kelas Blogger #6: Belajar Fotografi dan Vlog



"KETUA yayasannya kang Arul (Rully Nasrullah). Kalau Kepsek (kepala sekolah) pak Syaifuddin Sayuti. Itu istilah di Kelas Blogger. Ada ketua kelas, murid, guru BP, dan lain-lain," demikian jawaban dari Liswanti Pratiwi, beberapa hari lalu saat saya bertanya informasi mengenai Kelas Blogger, yang mengingatkan saya saat sekolah dulu.

Kebetulan, 11 Maret lalu, saya baru saja terpilih untuk mengikuti Kelas Blogger #6 yang bertema Praktik Membuat Vlog (Video Blogging) dengan Kamera Handphone. Karena saat itu masih awam, jadi saya bertanya kepada Liswanti yang menjelaskannya secara rinci.

Sebenarnya, saya sudah lama mengenal Kelas Blogger, bahkan sejak edisi perdana pada 15 November lalu sempat mau ikut ketika kang Arul men-share di Facebook. Namun, karena saat itu bertepatan dengan "One Day Challenge" sebagai pemenang lomba yang diselenggara Toyota Astra Motor (TAM) di Pasar Ah Poong, Sentul, Jawa Barat. Alhasil, saya pun mengurungkan niat untuk daftar Kelas Blogger.

Pada edisi kedua bertema infografis -yang saat ini antusias untuk dipelajari- saya kembali mendaftar. Sayanngya terlambat, karena kuota sudah penuh. Meski begitu, saya tetap antusias menyimaknya di lini masa twitter. Pada Kelas Blogger #3 dan #5 saya kembali lewatkan karena bertepatan dengan event lain yang sudah saya ikuti.

Pun dengan edisi keempat di Pulau Bangka yang -lagi-lagi- nyaris ikut. Hanya, saat membaca ketentuannya harus punya akun Path dan follower Instagram di atas 500, saya langsung mengibarkan bendera putih.

Hingga, benar yang disebutkan dalam adagium lawas, "Selama gunung masih menghijau dan air sungai tetap mengalir, masih ada waktu untuk bersama lagi".

*        *        *

Pagi itu, Minggu (20/2) dengan mata yang kondisinya lima watt, saya menuju gedung Nutrifood Inspiring Center (NIC) di kawasan Menteng Square, Jakarta Pusat. Yupz, meski kurang tidur karena subuh harinya begadang untuk nonton bareng (nonbar) AS Roma versus FC Internazionale di Sency, akhirnya saya bisa mengikuti Kelas Blogger #6 untuk perdana.

Setelah sempat muter-muter nyari lokasinya, beruntung saya ketemu Sari Novita yang menunjukkan NIC. Oh ya, wanita yang menolak saya panggil "bu" melainkan cukup "mbak" ini, yang mengajak saya bergabung dengan Kelas Blogger, dua pekan lalu.
*        *        *

Kelas Blogger #6 dibuka Dudi Iskandar yang sharing Komposisi Foto bertema "Praktik Mengabadikan Peristiwa Melalui Kamera Handphone. Bagi saya ini menarik, mengingat foto merupakan salah satu andalan blogger selain artikel, video, dan infografis. 

Terutama saat pria yang akrab disapa kang Dudi ini berbagi info mengenai esai foto. Kebetulan, dalam beberapa bulan terakhir saya sering menggunakannya untuk artikel di blog

Bahkan, saat itu rekan blogger Kornelius Ginting bertanya kepada saya mengenai esai foto yang sering saya tulis. Saya jawab, sebenarnya, esai foto yang sering saya tulis -termasuk artikel ini- bukan esai foto. Lebih tepatnya, -seperti yang diungkapkan rekan blogger sekaligus jurnalis senior yang juga mengelola suatu komunitas- menyebutnya sebagai kronologis foto

Namun, karena menurut beliau tidak ada genre tersebut, jadi artikel saya mengenai esai foto juga bisa disebut sebagai esai foto. Dengan catatan, tidak pyur esai foto. Beda dengan esai foto yang pernah saya buat empat tahun lalu di Kompasiana yang benar-benar foto bercerita.

Berkat kang Dudi, saya jadi tertarik bikin foto dengan gambar hitam-putih. Apalagi, pemilik blog www.kangdudi.com ini membeberkan rahasia membuat foto hitam-putih agar lebih menarik. Salah satunya dengan teknik EDFAT yang merupakan akronim dari Entire, Detail, Frame, Angle, dan Time. Suatu tambahan ilmu yang bermanfaat bagi saya setelah mengikuti Kelas Blogger #6.

*        *        *

"Untuk yang mendapatkan buku I Am Hope, Choirul Huda," demikian pengumuman Syaifuddin yang membuat saya kaget. Wow... Baru pertama kali ikut, sudah dapat doorprize! Apalagi, buku ini yang saya idamkan dari bulan lalu tapi hingga kini belum sempat ke toko buku. Tepatnya saat menyaksikan film yang diproduseri Wulan Guritno ini.
*        *        *

Sesi selanjutnya, bertema "Pemanfaatan Aplikasi Video" dari Dede Ariyanto dan "Merencanakan Laporan Vlog" (Fachiratul Jannah). Kolaborasi suami-istri ini mengingatkan saya dengan duet blogger lainnya yang saya kenal sejak aktif di Kompasiana. Beberapa di antaranya seperti Yusep Hendarsyah-Uli Harti, Teddy Rustandi-Reni Marthauli, dan Erri Subakti-Vema Syafei.
*        *        *

Saya baru tahu, ternyata dengan aplikasi gratisan di ponsel android, bisa membuat video dengan kualitas terbaik. Itu setelah kolaborasi Dede-Icha berbagi info kepada peserta Kelas Blogger untuk praktik Vlogging dengan aplikasi Kine Master.
*        *        *

Dua rekan blogger, Nur Aliem Halvaima dan Agung Handoyo sangat antusias untuk praktik vlogging melalui aplikasi Kine Master. Oh ya, meski awalnya rumit, namun aplikasi ini tergolong mudah dipahami. Asalkan, tekun dan mau mencoba. Bahkan, ada beberapa blogger yang langsung mencobanya dengan baik. Termasuk saya yang -sedikitnya- bisa dengan menggabungkan beberapa video di ponsel. Hanya suara yang belum mampu dikreasikan dengan baik. *belajar lagi di rumah

*        *        *

Setelah praktik foto dan video, kami pun rihat sejenak. Ada yang ngopi-ngopi ganteng -karena ngopi-ngopi cantik sudah terlalu mainstream-, ngeteh, ngemil, hingga mencicipi berbagai makanan yang ada.
*        *        *

Oh ya, ternyata makanan yang ada di meja ini merupakan bawaan masing-masing peserta Kelas Blogger. Ada cilok, kue, ketan, buah, dan sebagainya. Terus saya bawa apa? Untuk sementara, saya cuma bawa diri saya sendiri dan pakaian dua stel. *alias tangan kosong :)
*        *        *

Langit di atas ibu kota kian cerah memasuki pukul 13.30 WIB. Seusai rihat sejenak untuk ngopi-ngopi ganteng, peserta Kelas Blogger pun kembali untuk menyimak rangkaian acara. Di sisi lain, saya pamit kepada Ketua Yayasan, Kepsek, Guru, dan anggota lainnya, karena harus kembali ke kantor.

Tidak lama setelah tiba di kawasan Senayan, datang telepon dari kang Arul yang kembali mengajak untuk mengikuti Kelas Blogger #7. Namun, karena suatu hal, akhirnya saya -lagi-lagi- tidak bisa ikut. Meski begitu, untuk Kelas Blogger edisi #8, #9, #10, dan seterusnya -jika tidak bertepatan dengan hari kerja- saya siap kembali untuk menimba ilmu bersama mereka.

Dari kejauhan, tampak hamparan gunung yang menghijau dengan di sisinya gemericik sungai yang mengalir...
*        *        *
- Jakarta, 21 Maret 2016

Minggu, 20 Maret 2016

Resensi Buku Fenomenologi Wanita Ber-High Heels


Fenomenologi Wanita Ber-high heels karya Ika Noorharini

"Siapa yang dapat menyangka jika high heels yang sangat cantik, seksi, dan fiminin, pertama kali dikenakan oleh... Pria!"
SAYA termasuk -mungkin- segelintir orang yang tidak percaya dengan pepatah, "Jangan lihat buku dari sampulnya". Sebab, ketika saya ingin membeli buku, yang pertama kali membuat saya tertarik tentu melihat cover-nya.

Ibaratnya, kenyamanan dari suatu rumah terlihat pada halamannya. Itu mengapa, mayoritas pria -termasuk saya- adakalanya menyukai wanita yang berawal dari kecantikannya. Bisa jadi, banyak yang membantah dan tidak setuju. Tapi, faktanya seperi itu.

Oke, kembali soal buku. Selain sampul, faktor yang membuat saya tergiur ada pada kedalaman isi, bukan dari tebalnya buku tersebut.
*       *       *

PAGI itu, langit ibu kota tampak mendung. Matahari di atas sana terlihat malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Ketika asyik berselancar di teras, datang kurir ekspedisi yang mengantarkan buku pesanan saya. Wow... Akhirnya tiba juga yang ditunggu-tunggu.

Saya yang saat itu sedang menikmati suasana santai, langsung membuka bungkusan yang menutupi buku tersebut. Upz, tampak dua model kembar berbusana hitam yang sangat memesona dengan di sisinya terdapat tulisan mencolok: Fenomenologi Wanita Ber-high heels. Sementara, di posisi paling bawah terdapat nama penulisnya, Ika Noorharini.

Kesan pertama saya melihat halaman depan buku tersebut mengerucut pada satu kata: Seksi! Wajar saja mengingat pria merupakan makhluk visual. Seketika, teringat akan iklan zaman baheula, "Kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya, terserah Anda..."

Tanpa butuh waktu lama, saya langsung melahap buku setebal 112 halaman ini ditemani secangkir kopi ginseng yang hangat. Sejak menatap cover -yang akhirnya saya tahu kakak adik- Rinni dan Rinna Suri sampai pada halaman terakhir Fenomenologi Wanita Ber-high heels, saya mendapat pengalaman baru mengenai sepatu hak dan sejarahnya.

Sayangnya, meski sudah membacanya hingga selesai dalam waktu kurang lima jam, masih ada yang mengganjal. Maklum, saya merupakan cowok yang tentu saja belum pernah memakai sepatu hak. Untuk itu, dalam beberapa hari selanjutnya, saya pun coba menanyakan kepada tiga rekan blogger wanita tentang pengalamannya bersama high heels.

"Ngga enak," jawab rekan blogger dengan singkat melalui aplikasi whatsapp. Bisa dipahami mengingat sepengamatan saya, sosok yang berprofesi sebagai jurnalis tv ini kerap memakai sneakers dalam kesehariannya.

Selanjutnya, dari rekan blogger yang enggan disebut namanya saat bertemu di suatu acara. "Gue dari kecil sampe udah punya anak kecil lagi, paling demen pake high heels. Tapi, tergantung kebutuhan juga, rul. Kalo lagi nganter bocah ke sekolah, ga mungkin pake hak tinggi. Secara, susah buat nginjek pedal gas atau rem," tutur wanita berusia 30-an ini sambil terkekeh dan sempat heran karena saya bertanya mengenai sepatu hak yang menurutnya tak lazim bagi pria.

Terakhir, komentar dari Roosvansia yang merupakan salah satu beauty blogger kondang. Pemilik blog di alamat www.roosvansia.com ini, sangat antusias menjawab pertanyaan saya mengenai pengalamannya bersama sepatu hak.

Bahkan, Roosvansia turut memperlihatkan beberapa koleksi high heels-nya, "Selalu ada penderitaan dibalik heels, but it's oke kalau sakit dipake yg penting cantik dilihat. Oh ya, pake heels itu bisa bikin bokong (kelihatan) lebih naik dan paha juga betis lebih kenceng. Jadi yg sexy jadi sexy, nah yg udah sexy jadi makin sexy deh."

*       *       *

TIGA komentar itu sukses menjawab penasaran saya seusai membaca Fenomenologi Wanita Ber-high heels. Yang menarik, dalam bukunya, Ika membeberkan rahasia mengenai sepatu hak yang membuat saya terkejut. Sebab, dalam sejarahnya justru pria yang ternyata kali pertama mempopulerkan high heels.

Itu terdapat pada halaman 30 ketika saya yang memang menyukai sejarah membaca tentang imperium Persia. Bahkan, wanita yang akrab disapa "Non" ini memberikan fakta lain. Bahwa, bangsawan Eropa pada abad pertengahan juga memakai sepatu hak sebagai simbol eksklusif dalam kalangan mereka.

Khususnya, sejak Raja Prancis Louis XIV membuat larangan tegas penggunaan high heels untuk rakyat jelata pada abad 17. Nah, uniknya lagi, Ika menulis, saat itu, banyak bangsawan yang memakai sepatu bertumit dengan tinggi lebih dari 10 cm demi menunjang penampilannya. Saya sulit membayangkan gimana caranya mereka berjalan dengan hak setinggi itu.

Lalu, sejak kapan wanita mulai mengenakan high heels? Menurut riset yang dilakukan Ika selama tiga tahun untuk buku perdananya ini, ternyata kaum hawa belum lama mengenakan sepatu hak. Tepatnya baru pada dekade 1950-an yang dipopulerkan Christian Dior.

Meski, Ika juga menyebut, penggunaan sepatu hak tinggi untuk wanita sudah ada sejak 3500 sebelum masehi  yang ditandai dengan mural di berbagai dinding gua di Mesir. Hanya, wanita yang kini tinggal di London, Inggris, ini menilai, saat itu, perkembangan high heels belum semasif sekarang. Saya setuju dengan Ika mengingat perkembangan zaman memang menuntut suatu mode untuk lebih menyesuaikan diri.


Membaca Fenomenologi Wanita Ber-high heels ini tidak hanya membuat saya paham mengenai perkembangan sepatu hak yang kali pertama dipopulerkan pria. Melainkan juga menambah wawasan saya mengenai dunia wanita. Yaitu, tentang bagaimana mereka berkorban untuk terlihat anggun di hadapan pasangannya.

Dan, buku ini menjelaskannya secara lugas serta mendalam agar pria bisa lebih memahami wanita.

Judul: Fenomenologi Wanita Ber-High Heels
Penulis: Ika Noorharini
Penerbit: PT Artha Kencana Mandiri
Rilis: September 2015
Halaman: 112
ISBN: 978-602-73069-0-5

*       *       *

Artikel selanjutnya:
- Ngobrol Bareng Ika Noorharini: Tentang Riset Mendalam untuk Menulis Buku

Resensi Penulis Wanita Sebelumnya (selengkapnya di halaman Resensi):
- The Smiling Death (Arimbi Bimoseno)
- Macaroon Love (Winda Krisnadefa)
- 15 November (Anazkia)
- Ketika Tuhan Mengizinkan Aku Sakit (Christie Damayanti)
- Karma (Arimbi Bimoseno)
- Kompilasi Kompasianer
- Jakarta Banget (Antologi)
- Tembang Cinta Para Dewi (Naning Pranoto)
- Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas (Angkie Yudistia)
- The Last Empress (Anchee Min)
- Empress Orchid (Anchee Min)
- Yakuza Moon (Shoko Tendo)

*       *       *
- Jakarta, 20 Maret 2016