TyyiccClcSK3IvRCDh0sKBc4_Sg roelly87.com: Februari 2015

Serial Catatan Harian Ojol

Serial Catatan Harian Ojol
Serial Catatan Harian Ojol

Rabu, 25 Februari 2015

Di Balik Cerita Bersama Garuda Indonesia



Suasana di lambung Garuda Indonesia (Sumber foto: Choirul Huda/ www,roelly87.com)



"Liputan ke Sulawesi? Siap!" Demikian saya menjawab tugas dari kantor, pada dua pekan lalu.

AKHIRNYA, kepingan impian puzzle itu mulai tersusun rapi. Ya, cita-cita saya sedari kecil untuk mengunjungi lima pulau terbesar di Indonesia, mulai mendekati kenyataan. Itu setelah saya mendapat tugas dari kantor untuk meliput event balap Suzuki Indonesia Challenge (SIC) Satria Cup di Sirkuit RMS Land Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel), 6-8 Februari lalu.

Ya, dari lima pulau besar di nusantara (termasuk Jawa), empat di antaranya sudah saya singgahi. Mulai dari Kalimantan, Sumatera, dan kini Sulawesi. Impian selanjutnya, tentu saya juga ingin mengunjungi Papua demi melengkapi angan-angan yang tercipta belasan tahun silam. Hanya, untuk segera mencapainya memang butuh waktu. Entah kapan, yang pasti sebagai manusia harus optimistis!

Kali ini saya tidak ingin membicarakan pengalaman selama di Sidrap yang terletak sekitar 170 km dari ibu kota Sulsel, Makssar. Sebab, saya telah menuangkannya dalam lima artikel sebelumnya dan ada kemungkinan ditambah mengenai wisata serta kulinernya pada seri mendatang. Yang ingin saya tulis untuk postingan ini mengenai pengalaman selama di pesawat Garuda Airlines.

Tepatnya ketika perjalanan pulang dari Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, menuju Soekarno-Hatta (Jakarta) pada Minggu (8/2). Kenapa saya hanya mengulas saat pulangnya saja? Sebab, ketika pergi, Jumat (6/2), saya justru terlelap nyaris selama dua jam dalam penerbangan bernomor GA655. Itu karena jadwal keberangkatan yang memang masih pagi, pukul 05.05 WIB.

Nah, pas menuju Jakarta, saya dan rombongan media take-off sekitar pukul 17.45 Wita. Kebetulan, saya mendapat kursi di pojok samping jendela. Hingga, meski gelap karena menjelang malam, saya bisa leluasa memotret pemandangan di luar sana dan juga seisi ruangan pesawat!

Agak sedikit norak sih. Tapi tak mengapa mengingat sejak beberapa bulan lalu saya memang berencana membuat cerita mengenai perjalanan di blog ini. Itu setelah saya terinspirasi sejak mengikuti acara Fun Blogging Session 3 di Gedung Cyber, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (10/1).

Dalam diskusi yang digawangi tiga blogger tangguh (Ani Berta, Shinta Ries, dan Haya Alia Zaki) itu, terdapat materi yang memuat soal dokumentasi wisata. Dalam hati saya, berpikir, suatu saat mencoba untuk menerapkan "ilmu" dari mereka. Dan, hampir sebulan kemudian kesampaian!

*        *        *

Oh ya, bagaimana pengalaman bersama Garuda Indonesia? Sebenarnya biasa saja. Sebab, sejak dulu saya memang sering menggunakan maskapai berpelat merah ini. Baik ketika tugas dari kantor atau untuk urusan keluarga.

Meski, untuk kedua hal itu, saya tidak melulu menggunakan Garuda Indonesia. Pasalnya, dari sekitar 33-35 kali (tapatnya lupa, yang pasti di angka ganjil karena sempat pergi naik pesawat dan pulang dengan jalan darat) naik pesawat baik itu di dalam dan luar negeri, adakalanya, saya juga memakai maskapai lainnya. Ya, itu wajar lantaran tergantung kantor dan juga kondisi budget pribadi.

Bisa dipahami mengingat bagi saya, Garuda Indonesia itu tergolong mahal. Harganya itu, mungkin sekitar dua atau tiga kali lipat dibanding maskapai lain. Terutama jika dikomparasi dengan penerbangan yang low cost carrier (LCC). Namun, itu wajar. Sebab, menurut pepatah, ada harga ada rupa. Alias, kita membayar mahal atas apa yang memang kita inginkan.

Tanpa bermaksud lain saat membandingkannya dengan maskapai sejenis. Secara jujur, harus saya akui bahwa, Garuda Indonesia memang memiliki banyak keunggulan. Ini setelah saya komparasi berdasarkan pengalaman  pribadi saat menggunakan kelas ekonomi yang tentu saja, harus apple to apple. Ya, Garuda Indonesia memiliki keunggulan dari segi pelayanannya.

Pertama, ketepatan waktu. Sebagai seorang yang mobile, faktor ini paling memengaruhi saya saat memilih Garuda Indonesia. Meski, harus diakui, jika saya pernah merasakan delay saat menggunakan maskapai yang berdiri pada 26 Januari 1949 ini bahkan hingga 30 menit. Hanya, itu tergolong wajar ketika mengetahui bahwa keterlambatan akibat faktor cuaca yang merupakan force majeur. Ya, bagaimanapun, keselamatan di atas segalanya.

Selanjutnya, tentu kenyamanan. Kursi kelas ekonomi yang tetap empuk disertai LCD TV layar sentuh sebagai hiburan. Belum lagi majalah dan koran gratis untuk dibaca dan dibawa pulang. Apalagi, penumpang disediakan makanan dan minuman yang menjadi nilai lebih. Maklum, sepanjang pengetahuan saya, maskapai lain kerap hanya menyediakan air mineral yang tentunya kurang berkesan.

Terakhir, tentu mengenai pengakuan internasional yang menjadi faktor pemikat. Ya, Garuda Indonesia merupakan maskapai Tanah Air pertama yang menjadi anggota Sky Team. Apa itu? Menurut situs resminya, Sky Team itu semacam aliansi maskapai internasional yang terdiri dari 20 perusahaan penerbangan.

Jadi, Garuda Indonesia yang bergabung dengan Sky Team pada 5 Maret 2014 ini sejajar dengan maskapai ternama di dunia. Termasuk Air France dari Prancis, Delta Airlines (Amerika Serikat), Korean Air (Korea Selatan), hingga KLM (Belanda).

Selain itu, akhir tahun lalu, Garuda Indonesia baru saja dinobatkan Skytrax -lembaga pemeringkat penerbangan independen- sebagai Maskapai Bintang Lima (5-Star Airlines). Tentu, pengakuan itu bukan sembarangan. Melainkan berdasarkan kriteria ketat yang membuktikan Garuda Indonesia memang layak menyandang gelar sebagai Maskapai Bintang Lima.

Tak lupa, sebagai penggemar sepak bola, saya juga harus mengapresiasi inisiatif mereka saat menjadi sponsor Liverpool! Ya, meski, saya bukan fan "The Reds". Namun, saya tetap bangga karena ada perusahaan Indonesia yang menjadi partner salah satu klub terbesar dunia. Indikatornya, Liverpool sukses meraih lima trofi Liga Champions yang saat ini setara dengan Bayern Muenchen dan hanya kalah dari AC Milan (tujuh), dan Real Madrid (10).

Ya, itu sekelumit di balik cerita saya bersama Garuda Indonesia. Bagaimana dengan Anda?


*        *        *
Narsis sejenak di Bandara Sultan Hasanuddin

*        *        *
Waktunya  ngemil sambil menyimak informasi melalui lcd di depan kursi...

*        *        *
Ternyata, saya sedang berada di atas ketinggian 12 km! 

*        *        *
Terkesan dengan pelayanan pramugari yang ramah

*        *        *
Menurut peta, saat itu saya tinggal setengah perjalanan lagi

*        *        *
Estimasi jarak dari Makassar ke Jakarta

*        *        *
Rileks sejenak dengan menyaksikan film gratisan: Batman, cuy...!

*        *        *
Ada juga tentang film legenda hidup Liverpool, Michael Owen

*        *        *
Baca koran gratisan yang memuat kisah blogger dengan narasumber Hazmi Srondol

*        *        *
Sejuk menyaksikan senyum menawan dari tiga pramugari ini. Terima kasih...

*        *        *


Catatan sebelumnya bersama Garuda Indonesia
- Fandi Ahmad dan Tentang Mentalitas Indonesia
- Garuda Wisnu Kencana yang Memesona
- Kawasan Indah Tak Terjamah di Sumatera Barat
- Kenangan Wisata ke Kawasan Pesisir Selatan, Sumatera Barat
- Batubara = Barang Tuhan bagi Rata?

*        *        *
Seri Suzuki Sebelumnya:
*        *        *

Keterangan:
- Foto-foto yang ada di artikel ini merupakan dokumentasi pribadi (Choirul Huda/ www.roelly87.com).
- Referensi dari beberapa sumber yang terdapat di artikel ini sudah dicantumkan pada kalimat terkait.
*        *        *
- Cikini, 25 Februari 2015

Sabtu, 21 Februari 2015

Resensi Novel Dian Kelana: Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI


Resensi Novel Dian Kelana: Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI

Cover buku Dian Kelana "Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI" (Sumber foto: Choirul Huda)
ENTAH dari mana saya akan memulai resensi novel ini. Jujur saja, hingga tiga bulan lebih setelah memilikinya, seperti belum ada kata selesai. Padahal, saya sudah empat kali membacanya sampai khatam. Namun, nyaris tidak ada kata cukup untuk menyudahinya. Itu karena saya seperti masuk ke dalam dunia dari penulis bernama lengkap Nadzif Hasjmi Maksum SP ini.

Ya, novel berjudul "Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI" merupakan buku perdana dari sosok yang biasa saya panggil Pak Dian Kelana -yang merupakan nama populernya- dari total empat edisi (tetralogi). Sejak pertama kali membacanya pada Kamis (13/11) dini hari WIB, saya seperti terhanyut dalam kisaran perang yang telah merenggut kebahagiaan dari masa kecilnya.

230 halaman tidak pernah bosan saya bolak-balik hingga meski baru tiga bulan, tapi lembaran demi lembarannya seperti sudah usang akibat sering terjamah tangan. Kendati saya bukanlah orang yang melankolis, namun membaca "Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI" ini tak kuasa membuat apa yang ada di sekitar saya menjadi hening. Tak lama kemudian, gelap gulita yang akhirnya dikagetkan rentetan bunyi senjata. Dor... dor... dor!

Novel yang dieditori rekan Kompasianer Thamrin Sonata ini berkisah tentang masa lalu Dian Kelana di ranah Minang. Ya, pria yang identik dengan kamera ini lahir di sebuah desa di Sumatera Barat pada 10 Desember 1955. Tanpa didampingi ayah kandung tercinta yang meninggalkan enam bersaudara. Meski begitu, kasih sayang sang ibu, mampu membuatnya besar dan jadi orang berguna.

Hanya, kasih sayang dari sosok yang melahirkannya itu tidak lama. Sebab, Indonesia yang saat itu tengah dilanda perang turut memisahkan Dian Kelana dangan sang bunda. Lantaran, Umi -sang ibu- ditangkap tentara akibat difitnah anggota OPR binaan PKI yang saat itu erat dengan Presiden Soekarno (Sukarno).

Tidak hanya itu, bahkan, Umi diciduk di hadapan anak-anaknya yang disertai todongan senjata! Jelas, insiden itu mengubah segalanya dalam kehidupan Dian Kelana yang saat itu masih balita. Namun, benar kata pepatah bahwa, batu giok, meski berada di dasar sumur, tetaplah permata. Alias, orang yang memiliki karakter kuat, kendati berada dalam tekanan sesulit apapun tetap mampu melewatinya.

Itulah yang terjadi pada Dian Kelana. Perjalanan masa kecilnya yang buram karena berbagai kejadian memilukan akibat peperangan, tidak membuatnya menyerah. Sebaliknya, mantan jurnalis Haluan Padang ini mampu melewatinya dengan baik. Bahkan, tetap ceria layaknya anak kecil pada umumnya hingga saat ini.

*        *        *
Sejatinya, saya tidak asing lagi dengan Dian Kelana yang saya panggil "pak" bukan hanya usianya lebih tua. Melainkan karena sikapnya yang layak jadi anutan. Beliau merupakan pribadi yang ringan tangan membantu siapa saja tanpa pamrih. Saya beruntung bisa mengenalnya dalam empat tahun terakhir ini.

Itu semua berawal ketika mengikuti launching Kompas TV bersama rekan-rekan Kompasianer lainnya di JCC, 9 September 2011. Setelah itu,  kami kian intens karena kerap bertemu dalam berbagai acara blogger. Misalnya, ketika Amprokan Blogger selama dua hari di Bekasi hingga ketika menjadi volunteer di SEA Games 2011 yang disponsori Indosat.

Ya, pada pesta olahraga dua tahunan antarnegara Asia Tenggara itu, saya mendapat kehormatan untuk belajar menulis reportase dengan baik bersama Dian Kelana dan Hazmi Srondol. Bisa dikatakan bahwa mereka berdua merupakan sosok yang membesarkan saya dalam dunia tulis menulis. Alias tidak hanya sebagai blogger saja.

Saya masih mengingatnya, betapa Dian Kelana, memberi support yang besar ketika kami berdua meliput Parade Obor SEA Games 2011 dari Kantor Indosat hingga Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Berkat gemblengan dari pemilik blog Diankelana.web.id ini, saya pun dipercaya bang Hazmi Srondol untuk menyumbang artikel SEA Games cabang olahraga sepak bola dari babak pertama hingga final!

Itulah sekelumit catatan saya tentang Dian Kelana yang sedang bersiap merilis edisi kedua dari tetralogi "Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI". Bagi saya pribadi, buku ini bukan sekadar novel biasa. Melainkan sudah seperti diary yang membuat pembacanya masuk ke dalam perjalanan hidup sang penulis.***


*        *        *
Tanda tangan Dian Kelana

*        *        *
Dian Kelana saat bernyanyi di acara Amprokan Blogger 2011

*        *        *
Dian Kelana tetap update di sela-sela liputan SEA Games 2011

*        *        *
Dian Kelana bersama (dari kiri) Joshua Limyadi, Hazmi Srondol, Achsin

*        *        *
Bersama rekan blogger di acara Indosat

*        *        *
Tak hanya piawai memotret, tapi juga bermain biliar

*        *        *
Kamera merupakan andalan Dian Kelana sehari-hari

*        *        *

*        *        *

Judul: Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI
Penulis: Dian Kelana
Penerbit: Peniti Media
Tahun Terbit: 2014
Jumlah Halaman: 230
ISBN: 978-979-71515-0-5
*        *        *
Resensi Buku Kompasianer Lainnya:
*        *        *
Resensi Buku Lainnya:
*        *        *
- Cikini, 21 Februari 2015

Selasa, 17 Februari 2015

Ketika Blogger Ngobrol Pajak di Kantor Pajak



Ketika Blogger Ngobrol Pajak di Kantor Pajak
Suasana Ngobrol Pajak bareng Blogger (Sumber foto: Choirul Huda)



DISKUSI tentang pajak? Wow banget.
Pertama kali mendapat undangan dari Mbak Shinta Ries di grup Fun Blogging itu rasanya gimana gitu...

Bukan bermaksud untuk pesimistis. Namun, pajak termasuk dari tiga kategori -bersama seksologi dan hukum- yang saya paling malas ikuti selama aktif sebagai blogger. Mungkin ini didasari sikap skeptis terhadap dunia perpajakan di Indonesia yang cenderung mendapat sorotan negatif ketimbang positif.

Jujur saja, jika mendengar kata pajak, apa yang terlintas dalam benak kita? Gayuuuuus! Ya, Gayus Tambunan yang seakan jadi icon -ini oknum- di Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak. Saya yakin, pria yang kini berusia 35 tahun itu merupakan salah satu sosok yang paling kontroversi di negeri ini. Dan, itu semua berawal dari (penyelewangan) pajak.

Di sisi lain, bukan berarti saya "buta" akan pajak. Sebab, dulu sempat belajar (kursus) mengenai pajak. Tapi, ya itu, hasilnya jeblok. Alias ilmunya seperti masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Meski begitu, sejak masih jadi pelajar, saya tergolong rajin bayar pajak. Hanya, bukan pajak seperti PPH, PPN, apalagi, PBB. Melainkan "PJ" alias Pajak Jadian!

*        *        *

Selasa pagi, matahari masih malu-malu menampakkan diri di atas langit Jakarta. Itu karena sebagian wilayah ibukota masih diguyur hujan. Bahkan, di tempat tinggal saya yang terletak di barat Jakarta terdapat beberapa titik-titik genangan air. Namun, itu semua tidak menghalangi niat saya untuk belajar (lagi) soal pajak di Auditorium Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kompleks Kementrian Kelautan dan Perikanan, Gambir, Jakarta Pusat.

Dalam acara yang bertema "Ngobrol Pajak bareng Blogger" itu menghadirkan tiga narasumber: Herry Kurniawan yang merupakan Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Wajib Pajak besar, Sanitya J. Prawatyani (Kepala Subdit Penyuluhan Perpajakan), dan Adhi Darmawan (Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Bidang P2Humas Perpajakan).

Diskusi yang berlangsung sejak pukul 10.00 hingga 13.00 WIB itu ternyata tidak "seberat" yang saya kira. Sebab, ketiga narasumber itu mentransfer ilmu dan pengalamannya tentang pajak kepada blogger -yang mungkin mayoritas awam- dengan bahasa sehari-hari.

Tak lupa, tanya jawab pun mengalir dengan lancar dari kami, blogger dengan ketiga narasumber yang memang sudah "khatam" mengenai pajak. Bahkan, Adhi Darmawan "rela" meluangkan waktu makan siangnya demi melayani pertanyaan dari rekan-rekan blogger yang antusias dengan dunia perpajakan.

Salah satunya ketika ada rekan blogger yang menanyakan soal pajak untuk usaha online dan batu akik. Kebetulan, untuk yang terakhir sedang mewabah di masyarakat Indonesia hingga penjuru nusantara.

Yang membuat saya terkesan ketika dari sesi tanya jawab itu mengetahu arti dari keberadaan lebah yang dijadikan logo di situs www.pajak.go.id. Ternyata, lebah itu merupakan visualisasi dari kinerja lembaga perpajakan yang mengumpulkan dana dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ya, seperti lebah yang banyak manfaatnya, dengan salah satunya menghasilkan madu.

Selain itu, kami juga diajak berkeliling untuk mengunjungi Tempat Pelayanan Terpadu di KPP Wajip Pajak Besar Dua yang masih dalam satu gedung. Nah, sekilas tidak ada yang aneh ketika memasuki ruangan ini.

Namun, bagi saya pribadi yang memang jarang -bukan anti- berurusan dengan pajak terasa janggal. Sebab, banyak tulisan atau peringatan yang ditempel di dinding atau banner seperti "Anti Suap", "Tidak Terima Gratifikasi", hingga "Selamat Datang: Anda Memasuki Wilayah Anti Korupsi". Nah lho!

Semoga saja dengan sadarnya masyarakat dan juga blogger yang bayar pajak juga diiringi kinerja petugas pajak itu sendiri agar tidak tercipta oknum-oknum seperti Gayus lainnya.***


*        *        *
Herry Kurniawan

*        *        *
Sanitya J. Prawatyani

*        *        *
Adhi Darmawan

*        *        *
Ups... Dua rekan blogger ini sedang bertanya atau "modus" dengan pegawai pajak :)

*        *        *
Selamat Datang: Anda memasuki wilayah Anti Korupsi

*        *        *
Deklarasi Bersih di Tangan Kita: Alias, harus Anti Suap!

*        *        *
Terima kasih telah membantu kami menjaga integritas

*        *        *
*        *        *



- Senayan, 17 Februari 2015

Minggu, 15 Februari 2015

Antara Afgan, Sadis, dan Konser Dari Hati


Antara Afgan, Sadis, dan Konser Dari Hati

Afgan Syahreza saat dimintai foto bersama seusai konser (Sumber foto Choirul Huda/ www.roelly87.com)



"Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi, kepadaku
Suatu saat nanti
Hingga kau sadari sesungguhnya yang kau punya
Hanya aku tempatmu kembali
Sebagai cintamu..."

KOR sepenggal lirik lagu "Sadis" terdengar lirih dari ribuan penonton. Alhasil, paduan suara itu sukses membuat Plannery Hall Jakarta Convention Center (JCC) seperti bergema. Ya, meski berbeda, tapi suara mereka sangat kompak layaknya orang yang sedang terhipnotis.

Itu terjadi dalam sebuah sesi pada konser tunggal Afgan Syahreza bertajuk "Dari Hati". Penyanyi solo berusia 25 tahun ini memang dikenal piawai membuat penontonnya terbuai. Terutama kaum hawa yang didominasi remaja belasan tahun.

Mereka tak segan merogoh kocek sedalam-dalammya demi menyaksikan konser yang berlangsung Sabtu (14/2). Padahal, harga tiketnya bisa dibilang tidak murah untuk musisi dalam negeri. Yaitu, mulai dari Rp 300 ribu untuk tribune, Rp 350 (festival), hingga Rp 1,75 juta (Diamond).

Yang menarik, meski harganya di atas rata-rata, Namun, -menurut Afgan- justru tiketnya sold out! Wajar, mengingat itu merupakan konser tunggal yang perdana bagi  pria kelahiran Bandung ini. Apalagi, acaranya berlangsung di tempat yang merupakan barometer pertunjukan musik selama ini.

"Terima kasih kepada teman-teman semua. Sebab, untuk tiket (pertunjukkan) malam ini sudah terjual habis," tutur Afgan saat jeda. "Konser tunggal bersama Erwin Gutawa Orkestra ini merupakan impian saya sejak kecil yang akhirnya bisa menjadi kenyataan."

Ya, Afgan memulai perjalananya di blantika musik Indonesia sejak tujuh tahun silam. Tepatnya pada 2008 dengan album perdana "Confession No 1" yang melejitkan lagu "Terima Kasih Cinta" dan "Sadis". Hingga kini, Afgan sudah menelurkan tiga album, yaitu "The One" pada 2010 dan "L1ve to Love, Love to L1ve" (2013).

Nah, saya pribadi sebenarnya kurang begitu tertarik mengikuti perkembangan dari pameran Alfa dalam film "Cinta 2 Hati" ini. Bahkan, dari sekian banyak lagunya, yang paling saya kenal hanya satu: "Sadis". Itu pun sejatinya bukan karena sering mendengar. Melainkan karena "Sadis" sudah menjadi bahasa slang di Kaskus yang diplesetkan dari "No Afgan". Alias, jangan pelit saat menawar barang dalam forum jual beli.

Fakta itu pula yang membuat saya awalnya sama sekali tidak tertarik untuk menyaksikan konsernya. Selain mahal, juga karena kurang familiar dengan musik ngepop yang dimainkan Afgan. Namun, itu semua berubah setelah teman di sebuah media cetak menawarkan tiket gratis. Kebetulan, Sabtu, merupakan hari libur yang tentu buat saya bebas untuk bertualang.

Sebelumnya, sejak pagi hingga sore, saya sudah berada di kawasan Senayan yang memang dekat dengan tempat saya bekerja. Yaitu, ketika mengikuti acara Slalom Daihatsu Sirion di Pintu Selatan Senayan.

Jadi, sebelum magrib ketika hendak ke FX sejenak untuk suatu keperluan, saya dihubungi kawan tersebut. Saat itu, beliau mengaku punya dua tiket kelas tribune. Satu untuk dirinya sendiri dan satunya masih belum terpakai. Berhubung penasaran ingin mengetahui suara asli dari Afgan, akhirnya saya pun mengiyakan kembali ke JCC yang terakhir saya datangi saat menyaksikan launching Kompas TV pada 2011.

*       *       *
Konsernya sendiri berlangsung sekitar pukul 20.00 WIB. Oh ya, selain Erwin Gutawa, juga ada dua diva yang berkolaborasi dengan Afgan. Kebetulan, bagi saya, mereka sudah tidak asing lagi karena sering menyaksikannya di layar televisi: Rossa dan Sherina.

Ternyata, adagium lawas yang berbunyi "tak kenal maka tak sayang" berlaku untuk saya. Itu karena setelah nyaris tiga jam duduk manis di tribune B, saya harus mengakui bahwa Afgan memang layak disebut salah satu musisi berbakat di negeri ini.

Sebab, pria yang kerap memakai kacamata itu seperti memiliki aura yang kuat di atas panggung. Afgan sama sekali tidak canggung untuk berdialog dengan ribuan penonton meski itu pada konser tunggal perdananya. Apalagi, olah vokalnya tergolong ok mirip Chris Cornel yang merupakan pentolan Soundgarden dan Audioslave. Bahkan, hit legendaris "Bunga Terakhir" yang diciptakan Bebi Romeo sukses dilantunkan Afgan dengan sermpurna.

Selain faktor sang penyanyi, yang membuat saya terkesan selama menyaksikan konser ini adalah tata cahayanya yang sangat luar biasa. Mungkin, sorotan lampu berwarna-warni itu yang membuat Afgan seperti memiliki karisma lebih di hadapan penonton.

Yang pasti, konser "Dua Hati" ini seperti membuka mata saya sendiri. Bahwa, ketenaran Afgan selama ini bukan hanya faktor keunggulan fisiknya saja. Melainkan juga berdasarkan suaranya yang memiliki aura kuat.*


*       *       *
Tata cahaya yang memesona

*       *       *
Desain panggung yang minimalis tapi keren

*       *       *
Kolaborasi dengan Erwin Guatawa Orkestra

*       *       *
Ribuan penonton yang didominasi kaum hawa dengan mayoritas remaja

*       *       *

*       *       *
Sebelumnya:
Titiek Puspa dan Riwayat Panjang Kupu-kupu Malam
Yon Koeswoyo yang Tak Pernah Tua
Di Balik Panggung Mahakarya HUT RCTI ke-25
Grand Launching Kompas TV
Antara Kahitna dan JKT 48 di Haiday 2013

*       *       *

- Cikini, 15 Februari 2015

Sabtu, 14 Februari 2015

Demam Batu Akik Mewabah hingga ke Sirkuit


Demam Batu Akik Mewabah hingga ke Sirkuit

Salah satu calon pembeli melakukan penawaran sebuah batu akik di sekitar area Sirkuit RMS Rappang, Sidrap, Sulsel, lokasi Suzuki Indonesia Challenge Satria Cup (Sumber foto: Choirul Huda)
PUTARAN keempat Suzuki Indonesia Challenge Satria Cup 2015, akhir pekan lalu, memang berbeda dibanding tiga lomba sebelumnya. Utamanya, karena lomba yang digelar malam hari hingga menjadikan seri keempat ini punya nilai lebih.

Namun, ada daya tarik selain pada lomba yang digelar di Sirkuit RMS Land Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel), tersebut. Semua berawal karena panitia menyediakan banyak stan bagi masyarakat setempat untuk berjualan.

Salah satu yang paling menyedot perhatian adalah deretan booth penjual batu akik. Ya, demam batu akik yang melanda Pulau Jawa dalam setahun terakhi kini sudah merambah ke Sulsel. Tidak terkecuali warga Sidrap. Bahkan, dagangan mereka laris manis diserbu tidak hanya penduduk sekitar.

Stan penjual batu akik sendiri berlokasi di belakang tribune. Mereka berbaur dengan penjual baju, makanan khas Sulsel, serta booth lomba dan penjualan motor dari diler resmi Suzuki.

Menariknya, para penjual batu akik itu tidak membayar untuk bisa menggelar lapak dagangannya alias diberikan tempat gratis oleh panitia. Itu diungkapkan Solihin Firmansyah, salah satu pedagang yang merupakan warga setempat yang pada hari biasa perjualan di terminal Pare-Pare. Ayah dua anak ini khusus menggelar dagangan karena tahu besarnya animo penonton di sirkuit selama dua hari, Jumat dan Sabtu (6-7/2).

"Lumayan mas, pada setengah hari pertama aja sudah ketutup (laris). Saya berharap, sering-sering deh mengadakan acara di sirkuit ini. Apalagi, kami buka lapak ini gratis," ujar Solihin, 45 tahun. "Untuk batu, seperti teman-teman pedagang lain di sini, kami menjual mulai dari Rp 50 ribu hingga jutaan. yang banyak dibeli ya batu bacan doko, palamea, dan bacan obi asal Halmahera."

Anusa Pawan, salah satu panitia setempat, mengakui, sengaja memberi fasilitas kepada para pedagang secara gratis. Sebab, mereka ingin warga setempat juga dapat mengais rezeki tambahan.

"Intinya, kami ingin memberi hiburan untuk masyarakat sekitar sini. Bagi pedagang, kami berharap dapat penghasilan tambahan dengan diadakannya event ini," ucapnya. "Sebab, penonton yang datang ke sirkuit kan tidak hanya untuk menyaksikan balapan saja. bisa jadi, mereka ingin membeli barang yang cocok di berbagai stan. Atau, menikmati hiburan lainnya seperti bazar dan musik di belakang tribune."***
*      *      *
Penonton yang melihat-lihat bongkahan batu sebelum  diproduksi menjadi akik

*      *      *
Batu akik berbagai jenis ini dijual mulai Rp 50 ribu hingga jutaan rupiah

*      *      *

- Cikini, 14 Februari 2015

Jumat, 13 Februari 2015

Suzuki Indonesia Challenge, Balapan yang Mengedukasi


Suzuki Indonesia Challenge, Balapan yang Mengedukasi


Instruktur Safety & Riding Yogie Baskoro saat memberi pengarahan (Sumber foto: Choirul Huda/ Harian TopSkor)


SIDRAP - Keberadaan Suzuki Indonesia Challenge Satria Cup (SICSC) di Sirkuit RMS Rappang, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel), menimbulkan antusiasme tersendiri bagi masyarakat sekitar. Mereka berbondong-bondong menyaksikan balapan yang diselenggarakan PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) yang berlangsung pada Jumat dan Sabtu (6-7/2) itu.

Acara ini bertitel one make race alias hanya melombakan satu merek motor, dalam hal ini Suzuki Satria FU 150, memang memiliki daya tarik tersendiri. Terutama di kalangan remaja. Mereka seperti “terhipnotis” untuk menyaksikan seri keempat dari lima putaran SICSC itu.

Terlebih, selain balapan terdapat berbagai acara menarik. Mulai dari games interaktif, festival band lokal, bazar, hingga kursus balap bagi kalangan pelajar. Bahkan, pihak SIS memberi daya pikat dengan penawaran khusus (diskon) bagi masyarakat sekitar yang ingin membeli produk mereka.

“Lumayan mas, di sini jadi ada hiburan. Apalagi, balapan ini bisa mengedukasi anak-anak saya agar kalau mau melakukan balapan ya di sirkuit resmi. Bukan di jalan raya yang mengundang bahaya,” tutur Daeng Marala, yang berasal dari kabupaten Maros dengan memboyong istri dan dua anak-anaknya yang masih pelajar SD dan SMP.

Sementara, Muhammad Irfan, warga setempat, tak kalah senangnya. Sebab, dengan diadakan balapan seperti ini membuat wilayahnya jadi lebih dikenal luas. Apalagi, selama ini Sirkuit RMS Rappang identik dengan balapan malam. “Semoga acaranya berlangsung aman dan lancar-lancar saja. Serta tidak hujan, biar masyarakat bisa menikmati hiburan di sini,” tutur Irfan.

*      *      *
Antusiasme pelajar menyimak cara agar balapan sehat di sirkuit

*      *      *
Sebelum terjun ke trek, utamakan keselamatan dengan memakai perlengkapan

*      *      *
Dua wartawati asal Makassar enggan ketinggalan untuk berpose di motor andalan Suzuki: Satria FU150

*      *      *
Seri Suzuki Sebelumnya:

- Cikini, 14 Februari 2015

Anomali Pembalap Tuan Rumah di Suzuki Indonesia Challenge


Anomali Pembalap Tuan Rumah di Suzuki Indonesia Challenge

Masrurah juara asal Sulawsesi Barat (Sumber foto: Choirul Huda/TopSkor)

SIDRAP – Selesai sudah putaran keempat Suzuki Indonesia Challenge (SIC) Satria Cup yang berlangsung di Sirkuit RMS Rappang, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel), Sabtu (7/2). Adalah Masrurah, pembalap asal Sulawesi Barat (Sulbar) yang keluar sebagai juara.

Menariknya, keberhasilan remaja yang lahir di Polman, Sulbar, 18 tahun silam itu kian menegaskan anomali dari SIC Satria Cup. Itu karena dari empat putaran yang berlangsung hingga kini belum ada riders tuan rumah yang berhasil menjadi juara.

Tren itu terjadi sejak edisi perdana di Bandung pada 27-28 Desember 2014. Dari 143 peserta yang berasal dari berbagai kota seperti Bandung, Jakarta, Tasikmalaya, hingga Subang. Justru yang keluar sebagai jawara adalah pemuda asal Bandar Lampung, Andreas Gunawan.

Fakta itu berlanjut pada putaran kedua di Medan (10-11/1) yang dimenangkan pembalap asal Banda Aceh, Agung Febri. Begitu juga pada dua pekan sebelumnya di Malang (24-25/2) dengan riders asal Karawang, Dedy Kumohon, sebagai jawara. Pertanyannya, apakah tren itu bakal terulang pada putaran kelima di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 21-22 Februari mendatang?

Agenda Suzuki Indonesia Challenge
Putaran I – Bandung, Jawa Barat 27-28 Desember 2014 (Andreas Gunawan – Bandar Lampung, Lampung)
Putaran II – Medan, Sumatera Utara 10-11 Januari 2015 (Agung Febri – Banda Aceh, D.I. Aceh)
Putaran III – Malang, Jawa Timur 24-25 Januari 2015 (Dedy Kumohon – Karawang, Jawa Barat)
Putaran IV – Makassar, Sulawesi Selatan 6-7 Februari 2015 (Masrurah – Polman, Sulawesi Barat)

*      *      *
Lima besar pemenang Suzuki Indonesia Challenge Putaran Empat di Sirkuit Sidrap

*      *      *
Artikel ini dimuat pada Harian TopSkor edisi Online 8 Februari 2015
*      *      *
Seri Suzuki sebelumnya:
Seri Suzuki Sebelumnya:

*      *      *


- Cikini, 13 Februari 2015

Kamis, 12 Februari 2015

Profil Enam Calon Kapolri dan Plus-Minusnya



PAGI itu, Sabtu (7/2) notifikasi pada aplikasi whatsapp saya menyala. Pertanda ada pesan masuk dari seorang kawan yang sedang berada di benua biru. Saat itu, sosok yang juga kolumnis di berbagai media ini kaget ketika mengetahui tulisan saya tentang Anang Iskandar yang jadi calon Kapolri mejeng di halaman depan Kompasiana (headline atau HL). Kebetulan, pria berusia tiga windu lebih itu, melihatnya di kanal Berita Pilihan yang ada di Kompas.com.

Yang membuat kawan tersebut sedikit bingung, karena saya membuat tulisan mengenai polisi. Sebab, menurut yang dia tahu, biasanya membaca tulisan saya tentang olahraga, film, musik, dan lifestyle. Dengan tersenyum, tentu saja saya jawab, bahwa saya memang kerap menulis "gado-gado". Dalam arti, adakalanya soal sepak bola, olahraga, musik, film, hingga kuliner.

Namun, untuk hal-hal tertentu, tak jarang saya membuat postingan mengenai pemerintahan. Mulai dari pejabat, aparat kepolisian, militer, dan sebagainya. Tentu, dengan opini saya pribadi yang murni subyektif. Yang menjadi pertanyaan beliau adalah, kenapa saya hanya menulis tentang Anang Iskandar. Sebab, menurutnya, kans Kepala BNN itu cenderung kecil ketimbang beberapa calon lainnya.

Jawaban saya adalah, saya tidak peduli kans Anang Iskandar sebagai Kapolri itu besar atau kecil. Alasan saya menulis profilnya karena saya memang sudah "merasa" dekat. Dalam arti, saya sudah tiga kali bertemu dengan mantan Kapolda Jambi tersebut. Jujur saja, jika saya sering bertemu dengan calon Kapolri lainnya, termasuk Budi Gunawan dan Budi Waseso, mungkin saya akan menulis hal yang sama.

Kembali mengenai perbincangan dengan kawan melalui whatsapp. Saat itu juga, saya jadi tertarik untuk mencoba menulis profil beberapa calon Kapolri. Hanya, saya urungkan mengingat ketika itu saya masih berada di luar kota. Sebab, meski bisa saja menulisnya berdasarkan sumber di internet -bukan Wikipedia- tapi bagi saya itu kurang terverifikasi dan harus menambahnya dengan referensi tertulis di media cetak seperti koran, tabloid, dan majalah, yang tersimpan rapih di rumah.

Hingga, setelah banjir yang mengguyur kota Jakarta selama dua hari mereda, saya pun mulai mengumpulkan beberapa sumber. Baik itu dari media cetak maupun online untuk dijahit ulang menjadi sebuah artikel. Berikut profil enam calon Kapolri yang semuanya berpangkat Komisaris Jenderal (Komjsen) beserta plus dan minusnya versi saya:

1. Badrodin Haiti
Jabatan saat ini: Wakapolri yang melaksanakan tugas Kapolri
Lahir: 24 Juli 1958 (56 tahun)
Lulusan Akpol: 1982
Plus: Sebagai pemimpin tertinggi Kepolisian di negeri ini usai ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggantikan Kapolri sebelumnya, Jenderal Sutarman.
Minus: Terindikasi isu rekening gendut dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ketika menajbat sebagai Kapolda Sulawesi Tengah pada 2007. Saat ini hanya bintang tiga -Kapolri bintang empat- yang tentu saja kurang "power" di mata bawahannya.

2. Dwi Priyatno
Jabatan saat ini: Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum)
Lahir: Purbalingga, 12 November 1959 (55 tahun)
Lulusan Akpol: 1982
Plus: Pernah menjabat Kapolda tipe A di Metro Jaya (DKI Jakarta dan sekitarnya)
Minus: Kurang pengalaman sebagai Kapolda tipe A karena memipin hanya 3,5 bulan. Belum ada informasi lebih lanjut yang bisa digali

3. Budi Waseso
Jabatan saat ini: Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim)
Lahir: 13 Februari 1960 (55 tahun)
Lulusan Akpol: 1984
Plus: Memegang jabatan penting, Kabareskrim, yang merupakan "kawah candradimuka" bagi calon Kapolri seperti yang diemban Sutarman dan Bambang Hendarso Danuri,
Minus: Mendapat sorotan publik terkait penangkapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto serta tudingan menjadi "orang dekat" Budi Gunawan. Pernah menjadi asisten Presiden Indonesia kelima, Megawati Soekarnoputri, yang kerap dikaitkan sebagai stigma "balas budi"

4. Putut Eko Bayuseno
Jabatan saat ini: Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabarhakam)
Lahir: Tulungangung, 21 Mei 1961 (53 tahun)
Lulusan Akpol: 1984
Plus: Berpengalaman di dua Kapolda tipe A (Metro jaya dan Jawa Barat). Disebut banyak pihak sebagai calon kuat karena faktor usia yang masih muda
Minus: Mantan ajudan Presiden Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, yang mungkin kurang disukai pihak tertentu

5. Anang Iskandar
Jabatan saat ini: Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN)
Lahir: Mojokerto, 18 Mei 1958 (56 tahun)
Lulusan Akpol: 1983
Plus: Sukses membawahi BNN untuk memberantas peredaran narkoba di Indonesia. Dikenal sebagai satu-satunya perwira tinggi yang aktif menuliskan catatan hariannya di blog pribadi (blogger)
Minus: Masa pensiun sekitar satu tahun lagi dan belum menjabat Kapolda tipe A (baru B, Jambi)

6. Suhardi Alius
Jabatan saat ini: Sekretaris Utama Lemhamnas
Lahir: Jakarta, 10 Mei 1962 (52 tahun)
Lulusan Akpol: 1985
Plus: Disebut sebagai salah satu perwira kepolisian terbaik yang cepat meroket, dikenal sebagai sosok yang terbuka kepada media, memiliki hubungan dekat dengan KPK, dan pernah menjabat Kabareskrim serta Kapolda Metro Jaya (tipe A)
Minus: Dikenal sebagai sosok yang "bersih" oleh media, tapi belum bisa dibuktikan secara nyata rekam jejaknya. Menurut Kompolnas, usianya masih terlalu muda jika menjabat sekarang karena jika dua tahun menjadi Kapolri, empat tahun selanjutnya non job.

Referensi: Kapolri Idol? Kompas.com, Okezone.com, Majalah Tempo 25 Januari, Kompas cetak 7 Februari, Suara Pembaruan 6 Februari

Artikel terkait:
- Profil Anang Iskandar: Calon Kapolri yang Merupakan Blogger Aktif
Presiden dan Kepala BNN Kompak: Bandar Narkoba harus Dihukum Mati!
Kenapa Harus Blogger yang Kampanye?Diskusi Blogger dengan Kepala BNN yang Juga BloggerPenghormatan Terakhir Presiden SBY untuk PahlawanJokowi Sang Gubernur Gaul
Semarak HUT TNI ke-68 di Monas
Apresiasi untuk Kejelian Paspampres
- Sisi Lain Paspampres yang Berprestasi
Pengalaman Seru Naik Panser Anoa TNI AD
Sepenggal Kisah di Museum Abdul Harris Nasution
Di Usia TNI ke-66 Ini Semoga Tidak Ada Lagi Paswalyur: Pasukan Pengawal Sayur
Pengalaman Sehari di Mabes Polri 
Ketika Polwan Beraksi di Atas Moge
Tidak Semua Polisi Berperilaku Kurang Baik
*       *       *

- Cikini, 12 Februari 2015